Lorena tetap berdiri di tempat saat Damian menghilang ke lorong lain. Suara langkahnya yang berat memudar perlahan, digantikan keheningan yang lebih menusuk daripada ancaman yang baru saja pria itu tinggalkan.
Begitu suara itu benar-benar lenyap, bahunya merosot, dan seluruh kekuatan yang ia paksa bangun di depan pria itu runtuh dalam sekejap. Nafasnya terengah, matanya menatap lantai kayu gelap yang kini terasa seperti perangkap besar yang menelannya hidup-hidup.
“Aku tidak bisa…” bisiknya lemah.
Tapi dia harus. Karena menyerah berarti tenggelam dalam dunia ini—dan mungkin tidak akan pernah keluar lagi.
Lorena mengangkat kepalanya perlahan dan mulai melangkah, tumit sepatunya menimbulkan ketukan samar di lantai kayu tua. Ia menaiki satu anak tangga, lalu berhenti, menyentuh pegangan besi hitam yang dingin. Tangga spiral ganda di depannya tampak seperti belalai ular yang siap membelitnya.
Saat ia melangkah, suara halus terdengar dari samping:
“Kalau kau terus menggigil seperti itu, kau bisa mati kedinginan sebelum Damian menyentuhmu.”
Lorena terkejut, menoleh dengan cepat.
Dari bayang-bayang lorong kecil di samping tangga, seorang wanita tua muncul. Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya bungkuk sedikit, rambut peraknya disanggul rapi. Matanya tajam, namun tak terlihat kejam—lebih seperti mata seseorang yang telah melihat terlalu banyak dan belajar untuk diam.
Ia mengenakan seragam pelayan berwarna gelap, apron putih yang sudah agak memudar, dan memegang kain lap kecil di tangannya.
“Maaf,” ucap Lorena pelan, refleks, seperti seorang anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan.
Pelayan itu mengangkat alis. “Tidak perlu meminta maaf karena takut. Di rumah ini, rasa takut lebih alami daripada keberanian.”
Lorena menatap wanita itu dengan penuh pertanyaan.
“Siapa… Anda?”
Wanita itu berjalan perlahan mendekat, mengamati Lorena seperti seseorang menilai barang antik.
“Orang yang bertahan cukup lama untuk tahu bahwa wanita yang datang ke rumah ini tak pernah pulang dalam keadaan sama.”
“Maksud Anda?” Suara Lorena gemetar.
“Maksud saya,” jawabnya sambil mulai mengelap pegangan tangga dengan santai, “jangan terlalu percaya pada senyumannya. Dan jangan tertipu oleh caranya menyentuhmu dengan lembut. Pria itu tahu bagaimana cara menghancurkan orang tanpa menyentuhnya sekalipun.”
Lorena mengatupkan bibirnya. Ada sesuatu dalam cara wanita ini berbicara yang membuatnya yakin—dia tahu banyak, mungkin terlalu banyak.
“Apakah semua orang di sini takut padanya?”
“Tentu. Tapi ketakutan tidak selalu berarti benci.” Wanita itu tersenyum samar, lalu berjalan kembali ke bayang-bayang.
“Namaku Anya. Kalau kau masih ingin punya kewarasan minggu depan, dengarkan nasehatku.”
Lorena menatap sosok wanita tua itu, berusaha membaca maksud dari ucapan-ucapannya yang terasa menggantung. Nafasnya masih belum sepenuhnya stabil, tetapi ia tahu... ini mungkin satu-satunya orang di rumah ini yang bersedia bicara tanpa senjata tersembunyi dibalik lengannya.
Anya tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Ia kembali mengelap pegangan tangga perlahan, gerakannya lambat namun teratur, seolah sedang menyusun kalimat dengan hati-hati.
"Namamu Lorena, ya?" tanyanya sambil tetap menunduk.
Lorena mengangguk. "Iya..."
"Cantik. Muda. Tapi terlalu mudah dibaca." Anya menatapnya kini, sorot matanya tajam meski suaranya tenang. "Itu berbahaya di tempat seperti ini."
