"Bu Alina? Tumben kesini? Biasanya bekal Pak Gunawan kan selalu diantar pembantunya?" Seru Rina yang kebetulan berpapasan denganku.
"Pembantu??"
Aku mengernyitkan dahi. Lalu menanyakan ciri-ciri pembantu yang dimaksud Rina. Berbekal cerita dari bawahan Mas Gunawan itu, aku akan mencari keberadaan perempuan yang telah merusak rumah tanggaku. Aku yakin dia hanya perempuan tak benar yang ingin memetik hasil tanpa perlu menemani perjuangan dari awal.
Malamnya, walau hati penuh emosi aku melancarkan aksi. Aku menyuguhkan teh hangat pada Mas Gunawan yang baru saja pulang. Teh yan sudah kububuhi obat tidur. Seperti biasa laki-laki itu baru sampai dirumah jam sepuluh malam. Lembur ditambah jalanan yang macet katanya. Huh! dia tak tau aku sudah tau semua dari Rina. Mas Gunawan tak pernah Over time, lelakiku itu selalu pulang tepat waktu, jam lima dia sudah keluar dari kantor. Namun, selama ini dia beralasan telat karena pekerjaan.
"Lembur lagi, ya Mas?" Aku duduk disampingnya.
"Iya, Sayang. Kerjaan banyak banget, laporan yang harus Mas kerjakan menumpuk. Ini mau ngelanjutin sebentar." sahutnya sambil mengeluarkan laptop dari tas kerja.
"Ganti baju dulu, Mas. Nanti kan enak tinggal tidur."
"Eh iya, sebentar ya." sahutnya membenarkan
Mas Gunawan menyalakan laptop kemudian berlalu ke kamar berganti pakaian. Aku dengan sabar menunggu kedatangannya. Sambil mencuri pandang pada ransel hitam yang selalu dia bawa kerja.
Tak lama Mas Gunawan kembali, dia sudah berganti pakaian dengan baju kaos putih dan celana boxer selutut. Tanpa mengacuhkanku, lelaki itu langsung menghadap laptopnya.
"Minum dulu, Mas. Nanti keburu dingin."
Aku pun menyodorkan teh itu ke tangannya. Mas Gunawan menyambut lalu menyesap teh itu perlahan.
"Habiskan Mas." lirihku, melihat teh itu masih tersisa banyak. Tanpa membantah Mas Gunawan menyesap teh itu lagi hingga tak bersisa.
Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya. Aku menunggu sambil memainkan kuku tanganku.
"Lembur itu ngapain aja, Mas?"
"Ya, kerja lah!"
"Kok ga kelar-kelar kerjaannya, banyak banget, ya?"
"Ya, gitu." Jawabnya singkat. Aku mengambil ponsel, memainkan benda pipih itu sembari terus mengajak Mas Gunawan ngobrol.
"Hmm ... Capek yaa, jadi laki-laki. Udah kerja, trus harus jagain istri. Kalau istri satu, misal istrinya dua, kerepotan lagi untuk berbohong menyembunyikan keberadaannya. Apalagi kalau hanya selingkuhan, capeknya dobel." Tak ada jawaban, aku melirik ke arah Mas Gunawan.
Eh! Lahdalah, lelaki itu sudah tertidur menyenderkan punggungnya ke sofa. Aku menyentuh lengan, tapi Mas Gunawan tetap bergeming.
Time to work!
Aku memeriksa tas kerja Mas Gunawan dengan teliti. Biasanya lelaki itu hanya membawa tas tangan untuk membawa laptop saja. Akhir-akhir ini dia selalu membawa tas ransel yang agak besar.
Ketemu! Benar ponsel Mas Gunawan ada dua. Yang satu dia gunakan untuk menghubungiku, satunya pasti dia pakai menelepon perempuan itu. Aku bergegas menyalakan benda itu. Namun, ponselnya di pasword.
