Share

7. Masih Ada Harapan

Mimi tersentak. Pintu kamar Allan terbuka. Allan di balik pintu menatap pada Mimi. 

"Ngapain di sini?" Allan berkata dengan ketus. Mata galak muncul lagi dari dua bola mata hitam dan tegas itu. 

"Eh ... Ini ..." Mimi langsung gugup. Dia sampai bingung, mau bilang terima kasih, kata-kata itu seperti jauh sekali dari bibirnya. 

"Apa itu?" Allan melihat piring yang Mimi bawa. Harum masuk ke hidung Allan dan terbayang rasanya yang lezat. 

"Pancake. Buat Kak Allan ... ini ..." Mimi menyodorkan piring ke depan Allan. 

Melihat tatapan tajam Allan, Mimi makin ciut. "Cuma mau bilang terima kasih ... Eh, kalau ga suka ... Ga apa ..." 

Mimi menarik lagi tangannya. Dengan jantung berdetak tak beraturan, Mimi balik badan melangkah kembali menuju ke dapur. 

"Hei!" panggil Allan. 

Mimi seketika menghentikan langkahnya. Perlahan dia memutar tubuhnya. Allan berjalan ke arahnya. 

"Thank you." Allan mengambil piring di tangan Mimi. Dia membawa piring itu ke ruang belakang, ke tempat kerjanya. 

Mimi hanya menatap Allan. Bingung. Sesulit itu mendekati Allan. Dia tidak tahu ini pertanda baik atau bagaimana. Mimi mengekori Allan dengan pandangan hingga Allan tidak terlihat lagi. 

Dengan lesu, Mimi melangkah balik ke dapur. Dia duduk di sana, mengambil sepotong pancake dan menaruhnya di piring kecil. Dia taburi parutan keju dan dia tuang sedikit susu coklat di atasnya. 

Mimi menggigit pancake itu. Lezat, lumayan, buat cewek yang tidak tahu memasak seperti dirinya. Mudah-mudahan Allan juga menganggap ini enak. 

"Makasih, Mi. Ini lezat. Ternyata kamu pintar juga bikin kue. Besok bikin lagi, ya?" Mimi bicara sendiri. 

Dia membayangkan ngobrol dengan Allan. Lalu Mimi menggeleng keras, merasa konyol. Itu cuma khayalannya. Ajaib kalau bisa duduk dan ngobrol dengan cowok kayak bati itu. 

"Gini ya, ceritanya jadi orang kesepian. Biasanya di rumah ramai terus. Di sini? Aku mesti baik-baik atau si makhluk antik itu ngamuk. Hee ... hee ..." Mimi tertawa sendiri. 

Mimi menghabiskan pancake-nya. Lalu dia memberikan piring yang dia pakai. Baru dia melangkah ke kamarnya. Semua pekerjaan selesai, dia akan mandi lalu belajar. 

Sambil belajar, Mimi mendengarkan musik. Lagu-lagu kesukaannya mengalun manis. Lagu tentang cinta yang sedikit slow dan membuat suasana hati teduh. 

*****

Allan yang ada di ruang kerjanya duduk meneruskan membaca buku yang masih belum tuntas dia baca. Dia melihat pada piring berisi pancake di meja sebelahnya. Tidak begitu bagus tampilannya. Jelas Mimi tidak pintar memasak. Tapi dia berusaha. 

Allan tersenyum kecil membayangkan kejadian tadi di taman belakang. Mimi benar-benar nekad. Kalau Allan tidak datang, entah dia jatuh terjungkal seperti apa. Bisa jadi dia terluka cukup parah. 

Allan menarik ujung bibirnya. Merasa lucu mengingat kejadian tadi saat Mimi terjatuh dari tangga. Lalu ekspresi takut yang Mimi tunjukkan saat menyodorkan pancake di depan Allan. 

Allan memungut sepotong pancake. Dia gigit sedikit, dia rasakan. 

"Lumayan. Enak juga." Allan bergumam. Sambil kembali membaca tidak terasa tiga potong pancake itu habis juga. 

Allan merasa haus. Dia keluar ruangannya dengan piring sudah kosong. Allan ke dapur, mencuci piringnya lalu minum segelas air. 

"Ke mana gadis itu?" bisik Allan dalam hati. Allan menuju ke depan, ke kamar Mimi. Mendekati kamar itu, terdengar sayup-sayup suara Mimi bernyanyi mengikuti lagu yang dia putar. 

"Suaranya oke juga." Kembali Allan bergumam. 

Allan bermaksud kembali ke ruang kerjanya. Melintasi ruang tengah, Allan melihat jam di dinding. Hampir jam dua belas siang. Sebentar lagi jam makan siang. Allan kembali ke dapur. Dia lihat di meja makan hanya ada dua potong telur dadar sisa untuk sarapan. 

Lebih baik dia masak saja untuk makan siang. Allan membuka kulkas. Dia melihat ada ayam di sana. Allan berpikir akan memasak menu apa yang praktis tapi lumayan enak. Dapat, ayam kecap. 

