Beranda / Romansa / Hati yang Kau Sakiti / Bab 4 : Penyesalan Maria

Share

Bab 4 : Penyesalan Maria

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-23 15:20:52

Kiran berhenti di depan Arka, sambil mengangkat balok itu sedikit, dan menatap Arka dengan intens. “Kamu bilang tagihan-tagihan itu yang membuatmu pusing, kan? Aku akan membuat semuanya lebih mudah untukmu. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun lagi.”

Arka mundur satu langkah, matanya melebar ketakutan saat melihat Kiran sudah mengangkat balok itu ke arahnya. “Kiran, tenang. Tidak perlu sampai seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik.”

Kiran tak mendengarkan perkataan Arka, ia tetap mengangkat balok tersebut, dan melayangkannya ke arah Arka. Arka segera menghindar sambil memejamkan matanya, lelaki itu terlihat begitu takut.

Crashh!

Namun, ternyata Kiran memukul mobil suaminya. Suara kaca yang pecah menggema di malam yang dingin. Kiran meluapkan semua rasa sakit hatinya dengan terus memukul mobil Arka.

“Kiran!” Arka berteriak, ia terkejut dan panik ketika Kiran merusak mobil barunya. “Hentikan, apa yang kamu lakukan!”

Kiran tidak menggubris teriakan suaminya, ia terus memukul mobil Arka menggunakan balok yang ada di tangannya, sampai kaca mobil Arka sudah retak bahkan sudah hancur.

Tangan Kiran sudah mengeluarkan darah segar. Tanpa ia sadari, kedua tangannya tergores paku yang menancap pada balok tersebut, tetapi Kiran tak menyadari atau mungkin tidak peduli dengan lukanya. Luka pada hatinya begitu menyakitkan sehingga luka pada tangannya itu terasa sepele.

Arka mencoba mendekat, ia memeluk istrinya dari belakang untuk menghentikan amukannya. “Kiran, hentikan! Kamu akan melukai dirimu sendiri!”

“Lepasin, Mas, lepasin aku. Kamu pikir ini akan membuatku merasa lebih baik? Tidak, Arka!” jerit Kiran, sambil terus mencoba melepaskan diri dari dekapan Arka.

“Kiran, hentikan!” Arka yang begitu panik karena Kiran tak bisa diam, tiba-tiba ia melayangkan tangannya ke wajah Kiran.

Plak!

Tubuh Kiran tertoleh ke samping, air matanya kembali luruh bersamaan dengan rasa sakit hatinya yang bertambah.

Kiran mengusap pipi bekas tamparan Arka dengan kasar, ia lalu menatap suaminya penuh kebencian. Ini adalah kali pertamanya Arka menampar dirinya dan rasa sakit itu menembus hingga ke lubuk hatinya yang terdalam. “Kamu sudah berani menampar aku, Mas.”

Tangan Arka bergetar ketika ia menyadari kesalahan karena telah menampar istrinya. “Kiran, maaf. Aku tidak sengaja.”

“Kata maafmu sudah basi, Mas,” ujar Kiran dengan suara bergetar. “Aku ingin kita bercerai.”

Deg!

Jantung Arka berhenti berdetak, ia menggelengkan kepalanya ketika mendengar beberapa kata yang keluar dari mulut istrinya. “Tidak, Kiran. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Aku masih sangat mencintaimu, Kiran.”

“Cinta? Haa … kamu bilang kamu masih mencintaiku? Makan tuh cinta!” hardik Kiran sambil melempar balok ke arah Arka.

Arka menghindari lemparan balok tersebut, lelaki itu mencoba meraih lengan Kiran, tapi Kiran segera menepisnya. “Jangan sentuh aku! Aku jijik disentuh sama lelaki seperti kamu. Mulai sekarang, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!”

Setelah berkata seperti itu, Kiran langsung berbalik dan pergi meninggalkan Arka yang masih mematung.

“Kiran …!” Arka berteriak memanggil istrinya yang sudah berlalu dari hadapannya, tapi wanita itu tak mendengarkannya.

Kiran berjalan menuju mobil. Tangannya yang terluka tanpa disadari terus meneteskan darah segar, meninggalkan jejak merah di sepanjang jalan. Sesampainya di mobil, ia membuka pintu dengan kasar dan masuk ke dalam. Wanita itu mencengkeram setir mobil dengan erat, tak peduli seberapa banyak darah segar yang terus mengalir dari tangannya.