Astaghfirullah! Terus berusaha membuka dengan berbagai kolaborasi angka, mulai angka tanggal pernikahan kami, angka kelahirannya, mencoba angka tanggal kelahiranku, tetap saja nihil.
Aku terus mencari sesuatu di tas itu yang barangkali bisa menjawab rasa penasaranku. Sebuah kartu berobat terselip diantara kantong di dalam. Kartu atas nama Raisya Maharani. Jangan-jangan RS yang dimaksud itu Raisya Maharani. Bukan rumah sakit. ya Allah, Mas, tega sekali kamu. Beberapa pakai dalam miliknya juga ada disana, buat apa? Ya Allah, Mas. Hati ini makin sakit melihat apa yang kutemukan. Tak terbayang apa yang dia lakukan sebelum pulang kerumah ini.
Aku mengembalikan semua barang-barang yang aku keluarkan ke dalam tas. Menatap dengan perasaan marah, meninggalkan Mas Gunawan tertidur di sana tanpa berniat membangunkannya, lagi pula akan sangat susah membangunkan orang yang meminum obat tidur itu.
[Guys, aku menemukan ini.]
Teman-teman digrup rempong menjawab datar, menganggap kartu itu hanya kartu biasa saja. Namun, setelah aku menjelaskan semuanya, mereka sontak prihatin.
[Lin, gerak dong! Masa lu diam aja suami diembat pelakor!] Lea yang sedari awal berapi-api mulai mengompori.
[Besok temani aku, ya!]
[Siap! kapanpun elu butuh bantuan, gw siap membantu!]
Grup senyap, entah mereka sedang memikirkan apa. Yang jelas aku merasa begitu bodoh, selama ini terlalu mempercayai Mas Gunawan.
***
Pagi hari, Mas Gunawan bangun dengan keadaan kaget. Namun, dengan memakai jurus ngeles, akhirnya dia percaya jika semalam murni ketiduran di sofa karena kecapean.
Hari ini Mas Gunawan berangkat tanpa kubuatkan bekal, dia sama sekali tak bertanya ataupun protes. Lelaki itu terlalu sempurna jika dia tak mendua. Walau belum terbukti secara jelas dia selingkuh, tapi dari apa yang akhir-akhir ini kutemui, semua mengarah pada hal itu.
Jam sepuluh aku sudah standby menunggu Lea. Aku akan memulai dan mengakhiri hari ini juga. Tak lama sebuah mobil sudah parkir di halaman, aku bergegas keluar lalu mengunci pintu.
"Yuk, jalan." Ajakku.
Lea yang memakai kacamata hitam itu langsung melajukan kembali mobilnya. Perempuan yang sudah pernah patah hati itu tak berkata apa-apa. Wajahnya yang tanpa ekspresi menatap lurus ke depan. Diantara sahabatku, Lea yang paling tomboi tapi dia juga yang paling gerak cepat kalau diminta bantuan.
Kami sampai didepan kantor Mas Gunawan tepat sebelum jam makan siang.
"Kita tunggu dulu, jika suami lu ga keluar berarti ada yang mengantarkan makanan ke dalam. Kalau dia keluar kita ikuti."
Baru saja Lea usai berucap, Mas Gunawan tampak keluar dengan wajah berseri-seri. Lelaki itu masuk ke mobil dan melaju cepat keluar halaman kantor. Tanpa diminta Lea sudah melaju mengikuti Mas Gunawan.
Mobil lelaki itu tepat berada didepan. Dia tak akan tau jika ada aku di belakangnya, karena aku memakai mobil Lea dan sengaja memakai masker menutupi wajahku.
Pada sebuah restoran, mobil itu berbelok. Kami pun ikut berbelok ke tempat yang sama. Memilih parkir tepat disebelah mobilnya. Mas Gunawan turun, tanpa sedikitpun curiga aku melihat semua gerak geriknya.