Segera dia mulai sibuk dengan ayam dan bahan serta bumbu yang dia perlukan. Hampir dua puluh menit berlalu, Mimi muncul. 

Bau harum dari dapur membuat Mimi keluar kamar. Dia kira Velia sudah datang dan memasak untuk makan siang. Ternyata Allan. 

"Kak Allan ..." Mimi memanggil. Pelan, tapi masih tertangkap telinga Allan. 

Allan menoleh, melihat Mimi. "Bentar selesai. Kamu lapar?" Suara Allan masih kaku dan datar, tapi tidak galak. 

"Kukira Tante ... Kakak bisa masak?" Mimi maju tiga langkah, mendekati Allan. Masih sedikit takut, tapi dia berusaha tetap tenang. 

"Aneh lihat cowok masak?" ujar Allan. 

"Nggak, sih ... Cuma ... Ga nyangka." Mimi memandangi Allan yang dengan lincah memasukkan bumbu lalu mengaduk isi penggorengan.

"Oke. Sudah siap. Kamu mau makan?" Allan bertanya lagi. Sekarang dia melihat pada Mimi. 

"Ah ... Nanti saja. Kakak duluan." Mimi merasa canggung makan berdua Allan. Selama ini belum pernah terjadi Allan makan bersama. Akan aneh rasanya. Meski Mimi berharap Allan jadi normal lagi, ternyata hanya berdua begini rasanya kikuk. 

"Terserah ..." ucap Allan. Dia memindah ayam kecap di wajan ke piring saji. 

Mimi balik badan, mau ke depan lagi, tepat saat itu Velia masuk rumah, berjalan menuju ke tempat Mimi. 

"Hai, harum sekali!" Velia tersenyum lebar. "Kamu masak, Mi?" 

"Aku ga pintar masak, Tan. Kak Allan ..."

"Allan?" Velia cukup kaget. Dia mempercepat langkah masuk ke dapur. Ini kemajuan. Allan tidak pernah lagi mau repot soal makanan. Tidak jarang Allan juga malas makan kalau mood-nya lagi berantakan. 

"Lan?!" Velia mendekati Allan. Mimi memperhatikan ibu dan anak itu. 

"Mama sudah pulang?" Allan melihat mamanya. 

"Hm, Mama lama ga menikmati masakan kamu. Pasti lezat. Makan sama-sama, ya?" Velia memandang Allan sambil tersenyum lebar. 

"Ya," jawab Allan pendek. 

Senyum Velia kembali mengembang.Velia berdoa dalam hatinya. Rasa syukur mulai meluap. Apa yang dia lihat hari ini, membuat Velia yakin masih ada harapan Allan akan kembali seperti dulu. 

"Mi, sini. Kita makan sama-sama." Velia menoleh pada Mimi yang dari tadi belum bergerak. 

"Iya, Tan. Aku bantu menyiapkan meja." Mimi mendekati Velia dan membantunya menyiapkan piring dan gelas. 

Makan bersama. Mimi mencatat hari ini di jurnal hariannya. Hari penuh kejutan. Allan menolongnya tiba-tiba. Dia memasak buat makan siang dan mau makan bersama. 

*****

"Ga nyangka, Day. Kak Allan bisa masak juga. Enak lagi masakannya. Aku aja cewek ga tahu tuh, ayam kecap bisa selezat itu dikasih bumbu apa." Mimi bertelepon dengan Dayinta. 

Mimi memang suka cerita apa saja pada sahabat barunya itu. Dan Dayinta pendengar yang baik. Dia bisa menampung semua yang Mimi katakan. Dia menyikapi dengan baik. Tidak menilai buruk atau bagus. Sebaliknya dia akui bagus atau tidak jika memang harus diakui. 

"Bagus, dong! Kamu bisa memberi perubahan pada makhluk antik!" Dayinta tersenyum lebar. Panggilan Mimi buat Allan, makhluk antik. 

"Ih, mana ada. Itu lagi mood dia bagus. Coba nggak, aku bisa kena semprot," tukas Mimi. 

"Hee ... hee ..." Dayinta terkekeh. 

"Kamu ini, bukan bersimpati malah ditertawakan," gerutu Mimi. 

"Ga usah ngambek, cantikmu berkurang." Dayinta menggoda Mimi.

"Hee ... hee ..." Mimi ikut tertawa. 

"Mi, berarti kamu bisa mendekati Kak Allan itu lewat masakan. Kamu coba buatin apa gitu, siapa tahu makin baik dia nanti," kata Dayinta. 

"Apa iya?" ujar Mimi. Dia memikirkan yang Dayinta katakan. 

"Dia punya makanan kesukaan apa? Buatkan. Pasti makin seneng, tuh ..." lanjut Dayinta. 

"Makanan kesukaan?! Aku tahu!" Mimi menjawab cepat. Dia ingat sesuatu tentang Allan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status