Home / Romansa / Hasrat dan Dendam Mafia Kejam / Ikuti Saja Permainanku

Share

Ikuti Saja Permainanku

Author: Aksara_Lizza
last update Last Updated: 2025-02-06 12:44:29

Denting halus dering ponsel memecah keheningan di pagi itu, merayap masuk ke dalam kesadaran Emily yang masih terperangkap dalam sisa-sisa mimpi yang samar.

Kelopak matanya yang berat terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan temaram cahaya kamar.

Tangannya terulur, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Namun, begitu matanya menangkap nama yang tertera di layar, kantuknya seketika menguap.

“Mama?”

Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang nyaris terlupakan menyusup ke dalam dadanya.

Rindu yang selama ini ia kubur dalam diam mendadak meletup, memenuhi rongga dadanya dengan desir harapan yang rapuh.

“Mama?” suaranya bergetar pelan.

Di seberang sana, suara lembut yang telah lama dirindukannya menyapa, “Apa kau baik-baik saja di sana, Nak?” tanya Mala dengan nada cemas.

Emily menelan ludah. Ia ingin menangis, ingin memeluk ibunya, ingin kembali ke tempat yang penuh kehangatan. Namun, kenyataan menjebaknya dalam kebisuan. Ia menggigit bibirnya, menahan gejolak yang hampir tumpah.

“Aku… aku baik-baik saja, Mama. Jangan khawatir,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.

Sejenak, hanya ada helaan napas dari seberang telepon sebelum suara sang ibu kembali terdengar.

“Syukurlah. Mama sangat khawatir, Sayang. Mama takut Felix menyakitimu.”

Emily terdiam. Hatinya mencelos.

Felix memang belum menyentuhnya dengan kekerasan fisik, tetapi ancaman-ancamannya berbisik di telinganya setiap malam—dingin, kejam, seperti pisau yang melayang di atas tenggorokannya, siap menebas kapan saja ia melakukan kesalahan.

Ia mengalihkan pandangannya ke arah kamar mandi. Pintu terbuka, dan dari dalamnya, sosok tinggi Felix muncul, kulitnya masih basah dengan sisa air yang menetes dari rambutnya.

Tanpa kata, lelaki itu melangkah mendekat, matanya menyipit tajam saat melihat ponsel di genggaman Emily.

Dalam sekejap, tangan Felix merampas ponsel itu dari jemarinya. Matanya menelusuri layar, dan senyum miring terukir di bibirnya saat membaca nama kontak yang baru saja berbicara dengan istrinya.

“Mama.” Felix menyebutnya dengan nada rendah, hampir terdengar mengejek.

Emily tersentak. Dengan cepat, ia merebut kembali ponselnya, lalu menempelkan ke telinganya untuk mengakhiri percakapan yang mendadak terasa seperti jebakan.

“Mama, aku mau mandi. Sudah dulu, ya. Bye, Mama,” ucapnya terburu-buru, lalu dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponselnya di atas nakas, menjauhkannya dari tatapan penuh selidik suaminya.

Felix menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya bersuara, suaranya dingin seperti hembusan angin malam yang membawa kematian.

“Jangan pernah mengatakan apa pun pada ibumu.”

Emily menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak mengatakan apa pun. Ibuku hanya menanyakan kabarku di sini.”

Felix terkekeh, sebuah tawa yang sama sekali tidak mengandung kebahagiaan. “Baru dua hari tinggal di sini dan ibumu sudah menanyakan kabarmu? Bagaimana jika kau tidak ada kabar selama satu bulan?”

Ia mendekat, menundukkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu wajah Emily yang pucat. “Mungkin ibumu mengira kau telah menjadi bangkai.”

Dunia Emily seakan berhenti berputar. Tenggorokannya tercekat, napasnya tersendat. Untuk sesaat, ia merasa seolah sedang berdiri di tepi jurang yang dalam, dan satu langkah kecil bisa menjatuhkannya ke dalam kegelapan abadi.

Felix… benar-benar bisa membunuhnya.

"Kapan kita akan pergi ke rumah keluargaku? Bahkan kita sudah pergi ke rumah orang tuamu," tanya Emily dengan nada penuh harap, suaranya seakan bergetar di udara, mengisi kekosongan antara dirinya dan Felix.

Felix menyipitkan matanya, sorotnya tajam bak pedang yang siap membelah harapan. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tak menyampaikan kehangatan, melainkan kehancuran.

