Denting halus dering ponsel memecah keheningan di pagi itu, merayap masuk ke dalam kesadaran Emily yang masih terperangkap dalam sisa-sisa mimpi yang samar.
Kelopak matanya yang berat terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan temaram cahaya kamar.
Tangannya terulur, meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Namun, begitu matanya menangkap nama yang tertera di layar, kantuknya seketika menguap.
“Mama?”
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang nyaris terlupakan menyusup ke dalam dadanya.
Rindu yang selama ini ia kubur dalam diam mendadak meletup, memenuhi rongga dadanya dengan desir harapan yang rapuh.
“Mama?” suaranya bergetar pelan.
Di seberang sana, suara lembut yang telah lama dirindukannya menyapa, “Apa kau baik-baik saja di sana, Nak?” tanya Mala dengan nada cemas.
Emily menelan ludah. Ia ingin menangis, ingin memeluk ibunya, ingin kembali ke tempat yang penuh kehangatan. Namun, kenyataan menjebaknya dalam kebisuan. Ia menggigit bibirnya, menahan gejolak yang hampir tumpah.
“Aku… aku baik-baik saja, Mama. Jangan khawatir,” ujarnya dengan suara yang dipaksakan ceria.
Sejenak, hanya ada helaan napas dari seberang telepon sebelum suara sang ibu kembali terdengar.
“Syukurlah. Mama sangat khawatir, Sayang. Mama takut Felix menyakitimu.”
Emily terdiam. Hatinya mencelos.
Felix memang belum menyentuhnya dengan kekerasan fisik, tetapi ancaman-ancamannya berbisik di telinganya setiap malam—dingin, kejam, seperti pisau yang melayang di atas tenggorokannya, siap menebas kapan saja ia melakukan kesalahan.
Ia mengalihkan pandangannya ke arah kamar mandi. Pintu terbuka, dan dari dalamnya, sosok tinggi Felix muncul, kulitnya masih basah dengan sisa air yang menetes dari rambutnya.
Tanpa kata, lelaki itu melangkah mendekat, matanya menyipit tajam saat melihat ponsel di genggaman Emily.
Dalam sekejap, tangan Felix merampas ponsel itu dari jemarinya. Matanya menelusuri layar, dan senyum miring terukir di bibirnya saat membaca nama kontak yang baru saja berbicara dengan istrinya.
“Mama.” Felix menyebutnya dengan nada rendah, hampir terdengar mengejek.
Emily tersentak. Dengan cepat, ia merebut kembali ponselnya, lalu menempelkan ke telinganya untuk mengakhiri percakapan yang mendadak terasa seperti jebakan.
“Mama, aku mau mandi. Sudah dulu, ya. Bye, Mama,” ucapnya terburu-buru, lalu dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponselnya di atas nakas, menjauhkannya dari tatapan penuh selidik suaminya.
Felix menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya bersuara, suaranya dingin seperti hembusan angin malam yang membawa kematian.
“Jangan pernah mengatakan apa pun pada ibumu.”
Emily menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak mengatakan apa pun. Ibuku hanya menanyakan kabarku di sini.”
Felix terkekeh, sebuah tawa yang sama sekali tidak mengandung kebahagiaan. “Baru dua hari tinggal di sini dan ibumu sudah menanyakan kabarmu? Bagaimana jika kau tidak ada kabar selama satu bulan?”
Ia mendekat, menundukkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu wajah Emily yang pucat. “Mungkin ibumu mengira kau telah menjadi bangkai.”
Dunia Emily seakan berhenti berputar. Tenggorokannya tercekat, napasnya tersendat. Untuk sesaat, ia merasa seolah sedang berdiri di tepi jurang yang dalam, dan satu langkah kecil bisa menjatuhkannya ke dalam kegelapan abadi.
Felix… benar-benar bisa membunuhnya.
"Kapan kita akan pergi ke rumah keluargaku? Bahkan kita sudah pergi ke rumah orang tuamu," tanya Emily dengan nada penuh harap, suaranya seakan bergetar di udara, mengisi kekosongan antara dirinya dan Felix.
Felix menyipitkan matanya, sorotnya tajam bak pedang yang siap membelah harapan. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tak menyampaikan kehangatan, melainkan kehancuran.
"Dalam mimpimu," ucapnya dingin, suaranya mengalir seperti racun yang meresap ke dalam pembuluh darah Emily.
Jantung Emily berdegup tak menentu. "Kenapa begitu? Kau sendiri yang bilang kita bisa pergi ke sana," bisiknya, ketakutan menjalar di tulang-tulangnya, seperti embun beku yang menggigit kulit pada pagi buta.
Felix menggerakkan tubuhnya perlahan, mendekat hingga wangi sabunnya menyeruak ke dalam kesadaran Emily, mengaburkan batas antara ketakutan dan ketertarikan.