"Lea, aku yang turun, kamu tolong abadikan saja semuanya." Aku menyerahkan ponselku pada Lea. Lea setuju.
Dari sini aku dapat melihat Mas Gunawan menghampiri sebuah meja dimana seorang wanita muda sedang menunggu. Aku keluar berjalan sambil menahan degub jantung yang sudah di atas normal.
"Alina, tahan! Jangan emosi!" lirih Lea melihatku yang mulai tak bisa mengontrol emosi. Bagaimana tidak, hatiku hancur saat perempuan yang menggunakan kerudung itu mencium takzim tangan suamiku, seolah mereka adalah pasangan suami istri.
Aku terus berjalan mendekat, tak peduli dengan teriakan Lea yang mengikuti dari belakang sambil mengarahkan kamera. Tak perlu lagi pura-pura tak tahu, lalu menangis untuk pengkhianat yang begitu rapi menyembunyikan kecurangannya.
"Oh, jadi ini wanita yang rajin menyiapkan bekal untuk makan siang kamu, Mas?"
Byur!
Segelas jus mangga yang berada di atas meja kini sudah beralih ke kepala perempuan itu.
"Alina!" Pekik Mas Gunawan kaget bercampur berang.
"Ini pelac*r yang ingin merebut suamiku? Wanita yang menutup aibnya dengan pakaian ini?" Bentakku. Lalu meraih satu mangkuk sop yang masih panas hendak kusiram ke tubuh perempuan itu, Mas Gunawan lekas mencekal tanganku hingga sop itu tumpah ruah ke bajunya.
Plak!
Siap yang ditampar ini wey?hehe
Plak!Mas Gunawan memegang pipinya yang aku tampar."Seharusnya kamu itu tahu diri, Mas! Aku bertahan dengan kamu yang punya kekurangan! Kamu itu man ...!""Alina!" Pekik Mas Gunawan membuat ucapanku mengantung di udara."Apa, Mas! Kamu malu? Kamu mau menampar aku balik? Silahkan!" tantangku. Akal sehatku seakan hilang melihat kenyataan didepan mata. Mas Gunawan menatap mataku nyalang, laki-laki itu berjalan kian mendekat tanpa memutuskan pandangan ke mataku, hingga jarak kami tinggal beberapa senti saja. "Puas kamu mempermalukan diri sendiri!" lirihnya dengan menekan setiap kata. Kemudian berjalan ke belakangku. Laki-laki itu meraih tangan perempuan berkerudung yang duduk menunduk. Lalu berjalan melewatiku dengan tangan yang saling menyatu. Aku terpaku, apa yang kulihat seakan sebuah mimpi buruk yang mampir dalam tidur tanpa do'aku semalam. Bayangan Mas Gunawan akan menarik tanganku lalu memohon ampunan sambil bersujud di kaki, Tapi semua hanya mimpi belaka. Aku terduduk lemas."Ba
Mama mengangguk pelan. Aku kembali tergugu, selama ini aku dibodohi oleh Mama dan Mas Gunawan. "Mama tega pada Alina! Mama ga sayang sama Alina! Mama pembohong! Mama membiarkan Mas Gunawan punya selingkuhan, Mama jahat!" "Alina! Tunggu dulu, Nak! Mama belum selesai." Mama berusaha mengejarku yang sudah berlari keluar. Tangisku tak terbendung lagi, lelah, kepala terasa berdenyut hebat. "Lu hancur banget! Kita kerumah gw dulu, ya.". Aku bergeming tak menjawab perkataan Lea. Memicingkan mata sambil menyenderkan kepala, sementara air mata masih terus setia mengalir. Menjelang magrib kami sampai dirumah Lea. Aku sempat tertidur saking lelahnya. Rumah besar Lea tampak sangat menawan. Lea turun terlebih dahulu. Aku mengikuti dari belakang. Perempuan yang memakai celana jeans yang sengaja di robek bagian depan itu berjalan santai. "Hayo! Nanti gw ajak lu jalan-jalan biar ga bete. Mumpung ada si Ubay dirumah." Katanya sambil terus berjalan. Entah siapa Ubay itu aku pun tak tahu. "Bay, t
