[Heh! Perempuan Maruk! Kamu itu jangan serakah! Itu ada hakku disana. Kembalikan!!]Wow! Amazing sekali wanita ini. Dari perkataan dan kalimat yang dia ketik, terlihat kalau Raisa ini seperti orang yang tak berpendidikan. Aku malas meladeni.[Surat-surat Mobil Mas Gunawan juga sama kamu, kan? Dasar pelakor ga tau diri. Udah ngerebut suami orang, sekarang hartanya kamu rampas juga.]Pesan kedua kembali masuk. Hatiku mulai panas. Namun, aku terus beristighfar. Tanpa menunggu pesan berikutnya, nomor Raisa pun aku blokir. Walau aku yakin, dia pasti akan meneror dengan nomor lain. Ini sudah dua kali aku ganti nomor untuk menghindari mereka. Aku malas ribut.[Hai Bestie, kita ngumpul bareng yuk, udah lama kayaknya ga jalan-jalan.] Ketik Dea di grup rempong.[Hayuuk!aku ngikut aja.] sahut Nabila.[Hu'um aku juga ngikut, bosen dirumah terus, ngurus kasur, sumur, dapur.] Balas Anggi dengan menyematkan emoticon tertawa.[Eh, kalian kan emang istri-istri Soleha, Jangan ngeluh kalau di rumah kerj
Apa yang dikatakan Tante Irma membuatku tidak tenang. Meski Mama sebentar lagi bukan Mertuaku lagi, tapi aku tetap menyayanginya. Apa yang harus aku lakukan? Menurut Tante Irma, Raisa sering menolak Tante untuk mengunjungi Mama, berdalih Mama lagi istirahat ."Kenapa Tante tidak marahin dia? Tante kan adiknya Mama." aku gregetan mendengar cerita Tante Irma."Ada Gunawan, Al. Gunawan lebih mendengarkan kata perempuan itu. Pantas Mbak Tety ga pernah menyetujui pernikahan mereka, perempuan itu licik." Nah, kan benar firasatku.Aku sendiri bingung apa yang harus dilakukan. Dengan Tante Irma saja dia berani, apalagi aku, yang bahkan dengan santai dianggap pelakor olehnya."Bagaimana kalau kita pasang cctv secara diam-diam, Tante?" usulku."Caranya? Dia kan selalu dirumah, Al? Pintu selalu terkunci, bahkan sering dia tak menjawab panggilan Tante." ujar Tante frustasi.Ya Allah, sampai segitunya. Aku meremas jariku, gregetan sekali."Nanti Alina pikirkan dulu caranya ya, Tan.""Alina, Tante
"Pergi sana! Pelakor!" Mulutnya terus mengeluarkan kata-kata kotor.Aku terus mendorong hingga tiba-tiba tak sengaja Raisa terbanting ke belakang.Bugh!perempuan itu meringgis."Ingat, ya! Aku juga punya hak yang sama disini, sampai kami sah bercerai!" Aku menunjuk tajam ke arah wanita itu, belum tau dia aku juga bisa kasar kalau sudah tak tahan. Wajahnya memerah, rambutnya awut-awutan, sebagian menutupi wajah. Raisa mendengkus, untung saja anaknya baru datang setelah kericuhan itu terjadi. Sepertinya dia dikamar memainkan ponsel Mamanya yang tergeletak sembarangan. Hingga saat aku hendak berlalu, ada benda pipih itu ditangan si gadis.Kamar Mama terkunci dari luar, untung kuncinya masih nyantol disana. Astaghfirullah, tega sekali dia.Aku membuka kunci lalu memutar kenop pintu. Seketika bau tak sedap menyeruak masuk ke hidung. Sesosok wanita kurus tengah terbaring, matanya menatapku, tapi tak mengucapkan sepatah kata pun."Ya Allah, Mama ..." Aku berlari menghampirinya. Meraih tan
Mata Mas Gunawan membeliak melihat punggung Mama dan bagian bawahnya yang melepuh dan terluka. Rahang lelaki itu mengeras."Mas, kamu lihat ini lebam? Tubuh Mama biru-biru, apa kamu yakin jika Mama terjatuh? Sementara Mama sama sekali tak bisa bergerak? Jatuh apa dijatuhkan? Atau jangan-jangan di buat jatuh? Mungkin juga dipukuli karena merasa merawat Mama sebagai sebuah beban." Aku memperlihatkan bagian tubuh Mama yang memang menampakkan lebam biru yang memang agak samar dan melepuh di sebagian tubuh belakangnya.Nafas Mas Gunawan menderu, sambil melirik ke arah Raisa yang wajahnya makin memucat."Mas Sayang, kamu harus percaya aku. Aku ga mungkin menyakiti Mama yang merupakan orang tua kamu. Mamamu juga Mamaku, mana mungkin aku tega berbuat seperti itu." rayuan busuk wanita itu mulai membuat wajah yang tadi siap menyemburkan amarah kembali tenang."Soal punggung Mama, terkadang aku ga kuat untuk mengangkat tubuh Mama sekedar untuk tidur miring. Dan bagian bawah Mama yang luka, kuli
