Home / Romansa / Hatimu Bukan Sebongkah Batu / 7. Masih Ada Harapan

Share

7. Masih Ada Harapan

last update Last Updated: 2021-03-22 22:31:28

Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. 

"Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. 

"Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. 

"Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. 

"Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. 

Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." 

Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. 

"Hei!" panggil Allan. 

Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. 

"Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya. 

Mimi hanya menatap Allan. Bingung. Sesulit itu mendekati Allan. Dia tidak tahu ini pertanda baik atau bagaimana. Mimi mengekori Allan dengan pandangan hingga Allan tidak terlihat lagi. 

Dengan lesu, Mimi melangkah balik ke dapur. Dia duduk di sana, mengambil sepotong pancake dan menaruhnya di piring kecil. Dia taburi parutan keju dan dia tuang sedikit susu coklat di atasnya. 

Mimi menggigit pancake itu. Lezat, lumayan, buat cewek yang tidak tahu memasak seperti dirinya. Mudah-mudahan Allan juga menganggap ini enak. 

"Makasih, Mi. Ini lezat. Ternyata kamu pintar juga bikin kue. Besok bikin lagi, ya?" Mimi bicara sendiri. 

Dia membayangkan ngobrol dengan Allan. Lalu Mimi menggeleng keras, merasa konyol. Itu cuma khayalannya. Ajaib kalau bisa duduk dan ngobrol dengan cowok kayak bati itu. 

"Gini ya, ceritanya jadi orang kesepian. Biasanya di rumah ramai terus. Di sini? Aku mesti baik-baik atau si makhluk antik itu ngamuk. Hee ... hee ..." Mimi tertawa sendiri. 

Mimi menghabiskan pancake-nya. Lalu dia memberikan piring yang dia pakai. Baru dia melangkah ke kamarnya. Semua pekerjaan selesai, dia akan mandi lalu belajar. 

Sambil belajar, Mimi mendengarkan musik. Lagu-lagu kesukaannya mengalun manis. Lagu tentang cinta yang sedikit slow dan membuat suasana hati teduh. 

*****

Allan yang ada di ruang kerjanya duduk meneruskan membaca buku yang masih belum tuntas dia baca. Dia melihat pada piring berisi pancake di meja sebelahnya. Tidak begitu bagus tampilannya. Jelas Mimi tidak pintar memasak. Tapi dia berusaha. 

Allan tersenyum kecil membayangkan kejadian tadi di taman belakang. Mimi benar-benar nekad. Kalau Allan tidak datang, entah dia jatuh terjungkal seperti apa. Bisa jadi dia terluka cukup parah. 

Allan menarik ujung bibirnya. Merasa lucu mengingat kejadian tadi saat Mimi terjatuh dari tangga. Lalu ekspresi takut yang Mimi tunjukkan saat menyodorkan pancake di depan Allan. 

Allan memungut sepotong pancake. Dia gigit sedikit, dia rasakan. 

"Lumayan. Enak juga." Allan bergumam. Sambil kembali membaca tidak terasa tiga potong pancake itu habis juga. 

Allan merasa haus. Dia keluar ruangannya dengan piring sudah kosong. Allan ke dapur, mencuci piringnya lalu minum segelas air. 

"Ke mana gadis itu?" bisik Allan dalam hati. Allan menuju ke depan, ke kamar Mimi. Mendekati kamar itu, terdengar sayup-sayup suara Mimi bernyanyi mengikuti lagu yang dia putar. 

"Suaranya oke juga." Kembali Allan bergumam. 

Allan bermaksud kembali ke ruang kerjanya. Melintasi ruang tengah, Allan melihat jam di dinding. Hampir jam dua belas siang. Sebentar lagi jam makan siang. Allan kembali ke dapur. Dia lihat di meja makan hanya ada dua potong telur dadar sisa untuk sarapan. 

Lebih baik dia masak saja untuk makan siang. Allan membuka kulkas. Dia melihat ada ayam di sana. Allan berpikir akan memasak menu apa yang praktis tapi lumayan enak. Dapat, ayam kecap. 

Segera dia mulai sibuk dengan ayam dan bahan serta bumbu yang dia perlukan. Hampir dua puluh menit berlalu, Mimi muncul. 

Bau harum dari dapur membuat Mimi keluar kamar. Dia kira Velia sudah datang dan memasak untuk makan siang. Ternyata Allan. 

"Kak Allan ..." Mimi memanggil. Pelan, tapi masih tertangkap telinga Allan. 

