"Akhh! Aku tidak percaya! Dia melawan Ayah seperti itu! Dia benar-benar sudah memiliki keberanian semenjak bersama Matthias!"Victoria berteriak kesal. Dia menghentakkan kakinya. Tidak terima karena bukannya mendapatkan apa yang dia mau, justru Luciana malah melawannya. Bahkan berani melawan ayahnya, yang padahal sebelumnya wanita itu selalu takut. Richard sendiri diam. Duduk termenung di sofa. Tak menanggapi luapan kekesalan putrinya, tapi jelas membenarkannya diam-diam. Dia juga telah melihatnya, entah keberanian macam apa yang dimiliki Luciana tadi. Wanita itu seolah menumpahkan seluruh apa yang dipendamnya. Tidak sedikit pun terpengaruh terhadap apa yang dikatakannya. "Ayah, kita tidak bisa seperti ini. Kita harus melakukan sesuatu. Aku tidak mau bercerai dengan Matthias," ucap Victoria yang kini berjalan dan duduk di sebelah Richard. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang tergambar jelas di wajahnya. Victoria gelisah karena tak sesuai rencana, Luciana tidak menurut pada mereka.
"Saya tidak mungkin menjauhi Matthias. Saya bekerja dengannya dan kalau dia mau menceraikan Victoria, itu adalah haknya," jawab Luciana acuh tak acuh. Dia menahan seringai puas di bibirnya. Meski kabar ini dia dengar bukan dari Matthias langsung, tapi dia puas. Luciana tidak bisa menahan rasa senang memikirkan Matthias akan segera berpisah dari Victoria. "Saya sama sekali tidak punya hak untuk memintanya membatalkan perceraian."Luciana mengatakannya dengan penuh percaya diri dan dia melihat raut wajah kaget pada ketiga orang di hadalannya. Termasuk Victoria yang wajahnya merah padam dan menatap seakan ingin menelannya hidup-hidup. Namun dia tidak peduli lagi. Dia tidak takut sekarang. Sekali pun tidak akan lagi dianggap oleh mereka, termasuk ibunya, dia sekarang bisa membiayai hidupnya sendiri. "Kau tidak tahu malu! Kau pasti senang dengan ini! Sejak awal, kau mau merebutnya dariku kan?"Luciana tersenyum mendengar suara kemarahan Victoria. Dia melipat kedua tangannya santai. "Se
"Ibu menamparku?" Luciana bertanya dengan suara tercekik setelah beberapa saat terdiam. Dia mengangkat kepala dan menatap Isabelle yang masih menunjukkan ekspresi tidak senang. Sementara Victoria tampak tersenyum puas. "Ibu hanya ingin kamu sadar dan tidak lagi bersikap arogan di depan Ayah dan adikmu. Bersikaplah seperti wanita dari keluarga terhormat." Wanita dari keluarga terhormat? Luciana tersenyum getir, lalu menunduk dan tertawa kecil. Dia melepaskan tangannya dari pipi. Menatap kembali ibunya yang terlihat kebingungan karena dia tiba-tiba tertawa padahal tidak ada sesuatu yang lucu. "Ibu ingin aku jadi wanita terhormat atau ingin aku tunduk pada orang yang menindasku?" "Turunkan egomu. Ini bukan saatnya untuk berdebat. Tidak ada salahnya minta maaf dan akui kesalahanmu." "Aku tidak salah!" seru Luciana setengah berteriak. "Harus berapa kali aku bilang, ini semua Victoria yang mulai! Sebaiknya Ibu berhenti membelanya. Anak Ibu itu aku atau dia?" "Kamu. Tentu s
"Kamu tahu apa kesalahanmu?"Luciana menatap Richard yang melontarkan pertanyaan bernada menuduh terhadapnya. Sementara dia duduk seperti seorang terdakwa di kursi pesakitan. Menghadapi ketiga orang yang ironisnya adalah keluarganya. Kedua tangannya mengepal dengan bibir yang membentuk garis tipis. "Aku tidak salah."Luciana menolak untuk mengakui kalau dia salah atas apa yang terjadi sekarang. Dia juga tidak pernah mau seperti ini. "Victoria yang memulai.""Apa? Beraninya kau menyalahkanku! Semua masalah ini berawal darimu!" Victoria memprotes. Tidak terima saat dirinya disalahkan. Namun Luciana juga tidak mau jadi kambing hitam, di saat dia lebih banyak merasakan luka di sini. "Kau tidur dengan Felix dan semua itu salahku? Kau bukan hanya tidak tahu malu, tapi juga tidak tahu diri.""KAU!""CUKUP!"Richard membentak. Menahan kemarahan Victoria yang akan tumpah atas kata-kata kasar yang terlontar dari mulut Luciana. Richard jelas tidak terima karena Luciana yang begitu berani. Mer
Taksi yang ditumpangi Luciana akhirnya tiba di halaman rumah orang tuanya. Dia tiba ketika matahari telah tenggelam, lalu keluar dari mobil tersebut dengan santai dan berjalan menuju pintu. Tidak ada mobil Richard. Halaman itu kosong. Tidak ada juga penjaga gerbang. Sepi. Luciana tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dia segera menekan bel rumah dan menunggu. Tak lupa, dia juga mengirim pesan pada ibunya kalau dia sudah tiba. Dia menunggu cukup lama di teras. Hampir berpikir jika ibunya mungkin tidak di sana ketika pesannya tidak kunjung dibalas. Luciana berniat menghubunginya, tapi tepat saat itu, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Isabelle ada di sana. Berdiri dengan gaun elegan yang membentuk tubuhnya. "Ibu ...."Luciana tersenyum. Dia lega dan segera memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. Kakinya mulai mendekat. Memerhatikan Isabelle teliti. Ada kekhawatiran yang membuatnya memeriksa sang ibu, tapi sepertinya, apa yang dia takutkan tidak terjadi. Luciana lega. "Maaf lama,
Luciana tiba di apartemen setelah Matthias mengantarnya, sebelum pria itu pergi lagi ke rumah orang tuanya. Dia merebahkan dirinya di sofa ruang tengah. Rasa lelah karena pekerjaan dan juga tekanan Alexander sebelumnya, membuat dia tidak memiliki tenaga. Dia ingin mandi dan beristirahat. Lalu menjalani hari esok dengan kondisi tubuh yang segar. Berharap tidak akan ada masalah yang berarti. Namun, tampaknya itu hanya angan-angan semata saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Mengalihkan Luciana yang baru saja memejamkan mata untuk mengistirahatkan pikirannya sejenak. Tangannya merogoh cepat ponsel itu dari tas dan memeriksanya. Nama sang ibu tertera di sana. Alisnya mengernyit. Luciana tidak langsung mengangkat panggilan itu. Dia teringat pesan dari Matthias untuk jangan dulu mengangkat panggilan sang ibu atau berdekatan dengan keluarganya. Saat ini. Alhasil, Luciana memilih mengabaikannya. Dia meletakkan benda itu di meja hingga deringnya berhenti. Dia pikir, semuanya akan berakhir, t