“Aarghh …!”

Bugh!

Kiran berteriak sambil memukul setir mobil, meluapkan semua rasa sakit dan kemarahannya. Ia tidak peduli dengan luka fisik yang ia alami, karena luka di hatinya jauh lebih menyakitkan.

***

Ting! Tong! Ting! Tong!

“Iya, sebentar.”

Maria segera bergegas menuju pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Tangannya terulur meraih gagang pintu, dan saat pintu terbuka tanpa bunyi, ia terkesiap ketika melihat Kiran, menantunya, berdiri di depan pintu dengan penampilan yang acak-acakan.

“Kiran, kamu kenapa, Sayang?” Sepasang mata Maria langsung melihat ke arah darah yang menetes di lantai yang berasal dari tangan Kiran. “Ya Tuhan, tangan kamu berdarah! Masuklah, mama akan obati lukamu.”

Kiran hanya terdiam, tatapannya kosong dan air mata terus mengalir di pipinya. Maria segera membimbingnya masuk ke dalam rumah dan menuntunnya ke sofa. “Duduklah di sini, mama akan ambilkan kotak P3K,” kata Maria yang sudah begitu cemas.

Beberapa saat kemudian, Maria telah kembali dengan membawa kotak P3K di tangannya, ia segera duduk di samping Kiran, dan mulai mengobati luka tersebut. “Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa tanganmu bisa terluka seperti ini? Apa kamu bertengkar lagi dengan Arka?”

Kiran menatap Maria dengan mata yang berkaca-kaca. “Mas Arka, Ma ... dia sudah berselingkuh,” katanya dengan suara bergetar. “Dia sudah memiliki anak dengan perempuan lain.”

Deg!

Pengakuan Kiran jelas membuat Maria terkejut. Ia tak pernah menyangka bila putranya, Arka, telah mengkhianati Kiran. “Apa? Apa kamu yakin, Kiran?”

Kiran hanya mengangguk, ia sudah tak mampu untuk mengeluarkan suara lagi, hanya air mata yang berbicara. Hatinya hancur berkeping-keping, seolah dunianya telah berakhir.

Beberapa saat kemudian, suara derap langkah kaki terdengar mendekat. Arka yang sedari tadi membuntuti ke mana Kiran pergi akhirnya tiba di rumah ibunya. Dia hanya khawatir Kiran akan melakukan sesuatu yang di luar kendalinya.

“Kiran.” seru Arka dari ambang pintu, lelaki itu melihat istrinya yang tengah duduk bersama ibunya.

Maria langsung berdiri ketika ia melihat Arka yang sudah berada di hadapannya. “Arka, jelaskan sama mama, apa yang dibilang Kiran itu benar?”

Arka terdiam, ia menundukkan pandangannya, rasa bersalah kini sudah menggerogoti hatinya. Pikiran dan hatinya kacau balau, tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki kesalahan yang sudah terlanjur diperbuatnya.

“Arka, ayo jawab mama! Kenapa kamu hanya diam?” desak Maria dengan suara bergetar antara marah dan sedih.

“Maaf, Ma ...” Arka akhirnya membuka mulut, suaranya hampir seperti berbisik. Napasnya terasa begitu berat untuk dihela. “Semua itu memang benar.”

Maria merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Tanpa bisa menahan amarah dan rasa kecewanya, Maria langsung melayangkan tangannya, menampar wajah Arka dengan keras.

Plak!

“Bagaimana bisa kamu melakukan ini, Arka?” hardik Maria sambil menatap putranya dengan tajam. “Apa kamu tidak memikirkan perasaan Kiran? Bagaimana bisa kamu mengkhianati dia?!”

Arka hanya bisa menunduk, menahan rasa sakit di pipinya yang masih terasa panas. “Ma, aku tahu aku salah. Aku benar-benar menyesal.”

“Menyesal?!” Maria hampir berteriak. “Kamu pikir kata-kata maaf dan penyesalanmu bisa memperbaiki semua ini? Kiran telah memberikan segalanya untukmu, dan inilah cara kamu membalasnya? Apa kamu tidak punya hati?!”

Maria mengingat selama ini menantunya, Kiran, selalu ada untuk anaknya, Arka. Bahkan ketika Arka berada di bawah, saat masa-masa sulit yang hampir membuatnya menyerah, Kiran selalu ada, memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat. Kiran membantu Arka melewati masa-masa sulit, menopang beban bersama, dan tidak pernah mengeluh. Tapi sekarang, mengetahui bahwa anaknya telah mengkhianati wanita sebaik dan setulus Kiran, membuat Maria merasa sangat marah dan kecewa. Ia tidak pernah membayangkan Arka bisa begitu kejam dan tidak berperasaan.

