Malam itu, udara dingin merayap pelan di sepanjang jalan yang sepi. Mobil yang dikendarai Jack melaju tanpa suara, hanya deru mesin yang terdengar samar di antara heningnya malam.
Lula duduk di kursi penumpang, memeluk tubuhnya sendiri, merasa suhu di dalam mobil hampir sama dinginnya dengan atmosfer di antara mereka. Jack tak banyak bicara sejak perjalanan dimulai. Tatapannya lurus menembus jalanan, wajahnya datar seperti patung tanpa ekspresi. Lula mencuri pandang, berharap ada sedikit celah untuk memulai percakapan. “Terima kasih sudah mau mengantar,” suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara desiran angin dari jendela yang sedikit terbuka. Jack tetap diam. Hanya kelopak matanya yang sedikit bergerak, tapi bibirnya tak memberi jawaban. Lula menelan ludah, menggigit bibir bawahnya. Mungkin ucapan itu terlalu sepele untuk direspons, atau Jack memang sengaja tak ingin terlibat dalam pembicaraan. Mereka terus melaju dalam diam sampai tiba-tiba, mobil melambat. Mesin mendadak bergetar aneh sebelum akhirnya berhenti total di tepi jalan. Lula menoleh, alisnya berkerut. “Ada apa?” Jack menghela napas berat, seolah menahan kesal. “Mogok.” Tanpa menunggu, ia keluar dari mobil, membuka kap mesin. Uap panas langsung menyembur, membuat Jack mundur sambil berdesis pelan. Lula yang khawatir ikut turun, menatap pria itu yang tengah memeriksa mesin. “Apa yang rusak? Apa bisa diperbaiki?” Jack tidak menjawab, hanya membalikkan badan sekilas. Sorot matanya menunjukkan bahwa kemungkinan itu sangat kecil. “Akinya habis,” gumamnya akhirnya. Lula melirik jalanan di sekitar. Sepi. Hanya deretan pohon dan lampu jalan yang redup, nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan yang lewat. “Apa kita harus cari bantuan?” tanyanya hati-hati. Jack menutup kap mesin dengan suara keras. “Kalau kamu punya cara lain, silakan kasih tahu.” Nadanya terdengar sarkas, membuat Lula semakin merasa bersalah. Jack masuk kembali ke mobil, merogoh ponselnya dari dashboard. Wajahnya langsung mengeras saat layar ponsel mati total. “Sial, baterainya habis,” desisnya. “Gunakan ponselku,” usulnya tiba-tiba. Lula kemudian buru-buru merogoh saku jaketnya, tapi wajahnya memucat saat sadar ponselnya tertinggal di rumah Jack. “Aku… sepertinya aku meninggalkan ponsel dirumahmu.” Jack menatapnya tajam, seolah kesalahan kecil itu adalah hal paling bodoh yang bisa dilakukan seseorang di situasi seperti ini. “Terimakasih, sangat membantu,” sindirnya. Satu helaan napas panjang keluar dari bibir Jack sebelum akhirnya ia membuka pintu. “Kita jalan kaki. Bengkel terdekat kira-kira tiga kilometer dari sini.” Lula menoleh ke jalanan gelap, merasa cemas. Namun, melihat Jack sudah melangkah tanpa menunggu, ia buru-buru menyusul, meski rasa takut mulai merayapi hatinya. Langkah mereka bergema di sepanjang trotoar yang kosong. Angin dingin berhembus, membuat Lula menggigil di balik jaket tipisnya. “Kamu yakin ini jalan yang benar? Kita todak salah jalan, kan?