Share

8. Cowok Keren Itu

Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. 

"Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. 

"Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. 

"Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. 

Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." 

Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. 

"Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. 

"Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. 

"Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. 

"Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi mengangkat kedua bahunya. 

"Kamu ada fotonya, nggak? Pingin lihat. Ganteng mana dia sama Adipati Dolken atau Igbal Ramadhan?" ujar Dayinta. 

"Selevel, sih ... Malah mungkin lebih sedikit ..." Mimi berpikir.

"Yakin?" Dayinta melebarkan matanya, makin penasaran. 

"Bentar." Mimi membuka ponsel dan mencari akun sosmed Allan. 

"Kosong? Ga ada? Ya, akun sosmed juga dia ga ada lagi. Bener-bener mau jadi pertapa." Mimi geleng-geleng. "Eh, aku nyimpan. Kami pernah jalan bareng waktu aku SMA, rame-rame sekeluarga. Coba, aku cari ..." 

Mimi buka album foto di sosmed miliknya. Yup, ternyata masih ada. Dia menunjukkan pada Dayinta. 

"Oh, my God ..." Makin lebar Dayinta menatap layar di tangan Mimi. "Ganteng, Mi. Banget."

Mimi tersenyum. “Di situ dia suka senyum, sampai tertawa ngakak. Bikin aku happy dan merasa hari penuh keceriaan. Sekarang, lihat senyumnya itu keajaiban. Aku kalau dekat dia bawaannya takut, pingin kabur.” Mimi mengingat perubahan 180 derajat Allan yang dulu dan yang Mimi temui.

“Hmm … tapi kamu mulai bisa mencari celah untuk melunakkan hatinya, kan?” ujar Dayinta. Dia masih memandang foto Allan yang tersenyum lebar.

“Aku merasa itu kebetulan. Ntah besok dia tiba-tiba jadi batu lagi, siapa yang tahu,” Mimi mengangkat kedua bahunya. 

Di pintu kelas, dosen masuk menuju ke mejanya. Mimi mengambil ponsel dari Dayinta dan menyimpannya. Dayinta pun meluruskan posisi dan melihat ke depan. Semua anggota kelas sudah mengambil tempat duduk dan bersiap mengikuti kuliah hari itu.

Hanya dua mata kuliah yang Mimi ikuti. Jam dua belas siang, kelas usai. Tapi Mimi tidak pulang. Hari ini ada audisi untuk mengikuti paduan suara.

“Jadi ikutan audisi cuap-cuap?” Ricky bertanya pada Mimi sementara kelas baru bubar. 

Mimi menoleh. “Iya. Mau ikut?”

“Ricky nyanyi? Napas aja falleessss ... Bisa ancurrrr!!” Dayinta menyikut lengan Ricky.

“Ih, penghinaan. Gini-gini aku pernah memang lomba nyanyi, tahu?” Ricky menoleh pada Dayinta.

“Ngibul!” tukas Dayinta.

Mereka bertiga berjalan keluar kelas, menuju ke kantin. Mau mengisi kampung tengah sebelum melanjutkan urusan masing-masing.

“Eh, ga percaya. Lomba nyanyi pas tujuh belasan. Lagu Pelangi Pelangi dengan lafal semua diganti O.” Dengan bangga Ricky bercerita.

Kontan Mimi dan Dayinta ngakak sepuasnya. Jadi bukan karena dia pinta menyanyi dia menang. Karena dia bilang O paling tepat dan keras saja.

“Boleh nggak aku tonjok muka kamu, haah??” Dayinta sudah mengepalkan tangan tapi ketawanya belum beneran hilang.

“Kamu kalau sama aku galak banget, sih. Ntar jatuh cinta baru tahu rasa,” celetuk Ricky.

“Aku? Jatuh cinta sama kamu?!” Seketika Dayinta melotot. “Tunggu stok makhluk disebut pria habis baru aku mau, jelas, Bro?!”

“Aihhh … sombong …,” cibir Ricky.

Melihat kedua sohibnya kembali berdebat Mimi cuma bisa melongo, ingat Tom dan Jerry.

“Kalian jadi makan atau tidak? Kalau masih mau bermesraan lanjutkan, aku mau pesan bakso!” sela Mimi.

Mereka sudah di depan kantin. Mimi meninggalkan kedua partner ribut itu.

“Eeiihhh!! Ikut, Non!!” Dayinta cepat-cepat mengikuti Mimi. Ricky juga. 

Makan bakso kesukaan mereka, ditambah minum es jeruk, puas, kenyang. Lalu mereka berpisah. Ricky menuju ke perpustakaan. Dayinta ikut mau gabung club karate, dan Mimi, menuju ke aula tempat audisi paduan suara.