"Hayuk naik!" titah seseorang yang berada dalam mobil putih itu.Aku menghentikan langkah, lalu menoleh ke asal suara. Mas Ubay yang ada di kursi kemudi menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, dibelakangnya ada Lea yang tampak cemberut dengan pakaian yang sudah berbeda dengan yang tadi dia kenakan."Kalian sudah selesai perang saudaranya?" sindirku. Masalahku saja sudah membuat pening ditambah pula dengan mereka yang adu mulut dihadapanku."Sudah! tenang saja, uraaa!"seru Ubay sambil memamerkan gigi-giginya yang putih."Ayo, buruan naik. Pakaian kamu itu juga mengundang kejahatan apalagi malam-malam begini. Lain kali jangan salah masuk toko. Beli baju sesuai usia! Ingat umur." Lelaki berwajah lumayan tampan itu terus mengoceh tanpa memperhatikan aku yang sudah mulai bertanduk."Buruan! Jangan ikut-ikutan Lea, dia sudah error dari lahir!" Lanjutnya lagi."Adaaau!" Ubay terpekik."Sembarangan, lu!" protes Lea sambil menowel kepala Ubay memakai sandal jepit yang dia pakai.Hadeuh,
"Lea, aku numpang nginap dirumah kamu malam ini, ya. Besok aku akan pulang ke kampung." pintaku setelah masuk ke mobil."Kenapa harus ke kampung sih, kamu mau jadi petani?" sahutnya."Entahlah yang jelas aku mau menenangkan diri dulu.""Orang kalau ada masalah itu di selesaikan, jangan malah lari. Lihat! sedari tadi ponsel kamu bergetar, pasti dia sedang sibuk mencari kamu." Sela Mas Ubay yang mungkin ada benarnya."Kalau kemarin saja dia sudah memilih perempuan itu, buat apa lagi berharap untuk kembali bersama." jawabku dengan hati yang dipenuhi luka, teringat gimana Mas Gunawan mengandeng tangan perempuan itu di depan mataku."Hidup itu memang rumit, ya." seloroh Mas Ubay."Iya, makanya lu ga usah hidup, Bang!" celetuk Lea sambil terkekeh membuat Abangnya menghela napas dalam-dalam, sabar ... Sabar...Bersyukur juga suami Lea sedang keluar kota. Jadi, aku bisa numpang tidur untuk satu malam disini . Pernikahan Lea yang katanya hanya sebatas status. Membuat dia bebas, seakan tai memi
"Plis, sayang, Mas hanya punya Mama saat ini. Mas tak mau kehilangan dia. Bantu Mas, Mama ingin kamu datang."Aku melipat tangan di dada."Maaf, Mas. Aku tak bisa. Minta saja selingkuhan kamu itu merawat Mama, bukankah dia juga rajin mengurus suami orang, kenapa ga sekalian Mama kamu dia urusin." Jawabku ketus. "Sayang, tolonglah, nanti Mas akan jelaskan. Kamu hanya salah paham.""Salah paham apa? Kamu kira aku ini bod*h ya, Mas?kamu kira aku ini buta, ga bisa melihat dengan jelas siapa yang lebih kamu bela. Sudahlah, siapkan dirimu untuk persidangan kita.""Alina, jangan keras hati seperti ini, Sayang. Kamu tak boleh egois.""Apa egois? Kamu ga salah, Mas? Aku egois?" Aku tertawa lebar, menertawakan laki-laki yang bahkan tak pandai menempatkan rasa."Seharusnya kamu membeli kaca yang besar, lalu kamu berdiri didepannya. Kamu ngaca! Siapa yang egois, dan siapa yang munafik! Pengkhianat, penipu!""Cukup Alina!" Bentakannya menghentikan ocehanku. Dada Mas Gunawan naik turun menahan emo