Allan menoleh, melihat Mimi. "Bentar selesai. Kamu lapar?" Suara Allan masih kaku dan datar, tapi tidak galak. 

"Kukira Tante ... Kakak bisa masak?" Mimi maju tiga langkah, mendekati Allan. Masih sedikit takut, tapi dia berusaha tetap tenang. 

"Aneh lihat cowok masak?" ujar Allan. 

"Nggak, sih ... Cuma ... Ga nyangka." Mimi memandangi Allan yang dengan lincah memasukkan bumbu lalu mengaduk isi penggorengan.

"Oke. Sudah siap. Kamu mau makan?" Allan bertanya lagi. Sekarang dia melihat pada Mimi. 

"Ah ... Nanti saja. Kakak duluan." Mimi merasa canggung makan berdua Allan. Selama ini belum pernah terjadi Allan makan bersama. Akan aneh rasanya. Meski Mimi berharap Allan jadi normal lagi, ternyata hanya berdua begini rasanya kikuk. 

"Terserah ..." ucap Allan. Dia memindah ayam kecap di wajan ke piring saji. 

Mimi balik badan, mau ke depan lagi, tepat saat itu Velia masuk rumah, berjalan menuju ke tempat Mimi. 

"Hai, harum sekali!" Velia tersenyum lebar. "Kamu masak, Mi?" 

"Aku ga pintar masak, Tan. Kak Allan ..."

"Allan?" Velia cukup kaget. Dia mempercepat langkah masuk ke dapur. Ini kemajuan. Allan tidak pernah lagi mau repot soal makanan. Tidak jarang Allan juga malas makan kalau mood-nya lagi berantakan. 

"Lan?!" Velia mendekati Allan. Mimi memperhatikan ibu dan anak itu. 

"Mama sudah pulang?" Allan melihat mamanya. 

"Hm, Mama lama ga menikmati masakan kamu. Pasti lezat. Makan sama-sama, ya?" Velia memandang Allan sambil tersenyum lebar. 

"Ya," jawab Allan pendek. 

Senyum Velia kembali mengembang.Velia berdoa dalam hatinya. Rasa syukur mulai meluap. Apa yang dia lihat hari ini, membuat Velia yakin masih ada harapan Allan akan kembali seperti dulu. 

"Mi, sini. Kita makan sama-sama." Velia menoleh pada Mimi yang dari tadi belum bergerak. 

"Iya, Tan. Aku bantu menyiapkan meja." Mimi mendekati Velia dan membantunya menyiapkan piring dan gelas. 

Makan bersama. Mimi mencatat hari ini di jurnal hariannya. Hari penuh kejutan. Allan menolongnya tiba-tiba. Dia memasak buat makan siang dan mau makan bersama. 

*****

"Ga nyangka, Day. Kak Allan bisa masak juga. Enak lagi masakannya. Aku aja cewek ga tahu tuh, ayam kecap bisa selezat itu dikasih bumbu apa." Mimi bertelepon dengan Dayinta. 

Mimi memang suka cerita apa saja pada sahabat barunya itu. Dan Dayinta pendengar yang baik. Dia bisa menampung semua yang Mimi katakan. Dia menyikapi dengan baik. Tidak menilai buruk atau bagus. Sebaliknya dia akui bagus atau tidak jika memang harus diakui. 

"Bagus, dong! Kamu bisa memberi perubahan pada makhluk antik!" Dayinta tersenyum lebar. Panggilan Mimi buat Allan, makhluk antik. 

"Ih, mana ada. Itu lagi mood dia bagus. Coba nggak, aku bisa kena semprot," tukas Mimi. 

"Hee ... hee ..." Dayinta terkekeh. 

"Kamu ini, bukan bersimpati malah ditertawakan," gerutu Mimi. 

"Ga usah ngambek, cantikmu berkurang." Dayinta menggoda Mimi.

"Hee ... hee ..." Mimi ikut tertawa. 

"Mi, berarti kamu bisa mendekati Kak Allan itu lewat masakan. Kamu coba buatin apa gitu, siapa tahu makin baik dia nanti," kata Dayinta. 

"Apa iya?" ujar Mimi. Dia memikirkan yang Dayinta katakan. 

"Dia punya makanan kesukaan apa? Buatkan. Pasti makin seneng, tuh ..." lanjut Dayinta. 

"Makanan kesukaan?! Aku tahu!" Mimi menjawab cepat. Dia ingat sesuatu tentang Allan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status