Home / Romansa / Hatiku Tertawan Mafia Tampan / Bab 5 : Siapa Dirimu?

Share

Bab 5 : Siapa Dirimu?

Author: Mandy Poole
last update Last Updated: 2025-04-23 17:05:04

Lorena tetap berdiri di tempat saat Damian menghilang ke lorong lain. Suara langkahnya yang berat memudar perlahan, digantikan keheningan yang lebih menusuk daripada ancaman yang baru saja pria itu tinggalkan.

Begitu suara itu benar-benar lenyap, bahunya merosot, dan seluruh kekuatan yang ia paksa bangun di depan pria itu runtuh dalam sekejap. Nafasnya terengah, matanya menatap lantai kayu gelap yang kini terasa seperti perangkap besar yang menelannya hidup-hidup.

“Aku tidak bisa…” bisiknya lemah.

Tapi dia harus. Karena menyerah berarti tenggelam dalam dunia ini—dan mungkin tidak akan pernah keluar lagi.

Lorena mengangkat kepalanya perlahan dan mulai melangkah, tumit sepatunya menimbulkan ketukan samar di lantai kayu tua. Ia menaiki satu anak tangga, lalu berhenti, menyentuh pegangan besi hitam yang dingin. Tangga spiral ganda di depannya tampak seperti belalai ular yang siap membelitnya.

Saat ia melangkah, suara halus terdengar dari samping:

“Kalau kau terus menggigil seperti itu, kau bisa mati kedinginan sebelum Damian menyentuhmu.”

Lorena terkejut, menoleh dengan cepat.

Dari bayang-bayang lorong kecil di samping tangga, seorang wanita tua muncul. Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya bungkuk sedikit, rambut peraknya disanggul rapi. Matanya tajam, namun tak terlihat kejam—lebih seperti mata seseorang yang telah melihat terlalu banyak dan belajar untuk diam.

Ia mengenakan seragam pelayan berwarna gelap, apron putih yang sudah agak memudar, dan memegang kain lap kecil di tangannya.

“Maaf,” ucap Lorena pelan, refleks, seperti seorang anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan.

Pelayan itu mengangkat alis. “Tidak perlu meminta maaf karena takut. Di rumah ini, rasa takut lebih alami daripada keberanian.”

Lorena menatap wanita itu dengan penuh pertanyaan.

“Siapa… Anda?”

Wanita itu berjalan perlahan mendekat, mengamati Lorena seperti seseorang menilai barang antik.

“Orang yang bertahan cukup lama untuk tahu bahwa wanita yang datang ke rumah ini tak pernah pulang dalam keadaan sama.”

“Maksud Anda?” Suara Lorena gemetar.

“Maksud saya,” jawabnya sambil mulai mengelap pegangan tangga dengan santai, “jangan terlalu percaya pada senyumannya. Dan jangan tertipu oleh caranya menyentuhmu dengan lembut. Pria itu tahu bagaimana cara menghancurkan orang tanpa menyentuhnya sekalipun.”

Lorena mengatupkan bibirnya. Ada sesuatu dalam cara wanita ini berbicara yang membuatnya yakin—dia tahu banyak, mungkin terlalu banyak.

“Apakah semua orang di sini takut padanya?”

“Tentu. Tapi ketakutan tidak selalu berarti benci.” Wanita itu tersenyum samar, lalu berjalan kembali ke bayang-bayang.

“Namaku Anya. Kalau kau masih ingin punya kewarasan minggu depan, dengarkan nasehatku.”

Lorena menatap sosok wanita tua itu, berusaha membaca maksud dari ucapan-ucapannya yang terasa menggantung. Nafasnya masih belum sepenuhnya stabil, tetapi ia tahu... ini mungkin satu-satunya orang di rumah ini yang bersedia bicara tanpa senjata tersembunyi dibalik lengannya.

Anya tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Ia kembali mengelap pegangan tangga perlahan, gerakannya lambat namun teratur, seolah sedang menyusun kalimat dengan hati-hati.

"Namamu Lorena, ya?" tanyanya sambil tetap menunduk.

Lorena mengangguk. "Iya..."

"Cantik. Muda. Tapi terlalu mudah dibaca." Anya menatapnya kini, sorot matanya tajam meski suaranya tenang. "Itu berbahaya di tempat seperti ini."

Lorena menegakkan bahunya, berusaha terlihat lebih kuat. "Aku tidak minta dilindungi."

Anya mengangguk pelan, seolah menghormati keberanian itu, tapi tetap tak tersenyum.

