Farah baru saja lulus SMA dan di saat beraamaan, hubungan dua tahun bersama orang yang sangat ia cintai harus berakhir begitu saja. Ia merasa sangat kesepian dan terpuruk di saat bersamaan. Dia sangat ingin melanjutkan pendidikan, namun keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung membuatnya tidak mampu menggapai mimpinya. Di tengah rasa putus asanya , hadirlah sosok tak terduga. Arga, adik kelasnya dulu, yang sudah menjadi mahasiswa kedokteran. Arga bukan sekadar datang kembali, ia hadir dengan ketulusan yang membuat Fara merasakan kenyamanan. Namun, dibalik semua yang sedang dihadapkan padanya akankah dia mampu menjalaninya dengan baik bersama Arga? Ataukah cinta mereka tidak bisa setara? Yuk, baca untuk menjawab kekepoan anda...
View MoreRuang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari itu penuh sesak. Suara ketukan palu hakim memecah suasana tegang yang membeku sejak pagi. Semua mata tertuju pada satu sosok di ruang persidangan—terdakwa kasus pembunuhan paling menghebohkan dalam tiga bulan terakhir.
“Sidang kasus nomor 0487/Pid.B/2025/PN JKTSEL dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,” ucap hakim ketua dengan suara berat dan penuh wibawa. Raisa Mahendra, jaksa muda berusia 28 tahun, berdiri tegak di balik meja jaksa penuntut. Seragam resminya rapi, rambut hitamnya diikat sederhana, dan wajahnya tampak tenang—tapi sorot matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik terdakwa di seberang ruangan. Revan Aditya. Lelaki tinggi tegap itu mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Tangannya terborgol, namun wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit menantang. Tatapan matanya tidak menunjukkan rasa takut. Justru ada ketenangan yang mencurigakan di wajahnya, seolah ia tahu lebih banyak dari siapa pun di dalam ruangan itu. "Saudara Revan Aditya, Anda didakwa atas pembunuhan berencana terhadap Letnan Kolonel (Purn) Satrio Wibowo, mantan atasan Anda di satuan pasukan elit. Apakah Anda memahami dakwaan ini?" tanya hakim dengan nada formal. Revan mengangguk pelan. “Saya paham, Yang Mulia. Tapi saya tidak bersalah.” Jawaban itu terdengar mantap, tanpa ragu sedikit pun. Raisa menatapnya dengan penuh analisis. Ia mempelajari bahasa tubuh Revan—gerak mata, nada suara, ekspresi wajah—mencari celah kebohongan. Tapi nihil. Tidak ada satu pun tanda-tanda khas tersangka bersalah yang ia pelajari selama bertahun-tahun di akademi dan pelatihan. Yang justru ia rasakan adalah sesuatu yang lebih berbahaya: rasa penasaran. Berbulan-bulan Raisa mempelajari kasus ini. Bukti memang mengarah pada Revan. Sidik jari di senjata, motif karena perselisihan bisnis, bahkan rekaman CCTV yang memperlihatkan mobil Revan berada di dekat lokasi kejadian. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Terlalu banyak kebetulan. Terlalu banyak bukti yang muncul “terlalu sempurna”. Apakah Revan dijebak? Atau… memang ia sedang memainkan permainan yang lebih besar? Sidang hari itu hanya membahas pembacaan dakwaan dan pengesahan barang bukti. Tidak ada drama besar. Namun atmosfer tegang tak pernah hilang dari awal hingga akhir. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ketika hakim menskors sidang selama dua jam untuk memberi waktu pada tim kuasa hukum dan jaksa menyusun strategi pemeriksaan saksi, Raisa melangkah cepat keluar dari ruang sidang. Ia butuh udara segar. Tapi langkahnya terhenti saat sebuah suara berat memanggil dari belakang. "Jaksa Mahendra." Ia menoleh. Revan berdiri di dekat pintu, dijaga dua petugas. Tatapannya tajam, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang entah kenapa membuat Raisa merinding. "Ayahmu pasti bangga padamu." Darah Raisa langsung membeku. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?” bisiknya, wajahnya menegang. Revan hanya menatapnya dengan tenang. "Aku mengenalnya. Dulu." Raisa terdiam. Nama ayahnya tidak pernah muncul dalam pembahasan kasus ini. Tidak ada media yang mengaitkannya. Tidak ada yang tahu bahwa ia adalah putri dari mendiang Hakim Bismar Mahendra—sosok terhormat yang tewas sepuluh tahun lalu dalam sebuah kecelakaan yang mencurigakan. Ia nyaris melangkah maju, ingin bertanya lebih jauh. Tapi petugas sudah menarik Revan pergi. Ia hanya bisa menatap punggung pria itu menjauh, penuh pertanyaan yang menggantung di udara. Setelah kembali ke ruangannya di Kejaksaan, Raisa tidak langsung membuka berkas. Ia terduduk diam, masih terpaku pada kalimat Revan. Ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah liontin kecil berbentuk palu hukum—kenangan terakhir dari sang ayah. Kecelakaan itu… selalu terasa janggal. Ayahnya dikenal sebagai hakim bersih yang sedang menangani kasus besar sebelum meninggal. Kasus itu tiba-tiba lenyap dari berita. Saksi-saksi diam. Dan ibunya, sejak saat itu, memilih tutup mulut demi keselamatan mereka. “Jangan pernah tanya lagi soal Ayahmu, Raisa. Fokus pada hidupmu sekarang.” Itu pesan terakhir ibunya sebelum Raisa masuk sekolah hukum. Tapi sekarang, seorang tersangka pembunuhan tahu soal ayahnya. Dan ia menyebutnya… seolah punya hubungan pribadi. Raisa membuka kembali folder kasus di laptopnya. Ia menelusuri catatan lama Letkol Satrio—korban dalam kasus ini. Semakin ia membaca, semakin banyak ia temukan hal janggal. Transfer dana besar ke rekening luar negeri. Perjalanan rahasia ke Singapura dan Thailand. Dan nama yang paling membuatnya terdiam: CV Garda Pratama. Itu adalah perusahaan keamanan yang sekarang dipimpin oleh… Revan Aditya. Jadi bukan hanya korban dan tersangka saling mengenal. Mereka pernah terlibat bisnis. Tapi kenapa hal itu tidak muncul dalam BAP? Raisa berdiri, tubuhnya tegang. Ada yang tidak beres dalam kasus ini. Sangat tidak beres. Lalu ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Kalau kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi 10 tahun lalu, dan siapa Letkol Satrio sebenarnya—datanglah ke halaman belakang kantor lama POM AD malam ini. Sendirian. Jangan bawa siapa pun." Jantung Raisa berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar sedikit saat menggenggam ponsel. Ini bukan lagi sekadar kasus pembunuhan. Ini sudah menjadi pribadi. Tentang ayahnya. Tentang masa lalu yang belum selesai. Dan mungkin, tentang kebenaran yang selama ini dikubur dalam diam. Ia tahu ia harus membuat pilihan. Menjadi jaksa yang patuh pada aturan? Atau menjadi seorang anak yang ingin tahu siapa sebenarnya ayahnya… dan kenapa ia harus mati? Dan di tengah dilema itu, satu nama terus berputar dalam pikirannya. Revan Aditya. Siapa kau sebenarnya?Malam semakin larut, dan pikiranku penuh bayangan buruk. Saat Arga mengucapkan kata “hotel,” tubuhku rasanya menegang. Aku tahu Arga tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh sejak SMA, hanya saja.. aku sedikit ragu dengan keputusannya kali ini.Aku menelan ludah. "Ga, bukankah itu akan menimbulkan masalah baru? Bagaimana kalau Rian tetap menemukan kita?” Arga menggeleng pelan. “Lebih berbahaya kalau kita terus di jalan. Setidaknya di hotel kita bisa kunci pintu, kita bisa istirahat, kita bisa berpikir lebih jernih. Aku janji akan jaga kakak.”Matanya begitu serius, membuatku terdiam. Aku tahu dia tak main-main. Meski takut, aku juga tak punya pilihan lain.“Baiklah… aku ikut kata kamu.”Kami menemukan hotel kecil di pinggir jalan raya, tak jauh dari warung eceran tadi. Bangunannya sederhana, cat dindingnya memudar, tapi suasananya cukup sepi. Arga yang mengurus resepsionis, sementara aku menunggu di luar, menyembunyikan wajah di balik masker, topi, dan jaket.“Sudah, ayo,” katanya s
Sepanjang malam aku duduk di teras rumah, memikirkan kata-kata Arga. Apakah aku benar menyukai Arga atau hanya merasa nyaman karena ia selalu ada untukku? Lamunanku buyar seketika, ketika aku mendengar langkah nenek mendekat. "Ada apa nak?" Tanya nenek dengan lembut, sambil menarik kursi plastik mendekatiku. Aku alihkan pikiran ku dari bayangan Arga, mencoba fokus dengan rencana awal. "Nek, Fara akan pergi besok pagi," ucapku, dengan suara bergetar. Nenek menghela napas panjang. "Nenek tahu, Nak. Kamu memang harus melakukan ini. Nenek akan selalu mendoakanmu." "Nek, Fara janji akan sering menghubungi Nenek. Fara juga akan pulang sesekali menjenguk Nenek," ucapku, memeluk Nenek erat-erat. "Nenek percaya padamu, Nak. Kamu adalah wanita yang kuat dan tegar. Kamu bisa meraih kebahagiaanmu, tapi nak...jangan benci Ayahmu ya. Dia begitu hanya karena judi. Dia sebenarnya orang yang baik. " balas Nenek, mengelus rambutku. Aku tidak menjawab atau menyela. Aku masih mencerna perkataan N
