“K—kau … ingin membunuhku?” suara Emily nyaris tak terdengar, bibirnya bergetar seperti kelopak bunga yang diterpa angin dingin di penghujung musim gugur.
Matanya membulat, ketakutan merayap di sela-sela tulang belakangnya, mengigit setiap urat nadinya dengan kebengisan yang tak terlihat.
“Ya.” Suara Felix jatuh bagaikan belati yang mengiris keheningan. “Aku akan membunuhmu jika kau berani membangkang, tidak menurut, dan mencoba kabur dari rumah ini.”
Tatapan Felix menancap tajam di wajah Emily, seperti elang yang mengunci mangsanya sebelum menyergap dengan cakarnya yang tajam.
Cahaya lampu yang redup membuat bayangan lelaki itu semakin mengerikan, menciptakan siluet hitam yang seakan melahap setiap harapan yang masih berusaha bernafas di dalam diri Emily.
Tak ada jalan keluar. Tak ada secercah cahaya di ujung lorong gelap bernama kehidupan ini. Dia hanya bisa diam, membiarkan kesedihan menyusup ke rongga dadanya, mengakar dalam dan menghisap habis mimpi-mimpinya.
“Kecuali denganku,” suara Felix kembali memecah kesunyian, membuat Emily mendongak, matanya yang sembab menangkap sorot dingin dari suaminya.
“Kau boleh mengunjungi keluarga sialanmu itu jika denganku,” lanjutnya, bibirnya menyunggingkan senyum yang tak bisa ditafsirkan—sebuah kombinasi antara kemenangan dan penghinaan.
Emily tak menjawab. Ia hanya mengembuskan napas panjang, membiarkan aroma keputusasaan memenuhi paru-parunya.
Ia menatap Felix yang kini sudah mengenakan celana pendek hitam, lalu melangkah keluar dengan langkah mantap, seolah telah menanamkan belenggu tak kasat mata yang membelit setiap gerak Emily.
Saat pintu kamar tertutup, tubuh Emily melemas. Helaan napasnya terdengar seperti rintihan angin yang terperangkap di antara jendela yang tertutup rapat.
“Ah! Tubuhku sakit sekali. Pria itu benar-benar menyiksaku,” lirihnya, jari-jarinya yang dingin mengusap wajahnya dengan pelan, seolah mencoba menghapus jejak-jejak kesedihan yang telah tercetak di kulitnya.
“Aku tidak menyangka jika nasibku akan berakhir seperti ini. Seharusnya Marsha yang menjadi istri Felix. Tapi, dia malah kabur,” gumamnya, tangannya kini melingkari kedua lututnya, memeluk dirinya sendiri seakan berusaha menyatukan kembali serpihan jiwanya yang telah tercerai-berai.
Hening kembali menyelimuti kamar itu. Namun, tak berlangsung lama. Langkah berat Felix kembali terdengar, mengetuk lantai dengan ketegasan yang menggema dalam sunyi.
Emily mengangkat wajahnya, menatap suaminya yang berdiri dengan postur mendominasi di ambang pintu.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara yang nyaris tak lebih dari bisikan angin.
“Nothing.” Felix menatapnya sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang tak bisa dibantah.
“Besok malam, keluargaku mengundangmu makan malam. Jangan tampilkan raut menyedihkan seperti ini di depan mereka, Emily! Kau harus terlihat cantik dan mengenakan pakaian yang indah.”
Emily mengangguk. Tak ada lagi kehendak, tak ada lagi keinginan. Hanya tubuh yang bergerak atas perintah. Hanya boneka yang dikendalikan oleh tali takdir yang kejam.
**
Jarum jam telah menggeser takdir menuju pukul delapan malam. Langit malam membentang pekat, seolah menuliskan rahasia gelap yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang berani menggali kedalaman sunyi.Di bawah bayangan temaram lampu jalan, Emily dan Felix melangkah memasuki halaman rumah megah milik orang tua Felix—Antonio dan Rana.
Pilar-pilar tinggi menjulang di sisi bangunan, seakan menjadi saksi bisu atas segala tragedi yang bersembunyi di balik dindingnya.
“Halo, Emily.” Suara berat Antonio menyambutnya, seperti gelegar petir yang mendadak meledak di tengah keheningan.
Bibir pria itu melengkung tipis, tetapi sorot matanya menelisik, menembus kulit dan daging, berusaha membaca ketakutan yang bersembunyi dalam dada Emily.
“Ternyata aku tetap mendapatkan menantu dari keluarga Harland, meskipun kau hanya anak tirinya.” Antonio menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada yang mengandung bias penghinaan. “Tidak sebanding, tapi tidak masalah.”