Tubuh Maria begitu lemas, kakinya terasa rapuh seperti tak bertulang. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di bibir sofa, wajahnya terlihat begitu letih dan penuh penyesalan. Air mata mengalir tanpa henti dari matanya yang sudah merah. “Kenapa bisa begini, Tuhan? Aku menyesal telah membesarkan anak seperti Arka. Anak yang selama ini kukira baik dan bertanggung jawab ternyata bisa melakukan hal sekejam ini.”

Arka hanya tertunduk lesu mendengar perkataan ibunya. Suasana di rumah itu begitu hening, hanya terdengar suara isak tangis dari Kiran dan desahan napas berat dari Maria.

Tiba-tiba, pintu depan terbuka, seorang pria tampan dengan setelan jas hitam masuk ke dalam rumah. Pria itu adalah Arga Satya Wirasena, anak pertama Maria dan almarhum suaminya, Wirasena, yang baru saja pulang kerja setelah lembur di kantor.

Arga memasuki rumahnya, tapi tiba-tiba berhenti ketika melihat keluarganya dalam keadaan kacau. “Ada apa ini? Ma, kenapa Mama menangis?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Bagus hancurkan mobilnya biar gak banyak tagihan lagi
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
untung mama mertua gk jht sm mantu
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
arkan munafik cinta tapi selingkuh dgn jalanya jijik buang kiran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 125 : Happy Wedding (Tamat)

    Clarissa berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang begitu mempesona. Ia mengenakan gaun putih yang elegan, berpotongan simple dengan renda-renda halus yang menghiasi bagian bawah gaun. Rambutnya digelung ke belakang dengan rapi, dihiasi dengan jepit mutiara kecil. Penampilannya pun begitu sangat menawan. Hari ini adalah hari istimewa bagi Clarissa, karena orang tuanya akan menikah. Rasa bahagia tak bisa disembunyikan dari matanya yang berbinar. Ia berputar sedikit di depan cermin, mencoba melihat penampilannya dari segala sisi. "Aku cantik tidak?" tanyanya, sambil tersenyum lebar. Noah dan Cleo yang berada di belakangnya segera mengangguk. "Cantik sekali! Kamu kelihatan seperti bidadari yang sering aku lihat di TV," puji Cleo begitu kagum. "Terima kasih, Cleo," balas Clarissa sambil tertawa kecil. Noah dan Cleo juga tampil tak kalah menarik. Mereka mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih, lengkap dengan dasi kupu-kupu yang terikat rapi di leher mereka. Cleo me

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 124 : Rencana Clarissa

    Setibanya di kamar, ketiga anak itu duduk di sofa dengan ekspresi bingung. Clarissa menghela napas pelan dan berkata, "Sepertinya Mommy dan Daddy terus saja bertengkar." Cleo mengangguk setuju, lalu bertanya, "Terus, kita harus ngapain?" Clarissa mengangkat bahu dengan polos. "Aku juga nggak tahu." Tiba-tiba, Noah tersenyum. "Gimana kalau kita buat Papa dan Mama baikan lagi?" usulnya. "Gimana caranya?" tanya Cleo bingung. Clarissa menggaruk kepalanya, seolah berpikir keras. "Ayo kita berpikir dulu." Mereka bertiga pun langsung terdiam, memutar otak mencari cara terbaik untuk menyatukan Kiran dan Arga. Setelah beberapa saat, wajah Clarissa tiba-tiba tersenyum lebar. "Aha! Aku punya ide!" "Apa?" tanya Noah dan Cleo serempak. Kedua lelaki itu pun langsung melihat ke arah Clarissa yang ada di tengah-tengah mereka. Clarissa langsung merangkul Noah dan Cleo. "Sini, aku bisikin," katanya sambil berbisik di telinga mereka. Setelah mendengar rencana Clarissa, Noah dan Cleo

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 123 : Pertengkaran Kiran & Arga