Suara tamparan menggema di dalam ruangan. Tangan ayah mendarat keras di pipiku, menyisakan panas dan perih di saat yang bersamaan. Aku terperanjat, menatap ayahku dengan mata yang berkaca-kaca.“Kamu sudah berani melawan Ayah? ” wajahnya merah penuh amarah.Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air mataku jatuh dalam diam, hatiku terasa lebih pedih dibandingkan pipiku. Mendengar kuatnya tamparan ayah,nenek langsung datang menghampiri. Ia tampak marah sekaligus terkejut melihatku menangis. “Ada apa ini? Kenapa kamu tampar anakmu?” Nenek langsung membawaku yang masih terisak pergi dari hadapan ayah. Ayah mencoba mengejar nenek, ingin memberikan penjelasan. Tapi nenek segera menutup pintu kamarnya. Dia tidak lagi ingin mendengarkan penjelasan apapun dari ayah. “Jangan dengarkan kata-kata Ayahmu. Ia sedang kalut karena masalah judi,” ucap Nenek sambil mengelus rambutku. Aku memeluk Nenek erat-erat, menangis terisak di pelukannya. Aku tumpahkan segala keluh kesahku padanya. Aku tak be
Malam itu terasa begitu panjang. Sunyi, tapi di dadaku riuh oleh ribuan suara yang saling beradu. Lampu kamar redup, hanya menyorot wajah Nenek yang terlelap di ranjangnya. Wajah yang penuh keriput itu tetap teduh, seolah menyimpan kekuatan yang tak pernah padam meski tubuhnya semakin renta.Aku menatapnya lama, hatiku diliputi rasa bersalah. Betapa tega aku ingin pergi meninggalkan rumah ini, sementara hanya Nenek yang selama ini selalu ada untukku. Tapi aku juga sadar, aku tidak bisa terus terjebak dalam penjara yang dibangun Ayah.Aku harus memilih, entah tetap tinggal di sini demi menemani Nenek, atau berani melangkah demi menyelamatkan masa depanku.Dengan langkah pelan, aku mendekat. Ku sentuh tangannya yang hangat, "Nek, Darah mau ngomong.. " Nenek duduk perlahan, bersandar pada dipan tempat tidurnya. "Iya, kenapa Rah? ""Farah rencana kerja tempat ayah Ayu, terus.. " aku berucap dengan hati-hati. "Kalau uangnya sudah terkumpul banyak.. Farah mau pergi dari sini. Nenek mau ik
Aku menatap ayah yang berdiri di depanku dengan penuh rasa kecewa. Air mataku tak henti -hentinya menetes. "Kenapa ayah begitu tega, yah? " Aku masih menatapnya tak percaya. "Aku hanya menerima uang lamarannya, apanya yang menjual? Lagian Rah, apa kurangnya Rian ini sih. Bisa-bisanya kamu menolak orang setulus dia! Aku sebagai ayahmu berhak menentukan pasangan terbaik buat kamu! "Nenek yang sedari tadi hanya mendengar kini ikut menimpali.“Kembalikan saja uangnya.” Nenek tidak lagi menyembunyikan amarahnya. “Itu nggak mungkin bu, uangnya...sudah habis.” Ayah berkata sambil membuang pandangannya. Aku dan nenek masih tertegun, ah.. lagi - lagi dia pasti main judi. Pikiranku langsung melayang entah kemana. Pantas saja dia terus memaksaku menerima lamaran ini. “Kita akan ganti, berapa uang nak Rian untuk melamar Farah?” Ayah menyela, “ Bu..rumah ini di jual saja tidak cukup membayarnya.”Nenek terduduk lemas, tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukan anaknya sendiri. Dia tidak
Aku menatap layar ponsel itu dengan jemari yang bergetar. Pesan singkat dari ayah terasa seperti jeratan yang menutup ruang gerak ku.Mata ku panas. Kata-kata itu bukan sekadar undangan lamaran, tapi ancaman yang samar. Nafas ku memburu, seakan udara kafe yang tadi hangat berubah sesak menghimpit dada.Arga menyadari perubahan wajah ku. “Kak… siapa?” tanyanya lirih, meski aku tahu ia sudah melihat nama itu muncul di layar.Aku buru-buru menyembunyikan ponsel di bawah meja, tapi tatapannya tajam, penuh selidik.“Soal Rian, ya?” suaranya nyaris seperti bisikan, tapi ada amarah yang jelas bergetar di baliknya.Aku menunduk, tak sanggup menjawab. Tubuh ku gemetar, bukan hanya karena takut pada Rian, tapi juga pada kenyataan bahwa besok hidup ku bisa saja diputuskan orang lain tanpa aku mampu melawan.Arga menggenggam tanganku lebih erat. "Apa yang bisa aku bantu buat kakak? Kalau memang kakak tidak mau, aku bersedia melakukan apapun!"Aku melepaskan tangan Arga, "Ga, terimakasih. Tapi bia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments