Home / Romansa / Hatiku Tertawan Mafia Tampan / Bab 6 : Rahasia Dibalik Dinding Penuh Keangkuhan

Share

Bab 6 : Rahasia Dibalik Dinding Penuh Keangkuhan

Author: Mandy Poole
last update Last Updated: 2025-04-23 17:51:45

Dengan satu langkah pelan, Lorena menyelinap ke dalam ruang tersembunyi di balik rak buku itu. Udara di dalamnya lebih dingin—seperti ruangan yang telah lama tak tersentuh. 

Debu menggantung tipis di udara, dan aroma kayu tua bercampur dengan sesuatu yang lebih samar… seperti aroma parfum yang sudah lama memudar.

Lorena meraba-raba dinding hingga menemukan saklar tua. Saat lampu kecil di langit-langit menyala redup, ia melihat bahwa ruangan itu bukan sekadar gudang. Ini adalah ruang pribadi. Tempat seseorang menyembunyikan bagian dari dirinya yang tidak bisa dibagi ke dunia luar.

Di tengah ruangan, terdapat meja kayu besar penuh dengan tumpukan kertas, buku catatan, dan foto-foto usang. Di atasnya, satu bingkai foto pecah tergeletak miring, kaca depannya retak, tapi potret di dalamnya masih terlihat jelas.

Seorang anak laki-laki kecil, tak lebih dari usia 7 tahun, berdiri di samping seorang wanita muda yang cantik mengenakan gaun panjang selutut berwarna krem dihiasi ikat pinggang kecil, dengan senyum hangat namun mata sedih.

Lorena mendekat. Jantungnya berdetak lebih lambat seiring ia mengenali mata si anak laki-laki itu—gelap, tajam, dan sangat familiar. Damian.

Wanita itu… ibunya?

Di balik tumpukan kertas, Lorena menemukan sebuah buku harian tua, kulitnya sudah lusuh dan halaman-halamannya menguning. Tulisan tangan memenuhi halaman pertama:

"Untuk D, jika suatu saat aku tidak lagi bisa melindungimu, setidaknya kata-kata ini akan menjagamu."

Lorena membalik halaman perlahan. Halaman demi halaman berisi catatan-catatan pendek. Catatan harian dari seorang ibu untuk anaknya. Tentang rasa takutnya, perjuangannya hidup di bawah bayang-bayang pria yang kejam—ayah Damian. Tentang usaha melarikan diri, dan bagaimana dia terus menyembunyikan luka di tubuhnya agar anaknya tidak tahu.

“Hari ini D memelukku saat aku menangis di kamar mandi. Dia tidak bertanya. Dia hanya bilang, ‘Aku akan menjadi kuat, Bu. Aku janji akan melindungimu nanti.’”

Lorena menutup buku itu perlahan, dadanya terasa sesak. Sesuatu dalam dirinya mulai retak.

Damian yang dingin, mengintimidasi, dan mengancam… pernah menjadi anak laki-laki yang hanya ingin menyelamatkan ibunya.

Di meja kecil di sudut ruangan, ia menemukan kotak musik kecil yang rusak—catnya mengelupas, tuasnya hampir patah. Ia mencoba memutarnya.

Dentingan lagu klasik yang terputus-putus mengisi ruang gelap itu. Suara yang sedih dan hancur… seperti kenangan yang terlalu berat untuk dikenang utuh.

Lorena berdiri di sana, membiarkan musik itu berputar perlahan, matanya memandangi foto Damian kecil yang tersenyum palsu di bawah bayang-bayang seorang ibu yang ketakutan.

Sesuatu yang dalam dan tak terjelaskan mulai tumbuh di dadanya—sebuah empati yang tidak ia duga akan pernah ia rasakan untuk pria yang mengurungnya dalam mansion ini.

"Apa yang telah mereka lakukan padamu, Damian..."

Untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di rumah ini, ketakutan dalam dirinya bergeser—dari rasa takut akan disakiti, menjadi rasa takut akan memahami.

Denting kotak musik yang mengalun pelan tiba-tiba terhenti dengan bunyi mekanik yang melesak keheningan ruangan.

Dan di saat yang bersamaan—

Langkah kaki terdengar.

“Tak… Tak… Tak…”

Lambat. Berat. Terukur.

Langkah yang tidak asing.

Lorena menoleh cepat ke arah pintu rahasia yang masih terbuka setengah. Cahaya dari ruangan luar masuk melalui celah kecil, menciptakan garis terang yang membelah kegelapan. Bayangan itu semakin besar... semakin dekat.

Jantungnya melonjak ke tenggorokan. Ia segera menutup buku harian di tangannya dan meletakkannya kembali ke tempat semula, tangan gemetar, nafas terputus-putus.

Langkah itu berhenti.

Tepat di depan rak buku.