"Apa benar jika, pak Gunawan telah menikah lagi, Bu?Pak Adrian yang merupakan bos dari Mas Gunawan menatapku lekat. Aku menunduk seolah pertanyaan itu sebuah luka yang sedang berdenyut nyeri. Melihat aku yang masih diam, Pak Adrian kembali melanjutkan kata."Sebenarnya, perusahaan ini sudah sejak lama berkomitmen dengan peraturan untuk tidak menerima karyawan yang memiliki istri lebih dari satu, karena akan menganggu kinerja dalam mereka bekerja. Saya sedikit kecewa dengan Pak Gunawan, Kenapa dia malah menyembunyikan dari saya."Tampak pria yang masih terlihat muda itu sangat kecewa."Maaf Pak, jangankan pada Bapak. Saya saja juga baru tau. Selama bertahun-tahun dia menyembunyikan perempuan itu. Dan beberapa bulan belakangan ini dia membawanya tinggal tak jauh dari tempat tinggal Mamanya.""Jadi, Ibu juga baru tau?"Aku mengangguk."Ya Allah ..." Desisnya."Sebelumnya saya mohon maaf kepada ibu. Jika pak Gunawan terpaksa kami keluarkan dari perusahaan ini. Kami khawatir dia akan menj
Mama sudah ditangani dokter. Hari sudah mulai gelap. Namun belum ada kabar dari teman-temanku. Kini aku dan Tante Irma duduk di ruang tunggu."Sayang, Tante ga tau gimana harus membalas kebaikan kalian. Tante benar-benar berterima kasih atas bantuan kamu dan teman-temanmu itu, Nak.""Tante, itu sudah kewajiban Alina sebagai anak. Tante jangan berpikir yang tidak-tidak, tak ada balas budi, kita ini keluarga."Tante Irma langsung memelukku sambil menangis haru."Sungguh merugi Gunawan menyia-nyiakan kamu, Sayang. Kamu itu wanita berhati mulia."Aku tersenyum tipis. Tapi, kisah hidupku tak semanis Cinderella, yang akhirnya bertemu pangeran tampan. Aku hanya wanita yang dipunggut lalu dicampakkan. Mungkinkah karena aku mandul seperti yang Raisa katakan, Mas Gunawan lebih memilih mempertahankan Raisa dari pada aku? ah, nasib cinta yang mengenaskan."Al, kenapa melamun?" Tante Irma mengejutkan lamunanku. Aku langsung menoleh."Kamu lagi mikirin apa, Sayang. Bicaralah pada Tante, jadikan Tan
Berulang kali kuputar video itu. Memastikan jika aku tidak salah dengar."Ini mah si Siti, Siti Nurlela, kita manggilnya Siti. Kalau Raisa Humaira teh, adiknya. Udah lama meninggal waktu masih kecil. Kabarnya jatuh di Empang. Tapi, kalau dilihat mah seperti habis di siksa. Tapi, ya gitu kita kan orang luar, ga tau apa-apa." ujar wanita tua yang hampir separuh rambutnya sudah memutih itu, ketika melihat foto Raisa."Jadi, ini bukan Raisa, Mbah?""Ya jelas bukan! Raisa udah meninggal kok. Mbah ikut dalam pemakamannya.""Lalu orang tua Raisa eh, Siti ini dimana, Mbah?""Setelah Raisa meninggal. Si Siti ngilang entah kemana. Yang Mbah tau, Mak sama Bapaknya nyariin dia ke Jakarta. Karena dapat kabar Siti naik bis ke Jakarta.""Jadi, orang tuanya juga tak ada di kampung ini?" "Engga, udah lama ga. Itu rumahnya di ujung jalan. Udah lapuk, tak ada yang merawat." ujar si Mbah sambil menunjuk ke ujung jalan.Video berdurasi hampir lima menit itu membuatku benar-benar tak habis pikir. Bagaiman
POV Gunawan"Kamu yakin, bisa merawat Mama?" Ujarku pada Raisa wanita yang lima tahun ini sudah kunikahi secara siri meski tanpa persetujuan Mama."Yakin lah! Masa merawat Mama aja aku ga bisa." Wanita yang tak lagi memakai kerudungnya itu terus mengoles lipstik di bibirnya."Kalau kamu merasa ga mampu, biar aku carikan pembantu. Jangan sampai kejadian seperti kemarin lagi. Aku ga mau Alina makin memojokkan kamu."Sejak Alina datang waktu itu, aku mulai sedikit lebih perhatian pada Mama. Aku lebih cerewet pada Raisa. Berharap dia merawat Mama dengan sepenuh hati. Karena upaya membujuk Alina untuk tetap menjadi istriku, sepertinya sia-sia. Dia sudah mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan, bahkan sudah memasuki sidang kedua."Pelakor itu, memang selalu mencari celah. Setelah gagal merebut Mama, sekarang dia berusaha mengambil perhatian Tante Irma. Pasti ingin agar Tante Irma memihak dia dan mengambil semua harta milik Mama.""Jangan berburuk sangka, Alina tak seperti itu.""Kamu membe