    Kiran menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Cleo yang masih menangis. Dengan lembut, ia menghapus air mata anak kecil itu. "Sayang, Mama sedang sakit. Kita doakan saja biar Mama cepat sembuh, ya. Supaya nanti Mama bisa berkumpul lagi dengan kita." Cleo mengangguk kecil sambil sesegukan. "Iya, Tante. Cleo selalu doain Mama pas salat, biar Mama bisa cepat sembuh." Kiran tersenyum dan mengelus kepala Cleo dengan gemas. "Anak pintar. Sudah, jangan nangis lagi, ya. Tante tahu kamu anak yang kuat." Cleo menatap Kiran dengan wajah yang masih terlihat sedih. "Tante, aku mau pulang ke rumah. Papa sudah jarang sekali tinggal di rumah. Aku rindu." Kiran tertegun mendengar permintaan Cleo. Ia tahu bahwa selama ini Arka memang lebih sering tinggal di rumah almarhum orang tuanya, jarang pulang ke rumahnya sendiri. Bahkan, Cleo sering merasa kesepian karena rumah itu hanya menyisakan kenangan masa lalu. "Baiklah, kalau begitu, kita akan pulang ke rumah," jawab Kiran sambil tersen

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 122 : Menemui Lita

    Kiran melihat Cleo berdiri sendirian di balkon apartemen, bocah kecil itu tampak termenung, tatapannya juga terlihat kosong. Ia mulai berjalan ke arah Cleo. "Cleo." Cleo terkesiap mendengar suara Kiran. Ia segera menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya, lalu menoleh ke arah Kiran yang kini berdiri di sampingnya. "Tante …," sahut Cleo pelan. "Kamu sedang apa sendirian di sini? Kenapa tidak main sama Noah dan Clarissa?" Kiran bertanya sambil tersenyum tipis. Cleo menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Aku hanya sedang sedih." "Sedih?" Kiran berjongkok agar bisa sejajar dengan Cleo. "Kenapa, Sayang?" Cleo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Tante. Aku sedih … sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi. Papa udah gak ada. Nenek udah pulang ke kampung, dan Mama masih di rumah sakit." Kiran merasakan hatinya pilu mendengar kata-kata itu. Bi Sri, neneknya Cleo sekaligus orang yang bekerja di rumah Maria, juga sudah kembali ke kampung halaman karena usianya yang suda

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 121 : Kehilangan

    Air mata Kiran jatuh menggelinding meninggalkan jejak di wajahnya, mengalir begitu saja tanpa permisi. Lututnya terjun bebas mendarat di tanah, dadanya terasa sesak, terasa perih seperti ditusuk ribuan jarum. "Kenapa … kenapa harus kamu?" Hiks! James menghampiri Kiran, lalu meletakkan tangannya di bahu putrinya, memberikan sedikit kekuatan di tengah kesedihannya. Ia tahu, putrinya pasti akan terpuruk melihat seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya kini telah berpulang. "Arka ingin memberikan kesempatan kedua untukmu, Kiran. Dia ingin kamu tetap bisa melihat dunia," ujar James dengan suara yang terdengar berat. "Tapi kenapa Arka … kenapa dia melakukan ini, Pa?" Suara Kiran begitu serak, matanya masih tertuju pada nisan Arka. James menarik napas panjang sebelum menjawab, "Selama ini, Arka memiliki penyakit jantung. Dokter sudah lama memberitahunya bahwa kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Ia mencoba bertahan sekuat tenaga. Tapi pada akhirnya, ia tahu waktunya tidak

  • Hati yang Kau Sakiti   Bab 120 : Batu Nisan

    Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Kiran dan keluarganya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya dokter akan melepas perban di mata Kiran. Mereka semua menanti hasil dari operasi transplantasi yang menentukan penglihatan Kiran kembali. Dokter masuk sambil tersenyum ramah. "Baiklah, Kiran. Kita akan mulai melepas perbanmu sekarang. Cobalah untuk rileks, ya." Kiran mengangguk. Akan tetapi tubuhnya sudah bergetar, ia takut bila semuanya akan sia-sia, tapi ia juga berharap bila penglihatannya kembali normal lagi. Clarissa yang berdiri di samping tempat tidur, menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sementara James dan Kinanti berdiri di belakang mereka, wajah mereka begitu gelisah, hanya berharap bila semuanya akan baik-baik saja, dan putrinya kembali bisa melihat. Perban perlahan dilepas, lapis demi lapis, hingga akhirnya dokter berhenti dan menatap Kiran serius. "Coba perlahan buka matamu, Kiran. Jangan khawatir, cahaya mungkin akan terasa sedikit menyilaukan di awal.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status