Grup rempong heboh dengan cerita dari Lea, walau Lea hanya seakan melempar berita dan akulah yang menjawab semua pertanyaan dari teman-teman yang penasaran dengan apa yang terjadi.[Udahlah, Lin. Buat apa lagi bertahan. Udah mand*l, tukang selingkuh lagi. mending bawa sini, biar aku kiloin di Mang Didin.] Ketik Dea.[Ish, kamu jangan sadis gitu. Kalau dikiloin paling cuma buat makanan kucing, sini aku bawa ke penangkaran buaya, biar buaya ngerasain makan daging sesamanya.] balas Anggi.Aku terkekeh."Kamu sih, Lea, segala dilempar ke grup." sungutku."Ya, nggak apa-apa, biar tuh grup rame, nggak anyep kayak hidup gw." sahutnya."Yang bikin anyep kan kamu sendiri. Punya suami, bukannya diintilin kemana pergi, malah dibiarkan sendirian di luar kota.""Ah, yang namanya nasib walau kita ikutin ke mana pergi, kalau emang sudah dasar buaya tetap aja kita kena apesnya."seloroh Lea."Iya, sih kayak aku." "Eh, sorry, gw ga nyindir elu lho.""Gapapa, tak perlu merasa bersalah gitu. Kenyataan m
"Maaf Tante, Alina ga bisa. Sekali lagi Alina minta maaf."Wajah Tante Irma tampak kecewa. Tapi, aku tak bisa datang sekarang. Aku yakin di sana ada Mas Gunawan dan perempuan itu. Rasanya hati ini belum sanggup melihat mereka. Walau lisanku berkata sudah bisa move on dari Mas Gunawan, tapi jujur saja hati ini nelangsa."Baiklah, kalau itu menjadi keputusanmu, Nak. Tante tidak akan memaksa. Tetapi, jika nanti kamu berubah pikiran dan ingin bertemu Mama mertuamu, kabari Tante. Biar Tante yang atur agar kamu tak bertemu dengan Gunawan. Tante paham, kamu pasti sangat sakit hati."Tante Irma menggenggam tanganku, erat."Percayalah, Alina semua tidak seperti yang kamu pikirkan.""Maksud Tante apa? Mas Gunawan jelas-jelas selingkuh di belakangku. Bahkan sekarang dia terang-terangan membawa wanita itu ke hadapan Mama. Apa itu masih kurang untuk membuktikan lelaki itu bukan lelaki yang baik.""Alina, cobalah bicara baik-baik dulu dengan suamimu. Kalian ini sudah dewasa, selesaikan masalah deng
Aku keluar dari kamar Mama dengan Hati yang hancur dan penuh luka. "Lin ...""Gapapa, Tante. Alina, gapapa!" Aku mengusap kasar air mata saat Tante Irma mendekat. Perempuan yang selalu kuhormati itu menatapku dengan pandangan penuh iba."Alina, tunggu Gunawan pulang dulu, ya." Aku menggeleng cepat. "Maaf Tante, Alina buru-buru. Salam aja buat Mas Gunawan." Aku memaksakan seulas senyum di bibir.Tante Irma terus merangkulku, itu sudah cukup membuatku merasa punya posisi disini. Karena fakta yang terjadi sebenarnya, tanpa disadari sudah menjadi bumerang untukku sendiri."Alina, kalau ada waktu, saya ingin bicara banyak hal dengan kamu." Kali ini Raisa angkat bicara. Aku menoleh ke arah suara. Perempuan itu cantik, feminim, kerudung maroon yang digunakannya membuat wajah putih bersih itu makin terlihat berseri. Wajar jika Mas Gunawan lebih memilih dia."InsyaAllah!" jawabku singkat."Al, ini nomor telpon saya, nanti saya akan menghubungi kamu."Raisa mendekat lalu menyerahkan sebuah k