"Dalam mimpimu," ucapnya dingin, suaranya mengalir seperti racun yang meresap ke dalam pembuluh darah Emily.

Jantung Emily berdegup tak menentu. "Kenapa begitu? Kau sendiri yang bilang kita bisa pergi ke sana," bisiknya, ketakutan menjalar di tulang-tulangnya, seperti embun beku yang menggigit kulit pada pagi buta.

Felix menggerakkan tubuhnya perlahan, mendekat hingga wangi sabunnya menyeruak ke dalam kesadaran Emily, mengaburkan batas antara ketakutan dan ketertarikan.

Jemarinya mencengkeram headboard tempat tidur dengan begitu erat, seolah ia adalah penguasa yang tengah memastikan wilayah kekuasaannya tetap tunduk di bawah kendalinya.

Cahaya lampu kamar yang remang memahat bayangan di tubuh atletisnya, menampilkan garis-garis otot yang menegaskan keberadaan kekuatan tak terbantahkan.

Emily menahan napas, dunia terasa mengecil, menyusut hanya menjadi ruang sempit yang diisi oleh dirinya dan Felix.

"Kau pikir aku akan menemanimu ke rumah orang tuamu atas keinginanmu?" Felix mengembuskan napas dekat telinga Emily, mengirimkan sensasi dingin yang berkelindan dengan bara ketakutan. "Tentu saja bukan."

Emily menelan ludah. Ada sesuatu yang berbahaya dalam kata-katanya, sesuatu yang lebih gelap dari sekadar penolakan.

"Kita akan pergi ke sana jika kakakmu telah pulang dan menampakkan diri setelah lari dariku," lanjutnya. "Aku tidak akan membawamu ke rumah orang tuamu sebelum itu terjadi."

Emily memejamkan mata, merasa dirinya kian terseret dalam pusaran yang diciptakan Felix—sebuah pusaran tanpa celah keluar.

Ia bukan lagi seorang gadis yang bebas. Ia adalah kupu-kupu yang terperangkap dalam jaring laba-laba beracun.

Felix kembali menatapnya, matanya seakan menyala dengan niat yang tak terbaca. "Satu lagi."

Emily merasakan hawa panas menjalar dari ujung jari hingga tengkuknya.

"Aku ingin kau segera hamil anakku."

Seperti petir yang menyambar dalam badai malam, kata-kata itu mengguncang Emily.

"Heuh? Hamil?" gumamnya, tubuhnya melemah seketika. "Ta—tapi … tapi, aku …."

Felix mencondongkan tubuhnya, membiarkan bayangannya menelan Emily dalam gelap. "Kau berani menolakku, huh?"

Emily menggeleng, lemah, tak berdaya seperti dedaunan yang diterpa angin kencang. "Tidak," ucapnya dengan suara serak nyaris tak terdengar.

Felix menyentuh dagunya, memaksanya menatap mata gelapnya yang menyimpan lebih dari sekadar keinginan. Ada dendam. Ada obsesi.

"Kalau begitu," katanya, suaranya seperti racun manis yang menetes perlahan, "Ikuti saja permainanku. Aku ingin balas dendam pada keluargamu dan juga kakak tirimu yang telah mempermainkanku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Mengancam Regina

    Felix melangkah cepat memasuki gedung tinggi bertuliskan "Regina Corp" di pintu kaca depannya. Wajahnya tampak gelap, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam seperti bilah pisau.Tanpa memperdulikan sapaan resepsionis, ia langsung menuju lift dan menekan lantai tertinggi.Begitu sampai, ia berjalan lurus ke arah pintu besar bertuliskan "CEO Office" tanpa mengetuk. Dengan satu dorongan kuat, pintu terbuka, membentur dinding dan membuat suara keras bergema.Di dalam, Regina yang sedang duduk di balik meja kerjanya mengangkat wajah, lalu tersenyum lebar begitu melihat siapa yang datang."Felix!" serunya riang, berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat, seolah-olah Felix datang untuknya dengan niat baik.Namun, sambutan itu langsung dibalas dengan tatapan dingin membunuh dari Felix. Ia berdiri tegak di hadapan Regina, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan amarah yang hampir meluap."Beraninya kau," geram Felix, suaranya rendah dan bergetar menahan emosi, "mengganggu istrik

