MasukPagi itu Ewi sungguh merasa antusias. Ia sudah tak sabar untuk menyambangi tempat usaha milik perempuan yang menjadi pasangan mantan suaminya ini. Sudah banyak sekali kata-kata dan kalimat yang terlintas di kepalanya, untuk membuat perempuan itu mundur dari hidup ayah anaknya itu. Ia sudah bertekad akan menjadikan kembali Kafka menjadi suaminya. Bukan karena ia sangat mencintai lelaki itu, tetapi karena keadaan ekonomi Kafka sudah kembali seperti semula dan sekaligus, karena Kafka adalah ayah dari anaknya.Ia menitipkan anaknya kepada Ibunya. Dengan penuh keyakinan, ia melangkah keluar rumahnya, memesan kendaraan online. Sepanjang perjalanan ia mereka-reka adegan yang akan terjadi. Bagaimana nanti Nazwa akan menerima semua kata-katanya dan bersedia mundur dengan membatalkan pernikahannya dengan Kafka. Ewi tersenyum sangat sumringah dan ia merasakan kehangatan dalam dadanya merasakan euphoria kemenangan yang akan ia alami.Mobil yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah bangunan yan
Kafka sedikit terpana dengan pengakuan Rafi. Tak disangka ia akan mendengar pernyataan tersebut dari mulut Rafi. Pun begitu dengan Nazwa. Mereka betul-betul tak menyangka, terlebih Rafi berbicara seperti itu di depan Bapak dan Ibu. Sesuatu yang sangat sulit diungkapkan untuk seorang lelaki. Berkaitan dengan ego dan harga diri tentunya.Rafi tersenyum melihat ekspresi orang-orang yang berada di sekitarnya saat ini. Ia paham dan sangat mengerti mengapa mereka seperti itu. Karena sejujurnya ia sendiri tak mengerti mengapa begitu mudah mengeluarkan isi hatinya saat ini. Ia bukan tipe orang yang mudah mengekspresikan perasaannya. Itu sebabnya mereka bahkan dirinya sendiri pun pasti merasa kebingungan.“Yah … Begitulah. Saya betul-betul menyesali apa telah saya lakukan terhadap Nazwa dan anak-anak. Tapi saya percaya, ini adalah tulisan tangan Tuhan. Takdir kehidupan yang harus saya jalani.” Kali ini Rafi mengucapkannya dengan gamblang dan tegas.“Nak Rafi benar. Kita tak pernah tahu takdir
Nazwa menatap Ibu gamang. Ia mengutuk dirinya dalam hati yang bisa begitu saja membicarakan hal yang sudah disepakati untuk tidak diberitahukan dulu kepada Bapak dan Ibu sampai jelas permasalahannya.“Nazwa …,” Ibu menyebut nama anak perempuannya halus.Nazwa menghembuskan napasnya. Rasanya tak bisa lagi untuk berkelit. Ia nyaris saja berbicara saat terdengar suara handphone-nya berdering. Nazwa mengisyaratkan matanya kalau ia akan menerima panggilan itu dan tidak melanjutkan bicaranya. Ibu menganggukkan kepalanya, paham akan isyarat itu.“Iya Kaf,” Nazwa menjawab panggilan itu dengan antusias. Setelahnya ia menyimak apa yang Kafka katakan dari seberang.Ibu pun ikut menyimak dengan memperhatikan ekspresi wajah Nazwa yang berubah-ubah dengan cepat.“Baiklah. Iya, akan kusampaikan pada Bapak dan Ibu. Iya, hati-hati ya.” Nazwa menutup pembicaraan mereka.“Bagaimana?” Ibu langsung mengajukan pertanyaan. Rupanya ibu begitu penasaran.Nazwa tersenyum. “Alhamdulillah, Bu. Kafka bilang semua
Rafi bisa melihat senyum lega dari Kafka setelah mendengar hasil dari penyelidikannya. Ia juga merasakan hal yang sama sebelumnya. Entah bagaimana, ia sekarang merasa sangat sepaham dengan Kafka. Ia merasakan seperti mempunyai saudara laki-laki. Dalam hatinya ia tertawa geli karena ia tak pernah menyangka hubungannya dengan Kafka bisa sedekat ini. Padahal dulu ia menganggap Kafka adalah saingannya dalam merebut hati Nazwa. Nyatanya sekarang berlawanan. Alur hidup memang tak pernah bisa ditebak.Memang benar, tak hanya bibir Kafka yang tersenyum. Hati sampai matanya pun turut tersenyum. Rasa lapang dan bahagia memenuhi hatinya. Ia menatap mata Rafi lekat. Beribu rasa terpancar di sana. Sepertinya, rasa terima kasih tak cukup untuk berita ini.“Aku tahu apa yang kamu mau ucapkan. Sudahlah!” Tangan Rafi mengibas di depan wajah Kafka. Ia tersenyum merekah.“Maksudmu?” kerut kening Kafka.“Kamu mau ucapkan terima kasih padaku kan?” kerling Rafi.Kafka tergelak melihat tingkah Rafi. Laki-la
“Iya, Naz. Aku baru sampai di Jakarta. Aku mau bertemu Rafi dahulu. Dia bilang sudah mendapatkan hasil dari laporan kesehatan Nayla.” Kafka memberi kabar tentang dirinya pada Nazwa begitu menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno Hatta.“Syukurlah,” terdengar hela napas lega Nazwa. “Dimana kalian mau bertemu?”“Rafi belum menentukan tempatnya. Aku sedang menunggu kabar dari Rafi.”“Kaf, aku … aku cemas akan hasilnya. Tapi aku sungguh penasaran.”“Tenanglah, Naz. Semua akan baik-baik saja.”“Tapi, bagaimana jika benar Nayla …,”“Nazwa Rengganis … Kamu percaya aku kan? Apapun hasilnya, aku tidak akan meninggalkan kamu. Rencana pernikahan kita akan tetap berjalan.”“Tapi keinginan Nayla …,”“Aku belum berbicara dengan Nayla langsung dan semuanya kita bisa bicarakan, Naz. Kamu tenang ya.”“Entahlah, Kaf. Aku …,”“Naz, aku butuh keyakinanmu, sayang. Please, jangan lagi menyerah dan berpikir semuanya kan terhenti di sini. Ingat Naz, ada Allah! Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku, jadi berpiki
“Bagaimana pertemuan kamu dengan Kafka, Naz?” Bapak bertanya setelah makan malam mereka selesai dan saat ini berkumpul di ruang keluarga.Nazwa yang sedang mengelus kepala Hanif yang bersandar di dadanya, menghentikan gerakannya. “Kafka … setuju untuk melanjutkan pernikahan kami, Pak. Tapi saat ini dia belum bisa kembali ke Jakarta karena baru saja alih jabatan dengan pejabat sebelumnya. Kafka menitip salam untuk Bapak dan Ibu. Dia bilang akan secepatnya mengatur waktu untuk datang ke sini dan membicarakan kelanjutan rencana pernikahan kami,” jawab Nazwa.Ia sengaja tidak memberitahu kejadian yang sebenarnya karena takut Bapak dan Ibu justru kembali tidak menyetujui pernikahan mereka. Nazwa tahu benar jika kali ini ia berspekulasi dengan kenyataan yang ada, tetapi bukankah di setiap ketidakmungkinan selalu ada kemungkinan itu sendiri. jadi, ia memilih untuk melihat kemungkinan yang ada.“Jadi, Om Kafka akan jadi ayah aku juga, Bun?” tanya Hanif.Nazwa tersenyum seraya menganggukkan ke







