LOGINArga mengangguk pelan. "Sudah dua hari. Dia dipindahkan ke sini karena kondisinya terlalu parah untuk perjalanan internasional, dan keluarga memutuskan membawanya ke rumah sakit terdekat. Tapi, kondisinya tidak membaik."Aku merasakan kakiku gemetar. Aku tidak tahu harus merasakan apa. Sedih? Lega? Atau kebingungan yang tak berujung?"Dia di mana?" tanyaku."Ruang ICU, lantai dua. Tapi kamu nggak perlu ke sana, Far. Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Biarkan dia diurus oleh keluarganya," pinta Arga lembut."Aku hanya ingin melihatnya," kataku, dengan tekad yang membuat Arga terdiam.Arga menatapku lama, akhirnya menghela napas. "Baiklah. Aku akan menemanimu."Kami berjalan menuju ICU. Suasana di lantai dua terasa berat. Di depan ruang ICU, Tante Rita duduk seorang diri, menangis tanpa suara. Rambutnya acak-acakan, wajahnya sembab, ia terlihat hancur. Ia tidak menyadari kedatangan kami.Arga berbicara dengan perawat di balik meja, lalu menoleh padaku. "Hanya lima menit, Farah."Aku meng
Arga menaruh lengan besarnya di atas kepalaku, "kamu tersenyum. Sedikit, tapi itu senyum," ulangnya lembut. "Aku tahu kamu masih berduka. Aku nggak akan memintamu bercerita atau melupakan segalanya. Tapi aku mau kamu tahu, nggak apa-apa untuk merasa senang lagi, meskipun itu hanya untuk sedetik."Aku terdiam, menatap pantulan diriku di permukaan cangkir. "Aku merasa bersalah. Bagaimana aku bisa merasa senang sementara Azura... dan Rian...""Jangan," potong Arga. "Jangan pernah merasa bersalah karena mencoba bertahan hidup, Farah. Kamu sudah melalui batas maksimal penderitaan yang bisa ditanggung seseorang. Sekarang, giliranmu untuk diselamatkan."Ia mencondongkan tubuh ke depan lagi, tatapannya lekat dan tulus. "Aku tahu kamu nggak butuh belas kasihan, tapi kamu butuh teman yang melihatmu, bukan melihat tragedimu. Dan aku... aku senang kamu dibawa kembali oleh takdir ke dekatku.""Arga...""Aku tahu. Aku nggak akan memaksa. Tapi biarkan aku ada di sekitarmu, Far. Aku nggak akan gangg
Hari pertamaku bekerja berjalan lebih cepat dari perkiraanku. Pagi itu, aku ditempatkan di loket administrasi rawat inap. Belajar sistem, mempelajari alur pasien, dan menghafal prosedur standar membuat waktuku penuh. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, otakku bekerja untuk hal lain selain rasa sakit.Jam menunjukkan pukul empat sore ketika aku memutuskan untuk mencari minuman hangat di kantin rumah sakit. Tenggorokanku kering setelah berbicara dengan puluhan pasien dalam sehari. Aku berjalan pelan, memijit pelipis, tubuhku mulai terasa letih.Suara ramai dari kantin langsung menyambutku begitu aku melangkah masuk. Perawat, dokter, dan staf berseliweran, sebagian besar sedang mengobrol santai melepas penat. Aku mengambil teh hangat dan mencari bangku kosong di sudut.Baru saja aku duduk, seorang pria memasuki kantin dengan langkah santai. Ia mengenakan seragam dokter berwarna biru dengan jas putih tersampir di lengan. Rambutnya tersisir rapi kebelakang, wajahnya tampak lebih ma
Awalnya ide itu terasa berat. Meninggalkan tempat ini rasanya seperti meninggalkan Azura. Tapi kemudian aku sadar, Azura tidak pernah benar-benar "hidup" di rumah ini. Dia hanya singgah di rahimku yang penuh tekanan batin.Mungkin Ibu benar. Aku butuh udara baru. "Terserah Ibu saja," jawabku akhirnya, kembali menatap langit yang mulai menggelap. "Aku ikut saja."Sore itu, di tengah keremangan senja, aku menyadari bahwa hidupku kini seperti kanvas putih yang ketumpahan tinta hitam. Kotor, rusak, dan berantakan. Aku tidak tahu bagaimana cara membersihkannya, atau apakah aku masih punya tenaga untuk melukis ulang di atasnya.Namun, takdir sepertinya belum bosan mempermainkan hidupku. Rencana kami untuk pindah ke Jakarta buyar bahkan sebelum kami sempat mengemasi satu helai pakaian pun.Sore itu juga, sebuah taksi berhenti di depan pagar rumah Nenek. Jantungku berdegup kencang, takut jika keluarga Rian kembali untuk membuat keributan. Namun, sosok yang turun dari mobil itu bukanlah Om He
Dua pria tegap itu segera memapah Rian. Rian mencoba menahan diri di ambang pintu, menatapku dengan mata yang basah dan penuh penyesalan."Farah..." panggilnya lirih, tangannya terulur padaku. "Maafkan aku... tolong jangan biarkan mereka membawaku... Farah..."Aku hanya diam di tempatku, menatapnya dengan pandangan kosong. Aku tidak merasakan keinginan untuk menahannya. Cintaku sudah habis digerogoti kekecewaan, dan sisa tenagaku sudah habis dikubur bersama Azura."Pergilah, Rian," bisikku pelan, hampir tak terdengar. "Ikutlah orang tuamu. Kau akan aman di sana.""Ayo jalan!" Om Herman membentak, memaksa mereka menyeret Rian keluar dari rumah.Tante Rita menatapku terakhir kali dengan tatapan penuh dendam sebelum berbalik pergi. "Urusan kita belum selesai. Aku tidak akan membiarkan kau hidup tenang setelah apa yang kau lakukan pada keluarga kami."Pintu depan terbanting menutup, meninggalkan gema keributan yang perlahan memudar. Suara mesin mobil terdengar menderu menjauh, membawa Ria
Belum sempat air mataku mengering, gedoran keras di pintu depan memecah keheningan rumah sewa itu. Suara teriakan-teriakan marah terdengar samar dari luar, disusul suara kunci pintu yang diputar paksa.Aku segera menghapus air mataku kasar, berdiri dengan kaki gemetar, dan merapikan pakaianku yang kusut. Sebelum aku sempat melangkah ke ruang tamu, pintu kamar Rian terbanting terbuka. Rian, dengan wajah sembab dan langkah tertatih, berusaha keluar karena mendengar keributan itu."Jangan keluar," perintahku tajam, menahannya dengan satu tangan di dada. "Masuk kembali."Namun terlambat."Rian!"Suara pekikan histeris seorang wanita memenuhi ruangan. Detik berikutnya, orang tua Rian, Om Herman dan Tante Rita sudah berdiri di koridor sempit itu. Di belakang mereka, dua orang pria berbadan tegap yang sepertinya supir dan asisten pribadi ikut masuk, membuat rumah kecil itu terasa sesak.Tante Rita langsung menerjang ke arah Rian, memeluk tubuh kurus putranya sambil menangis meraung-raung. Se