"Saya tahu. Tapi percayalah, Lorena—di rumah ini, yang tidak meminta perlindungan justru yang paling membutuhkan."

Lorena terdiam. Dadanya naik turun pelan.

Anya mendekat satu langkah, kini berdiri di sampingnya, suaranya merendah nyaris seperti bisikan yang diserahkan hanya untuk telinganya saja.

"Damian... dia bukan pria yang kau pikirkan, dan juga bukan seperti yang mereka ceritakan. Dia sesuatu yang lain."

Lorena menoleh padanya, penasaran. "Apa maksud Anda?"

Anya menatap lurus ke depan, ke tangga gelap yang berbelok ke lantai atas. Suaranya kini seperti nyanyian sunyi yang mengandung kepedihan masa lalu.

"Dia tidak akan menyakitimu seperti yang dilakukan pria kejam. Tapi dia akan membuatmu lupa siapa dirimu sebelum masuk ke rumah ini. Dan ketika kau sadar... mungkin kau sudah terlalu jauh untuk kembali."

Lorena merasakan sesuatu merayap di dadanya—bukan ketakutan, tapi ketidakpastian yang menghantam seperti gelombang.

"Kalau begitu, aku harus bagaimana?" bisiknya.

Anya menatapnya kembali. Tatapan penuh luka yang disamarkan oleh pengalaman.

"Kau diam, dengarkan, dan pelajari. Amati cara mereka berjalan, berbicara, bahkan berbohong. Jangan cepat bicara. Jangan cepat percaya. Dan kalau kau menangis..."

Ia mendekatkan wajahnya, matanya nyaris menusuk.

"...jangan menangis di hadapan mereka. Jangan pernah."

Lorena menelan ludah. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi Anya sudah mulai melangkah mundur.

"Ada hal-hal yang tidak akan saya katakan sekarang, karena kau belum siap mendengarnya."

"Dan ingat ini baik-baik, nona…"

Anya berhenti sejenak, memutar tubuhnya setengah.

"Kadang-kadang, bertahan hidup bukan soal keberanian. Tapi soal tahu kapan harus menunduk agar tidak dihancurkan."

Lalu ia pergi, langkahnya tenang menyusuri lorong menuju dapur atau entah ke mana, meninggalkan Lorena berdiri sendirian di bawah bayang-bayang tangga yang kini terasa seperti raksasa dari kegelapan yang dengan teguh mengawasinya.

Lorena berdiri diam, namun pikirannya tidak.

Setiap kata Anya membekas seperti ukiran halus di pikirannya.

‘Dia akan membuatmu lupa siapa dirimu…’

Dan dalam hati kecilnya, Lorena tahu, itu bukan ancaman biasa—itu adalah kebenaran yang belum sepenuhnya ia pahami.

Setelah kepergian Anya, Lorena berdiri diam cukup lama. Kata-kata wanita tua itu menggantung di udara, berat dan mengganggu.

Ia akhirnya memutuskan untuk menjelajah.

Dengan langkah pelan, Lorena menapaki lorong panjang di lantai dua. Dindingnya dihiasi panel kayu gelap yang mengkilap, dan lampu gantung antik yang menggantung rendah dari langit-langit memancarkan cahaya temaram keemasan yang mengubah setiap bayangan menjadi siluet mencurigakan.

Tangannya menyentuh dinding seolah mencari pegangan dari kenyataan. Kata-kata Anya masih bergema di telinganya:

“Dia akan membuatmu lupa siapa dirimu…”

Lorena berhenti di depan sebuah pintu besar yang setengah terbuka, seolah-olah memang sedang menantinya. Ia mendorongnya perlahan, dan pintu kayu tua itu berderit saat terbuka penuh, memperlihatkan sebuah ruang duduk tua dan mewah yang nyaris tak terjamah waktu.

Langit-langit ruangan tinggi, dan jendela-jendela besar di ujung ruangan tertutup gorden berat berwarna merah tua, hanya menyisakan sedikit cahaya alami yang menyelinap masuk.

Di atas perapian besar, tergantung sebuah lukisan.

Lorena mendekat, langkahnya tak berbunyi di atas karpet Persia yang tebal dan mewah.

Lukisan itu memikatnya. Seorang pria muda berdiri dengan sikap agung—jas panjang bergaya lama, postur tegak, dan ekspresi dingin. Matanya gelap, penuh perhitungan, seoalh menatap langsung ke dalam jiwanya. Sekilas… ia menyerupai Damian. Tapi bukan Damian. Ada sesuatu yang berbeda dari gayanya—lebih tua, lebih klasik.

