Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.
Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.
Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang.
"Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."
Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel
Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo
Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T
Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja
Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel
Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,
Lorena terbangun dengan kepala berat dan hati kosong. Cahaya matahari yang menembus tirai terasa terlalu terang untuk pagi seperti ini. Semalam… Damian hampir menyentuh sesuatu dalam dirinya—dan seperti biasa, ia menarik diri tepat sebelum benar-benar menyentuh.Lorena duduk di tepi ranjang, jari-jari kakinya menyentuh permukaan karpet tebal. Ia melirik ke sekeliling kamar: mewah, luas… dan tetap saja terasa dingin. Bukan karena suhu, tapi karena ini bukan rumahnya. Belum. Mungkin tak akan pernah.Ia menarik napas dalam-dalam.Kalau aku akan hidup di tempat ini… maka aku harus belajar menapakkan kaki, bukan hanya bertahan.Lorena berjalan menyusuri koridor besar yang kosong. Langkah kakinya terdengar halus di lantai marmer. Saat tiba di dapur, aroma kopi dan roti panggang menyambutnya—kehangatan langka di rumah yang penuh bayangan.Anya, pelayan tua yang selama ini hanya muncul saat benar-benar perlu, berdiri di dekat meja tengah sambil menata bunga di vas kristal."Pagi," sapa Lorena