Kata-kata itu menampar batin Emily dengan telak, membuatnya membeku sejenak. Apa maksud dari ucapan itu? Apakah kehadirannya benar-benar hanya kebetulan tak berharga?
Namun, Emily memilih menekan keresahannya. Dengan senyum yang dipaksakan, ia mengangguk pelan, seperti daun yang pasrah mengikuti arus angin.
Wajah Antonio yang keras dan penuh ketegasan mungkin bisa menakutkan, tetapi setidaknya pria itu tidak serta-merta menolaknya. Walau ada sesuatu dalam ucapannya yang berlapis makna dan sulit ia pahami.
Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar.
“Antonio, kau tidak bisa dibodohi terus-menerus oleh Harland,” suara tajam Rana menyusup ke udara, mengiris atmosfer dengan ketidaksenangan yang nyata.
Matanya menyipit saat menatap Emily, seolah menilai sesuatu yang jauh dari harapan.
“Kakaknya saja sudah berani mengkhianati Felix.” Nada suaranya meninggi, penuh dengan rasa benci yang merayap dari setiap kata yang terucap.
“Bagaimana jika wanita ini juga berani melakukan itu pada anak kita?”
Felix, yang sejak tadi diam, mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan milik ibunya yang penuh tuntutan.
Namun, alih-alih menjawab, lelaki itu hanya menatap tanpa ekspresi, seakan perdebatan ini bukan sesuatu yang pantas menyita emosinya.
Sebuah dengusan terdengar dari Antonio, lalu pria itu mengangkat bahunya. “Emily terlihat jauh lebih polos dari Marsha, Rana. Aku pikir, sepertinya Emily tidak akan seperti itu.”
Namun, Rana tidak puas dengan jawaban itu. Ia menarik napas panjang, dadanya naik turun seperti ombak yang bergulung sebelum akhirnya meledak menghantam tebing.
Tatapannya kini tertuju pada Felix—anak lelaki yang dulu ia timang dengan penuh kasih sayang, kini telah berubah menjadi pria yang semakin sulit dipahami.
Ketika akhirnya Felix berbicara, suaranya terdengar dingin, mengandung ancaman yang mengendap-endap seperti racun.
“Aku sendiri yang akan membunuhnya jika dia berani mengkhianatiku.”
Cahaya senja membias di jendela kaca besar kantor pusat Felix Corporation.Di dalam ruangannya yang luas dan kini terasa jauh lebih tenang, Felix berdiri memandangi kota Meksiko yang tengah sibuk menjelang malam. Di tangan kirinya tergenggam selembar laporan penahanan atas nama Marsha Estrella Germain.Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan udara masuk perlahan ke dalam paru-parunya. Semua terasa nyata—dan berakhir. Setelah berbulan-bulan permainan kotor dan manipulasi, akhirnya satu per satu kepingan masalah itu runtuh.Di sisi lain kota, Marsha baru saja dibawa menuju ruang tahanan wanita dengan wajah kusut dan rambut berantakan.Tuduhan atas pemalsuan identitas, pencemaran nama baik, serta keterlibatannya dalam konspirasi pemalsuan hasil DNA, kini resmi menjatuhkan vonis yang akan lama membelenggunya.Saat pintu sel tertutup di belakang punggungnya, Marsha terduduk di lantai. Ia memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah jeruji besi yang dingin. Tak ada lagi senyum licik, tak ad
Pagi yang biasanya penuh ketenangan di rumah besar keluarga Felix berubah menjadi hiruk-pikuk.Berita di layar televisi menampilkan laporan mendesak tentang proyek konstruksi milik Felix yang tiba-tiba dihentikan oleh pihak berwenang karena tuduhan pemalsuan dokumen legal dan ketidaksesuaian struktur bangunan.Emily yang tengah menyusui bayi mereka, Oliver, langsung menoleh pada Felix dengan wajah penuh tanya.“Ada apa ini, Lex?” tanyanya, suaranya serak karena cemas.Felix berdiri di tengah ruang keluarga, wajahnya tegang, jemarinya menggenggam ponsel erat.“Ini ulah Harland,” gumamnya lirih, namun penuh keyakinan.Emily berdiri perlahan, menggendong bayi mereka. “Dia belum selesai juga, ya?”Felix mengangguk, matanya penuh bara. “Dia tahu dia kalah dalam permainan sebelumnya. Sekarang dia mengincar reputasiku di mata publik.”Tak berselang lama, Axl masuk tergesa-gesa membawa se
