Mimi menatap Ricky. Menunggu temannya itu ingin mengatakan sesuatu. Wajah Ricky tampak serius, tapi malah terlihat lucu. Karena bagusnya ini cowok mewujudkan diri dengan tampang lucu dan menggemaskan. "Kamu beneran suka sama itu kakak keren dan ganteng?" Ricky lurus memandang pada mata Mimi. "Iya ... Gitu, deh ..." Mimi nyengir. "Sejauh ini, dia itu salah satu idola di fakultas dia. Secara dia anak orang tajir meski ga melintir. Tunggangan dia aja lumayan keren, kan? Dan dia ga suka main cewek. Baik sama semua tapi ga PHP." Ricky menceritakan soal Nehan. Mimi mengerutkan kening. Ini cowok tahu detil gitu, dapat info dari mana? "Kamu abis mata-matai Kak Nehan, ya?" Mimi mengacungkan telunjuknya di depan Ricky. "Nggak laa ... Ngapain? Emangnya dia mau selingkuh?" Ricky ikutan nyengir. Mimi terkikik. Lucunya Ricky akhirnya muncul lagi. Hati Mimi makin melambung. Pria yang dia sukai memang orang baik. Rasanya dia makin ingin dekat sama Nehan. Siapa yang tahu apa yang terjadi nanti.
“Aku berangkat dulu. Jangan sampai telat. Seminar kali ini penting banget.” Velia menarik kopernya. “Sini, aku bawakan.” Allan meminta koper Velia dan membawakan ke depan. Velia mengikuti sambil menenteng tasnya. Di halaman rumah mobil jemputan Velia sudah menunggu. Allan menaruh koper di bagasi, lalu melihat Velia yang sudah masuk ke dalam mobil. “Mama baik-baik.” “Tentu. Kamu juga, baik-baik sama Mimi. Mama cuma nginap semalam. Oke?” Velia tersenyum. Mobil berjalan keluar halaman, meninggalkan rumah itu. Allan balik badan dan melihat Mimi keluar rumah. Dia sudah siap akan pergi ke kampus. “Aku pergi, Kak,” pamit Mimi. “Kamu pulang sore?” Allan bertanya. “Nggak. Paling jam tiga sudah di rumah,” jawab Mimi. “Langsung pulang. Ga usah nunggu tumpangan.” Allan memandang Mimi. Mimi yang sedang merapatkan kancing tasnya mengangkat kepala melihat Allan. Apa maksud Allan berkata begitu? “Kamu baru kenal siapa kakak paduan suaramu itu. Jaga diri.” Pandangan Allan tajam pada Mimi. “
Velia cepat berbalik badan. Lebih baik dia pergi dulu ke tempat lain saja, baru dia kembali ke kamar nanti. "Velia?!" Suara itu. Velia tidak mungkin lupa suara Ferdinand. Velia mempercepat langkahnya. Tapi Ferdinand juga melangkah lebih cepat. Dia telah ada di depan wanita itu, menghadang langkah Velia. "Benar. Ini kamu. Velia, akhirnya aku bisa bertemu dengan kamu." Ferdinand memandang Velia seperti tidak percaya. Wanita ini masih saja cantik meski lama mereka tak bertemu. "Maaf, aku harus pergi." Velia berbalik lagi segera melangkahkan kakinya. Dengan cepat Ferdinand menarik tangan Velia. "Vel, please." Velia berusaha melepaskan pegangan Ferdinad tapi tidak bisa. Velia terpaksa berhenti. "Sudah empat belas tahun, Vel. Kamu menghilang. Kamu bawa Allan dan aku tidak pernah tahu kamu di mana." Ferdinad langsung mengatakan apa yang terpendam di dalam hatinya selama ini. Tangan Ferdinand melepaskan pegangan dari Velia. "Kita sudah selesai. Aku dan Allan tidak ada urusan dengan kam
Pria itu masih menatap foto di dinding. Foto Allan dan Velia, berdua, dengan senyuman lebar di bagian bibir mereka. Foto yang mengingatkan Mimi seperti apa Allan jika bebas tersenyum. "Itu Tante Velia dan Kak Allan. Yang punya rumah ini." Mimi menjawab dengan mata masih tertuju pada foto besar itu. "Mbaknya bukan yang punya rumah?" Bapak itu kembali bertanya. HP Mimi berdering. Dia lihat Nehan yang menghubungi dia. "Maaf, Pak, saya ada telpon." Mimi tidak menjawab pertanyaan bapak itu. "Iya, Mbak, ga apa-apa. Saya permisi saja. Terima kasih." Bapak itu meninggalkan rumah. Mimi mengikuti ke depan sementara dia juga menjawab telpon Nehan. "Sore, Kak. Gimana?" Mimi bicara di telpon. "Mi, aku ada undangan untuk menyanyi di pernikahan. Pengantin minta lagu khusus dan duet. Aku jadi teringat sama kamu. Bisa temani ga?" Nehan menjelaskan keperluan dia menelpon Mimi. Mimi tersenyum lebar. Duet dengan Nehan lagi? Dan ini full satu lagu, di sebuah pernikahan. Kok seru gini, ya? "Yesss .
Mimi baru selesai menyiapkan makan malam, Velia masuk dari arah depan. Dia terlihat lelah dan letih. "Tan, aku buatkan lemon tea, mau?" Mimi menawari Velia. Velia tersenyum. Dia duduk dan melihat apa yang Mimi siapkan di meja. "Ya, kurasa lemon tea bagus untuk membuat fresh lagi." "Sebentar, ya, Tan." Mimi meletakkan mangkuk sambal di meja lalu berbalik membuatkan lemon tea untuk Velia. Velia memperhatikan Mimi. Dia tersenyum melihat gerak gerik Mimi. Sesekali masih tampak seperti gadis remaja. Menyenangkan melihat Mimi sibuk dengan apa yang ada di depannya. Mata Velia tertuju pada kotak di depan Mimi yang ada di sebelah kanan gadis itu. Seperti bingkisan cantik. Velia berdiri dan mendekat. "Ini dari mana?" Velia memegang kotak itu, membuka tutupnya. "Eh ... Oh, itu ..." Mimi bingung. Dia ingat pesan Allan agar mengaku kalau dia yang mendapat kotak berisi makanan kaleng itu. "Makanan kaleng?" Velia mencermati kaleng-kaleng makanan di dalam kardus itu. Mimi tidak menanggapi. Di
Mimi baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia keluar kamar mau ke dapur ingin membuat minuman hangat. Hari hujan lumayan terasa dingin. Sampai di ruang tengah, Mimi melihat Velia ada di sana. Dia duduk membelakangi Mimi. Tampaknya dia sedang menelpon seseorang. "Untuk apa lagi kamu mengganggu aku dan Allan? Jangan memulai lagi. Semua keadaan yang sudah baik selama ini. Apa perkataanku kurang jelas?" Nada suara geram dan marah terdengar. Mimi menghentikan langkah. Dia tahu Velia sedang bicara dengan papa Allan. Pasti karena kiriman yang datang untuk Allan. "Ya, memang. Itu kesalahan. Kesalahan terbesar dalam hidupku. Begitu bodoh aku sampai tidak tahu aku hidup dengan suami orang bertahun-tahun. Memalukan. Picik. Aku benci kamu, Ferdinand Antonius." Makin galak suara Velia. "Kesalahan itu tidak akan pernah bisa aku maafkan." Mimi mundur perlahan. Dia tidak harus mendengar apa yang Velia katakan. Dia tidak boleh ikut campur. Mimi balik menuju ke kamarnya, tepat saat itu Allan k
Wajah tampan itu membuat Mimi makin dag dig dug. Apalagi berdekatan begini. Mimi menyadari, dia benar-benar sudah terpesona dengan Nehan. "Jangan lupa, besok dress code pakai warna marun. Dan jam setengah satu harus stand by di tempat." Nehan mengingatkan jadwal dia dah Mimi akan menyanyi di pernikahan. "Oh, iya, Kak. Aku ga lupa, kok." Mimi tersenyum, terasa degupan jantungnya makin kencang. Andai detak jantung bisa terdengar, Mimi pasti sudah malu karena bunyinya yang keras itu. "Mi, kurasa aku jemput kamu sajalah. Aku lewat dekat rumah kamu, jadi aku belok jemput kamu sekalian. Ya?" Nehan menawari Mimi pergi bersama. Mimi kembali ingat pesan Allan agar tidak pergi berdua dengan Nehan. Masalahnya dia memang ada urusan berdua dengan cowok itu. Lagian, Nehan baik, dia tidak akan melakukan yang tidak pantas pada Mimi. Satu lagi, mereka pergi di siang hari, bukan malam. Mimi rasa tidak apa-apa jika pergi berdua. "Ya, Kak. Baiklah." Mimi menjawab Nehan. Lebih bagus juga berangkat sam
Mimi merasa makin kuat debaran di dadanya. Apa maksud Nehan mengatakan itu? Jelas, Mimi tidak salah dengar, Nehan mengatakan dia suka Mimi. Sungguhkah? "Kamu luar biasa malam ini. Maksimal. Kita bisa jadi teman duet seterusnya, Mi." Nehan mengacungkan jempol ke arah Mimi. "Ah, iya ... Iya, Kak ..." Mimi menarik bibirnya, tersenyum tipis. "Mimi ... Apa yang kamu pikir? Nehan sedang menyatakan cinta? Jangan mimpi!" batin Mimi berseru. Nehan suka penampilan Mimi malam itu. Bukan dia jatuh cinta pada Mimi. "Kita makan?" Nehan mengajak Mimi turun dari tempat mereka duduk di ujung panggung. Mimi mengikut saja ke mana Nehan melangkah. Dia tidak kenal siapapun di sini. Dia baru kali pertama menjadi wedding singer seperti ini. Masih kikuk dan takut salah tingkah. Nehan mengambil makanan di meja paling dekat dengan panggung. Mimi terus saja menguntitnya. Nehan merasa gemas pada Mimi. "Gadis ini sangat polos." Nehan memperhatikan Mimi yang mulai makan. Dia duduk memandang piring yang dia