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Hanya Mantan Kekasih Felix

    “Kekasih?” ulang Felix, suaranya terdengar serak, antara marah dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Emily menganggukkan kepalanya pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Felix. “Apa kau memiliki kekasih selama ini, Felix?” tanyanya lagi, suaranya bergetar, penuh dengan harap dan ketakutan.“Tidak!” jawab Felix tegas, menatap langsung ke dalam mata istrinya. Tatapan itu tajam, penuh keyakinan, seolah ingin menegaskan bahwa tak ada kebohongan dalam kata-katanya.Namun Emily tetap ragu. “Tapi... wanita itu bilang bahwa kau adalah kekasihnya. Dia bahkan berucap dengan sangat percaya diri,” katanya lirih, seolah-olah hatinya mulai condong mempercayai ucapan wanita asing itu.Melihat Emily yang seperti itu, Felix semakin geram. Rahangnya mengeras, dadanya naik-turun cepat menahan amarah.Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan melangkah menuju walk-in closet, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku di tempatnya.Emily, yang tidak ingin kehilangan jawaban, sege

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Apakah yang Dikatakannya Benar?

    Dering nyaring dari ponsel yang tergeletak di atas nakas membuat Emily menggeliat kecil dalam tidurnya.Matanya mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar, sebelum akhirnya memfokuskan pandangannya pada sumber suara.Dengan alis bertaut, ia mengulurkan tangan dan mengambil ponsel itu. Layar ponsel menunjukkan sebuah nomor tak dikenal yang sedang berusaha menghubungi.“Nomor siapa ini?” ucapnya dengan pelan. Nomornya asing, tanpa nama, tanpa identitas yang tersimpan.Emily mengerutkan kening. Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mencari sosok suaminya, Felix. “Ke mana Felix? Sudah pergi? Tapi, tidak mungkin dia meninggalkan ponselnya jika sudah pergi.”Namun, ranjang di sebelahnya kosong dan dingin. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, mendengarkan lebih seksama.Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, menandakan Felix sedang mandi. Emily menghela napas lega sesaat, tapi tatapannya kembali tertarik pada ponsel di tangannya yang kembali bergetar, layar kembali menyal

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Memegang Janjinya

    Felix menatap Emily dengan tatapan panas, matanya tak beralih sedetik pun darinya. Dalam satu gerakan cepat dan mantap, ia membungkuk dan mengangkat tubuh mungil Emily dengan gaya bridal—membuat gadis itu terkesiap kecil.Lengan kekarnya terasa kuat dan hangat membungkus tubuh Emily, membuat jantungnya berdebar tak karuan.Dengan langkah mantap, Felix membawa Emily melewati lorong dan masuk ke kamar mereka.Tanpa meletakkannya, ia menutup pintu kamar dengan kakinya, menciptakan bunyi klik lembut yang membuat suasana di antara mereka mengental dengan ketegangan.Felix menundukkan wajahnya, membisik di telinga Emily dengan suara serak penuh gairah,"Jangan pura-pura tidak tahu, Emily... Kita sudah lama tidak bercinta."Emily menelan ludahnya dengan gugup, merasakan panas menyebar dari telinga hingga ke pipinya. Suara Felix begitu berat, dalam, dan sangat berbahaya bagi pertahanannya yang mulai runtuh.Dengan suara bergetar namun mencoba terdengar tenang, Emily mengangkat wajahnya dan be

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Ingin Menua Bersamamu

    “Aku membawakan makanan kesukaanmu.” Suara Felix terdengar lembut dan tenang saat ia melangkah masuk ke ruang tengah, membawa sebuah mini box mungil berwarna merah muda di tangannya.Cahaya sore yang masuk dari jendela memantul di permukaan kotak itu, membuatnya tampak seperti hadiah kecil yang istimewa.Emily sedang duduk santai di sofa, bersandar dengan nyaman sambil menonton acara televisi favoritnya.Suara TV terdengar samar di latar belakang, namun seketika perhatiannya teralih saat Felix meletakkan kotak tersebut di meja di hadapannya.“Kesukaanku? Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. Ia langsung meraih kotak itu dan membukanya perlahan.Begitu tutupnya terbuka, aroma manis langsung tercium. Warna-warni pastel dari deretan macaron yang tertata rapi membuat matanya berbinar. Emily menoleh cepat ke arah Felix, matanya membesar karena terkejut.“Macaron? Kau tahu aku sangat menyukai macaron?” ucapnya dengan nada yang penuh kejutan sekali