Lorena menegakkan bahunya, berusaha terlihat lebih kuat. "Aku tidak minta dilindungi."
Anya mengangguk pelan, seolah menghormati keberanian itu, tapi tetap tak tersenyum.
"Saya tahu. Tapi percayalah, Lorena—di rumah ini, yang tidak meminta perlindungan justru yang paling membutuhkan."
Lorena terdiam. Dadanya naik turun pelan.
Anya mendekat satu langkah, kini berdiri di sampingnya, suaranya merendah nyaris seperti bisikan yang diserahkan hanya untuk telinganya saja.
"Damian... dia bukan pria yang kau pikirkan, dan juga bukan seperti yang mereka ceritakan. Dia sesuatu yang lain."
Lorena menoleh padanya, penasaran. "Apa maksud Anda?"
Anya menatap lurus ke depan, ke tangga gelap yang berbelok ke lantai atas. Suaranya kini seperti nyanyian sunyi yang mengandung kepedihan masa lalu.
"Dia tidak akan menyakitimu seperti yang dilakukan pria kejam. Tapi dia akan membuatmu lupa siapa dirimu sebelum masuk ke rumah ini. Dan ketika kau sadar... mungkin kau sudah terlalu jauh untuk kembali."
Lorena merasakan sesuatu merayap di dadanya—bukan ketakutan, tapi ketidakpastian yang menghantam seperti gelombang.
"Kalau begitu, aku harus bagaimana?" bisiknya.
Anya menatapnya kembali. Tatapan penuh luka yang disamarkan oleh pengalaman.
"Kau diam, dengarkan, dan pelajari. Amati cara mereka berjalan, berbicara, bahkan berbohong. Jangan cepat bicara. Jangan cepat percaya. Dan kalau kau menangis..."
Ia mendekatkan wajahnya, matanya nyaris menusuk.
"...jangan menangis di hadapan mereka. Jangan pernah."
Lorena menelan ludah. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi Anya sudah mulai melangkah mundur.
"Ada hal-hal yang tidak akan saya katakan sekarang, karena kau belum siap mendengarnya."
"Dan ingat ini baik-baik, nona…"
Anya berhenti sejenak, memutar tubuhnya setengah.
"Kadang-kadang, bertahan hidup bukan soal keberanian. Tapi soal tahu kapan harus menunduk agar tidak dihancurkan."
Lalu ia pergi, langkahnya tenang menyusuri lorong menuju dapur atau entah ke mana, meninggalkan Lorena berdiri sendirian di bawah bayang-bayang tangga yang kini terasa seperti raksasa dari kegelapan yang dengan teguh mengawasinya.
Lorena berdiri diam, namun pikirannya tidak.
Setiap kata Anya membekas seperti ukiran halus di pikirannya.
‘Dia akan membuatmu lupa siapa dirimu…’
Dan dalam hati kecilnya, Lorena tahu, itu bukan ancaman biasa—itu adalah kebenaran yang belum sepenuhnya ia pahami.
Setelah kepergian Anya, Lorena berdiri diam cukup lama. Kata-kata wanita tua itu menggantung di udara, berat dan mengganggu.
Ia akhirnya memutuskan untuk menjelajah.
Dengan langkah pelan, Lorena menapaki lorong panjang di lantai dua. Dindingnya dihiasi panel kayu gelap yang mengkilap, dan lampu gantung antik yang menggantung rendah dari langit-langit memancarkan cahaya temaram keemasan yang mengubah setiap bayangan menjadi siluet mencurigakan.
Tangannya menyentuh dinding seolah mencari pegangan dari kenyataan. Kata-kata Anya masih bergema di telinganya:
“Dia akan membuatmu lupa siapa dirimu…”Lorena berhenti di depan sebuah pintu besar yang setengah terbuka, seolah-olah memang sedang menantinya. Ia mendorongnya perlahan, dan pintu kayu tua itu berderit saat terbuka penuh, memperlihatkan sebuah ruang duduk tua dan mewah yang nyaris tak terjamah waktu.