Pagi itu, udara Meksiko berhembus sejuk ke halaman depan rumah Felix dan Emily. Burung-burung bernyanyi di kejauhan, dan aroma kopi segar memenuhi ruang makan tempat Emily duduk santai sambil memandangi halaman dari jendela kaca.Baru saja ia akan menyeruput minuman hangatnya, suara ketukan keras terdengar dari arah depan. Tak seperti biasanya—suara itu terdengar menantang, kasar, dan tidak sabar.Salah satu pelayan berlari masuk dan berkata pelan, “Nyonya... ada tamu di gerbang depan. Seorang wanita... menyebut namanya Marsha.”Emily meletakkan cangkir dengan tenang. Matanya menajam.Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu depan. Tak lama, pintu utama terbuka, dan sosok yang sudah sangat dikenalnya berdiri di sana dengan senyum mengejek di wajahnya.Marsha mengenakan gaun putih elegan yang terlalu mencolok untuk pagi hari. Di gendongannya, seorang anak laki-laki duduk tenang, tak tahu apa-apa tentang badai yang sedang bergulir di a
Hujan turun lembut membasahi atap kantor Felix malam itu. Di dalam ruang kerjanya yang gelap dan hening, Felix menatap jendela kaca besar dengan pandangan kosong.Sudah lima hari sejak hasil tes DNA pertama keluar—dan ia masih tidak bisa mempercayainya. Ada yang janggal. Ada yang tidak bisa ia terima begitu saja.Namun di balik semua itu, ada seseorang yang bekerja diam-diam: Noah.Tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Felix, Noah telah membawa sampel DNA yang sama ke laboratorium independen lain. Ia tahu, kakaknya tidak akan pernah bisa tenang bila tidak menemukan kebenaran sejati.Dan sore itu, hasilnya datang.Noah langsung menjemput berkasnya sendiri, mengamankannya seperti harta karun.Ia membuka amplop itu dengan tangan dingin, membaca isinya cepat namun teliti. Begitu selesai, ia menghela napas panjang—antara lega dan marah.Hasilnya negatif. Anak itu bukan darah daging Felix.Di tempat lain, di sebuah apartemen mewah yang disediakan Harland, Marsha duduk bersandar di sofa denga
Langit Meksiko tampak cerah pagi itu, tetapi hati Emily sebaliknya—gelap, suram, dan penuh keraguan. Ia duduk diam di ruang kerja rumah mereka, menatap amplop putih di atas meja. Di sana tertulis dengan huruf tebal:“Hasil Pemeriksaan DNA – Confidential.”Jantungnya berdetak keras. Tangan Emily gemetar saat membuka amplop itu, dan begitu matanya membaca isi laporan laboratorium, tubuhnya seketika kaku.“Kecocokan DNA antara subjek A (Felix Ricardo) dan subjek B (anak laki-laki bernama Mateo): 99,98%. Kemungkinan sebagai ayah biologis: Sangat Tinggi.”Emily menatap lembaran itu lama. Satu per satu kata seakan membakar matanya. Sangat tinggi. Kata-kata itu menghujam seperti paku ke dalam hatinya.Saat Felix pulang tak lama kemudian, ia langsung menghampiri Emily yang masih duduk terpaku.“Sudah datang?” tanyanya sambil menunjuk amplop yang digenggam Emily.Emily mengangguk pelan. “Kau ingin membacanya sendiri?” tanyanya tanpa intonasi.Felix mengambil lembaran itu, membacanya cepat, lal
Dunia bisnis tidak pernah tidur. Begitu pula dengan ancaman yang bersembunyi di balik senyuman formal dan jabat tangan hangat. Hari itu, ruang rapat Ricardo Corporation lebih sunyi dari biasanya.Felix duduk di ujung meja besar berlapis kaca hitam, matanya menatap dokumen pembatalan kerja sama dari dua perusahaan Eropa yang selama ini menjadi klien utama.Felix mengernyit, lalu meletakkan kertas itu di atas meja dengan suara pelan namun tegas. “Ini yang kedua minggu ini,” gumamnya pelan.Noah, yang duduk di sebelahnya, menatap Felix dengan wajah tegang. “Kita dapat kabar bahwa beberapa mitra merasa reputasimu mulai dipertanyakan, Lex. Rumor di luar... menyebar cepat.”Felix mengangkat wajahnya, rahangnya mengeras. “Mereka bilang apa?” tanyanya ingin tahu.Noah menunduk sesaat sebelum berkata, “Bahwa kau telah menelantarkan anakmu, darah dagingmu sendiri. Bahwa kau tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah kau lakukan pada Marsha.”Brak!Felix menghantam meja itu dengan keras. Ia k