Jemarinya mencengkeram headboard tempat tidur dengan begitu erat, seolah ia adalah penguasa yang tengah memastikan wilayah kekuasaannya tetap tunduk di bawah kendalinya.
Cahaya lampu kamar yang remang memahat bayangan di tubuh atletisnya, menampilkan garis-garis otot yang menegaskan keberadaan kekuatan tak terbantahkan.
Emily menahan napas, dunia terasa mengecil, menyusut hanya menjadi ruang sempit yang diisi oleh dirinya dan Felix.
"Kau pikir aku akan menemanimu ke rumah orang tuamu atas keinginanmu?" Felix mengembuskan napas dekat telinga Emily, mengirimkan sensasi dingin yang berkelindan dengan bara ketakutan. "Tentu saja bukan."
Emily menelan ludah. Ada sesuatu yang berbahaya dalam kata-katanya, sesuatu yang lebih gelap dari sekadar penolakan.
"Kita akan pergi ke sana jika kakakmu telah pulang dan menampakkan diri setelah lari dariku," lanjutnya. "Aku tidak akan membawamu ke rumah orang tuamu sebelum itu terjadi."
Emily memejamkan mata, merasa dirinya kian terseret dalam pusaran yang diciptakan Felix—sebuah pusaran tanpa celah keluar.
Ia bukan lagi seorang gadis yang bebas. Ia adalah kupu-kupu yang terperangkap dalam jaring laba-laba beracun.
Felix kembali menatapnya, matanya seakan menyala dengan niat yang tak terbaca. "Satu lagi."
Emily merasakan hawa panas menjalar dari ujung jari hingga tengkuknya.
"Aku ingin kau segera hamil anakku."
Seperti petir yang menyambar dalam badai malam, kata-kata itu mengguncang Emily.
"Heuh? Hamil?" gumamnya, tubuhnya melemah seketika. "Ta—tapi … tapi, aku …."
Felix mencondongkan tubuhnya, membiarkan bayangannya menelan Emily dalam gelap. "Kau berani menolakku, huh?"
Emily menggeleng, lemah, tak berdaya seperti dedaunan yang diterpa angin kencang. "Tidak," ucapnya dengan suara serak nyaris tak terdengar.
Felix menyentuh dagunya, memaksanya menatap mata gelapnya yang menyimpan lebih dari sekadar keinginan. Ada dendam. Ada obsesi.
"Kalau begitu," katanya, suaranya seperti racun manis yang menetes perlahan, "Ikuti saja permainanku. Aku ingin balas dendam pada keluargamu dan juga kakak tirimu yang telah mempermainkanku."
Cahaya senja membias di jendela kaca besar kantor pusat Felix Corporation.Di dalam ruangannya yang luas dan kini terasa jauh lebih tenang, Felix berdiri memandangi kota Meksiko yang tengah sibuk menjelang malam. Di tangan kirinya tergenggam selembar laporan penahanan atas nama Marsha Estrella Germain.Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan udara masuk perlahan ke dalam paru-parunya. Semua terasa nyata—dan berakhir. Setelah berbulan-bulan permainan kotor dan manipulasi, akhirnya satu per satu kepingan masalah itu runtuh.Di sisi lain kota, Marsha baru saja dibawa menuju ruang tahanan wanita dengan wajah kusut dan rambut berantakan.Tuduhan atas pemalsuan identitas, pencemaran nama baik, serta keterlibatannya dalam konspirasi pemalsuan hasil DNA, kini resmi menjatuhkan vonis yang akan lama membelenggunya.Saat pintu sel tertutup di belakang punggungnya, Marsha terduduk di lantai. Ia memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah jeruji besi yang dingin. Tak ada lagi senyum licik, tak ad
Pagi yang biasanya penuh ketenangan di rumah besar keluarga Felix berubah menjadi hiruk-pikuk.Berita di layar televisi menampilkan laporan mendesak tentang proyek konstruksi milik Felix yang tiba-tiba dihentikan oleh pihak berwenang karena tuduhan pemalsuan dokumen legal dan ketidaksesuaian struktur bangunan.Emily yang tengah menyusui bayi mereka, Oliver, langsung menoleh pada Felix dengan wajah penuh tanya.“Ada apa ini, Lex?” tanyanya, suaranya serak karena cemas.Felix berdiri di tengah ruang keluarga, wajahnya tegang, jemarinya menggenggam ponsel erat.“Ini ulah Harland,” gumamnya lirih, namun penuh keyakinan.Emily berdiri perlahan, menggendong bayi mereka. “Dia belum selesai juga, ya?”Felix mengangguk, matanya penuh bara. “Dia tahu dia kalah dalam permainan sebelumnya. Sekarang dia mengincar reputasiku di mata publik.”Tak berselang lama, Axl masuk tergesa-gesa membawa se