Langit-langit ruangan tinggi, dan jendela-jendela besar di ujung ruangan tertutup gorden berat berwarna merah tua, hanya menyisakan sedikit cahaya alami yang menyelinap masuk.
Di atas perapian besar, tergantung sebuah lukisan.
Lorena mendekat, langkahnya tak berbunyi di atas karpet Persia yang tebal dan mewah.
Lukisan itu memikatnya. Seorang pria muda berdiri dengan sikap agung—jas panjang bergaya lama, postur tegak, dan ekspresi dingin. Matanya gelap, penuh perhitungan, seoalh menatap langsung ke dalam jiwanya. Sekilas… ia menyerupai Damian. Tapi bukan Damian. Ada sesuatu yang berbeda dari gayanya—lebih tua, lebih klasik.
Ayahnya? Atau leluhur?
Lorena mendekat lagi, memperhatikan detail lukisan—sapuan cat yang kasar di bagian mata, seperti disengaja untuk menyembunyikan sesuatu. Ada bekas goresan halus di bagian kanan lukisan, hampir seperti… bekas tangan.
Seketika itu juga, angin halus meniup tirai jendela—padahal jendelanya tertutup rapat.
Lorena menoleh cepat, jantungnya berpacu lebih cepat. Ia kembali menatap sekeliling ruangan, dan saat itulah matanya menangkap sesuatu.
Di sudut ruangan, di antara rak buku tua dengan ukiran rumit, ada sesuatu yang janggal. Salah satu panel kayu di sisi rak terlihat sedikit berbeda—lebih gelap dan memiliki pola ukiran yang tidak simetris dengan sisanya.
Ia mendekat, jari-jarinya menyentuh permukaan kayu itu.
Ketika ia menekan perlahan… ada bunyi klik halus.Pintu kecil terbuka sedikit—hampir tak terlihat jika tidak berdiri tepat di depannya.
Lorena menahan napas. Ruangan di baliknya gelap gulita, tanpa cahaya apa pun. Bau debu dan kayu tua menyelinap keluar dari celah pintu, seperti napas dari lorong masa lalu.
Ia tahu, ia tidak seharusnya masuk.
Tapi rasa ingin tahunya—dorongan untuk memahami siapa Damian sebenarnya, dan kenapa ia terjebak di rumah ini—mengalahkan logikanya.
Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu itu perlahan. Engselnya berderit, suara kecil yang seperti teriakan di antara keheningan.
Langkah pertama ke dalam ruang rahasia itu terasa seperti melintasi batas privasi yang dijaga dengan rapi oleh seseorang—Apa tindakanku benar? Pikir Lorena.
Kali ini, rasa penasarannya jauh lebih besar dari rasa sungkan yang ia miliki.
Lorena akhirnya masuk.
Lorena terbangun sebelum matahari naik.Bukan karena suara. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaannya sendiri. Perasaan yang terlalu penuh, terlalu dalam untuk tetap tidur.Cahaya pagi yang dingin merayap masuk lewat celah tirai, mengiris lembut dinding kamar yang senyap. Lorena memandang langit-langit sebentar, membiarkan kesadarannya membentuk kenyataan.Hari ini akhirnya tiba. Hari ketika dunia akan menyebutnya “Nyonya Voronkov.”Tangannya bergerak perlahan menyentuh perutnya yang kosong. Bukan karena lapar—tapi karena ada sesuatu yang menegang di dalam.Ia duduk di tepi ranjang. Jari-jari kakinya menyentuh karpet tebal yang terasa lebih asing dari biasanya. Semalam, kata-kata Damian masih menggema di benaknya.“Kau sudah melakukannya dengan baik. Dan itu lebih dari cukup.”Kalimat sederhana. Tapi cukup untuk membuatnya ingin berdiri lebih tegak pagi ini.Lorena mengenakan jubah satin putih untuk melapisi kamisolnya dan berjalan keluar kamar. Lorong yang biasanya hening kin
Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo
Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T
Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja
Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel
Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,