Home / Romansa / Hatiku direbut Berondong / Bayangan yang Tak Ingin Pergi

Share

Bayangan yang Tak Ingin Pergi

Author: Radieen
last update Last Updated: 2025-09-16 11:53:46

Aku sudah melarikan diri sejauh ini, menutup semua jejak, menghapus semua kemungkinan dia menemukanku. Tapi ternyata, Rian masih lebih cepat daripada ketakutanku sendiri.

Pada layar telepon kulihat pesannya, "kau pikir bisa sembunyi? Aku tahu kau di luar kota. Aku cuma ingin bicara, Fara. Hanya bicara. Jangan buat aku terlihat seperti monster.”

Darahku serasa berhenti mengalir. Jari-jariku gemetar ketika membaca kalimat itu. Arga yang duduk di sampingku langsung meraih ponsel, menatap layar dengan wajah menegang.

“Dia tahu kita di sini?” gumamnya.

Aku menggigit bibir, rasa takut menyergap. “Bagaimana mungkin? Kita nggak bilang siapa pun.”

Arga menatapku lekat. “Dia mungkin masih punya orang yang mengawasi. Atau… bisa dari media sosial, lokasi, apa pun. Kita nggak boleh lengah kak.”

Belum sempat aku merespons, ponsel kembali bergetar. Kali ini panggilan suara. Nomor yang sama. Dadaku berdebar tak karuan. Arga buru-buru menekan tombol decline.

“Jangan diangkat.”

Aku mengangguk, meski tu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hatiku direbut Berondong   Pegunungan Kerinci

    Arga segera menyalakan mobil. "Kerinci adalah dataran tinggi. Perjalanan dari Kota Jambi bisa memakan waktu enam sampai tujuh jam lagi. Kita harus melewati jalur pegunungan," jelasnya, tatapannya fokus pada peta yang sudah berpindah ke aplikasi navigasi.Saat kami meninggalkan hiruk pikuk Kota Jambi, jalanan kembali sepi, didominasi oleh tanjakan dan tikungan tajam yang menembus hutan lebat. Perubahan suhu terasa drastis. Udara panas kota berganti menjadi sejuk dan lembap. Aku membuka jendela sedikit, menghirup aroma pinus dan tanah basah."Ayahmu bukan tipe orang yang bekerja di kebun, Rah," gumam Arga, pikirannya sejalan denganku. "Kalau dia ke Kerinci dan menyebut perkebunan teh, pasti dia mencari seseorang, bukan pekerjaan."Aku mengangguk. Kecurigaan itu kembali menghimpit. Ayah memiliki seorang kawan lama yang dulunya sempat terlibat usaha kecil dengannya, seorang pengusaha kecil yang memiliki kebun dan pabrik pengolahan kopi di pedalaman. Namun, persahabatan mereka retak bebera

  • Hatiku direbut Berondong   Perjalanan ke Jambi

    Perjalanan ke Jambi dengan mobil ternyata terasa jauh lebih cepat, namun juga lebih mencekam. Arga memutuskan untuk menggunakan mobil agar kami bisa bergerak bebas, bersembunyi jika perlu, dan membawa Ayah pulang tanpa menarik perhatian."Kalau pakai bus, kita harus ikut jadwal mereka. Dengan mobil, kita yang atur waktu," jelas Arga saat kami sudah berada di jalan raya Trans-Sumatera yang lengang, membelah pagi yang masih diselimuti kabut tebal dan bau tanah basah.Aku duduk diam, menatap peta digital yang menunjukkan jarak ke Jambi masih terbentang ratusan kilometer. Tiket bus yang menjadi satu-satunya petunjuk Ayah kini hanya tergeletak tak berarti di laci dasbor. "Kita akan melalui beberapa provinsi, Rah. Medan ke Jambi itu perjalanan sehari penuh," kata Arga, memecah keheningan. "Kita harus berhati-hati. Jangan mudah percaya sama orang di jalan."Perjalanan itu terasa seperti melarikan diri, bukan mencari. Pemandangan berganti dari perkebunan sawit yang luas, hutan karet yang pek

