Share

Bab 4

Author: Mutiara Sukma
last update Huling Na-update: 2022-05-17 15:29:50

[Ya ampun, Lin. Kamu sabar, ya. Jangan gegabah. Dan jangan cepat menarik kesimpulan sebelum tau hal sebenarnya.] Ketik Anggi di grup rempong, ketika aku mengirim pesan salah satu teman Mas Gunaw*n. Juga tangkapan layar story w* kontak bernama RS ke sana.

[Iya, Lin. Kamu selidiki dulu benar-benar. Kalau suamimu terbukti selingkuh, baru kamu pites perkututnya.] sahut Dea, geram.

[Kalau menurutku sih, suaminya Alina ga ada tampang fuckboy lho.] Kini Dea Nabila angkat bicara 

[Tampang ga menjamin, gue udah berapa kali bilang. Banyak serigala berbulu domba. Jangan ketipu. Lihat gue nih, kalian tau si Ramzi kan? penampilan aduhai, rohani banget, kelakuannya kayak roh halus.] Lea menyisipkan emoticon tertawa mengeluarkan air mata sebanyak lima biji.

Ramzi adalah mantan suami Lea. Tiga tahun usia pernikahan mereka sampai Lea mengetahui Ramzi sudah menikah lagi. Perempuan itu seakan trauma, meski sudah menikah lagi tapi dia menganggap pernikahan itu sebatas status. Lea hanya malu menyandang status sebagai janda.

[Jadi, gimana?] Tulalitku kumat.

[Besok jam makan siang lu ke kantor dia. Lihat, apakah laki Lu emang makan siang dengan klien. Atau hanya alasan agar bisa memakan masakan wanita lain.] Jawab Lea cepat.

[Aku setuju!] Jawab Anggi, Dea juga Nabila, kompak.

Baiklah aku akan ke kantor Mas Gunawan besok, tentu saja tanpa mengatakan padanya terlebih dahulu.

Sudah jam sembilan. Aku sudah rapi mengerjakan tugas rumah. Saatnya mandi dan merapikan diri sendiri. Ketika hendak mengambil handuk, ponselku berbunyi.

Mama? Tumben Mama menelpon.

"Assalamu'alaikum, Ma."

"W*'alaykumussalam, Lin. Kamu lagi apa, sibuk ga?"

"Alina mau mandi, Ma. Ga sibuk kok. Tadi sudah selesai beberes rumah. Ada apa, Ma?"

"Ga ada apa-apa. Minggu ini kamu kerumah kan?"

"InsyaAllah, Ma. Seperti biasa, kalau Mas Gunawan mau mengantarkan Alina kesana, pasti Alina nginap di rumah Mama." Jawabku apa adanya.

"Syukurlah, Mama ingin bicara banyak dengan kamu, Sayang."

"Bicara apa, Ma? Sekarang aja." 

Akulah orang yang punya rasa penasaran tinggi. Kalau tidak mendapatkan jawaban sekarang, penasaran itu akan terus menghantui.

"Nanti saja, ga enak bicara lewat telepon."

"Ah, Mama. Suka banget deh, bikin Alina penasaran." ujarku pura-pura merajuk.

Mama terkekeh. Tak lama sambungan pun diakhiri. Walau masih penasaran dengan apa yang akan Mama katakan. Terlebih Mama belum sempat menjawab pertanyaanku tempo hari karena keburu Mas Gunawan datang.

****

Taksi yang kupesan sudah datang. Sengaja aku tak membawa mobil agar mudah mengikuti Mas Gunawan tanpa diketahui olehnya.

Setelah menyebutkan alamat kantor Mas Gunawan mobil pun segera melaju kesana. Jantungku terasa berdegup lebih kencang. Berharap kecurigaanku hanyalah sebuah kesalahan. 

Aku kembali mengecek pesan yang masuk ke nomor Mas Gunaw*n. Sepi, tak ada pesan. Membuka kembali story w*-nya. Kali ini tak ada postingan dari RS. Hanya kiriman-kiriman dari teman-teman Mas Gunaw*n yang masih tersimpan disana.

Penasaran aku mencari kontak dengan nama RS. Gambar profilnya sudah berganti putih. Hah? Aku di blokir? Ah, tak mungkin. Ada masalah apa dia dengan Mas Gunawan. Aku masuk ke nomorku, menyimpan nomor dengan nama RS terlebih dahulu.

Tuh! Ada. Gambar dua hati berwarna merah masih menjadi gambar profilnya. Berarti benar aku diblokir.

Tak terasa aku sudah sampai di halaman gedung berlantai delapan ini. Aku melirik jam yang melekat di tangan. Baru jam sebelas kurang, masih lumayan lama aku menunggu waktu istirahat suamiku itu. 

Namun, aku harus segera keluar dari taksi ini. Setelah membayar jasanya, mobil biru itu pun berlalu. Aku bergegas ke lobby. Duduk sebentar di kursi yang ada disana, menetralkan debaran yang makin menyiksa.