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Rasa Panik Marsha

    “Pa. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Suara Marsha terdengar pelan namun serius saat ia melangkah pelan mendekati sang ayah yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.Di tangannya, Harland memegang majalah edisi terbaru, matanya sibuk mengikuti tiap baris kata di halaman yang terbuka.“Katakan saja. Aku akan mendengarnya,” jawab Harland datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah anak perempuannya. Nada suaranya tenang, nyaris seperti sedang membicarakan cuaca.Marsha berdiri sejenak, menatap wajah ayahnya yang tak bergeming, lalu menarik napas panjang sebelum duduk perlahan di sofa seberang.Matanya memandangi Harland lekat-lekat, mencoba mencari celah untuk memahami isi kepala pria paruh baya itu.“Kau serius ingin membuat Felix dan Emily berpisah? Dengan cara apa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, menyimpan keheranan sekaligus kekhawatiran dalam nada suaranya.Mendengar pertanyaan itu, Harland akhirnya menghentikan aktivitas membacanya. Ia menutup majalah dengan satu geraka

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Tidak akan Dia Biarkan

    “Argh! Sialan!” bentak Regina sambil melemparkan botol kosong beer ke lantai.Botol itu jatuh dengan suara dentingan tajam, menggema di ruangan pribadinya yang luas namun kini terasa sumpek oleh amarahnya sendiri.Ia berjalan mondar-mandir dengan langkah berat, rambut panjangnya yang biasanya tertata kini terlihat berantakan.“Kenapa cepat sekali Felix memutuskan untuk menikah?!” gerutunya lagi, mengambil botol beer yang baru dari kulkas kecil di sudut ruangan.Ia membuka tutupnya dengan gerakan kasar dan langsung meneguknya. “Bukankah dia dulu bilang tidak percaya dengan komitmen seperti itu? Dia bukan tipe pria yang mengikat diri!”Suasana malam di apartemennya dipenuhi dengan dentuman musik jazz pelan, kontras dengan emosi yang membuncah di dadanya.Ia menatap layar ponsel di tangannya, mengetik nama Felix Reinhardt berulang-ulang di mesin pencarian.Tapi yang muncul hanya berita-berita bisnis, ekspedisi, dan aktivitas gelap yang dibungkus dengan bahasa profesional.“Tidak ada beri

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Bertemu dengan Mantan Kekasih

    Pagi itu, suasana di lobi gedung pencakar langit di pusat kota tampak sibuk. Langkah kaki cepat para eksekutif terdengar berpadu dengan dering ponsel dan suara percakapan singkat.Felix melangkah masuk dengan aura dingin dan tak tergoyahkan. Setelan jas hitamnya rapi, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia diiringi oleh Arnold, asisten pribadinya yang setia.“Semua sudah disiapkan?” tanya Felix singkat.Arnold mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Mereka sudah menunggu di ruang rapat lantai 15. Dan... pemilik perusahaan ekspedisi itu sudah datang.”Felix menoleh cepat. “Pemiliknya?”Arnold menelan ludah, sedikit ragu sebelum melanjutkan. “Ya... dia sendiri yang datang. Dan saya pikir Anda mengenalnya.”Felix mengerutkan kening, tapi tak bertanya lebih lanjut. Mereka masuk ke lift dan tak lama kemudian, pintu ruang rapat terbuka.Di sana, beberapa jajaran petinggi ekspedisi sudah duduk menunggu. Tapi yang langsung mencuri perhatian Felix adalah sosok wanita yang berdiri menyambutnya.“Felix?” suara

  • Hasrat dan Dendam Mafia Kejam   Negoisasi

    “Apa aku pernah menyakitimu selama kau menjadi istriku, Emily?” tanya Felix akhirnya. Suaranya terdengar pelan, tapi ada tekanan di balik nada itu—seperti seseorang yang sudah lama menahan tanya, namun takut akan jawaban yang mungkin menyakitkan.Emily tak langsung menjawab. Matanya menunduk, jemarinya meremas ujung baju tidurnya pelan. Felix memang tak pernah menyakitinya secara fisik. Tak pernah sekalipun tangan itu terangkat padanya. Namun, entah kenapa... ada luka kecil yang tak terlihat, seperti tusukan halus yang perlahan-lahan menggores dari dalam. Luka yang tak bisa ia jelaskan, bahkan pada dirinya sendiri.“Maaf,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Seperti bisikan dari hati yang ragu.Felix menaikkan alisnya, bingung dengan respons itu. “Apa maksudmu, Emily? Aku bertanya, kenapa kau menjawab dengan kata ‘maaf’?” tanyanya, mencoba memahami, tapi juga merasa ada jarak yang semakin nyata di antara mereka.Emily hanya menggeleng pelan sambil menatap wajah Felix. Wajah itu... be

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status