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Jack menghentikan langkah, menoleh tajam. “Kalau kamu tahu jalan yang lebih baik, silakan tunjukan.” Lula terdiam, wajahnya memerah. Ia menyesal sudah bertanya. Mereka kembali berjalan. Hening. Hanya suara langkah kaki yang menemani. Langit semakin gelap. Jauh di kejauhan, suara gemuruh mulai terdengar samar. Angin berhembus lebih kencang, membuat Lula makin menggigil. Duar! Petir tiba-tiba menggelegar, memecah keheningan malam. Lula terlonjak, langkahnya berhenti mendadak. Napasnya tercekat, tubuhnya langsung menegang. Jack menoleh, mengernyit. “Kamu kenapa?” Lula tak menjawab. Tubuhnya gemetar, tangannya menutup telinga rapat-rapat. Jack mendesah pelan, berjalan mendekat. Tatapannya tetap dingin, tapi ada nada khawatir dalam suaranya. “Cuma petir, tidak ada yang perlu di takutkan. Itu tidak akan menyambar kita.” Lula menggeleng cepat, napasnya memburu. “Aku… aku takut…” Jack terdiam sejenak, menatap gadis di depannya dengan pandangan yang sulit diterka. Lalu, perlahan, ia berjongkok di hadapan Lula. “Kita aman di sini. Aku janji.” Lula membuka mata perlahan, menatap wajah Jack yang begitu dekat. Namun, sebelum ia sempat merasa lega, suara petir kembali menggelegar. Duar! Tanpa sadar, Lula melompat, tubuhnya menabrak Jack. Tangannya melingkar erat di pinggang pria itu, memeluknya seperti anak kecil yang ketakutan. Jack membeku. “Kau bilang aman! Aku sangat takut!” kesalnya. Detik-detik berlalu dalam keheningan. Napas Lula memburu, jantungnya berdetak keras di dada Jack. Tapi pria itu tetap diam, tak bergerak. Beberapa saat kemudian, Jack menunduk, menatap gadis yang masih menempel padanya. “Dengarkan aku,” ujarnya pelan. Gadis itu tak merespons, jemarinya justru semakin erat mencengkeram jaket Jack. Jack menghela napas panjang, seolah menyerah. Perlahan, tangannya terangkat… ragu-ragu sebelum akhirnya menepuk punggung Lula pelan. “Kita harus jalan lagi… atau akan terjebak oleh hujan.” Pria itu benar, akan lebih mengerikan jika mereka terjebak hujan dan berakhir mati mengenaskan. Lula perlahan melepaskan pelukannya, wajahnya merah padam. “Aku… minta maaf… aku tidak sengaja.” Jack menatapnya sejenak, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa. Namun, saat pria itu melangkah, ada sesuatu yang berbeda dalam gerakannya — lebih lambat, seolah sengaja memberi Lula ruang untuk berjalan di sisinya. Lula berjalan di belakang, menunduk dalam-dalam. Tapi jantungnya masih berdegup kencang, bukan lagi karena takut… melainkan karena sentuhan hangat yang baru saja ia rasakan. Malam itu, di tengah dinginnya udara dan gelapnya jalanan, sesuatu yang halus mulai bergetar di antara mereka. Sesuatu yang tak terucap… tapi nyata.Jack berdiri diam beberapa saat, menatap balkon tempat sosok itu baru saja melambaikan tangan. Debur ombak di belakangnya seolah sirna, tergantikan oleh detak jantung yang menegang.Ia tidak menunggu lama.Langkah-langkahnya tegas, menyusuri jalur batu yang memisahkan villa mereka dengan unit lainnya.Begitu sampai di depan pintu kaca yang terbuka sebagian, Lula sudah berdiri di sana. Dia berdiri dengan santai. Dengan menggunakan gaun linen putih melekat pada tubuh rampingnya. Angin pantai meniup rambut panjangnya ke belakang, menjadikannya sosok yang terlalu mencolok untuk disebut sebagai ‘kebetulan’.“Bagaimana bisa kau di sini?” suara Jack rendah dan mengeras, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih.Lula tersenyum, tenang dan seperti biasa, sedikit menggoda. Ia melangkah pelan ke arah Jack, jarinya menyentuh dada pria itu dengan ringan.“Memangnya kenapa?” katanya lembut. “Aku hanya sedang menghabiskan uangku unt
Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n
Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,
Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni
Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te
Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami