Beranda / Romansa / Hati yang Tak Pernah Siap / di Bawah Hujan yang Tak Pernah Selesai

Share

di Bawah Hujan yang Tak Pernah Selesai

Penulis: Faelelfa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 12:44:09

Gerimis turun sejak sore, seperti langit yang ikut bersedih. Awan menggantung kelabu di atas kota, menahan hujan deras yang mungkin akan jatuh kapan saja.

Taman kecil di samping stasiun itu sepi. Hanya ada bangku kayu tua dan deretan lampu taman yang menyala redup.

Zea berdiri di sana, dengan tangan gemetar menggenggam payung. Tubuhnya nyaris tak terasa dingin karena hatinya jauh lebih beku.

Nafasnya pendek, dadanya berat. Setiap detik terasa panjang... sampai akhirnya ia melihat sosok yang sangat dikenalnya itu muncul di antara kabut gerimis.

Rayyan.

Ia datang seperti dulu dengan langkah cepat, pandangan fokus, dan wajah yang membawa ketenangan dan badai sekaligus. Tapi kali ini, ada luka di sorot matanya. Luka yang tidak ia sembunyikan.

“Zea,” katanya, begitu dekat. Satu kata itu saja sudah membuat dunia Zea bergetar.

Zea menatapnya. Butuh waktu untuk sekadar membuka mulut.

“Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana.”

Rayyan tersenyum pahit. “Kalau begitu biar aku yang mulai.” Ia
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hati yang Tak Pernah Siap   di Antara Lampu dan Senyum yang Tak Biasa

    Akhir pekan, Jakarta diguyur hujan ringan. Jalanan ramai, tetapi pusat perbelanjaan tetap dipenuhi pengunjung yang lalu-lalang dengan payung dan belanjaan.Adrian berjalan tenang di samping Zea, mengenakan kemeja hitam dan coat gelap. Sedangkan Zea melangkah sedikit di belakangnya, menatap etalase toko dengan mata berbinar.Ini bukan kencan. Hanya kunjungan dadakan setelah pertemuan bisnis Adrian dibatalkan.Namun, suasana tak lagi sekeras seperti biasanya.“Lihat ini lucu banget!” seru Zea sambil menunjuk boneka alpaka besar berwarna pastel di salah satu toko.Adrian menoleh sekilas, mengangkat alis. “Itu untuk anak-anak.”Zea mendongak, lalu tersenyum geli. “Memangnya aku bukan anak-anak?”Adrian menatapnya dalam-dalam. Entah sejak kapan, nada suara Zea berubah lebih ringan, lebih hidup.Zea memasuki toko tanpa menunggu persetujuan. Ia mengambil boneka itu, memeluknya, lalu memutar tubuh kecilnya ke arah Adrian.“Coba lihat! Dia mirip kamu waktu cemberut!” katanya, tertawa kecil.Ad

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Dalam Diam yang Membeku

    Langit Jakarta siang itu terik, tapi suasana di dalam mobil yang melaju menuju kantor terasa dingin dan penuh tekanan. Zea duduk di kursi penumpang, mengenakan kemeja putih polos dan rok panjang warna krem. Penampilannya rapi, tapi raut wajahnya menyimpan gugup yang tak bisa disembunyikan. Di sisi kemudi, Adrian tampak tenang. Tangannya mantap menggenggam setir, matanya fokus pada jalan, seolah Zea yang duduk di sebelahnya hanya penumpang tak penting. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan. Hanya suara pelan dari radio mobil yang mengalunkan instrumental piano, dan detak waktu yang terasa lebih lambat dari biasanya. Setibanya di basement kantor, Adrian memarkir mobil lalu keluar tanpa menunggu Zea. Ia membuka pintu lobi dengan kartu aksesnya dan berjalan cepat menuju lift. Zea mengejarnya dengan langkah sedikit ragu. Di dalam lift, hanya mereka berdua. Zea melirik pria itu yang berdiri dengan postur kaku, mata menatap angka-angka di atas pintu lift yang terus berganti. Suasa

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Luka yang Tak Lagi Dibungkam

    Langit pagi di Jakarta tampak kelabu. Gerimis sisa hujan semalam masih membasahi dedaunan dan jalanan di bawah sana, sementara udara lembap dan dingin merambat masuk lewat celah-celah jendela balkon kamar tamu. Zea duduk di kursi rotan tua, menyelimutkan tubuhnya dengan sweater abu-abu yang agak kebesaran. Celana tidur panjang yang ia kenakan masih kusut, belum sempat diganti sejak semalam. Di tangannya, cangkir teh melati mengepulkan uap, tapi aromanya sudah tak lagi segar. Teh itu lebih sering dibiarkan menggigil bersama pikirannya daripada disesap. Tatapan matanya kosong. Kelopak matanya membengkak, menyisakan sembap yang masih membekas dari tangis semalaman. Ia memandangi jalanan di bawah sana, mobil-mobil yang melaju pelan di atas aspal basah, dan sesekali suara klakson yang terdengar jauh. Tapi pikirannya masih tertinggal pada malam sebelumnya. "Seorang wanita yang mencintai hanya dengan hati tanpa pikirannya adalah wanita bodoh." Kalimat itu masih mengendap, menusuknya per

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Sunyi yang Dikabarkan Tumbuh

    Sejak malam itu malam saat suara tangis dan teriakan mengguncang dinding rumah suasana di antara Zea dan Adrian berubah drastis.Tak ada lagi percakapan hangat, bahkan basa-basi pun lenyap. Hanya rutinitas yang berulang dengan keheningan membatu. Seperti dua orang asing yang tinggal di atap yang sama, tapi hati mereka terpisah sejauh benua.Zea bangun pagi lebih dulu, menyiapkan sarapan tanpa menoleh. Setiap gerakannya terukur, tanpa suara, tanpa ekspresi.Ia menyendok nasi ke piring Adrian, menyeduh kopi hitam seperti biasanya, lalu meninggalkan dapur tanpa menunggu suaminya datang.Adrian akan masuk beberapa menit setelah itu. Ia tahu Zea sudah menyiapkan semuanya. Tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Tak ada ucapan terima kasih, apalagi selamat pagi.Mereka duduk di meja makan yang sama. Tapi tak saling menatap.Ponsel Zea selalu diam. Tak ada pesan dari Rayyan. Dan justru dalam diam itu, harapannya mulai menyusut sedikit demi sedikit, namun ia tetap membungkusnya dengan d

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Malam yang Tidak Menenangkan

    Tangannya yang hendak mematikan lampu meja terhenti di udara. Lampu itu tetap menyala, mengukir bayangan samar di dinding kamar yang hening. Wajahnya tetap datar. Tidak ada kemarahan. Tidak juga kesedihan. Tapi di dalam dadanya, kata-kata Zea menggema dan menikam pelan. “Dia akan datang… Dia akan membawaku pergi!” Adrian menatap bayangan dirinya di cermin yang tergantung di dinding seberang tempat tidur. Wajahnya sendiri menatap balik dingin, tenang, tapi kini entah mengapa wajah itu tampak lelah. “Dia masih menunggunya,” gumamnya pelan, nyaris seperti desahan napas. Ia mengalihkan pandangan. Langit malam sudah menghitam sempurna. Lampu taman dari luar memantul ke dinding kamar, melemparkan bayang-bayang panjang. Tangisan itu kembali terdengar. Isak Zea menjadi pelan, tertahan. Terdengar dari arah ruang tamu. Tangisan yang seperti sedang menyembunyikan ribuan sesal dan rindu yang tak semestinya masih ia miliki. Adrian mendengarkan dalam diam. “Kalau dia memang mau pergi, ken

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Masih Berharap?

    Sejak kembali ke Jakarta seharusnya menghadirkan rasa familiar. Tapi bagi Zea, kota ini kini hanya menyimpan suara-suara hampa dari masa lalu yang belum selesai. Gedung-gedung tinggi, jalanan padat, dan lampu kota yang menyala hingga larut malam semuanya terasa berbeda sejak Rayyan tak lagi menjadi bagian dari harinya. Sudah hampir dua minggu sejak kepulangannya dari Bandung. Dan masih… Tak ada kabar. Tak ada pesan. Tak ada tanda kehadiran, terakhir kali ia mendapatkan pesan dari Rayyan yang meminta uang darinya. Setiap pagi, Zea bangun lebih awal dari Adrian. Ia berjalan ke jendela, menatap ke bawah, seolah berharap Rayyan berdiri di sana. Menatapnya. Membuang semua logika dan datang hanya untuknya. Tapi yang ada hanya jalanan basah oleh embun, dan suara motor yang berlalu begitu saja. Kadang, ia membuka ponselnya tanpa alasan. Membuka galeri. Membuka pesan lama yang tak pernah dihapus. Ia mengingat-ingat, apakah Rayyan benar-benar hanya memanfaatkannya? Apakah Rayyan akan pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status