Ternyata lumayan banyak juga yang ikut. Lebih seratus orang di dalam aula itu dan menunggu giliran dipanggil untuk menjajal kemampuan mereka. Mimi menunggu hampir dua puluh menit akhirnya dipanggil.

“Bernice Milano Antoneta Ferdian!” Tegas, jelas, seorang cowok dari meja depan memanggil nama lengkap Mimi.

Mimi melangkah ke depan, berdiri di hadapan tiga penilai. Beneran kayak mau audisi pencarian bakat saja.

“Nama kamu keren banget. Asli mana?” tanya yang duduk di tengah, cewek sedikit gemuk, tapi terlihat ramah dan cantik.

“Dari Surabaya, Kak.” Mimi menjawab tegas.

“Ohh … tetangga, bukan orang jauh.” Cewek itu tersenyum.

“Dipanggil apa, nih??” Cowok di sebelah cewek itu mengangkat mukanya. 

Mimi menatap cowok itu. Rasanya dia ga asing dengan wajahnya. Putih bersih, rambut cepak, keren … Di mana, ya?

“Hei … Bernice Milano Antoneta … Kamu dipanggil siapa? Ice? Bern?” tanya cowok itu membuyarkan lamunan Mimi.

Mimi gelagapan. Cewek dan seorang cowok lagi yang ada di depan Mimi tertawa mendengar itu.

“Mimi. Panggilanku Mimi, Kak,” jawab Mimi cepat.

“Oke, Mimi. Silakan, kamu mau menyanyi lagu apa. Kalau aku angkat tangan artinya kamu stop, ya. Langsung saja.” Cowok yang satu lagi, hitam manis, memandang Mimi dengan senyum ramah.

Mimi menarik napas dalam, lalu dia mulai membuka suaranya. Soundtrack film Moana yang jadi pilihannya, How Far I’ll Go.

“Long as I can remember, never really knowing why … I wish I could be the perfect daughter … But I come back to the water, no matter how hard I try …”

Ketiga orang di depan Mimi menyimak Mimi menyanyikan lagu merdu dan manis itu.

“See the line where the sky meets the sea? It calls me … And no one knows, how far it goes … If the wind in my sail on the sea stays behind me … One day I'll know, if I go there's just no telling how far I'll go …”

Cowok hitam manis itu mengangkat tangan. “Nice, sweet …” Dia tersenyum lebar.

“Aku masih penasaran. Sepertinya dia bisa dengan nada lebih tinggi.” Cowok keren yang Mimi masih belum ingat pernah lihat di mana itu, bicara. “Kamu bisa lagu Never Enough, Lorren Allrerd? Ambil reff puncak saja.” 

“Bisa, Kak.” Mimi mengangguk. Kembali Mimi mengatur nafasnya.

“All the shine of a thousand spotlights … All the stars we steal from the night sky … Will never be enough … Never be enough …” Mimi mulai menyanyikan bagian reff-nya.

Penilai di depannya menyimak dengan serius.

“Towers of gold are still too little … These hands could hold the world but it'll … Never be enough … Never be enough …” Suara Mimi makin tinggi.

Dan klimaks. “For me … Never, never … Never, never … Never, for me … For me … Never enough … Never enough … Never enough … For me … For me … For me ...”

“Wowww!!!” Cewek itu mengangkat dua jempolnya. “That’s so great!”

“Kamu jeli sekali, Han. Pas, model begini yang kita cari.” Cowok hitam manis itu tersenyum.

Si keren tersenyum lebar. “Oke, Mimi … Kamu langsung kami terima. Siap mulai berlatih minggu depan. Good job!”

“Terima kasih, Kak. Terima kasih banyak!” Mimi melebarkan senyum. 

Dia melangkah ke depan, menyalami ketiga kakak tingkatnya itu. 

“Aku Bram. Selamat, Mimi.” Bram menyambut uluran tangan Mimi.

“Selamat bergabung, ya … Aku Finda.” Yang cewek sekarang menyalami Mimi. 

Ketika sampai di dekat si keren, makin jelas wajahnya dan … Ah, dia cowok di mall, di food court itu.

“Kamu yang di food court sore itu, kan?” Ternyata cowok itu juga ingat. “Aku Nehan. Senang bisa bertemu lagi.”

Mimi merasa tiba-tiba ada yang berdesir di hatinya. “Iya, Kak.” 

Makin ganteng kalau sedekat ini. Astaga!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status