Lorena menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya membeku. Ia berdiri di sisi dalam dinding, tak sepenuhnya tersembunyi… tapi cukup untuk berharap ia tidak terlihat dari luar.

“Kau tahu, aku suka wanita yang penasaran.”

Suara itu.

Damian.

Tajam. Tenang. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—bukan kemarahan, bukan kekecewaan. Nada suara itu seolah... tertarik. Atau lebih tepatnya: ingin tahu seberapa dalam Lorena siap menyelami dunianya.

Lorena tidak menjawab. Ia tetap diam, tapi napasnya tak bisa disembunyikan.

“Aku selalu penasaran, seberapa cepat kau akan menemukannya.”

Damian bicara lagi. Suaranya nyaris seperti bisikan. “Ternyata, tidak butuh waktu lama.”

Langkah itu berlanjut—perlahan kali ini.

Rak buku bergerak.

Dengan satu gerakan ringan, Damian mendorongnya terbuka sepenuhnya, memperlihatkan Lorena yang berdiri membeku di tengah ruangan rahasia.

Cahaya dari luar membingkai sosok Damian—jas hitam, dasi longgar di lehernya, dan tatapan yang menusuk tajam ke dalam dada Lorena.

Lorena menegakkan bahu. Ia tahu dia sudah ketahuan, dan dia memilih untuk tidak terlihat takut.

Walau tubuhnya masih gemetar.

"Maaf... aku tidak sengaja..." katanya pelan, tapi tidak mundur.

Damian menatapnya beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup. Ia masuk ke ruangan tanpa berkata apa pun, menatap sekeliling—ke foto, ke buku harian, ke kotak musik yang berhenti.

Lalu ia menoleh lagi pada Lorena.

Tatapan yang tak bisa ditebak—antara terganggu, tertarik, dan mungkin... terluka.

“Ini satu-satunya ruangan di rumah ini yang tidak kukunci.”

Suaranya datar, tapi mengandung beban.

“Karena sebagian dari diriku ingin seseorang—siapapun—cukup nekat untuk masuk ke sini.”

Lorena terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Damian melangkah mendekat. Ia berhenti di depannya, tidak menyentuh, hanya menatap.

“Dan sekarang kau tahu.”

“Tentang ibumu…” suara Lorena pelan. “Tentang siapa kau dulu…”

Damian menyipitkan mata. Sekejap, mata itu menajam, seolah hendak mengusir siapa pun yang berani menyentuh luka lamanya. Tapi kemudian… api itu padam.

“Jangan merasa kasihan padaku, Lorena. Aku tidak butuh itu.”

“Aku tidak merasa kasihan.” katanya cepat. “Tapi… aku mengerti.”

Hening.

Damian menatapnya lama. Lorena tidak tahu apakah ia ingin lakukan selanjutnya atau mungkin meninggalkannya di ruangan gelap itu?

Tapi yang terjadi justru mengejutkannya.

Damian memalingkan wajah dan berkata pelan, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri.

“Terlalu banyak orang mengabaikan apa yang aku alami. Aku ingin tahu seperti apa rasanya… kalau ada seseorang yang tidak lari setelah melihat sisi ini.”

Lorena merasa ada sesuatu yang runtuh di dalam dirinya.

Ketakutan perlahan tergantikan oleh rasa iba.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 15 : Langkah Pasti Menuju Altar

    Lorena terbangun sebelum matahari naik.Bukan karena suara. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaannya sendiri. Perasaan yang terlalu penuh, terlalu dalam untuk tetap tidur.Cahaya pagi yang dingin merayap masuk lewat celah tirai, mengiris lembut dinding kamar yang senyap. Lorena memandang langit-langit sebentar, membiarkan kesadarannya membentuk kenyataan.Hari ini akhirnya tiba. Hari ketika dunia akan menyebutnya “Nyonya Voronkov.”Tangannya bergerak perlahan menyentuh perutnya yang kosong. Bukan karena lapar—tapi karena ada sesuatu yang menegang di dalam.Ia duduk di tepi ranjang. Jari-jari kakinya menyentuh karpet tebal yang terasa lebih asing dari biasanya. Semalam, kata-kata Damian masih menggema di benaknya.“Kau sudah melakukannya dengan baik. Dan itu lebih dari cukup.”Kalimat sederhana. Tapi cukup untuk membuatnya ingin berdiri lebih tegak pagi ini.Lorena mengenakan jubah satin putih untuk melapisi kamisolnya dan berjalan keluar kamar. Lorong yang biasanya hening kin

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 14 : Satu Malam Sebelum Janji Suci

    Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 13 : Diantara Mereka, Aku Tidak Menjadi Bayangan

    Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 12 : Malam Dingin untuk Percakapan Intim

    Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 11 : Warna Baru, Aturan Baru

    Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 10 : Mawar yang Tidak Tumbuh di Taman Siapa Pun

    Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status