Ayahnya? Atau leluhur?

Lorena mendekat lagi, memperhatikan detail lukisan—sapuan cat yang kasar di bagian mata, seperti disengaja untuk menyembunyikan sesuatu. Ada bekas goresan halus di bagian kanan lukisan, hampir seperti… bekas tangan.

Seketika itu juga, angin halus meniup tirai jendela—padahal jendelanya tertutup rapat.

Lorena menoleh cepat, jantungnya berpacu lebih cepat. Ia kembali menatap sekeliling ruangan, dan saat itulah matanya menangkap sesuatu.

Di sudut ruangan, di antara rak buku tua dengan ukiran rumit, ada sesuatu yang janggal. Salah satu panel kayu di sisi rak terlihat sedikit berbeda—lebih gelap dan memiliki pola ukiran yang tidak simetris dengan sisanya.

Ia mendekat, jari-jarinya menyentuh permukaan kayu itu.

Ketika ia menekan perlahan… ada bunyi klik halus.

Pintu kecil terbuka sedikit—hampir tak terlihat jika tidak berdiri tepat di depannya.

Lorena menahan napas. Ruangan di baliknya gelap gulita, tanpa cahaya apa pun. Bau debu dan kayu tua menyelinap keluar dari celah pintu, seperti napas dari lorong masa lalu.

Ia tahu, ia tidak seharusnya masuk.

Tapi rasa ingin tahunya—dorongan untuk memahami siapa Damian sebenarnya, dan kenapa ia terjebak di rumah ini—mengalahkan logikanya.

Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu itu perlahan. Engselnya berderit, suara kecil yang seperti teriakan di antara keheningan.

Langkah pertama ke dalam ruang rahasia itu terasa seperti melintasi batas privasi yang dijaga dengan rapi oleh seseorang—Apa tindakanku benar? Pikir Lorena.

Kali ini, rasa penasarannya jauh lebih besar dari rasa sungkan yang ia miliki.

Lorena akhirnya masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 6 : Rahasia Dibalik Dinding Penuh Keangkuhan

    Dengan satu langkah pelan, Lorena menyelinap ke dalam ruang tersembunyi di balik rak buku itu. Udara di dalamnya lebih dingin—seperti ruangan yang telah lama tak tersentuh.Debu menggantung tipis di udara, dan aroma kayu tua bercampur dengan sesuatu yang lebih samar… seperti aroma parfum yang sudah lama memudar.Lorena meraba-raba dinding hingga menemukan saklar tua. Saat lampu kecil di langit-langit menyala redup, ia melihat bahwa ruangan itu bukan sekadar gudang. Ini adalah ruang pribadi. Tempat seseorang menyembunyikan bagian dari dirinya yang tidak bisa dibagi ke dunia luar.Di tengah ruangan, terdapat meja kayu besar penuh dengan tumpukan kertas, buku catatan, dan foto-foto usang. Di atasnya, satu bingkai foto pecah tergeletak miring, kaca depannya retak, tapi potret di dalamnya masih terliha

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 5 : Siapa Dirimu?

    Lorena tetap berdiri di tempat saat Damian menghilang ke lorong lain. Suara langkahnya yang berat memudar perlahan, digantikan keheningan yang lebih menusuk daripada ancaman yang baru saja pria itu tinggalkan.Begitu suara itu benar-benar lenyap, bahunya merosot, dan seluruh kekuatan yang ia paksa bangun di depan pria itu runtuh dalam sekejap. Nafasnya terengah, matanya menatap lantai kayu gelap yang kini terasa seperti perangkap besar yang menelannya hidup-hidup.“Aku tidak bisa…” bisiknya lemah.Tapi dia harus. Karena menyerah berarti tenggelam dalam dunia ini—dan mungkin tidak akan pernah keluar lagi.Lorena mengangkat kepalanya perlahan dan mulai melangkah, tumit sepatunya menimbulkan ketukan samar di lantai kayu tua. Ia menaiki satu anak tangga, lalu berhenti, menyentuh pegangan besi hitam yang dingin. Tangga spiral ganda di depannya tampak seperti belalai ular yang siap membelitnya.Saat ia melangkah, suara halus terdengar dari samping:“Kalau kau terus menggigil seperti itu, ka