Pagi itu, udara Meksiko berhembus sejuk ke halaman depan rumah Felix dan Emily. Burung-burung bernyanyi di kejauhan, dan aroma kopi segar memenuhi ruang makan tempat Emily duduk santai sambil memandangi halaman dari jendela kaca.Baru saja ia akan menyeruput minuman hangatnya, suara ketukan keras terdengar dari arah depan. Tak seperti biasanya—suara itu terdengar menantang, kasar, dan tidak sabar.Salah satu pelayan berlari masuk dan berkata pelan, “Nyonya... ada tamu di gerbang depan. Seorang wanita... menyebut namanya Marsha.”Emily meletakkan cangkir dengan tenang. Matanya menajam.Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu depan. Tak lama, pintu utama terbuka, dan sosok yang sudah sangat dikenalnya berdiri di sana dengan senyum mengejek di wajahnya.Marsha mengenakan gaun putih elegan yang terlalu mencolok untuk pagi hari. Di gendongannya, seorang anak laki-laki duduk tenang, tak tahu apa-apa tentang badai yang sedang bergulir di a
Hujan turun lembut membasahi atap kantor Felix malam itu. Di dalam ruang kerjanya yang gelap dan hening, Felix menatap jendela kaca besar dengan pandangan kosong.Sudah lima hari sejak hasil tes DNA pertama keluar—dan ia masih tidak bisa mempercayainya. Ada yang janggal. Ada yang tidak bisa ia terima begitu saja.Namun di balik semua itu, ada seseorang yang bekerja diam-diam: Noah.Tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Felix, Noah telah membawa sampel DNA yang sama ke laboratorium independen lain. Ia tahu, kakaknya tidak akan pernah bisa tenang bila tidak menemukan kebenaran sejati.Dan sore itu, hasilnya datang.Noah langsung menjemput berkasnya sendiri, mengamankannya seperti harta karun.Ia membuka amplop itu dengan tangan dingin, membaca isinya cepat namun teliti. Begitu selesai, ia menghela napas panjang—antara lega dan marah.Hasilnya negatif. Anak itu bukan darah daging Felix.Di tempat lain, di sebuah apartemen mewah yang disediakan Harland, Marsha duduk bersandar di sofa denga
Langit Meksiko tampak cerah pagi itu, tetapi hati Emily sebaliknya—gelap, suram, dan penuh keraguan. Ia duduk diam di ruang kerja rumah mereka, menatap amplop putih di atas meja. Di sana tertulis dengan huruf tebal:“Hasil Pemeriksaan DNA – Confidential.”Jantungnya berdetak keras. Tangan Emily gemetar saat membuka amplop itu, dan begitu matanya membaca isi laporan laboratorium, tubuhnya seketika kaku.“Kecocokan DNA antara subjek A (Felix Ricardo) dan subjek B (anak laki-laki bernama Mateo): 99,98%. Kemungkinan sebagai ayah biologis: Sangat Tinggi.”Emily menatap lembaran itu lama. Satu per satu kata seakan membakar matanya. Sangat tinggi. Kata-kata itu menghujam seperti paku ke dalam hatinya.Saat Felix pulang tak lama kemudian, ia langsung menghampiri Emily yang masih duduk terpaku.“Sudah datang?” tanyanya sambil menunjuk amplop yang digenggam Emily.Emily mengangguk pelan. “Kau ingin membacanya sendiri?” tanyanya tanpa intonasi.Felix mengambil lembaran itu, membacanya cepat, lal
Dunia bisnis tidak pernah tidur. Begitu pula dengan ancaman yang bersembunyi di balik senyuman formal dan jabat tangan hangat. Hari itu, ruang rapat Ricardo Corporation lebih sunyi dari biasanya.Felix duduk di ujung meja besar berlapis kaca hitam, matanya menatap dokumen pembatalan kerja sama dari dua perusahaan Eropa yang selama ini menjadi klien utama.Felix mengernyit, lalu meletakkan kertas itu di atas meja dengan suara pelan namun tegas. “Ini yang kedua minggu ini,” gumamnya pelan.Noah, yang duduk di sebelahnya, menatap Felix dengan wajah tegang. “Kita dapat kabar bahwa beberapa mitra merasa reputasimu mulai dipertanyakan, Lex. Rumor di luar... menyebar cepat.”Felix mengangkat wajahnya, rahangnya mengeras. “Mereka bilang apa?” tanyanya ingin tahu.Noah menunduk sesaat sebelum berkata, “Bahwa kau telah menelantarkan anakmu, darah dagingmu sendiri. Bahwa kau tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah kau lakukan pada Marsha.”Brak!Felix menghantam meja itu dengan keras. Ia k