  • Hatiku direbut Berondong   Jalan Buntu

    “Kalau mereka mau main kasar lagi, kita rekam. Kita kumpulkan bukti,” katanya. Aku tahu ia bermaksud baik, tapi polisi masih terasa seperti jurang, aku tak berani menyeberanginya.Aku menatap surat Ayah berulang-ulang, mencari kata atau tanda yang mungkin terlewat. Tapi surat itu hanya berisi permintaan maaf dan kalimat-kalimat yang kabur. ”Kenapa ayah kabur lagi?” aku berkata lirih, dadaku terasa begitu sesak. Keesokan harinya, Arga mulai bergerak. Ia menemui tetangga-tetangga lama, menanyakan apakah ada yang melihat orang asing atau motor mencurigakan lewat malam-malam ini.Di sela-sela itu, aku mencoba mencari barang-barang Ayah sekali lagi. Mungkin ada sesuatu yang ia tinggalkan di kamar yang bisa jadi petunjuk. Aku membuka laci meja, kantong jaket, dan di bawah tumpukan kunci lama aku menemukan sebuah kertas kecil, sebuah tiket bus yang kusam. Tanggalnya tiga hari yang lalu. Rute? Medan — Jambi. Jantungku serasa terhentak. Aku menempel tiket itu di dada, menahan harap dan tak

  • Hatiku direbut Berondong   Melarikan Diri

    Pukul sembilan malam, saat aku sedang membereskan pekerjaan di kamar, terdengar suara keras dari pintu depan rumah.Aku terlonjak, berlari ke ruang tamu. Ayah dan Nenek juga keluar dengan wajah panik. Dua pria berbadan besar berdiri dengan wajah garang. “Mana Farah?!” salah satu dari mereka berteriak.Aku merasakan darahku membeku. Nenek langsung memelukku, sementara Ayah mencoba menghadang mereka dengan tubuhnya.“Tolong jangan ribut di sini, tetangga bisa dengar,” suara Ayah bergetar.Pria itu mendorong Ayah hingga hampir jatuh. “Bos kami kasih waktu sebulan! Sekarang sudah lewat dua minggu, dan kalian belum setor sepeser pun! Jangan main-main ya! Kami bisa bikin rumah ini hancur kalau perlu.”Aku tidak tahan lagi. Dengan gemetar, aku maju selangkah. “Tolong… kami sudah berusaha. Kami tidak kabur. Beri kami waktu.”Pria itu menatapku tajam, lalu mendekat hingga wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. Nafasnya yang berbau alkohol menusuk hidungku. “Waktu? Kamu pikir bos kami saba

  • Hatiku direbut Berondong   Sandaran Jiwa

    Aku menatap lama catatan itu, lamunanku melambung jauh entah kemana. Tiba-tiba ponselku kembali bergetar, dari Arga."Farah, aku lihat kamu makin kurus. Kamu nyembunyiin sesuatu ya? Aku nggak mau kamu sakit karena nyimpen semua sendiri. Aku bisa datang kalau kamu mau."Aku terdiam lama. Hati kecilku ingin sekali berkata jujur, menceritakan semua yang menyesakkan dadaku. Tapi ketakutan juga masih membayangi. Bagaimana kalau keluarga Arga membenciku setelah tahu masalah ini? Bagaimana kalau mereka menganggapku hanya membawa beban?Aku mengetik balasan perlahan."Arga… masalahku terlalu besar. Aku nggak mau nyeret kamu. Tapi… aku nggak sanggup lagi sendirian."Kali ini aku tidak bisa menahan air mata. Aku benar-benar butuh seseorang.Beberapa menit kemudian, pesan balasan datang lagi."Besok aku jemput ya, kita bicara."Hatiku berdebar hebat membaca pesan itu.Keesokan paginya, Arga benar-benar menepati ucapannya. Ia datang ke depan rumah dengan motornya, wajahnya penuh kekhawatiran. “Fa

  • Hatiku direbut Berondong   Untuk Ayah

    Tangisku makin pecah ketika kuucapkan doa itu. Dalam hatiku hanya ada rasa takut dan cemas, bercampur dengan amarah yang tak kunjung reda. Nenek duduk di sampingku, mengusap bahuku pelan.“Nak… kita serahkan pada Allah. InsyaAllah ada jalan keluar.”Aku mengangguk, meski dadaku masih sesak. “Tapi Nek… lima ratus juta, dari mana kita bisa dapat uang sebanyak itu dalam sebulan? Bahkan kalau aku bekerja siang malam pun, tidak akan cukup. Aku tidak sanggup melihat Ayah dipenjara.”Nenek menarik napas panjang, matanya basah. “Farah… dulu ketika ibumu pergi, kita pun tidak punya apa-apa. Tapi Allah selalu beri jalan. Sekarang pun sama, Nak. Mungkin ini cara Allah menguji kita, agar kau tidak terikat lagi dengan janji-janji orang yang tidak baik. Kau masih muda, masih bisa berjuang.”Aku menunduk, menggenggam erat tangan Nenek. Di sudut ruangan, Ayah masih terduduk lemas. Matanya kosong, seperti orang yang kehilangan arah. Entah karena rasa bersalah, atau karena dia sadar semua sudah di luar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status