Bismillah, aku melangkah masuk ke lift. Ketika seorang perempuan berkerudung lewat dengan mengandeng tangan seorang anak perempuan. Sepertinya aku kenal tapi dimana. Saat pintu lift merapat, astaga, aku baru ingat anak kecil itu, anak yang tempo hari menabrakku di kafe. Sayang aku tak sempat menyapanya. Mungkin ayah gadis itu juga bekerja di kantor ini. Bisa jadi temannya Mas Gunawan.

Aku sampai dilantai tiga dimana ruangan Mas Gunawan berada. Beberapa karyawan yang sudah mengenalku menegur sopan. Sengaja aku melambatkan langkah, mengulur waktu menunggu jam makan siang. Jika benar dia makan dengan klien diluar, pasti Mas Gunawan pasti dia akan keluar terlebih dahulu. 

Namun, sampai jam para karyawan keluar dari ruangannya. Mas Gunawan tidak juga membuka pintu. Seharusnya dia juga keluar bersama dengan rekan-rekannya, kan? 

Aku mengetuk pintu, tapi tanpa menunggu jawaban langsung memutar kenopnya.

Sosok lelaki yang sudah dua tahun ini menikah denganku tampak sedang lahap makan di meja kerjanya. Mata kami bertemu, Mas Gunawan gelagapan. 

"Assalamu'alaikum, Mas." Sapaku datar.

"W*-w*'alaikumussalam ... Sayang? Kok kesini?"

"Kenapa ga boleh?" 

Aku menjatuhkan bobot tubuh di kursi depan Mas Gunawan.

"Bo-boleh, kenapa enggak." Jawabnya. Laki-laki itu berusaha menyingkirkan kotak makanan yang sudah dia makan separuh ke samping.

"Kenapa berhenti?"

"Enggak! Mas udah kenyang."

"Kenyang? Aku kira kamu baru makan sesuap!"ketusku.

"Mas, cuma makan buat ganjal perut, karena sebentar lagi mau rapat keluar."

"Please, Mas!" Aku mulai tak tahan. 

"Apa?" Tanyanya tanpa merasa berdosa.

"Kamu melarang aku untuk menyiapkan bekal. Itu apa?" Aku menunjuk makanan di atas mejanya.

"Kamu punya selingkuhan kan? Siapa perempuan itu, Mas? Katakan!"

Mas Gunawan bangun lalu mendekatiku.

"Selingkuhan apa? Ini bekal dari Mama."

"Bohong! Mama ga pernah membuatkan bekal untuk kamu." Pekikku, sengaja berbohong ingin melihat reaksinya.

"Siapa bilang? Kamu coba tanya Mama." tantangnya.

Aku terdiam, merasa jika Mas Gunawan sudah menyadari jika aku sedang memata-matainya.

"Sayang, kenapa kamu curigaan sih, sekarang?" Lirihnya, sambil berusaha memelukku. Namun, aku menepis tangan laki-laki itu.

"Ada asap karena ada api, Mas. Mas harus tau, aku paling pantang dicurangi. Jika Mas memang mau menikah lagi, Mas bisa bilang padaku, jangan main belakang." Ujarku berapi-api.

"Berarti kalau Mas minta ijin, kamu ijinkan?"

"Tentu saja tidak!" jawabku cepat. Lelaki itu justru terkekeh.

"Lalu gimana?" tanyanya konyol.

"Ya ga gimana-gimana! Pokoknya aku tak mau dimadu!" kataku tegas.

"Jika kamu mendua, aku yakinkan kebersamaan kita akan berakhir. Silahkan kamu bersamanya. Aku mundur!" Lanjutku.

Mas Gunawan terdiam. Jelas sekali laki-laki itu sedang berpikir keras. Aku tak peduli, aku sudah melabuhkan rasa ini padanya. Tak ada laki-laki lain setelah Ayah yang aku cinta selain dia. Setelah Ayah meninggal hanya Mas Gunawan satu-satunya yang ada di hatiku. Hingga aku lupa ada bahwa mencintai seseorang berlebihan itu tak baik untuk keimanan.

"Aku mau pulang! Ingat Mas! tak ada pengampunan untuk sebuah pengkhianatan." ancamku lagi.

Aku pun siap-siap pergi setelah mengucapkan salam. Tanpa menunggu jawaban darinya aku keluar dari ruangan Mas Gunawan. Setidaknya dia tahu aku tak bisa begitu saja dia permainkan. Entah apa yang dia sembunyikan, yang jelas permainannya cukup halus. 

"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku.

"Pembantu??"

Pembantu? Sejak kapan Alina punya pembantu? Astaghfirullah Mas Gunawan! Apa yang kamu sembunyikan dariku.

    

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hati yang Terbagi    Bab 145

    Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s

  • Hati yang Terbagi    Bab 144

    Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M

  • Hati yang Terbagi    Bab 143

    "Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman

  • Hati yang Terbagi    Bab 142

    Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm

  • Hati yang Terbagi    Bab 142

    Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi

  • Hati yang Terbagi    Bab 141

    Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita

  • Hati yang Terbagi    Bab 140

    "Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h

  • Hati yang Terbagi    Bab 139

    Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua

  • Hati yang Terbagi    Bab 138

    Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status