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 4 : Perjanjian

    Lorena menatapnya dengan dagu sedikit terangkat, berusaha menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti dadanya."Dan jika kau pintar…" suaranya terdengar lebih stabil dari yang ia kira, meski tangan di samping tubuhnya masih gemetar, "kau akan tahu bahwa tidak semua orang bisa kau kendalikan sesuka hati."Damian mengambil langkah lebih dekat, menutup jarak di antara mereka, tatapannya terkunci pada gadis itu dengan intensitas yang berbahaya.“Benarkah begitu, sayang? Kamu pikir kamu bisa melawanku, begitu?”Dia mengeluarkan tawa pelan, suara yang terdengar geli sekaligus mengerikan.“Aku akan menikmati mematahkan semangat kecilmu itu. Aku tidak suka wanita yang berusaha terlihat lembut dan penurut. Aku suka jika mereka memiliki sedikit perlawanan dalam diri mereka.”Dia mengulurkan tangan, membiarkan tangannya menelusuri pipinya, sentuhannya lembut dan posesif.Lorena menghela napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan debaran di dadanya. Jika melawan secara fisik mustahil, mungkin ia bi

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 3 : Bermain Peran

    Damian mengangkat dagunya, memaksanya untuk menatapnya. Tapi alih-alih melawan, Lorena malah memejamkan matanya erat-erat, seolah dengan begitu, ia bisa mengabaikan keberadaan pria itu.“Aku bukan pembohong,” suaranya lirih, nyaris hanya bisikan.Damian mendengus kecil, nadanya meremehkan bercampur kepuasan.“Oh, tapi kau berbohong.”Ia mendekat lebih jauh, hingga nafasnya yang hangat menyapu telinga Lorena, meninggalkan jejak geli sekaligus mengintimidasi.“Aku bisa melihatnya dalam setiap tarikan nafasmu yang tersendat, mendengarnya dalam setiap kata-katamu yang goyah.”Jari-jarinya menyusuri pipi Lorena—sentuhan yang nyaris tak terasa, tapi justru itulah yang membuatnya begitu menusuk.“Kau memakai topeng, Barnes. Dan aku bisa melihatnya dengan jelas.”Lorena menggigit bibirnya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Perlahan, ia membuka matanya, memberanikan diri untuk menatap pria yang kini begitu dekat dengannya.Dan saat matanya menangkap wajah Damian dengan jel

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 2 : Pertemuan Pertama

    Lorena menatap bangunan megah di depannya, matanya membelalak dalam keterkejutan. Mansion itu berdiri angkuh dan berwibawa, lebih mirip istana dibandingkan rumah biasa. Fasadnya didominasi warna krem dan abu-abu, dengan sentuhan batu alam yang menambah kesan kokoh dan mahal.Bagian depan mansion dihiasi dengan jendela-jendela lengkung besar, membiarkan cahaya keemasan dari dalam menyemburat keluar, menciptakan bayangan yang dramatis di halaman. Pintu masuk utama menjulang tinggi, terbuat dari kaca hitam dengan aksen besi berukir, memberi kesan mewah sekaligus mengintimidasi.Atapnya berwarna hitam pekat, kontras dengan dinding terang di bawahnya, semakin menegaskan aura misterius dari tempat ini. Lampu-lampu kecil berjajar di sepanjang atap, menerangi mansion dengan cara yang halus tetapi tegas—seolah menunjukkan bahwa siapapun yang masuk harus tunduk pada kekuatan yang bersemayam di dalamnya.Di sekeliling mansion, pepohonan hijau tertata rapi, memberikan sedikit ilusi kedamaian yang

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 1 : Kejutan Ulang Tahun

    Suara mesin mobil menderu tanpa henti di jalanan bebas hambatan, namun terasa sepi dan lambat bagi gadis yang baru saja menginjak usia 19 tahun bernama Lorena Barnes. Rambut coklatnya yang ikal terlihat kusut dan tidak beraturan karena ia secara tiba-tiba dijemput paksa oleh segerombolan pria yang mengenakan setelan serba hitam di kediamannya ketika ia sedang meniup lilin di atas kue ulang tahunnya.Ia memang sudah tahu hal ini akan tiba, ketika malam sebelum hari ulang tahunnya tiba-tiba ayahnya mengetuk pintu kamarnya berkali-kali dan ketukannya hampir terdengar putus asa untuk membangunkannya di tengah malam sebelum hari ulang tahunnya, gadis itu membuka pintu dengan semangat, namun bukannya kue ulang tahun dan terompet yang menunggunya di depan pintu.“Lorri, kita harus bicara” ucap Timothy Barnes, air mukanya terlihat gugup.Lorena menatap wajah ayahnya dengan bingung, dan menepi untuk membiarkan ayahnya masuk ke dalam kamarnya yang berukuran 2 x 3. Cukup ironis gadis itu harus t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status