Share

8. Cowok Keren Itu

last update Dernière mise à jour: 2021-03-23 17:40:55

Dayinta melambai pada Mimi yang berdiri di depan pintu kelas. Mimi tersenyum melihat sahabatnya, lalu berjelan mendekati Dayinta dan duduk di sisi cewek bertubuh bongsor itu. 

"Gimana? Berhasil?" sambut Dayinta. 

"Apanya yang berhasil?" Mimi mengeluarkan laptop dan membukanya, menyiapkan alat itu untuk kelas yang akan segera dimulai beberapa menit lagi. 

"Misi makanan kesukaan?" Dayinta memandang Mimi. 

Mimi menoleh pada Dayinta. "Belum, Day. Harus cari momen yang pas. Ga bisa asal. Kalau Kak Allan lagi bete, bukan dia mau makan, dia semprot aku, berabe urusan." 

Dayinta menanyakan rencana Mimi mau membuat makanan kesukaan Allan. 

"Ih, kayak mau nembak cowok aja pakai momen yang pas, biar spesial, tak terlupakan sepanjang hidup." Dayinta terkekeh. 

"Iya juga, ya ..." Mimi mengerutkan kening, menyatukan alisnya. 

"Emang ganteng ya, Kak Allan itu?" Dayinta jadi penasaran. 

"Ganteng. Jadi model atau artis juga cocok tampangnya. Tapi gitu, deh, mengerikan. Makhluk antik." Mimi mengangkat kedua bahunya. 

"Kamu ada fotonya, nggak? Pingin lihat. Ganteng mana dia sama Adipati Dolken atau Igbal Ramadhan?" ujar Dayinta. 

"Selevel, sih ... Malah mungkin lebih sedikit ..." Mimi berpikir.

"Yakin?" Dayinta melebarkan matanya, makin penasaran. 

"Bentar." Mimi membuka ponsel dan mencari akun sosmed Allan. 

"Kosong? Ga ada? Ya, akun sosmed juga dia ga ada lagi. Bener-bener mau jadi pertapa." Mimi geleng-geleng. "Eh, aku nyimpan. Kami pernah jalan bareng waktu aku SMA, rame-rame sekeluarga. Coba, aku cari ..." 

Mimi buka album foto di sosmed miliknya. Yup, ternyata masih ada. Dia menunjukkan pada Dayinta. 

"Oh, my God ..." Makin lebar Dayinta menatap layar di tangan Mimi. "Ganteng, Mi. Banget."

Mimi tersenyum. “Di situ dia suka senyum, sampai tertawa ngakak. Bikin aku happy dan merasa hari penuh keceriaan. Sekarang, lihat senyumnya itu keajaiban. Aku kalau dekat dia bawaannya takut, pingin kabur.” Mimi mengingat perubahan 180 derajat Allan yang dulu dan yang Mimi temui.

“Hmm … tapi kamu mulai bisa mencari celah untuk melunakkan hatinya, kan?” ujar Dayinta. Dia masih memandang foto Allan yang tersenyum lebar.

“Aku merasa itu kebetulan. Ntah besok dia tiba-tiba jadi batu lagi, siapa yang tahu,” Mimi mengangkat kedua bahunya. 

Di pintu kelas, dosen masuk menuju ke mejanya. Mimi mengambil ponsel dari Dayinta dan menyimpannya. Dayinta pun meluruskan posisi dan melihat ke depan. Semua anggota kelas sudah mengambil tempat duduk dan bersiap mengikuti kuliah hari itu.

Hanya dua mata kuliah yang Mimi ikuti. Jam dua belas siang, kelas usai. Tapi Mimi tidak pulang. Hari ini ada audisi untuk mengikuti paduan suara.

“Jadi ikutan audisi cuap-cuap?” Ricky bertanya pada Mimi sementara kelas baru bubar. 

Mimi menoleh. “Iya. Mau ikut?”

“Ricky nyanyi? Napas aja falleessss ... Bisa ancurrrr!!” Dayinta menyikut lengan Ricky.

“Ih, penghinaan. Gini-gini aku pernah memang lomba nyanyi, tahu?” Ricky menoleh pada Dayinta.

“Ngibul!” tukas Dayinta.

Mereka bertiga berjalan keluar kelas, menuju ke kantin. Mau mengisi kampung tengah sebelum melanjutkan urusan masing-masing.

“Eh, ga percaya. Lomba nyanyi pas tujuh belasan. Lagu Pelangi Pelangi dengan lafal semua diganti O.” Dengan bangga Ricky bercerita.

Kontan Mimi dan Dayinta ngakak sepuasnya. Jadi bukan karena dia pinta menyanyi dia menang. Karena dia bilang O paling tepat dan keras saja.

“Boleh nggak aku tonjok muka kamu, haah??” Dayinta sudah mengepalkan tangan tapi ketawanya belum beneran hilang.

“Kamu kalau sama aku galak banget, sih. Ntar jatuh cinta baru tahu rasa,” celetuk Ricky.

“Aku? Jatuh cinta sama kamu?!” Seketika Dayinta melotot. “Tunggu stok makhluk disebut pria habis baru aku mau, jelas, Bro?!”

“Aihhh … sombong …,” cibir Ricky.

Melihat kedua sohibnya kembali berdebat Mimi cuma bisa melongo, ingat Tom dan Jerry.

“Kalian jadi makan atau tidak? Kalau masih mau bermesraan lanjutkan, aku mau pesan bakso!” sela Mimi.

Mereka sudah di depan kantin. Mimi meninggalkan kedua partner ribut itu.

“Eeiihhh!! Ikut, Non!!” Dayinta cepat-cepat mengikuti Mimi. Ricky juga. 

Makan bakso kesukaan mereka, ditambah minum es jeruk, puas, kenyang. Lalu mereka berpisah. Ricky menuju ke perpustakaan. Dayinta ikut mau gabung club karate, dan Mimi, menuju ke aula tempat audisi paduan suara.

Ternyata lumayan banyak juga yang ikut. Lebih seratus orang di dalam aula itu dan menunggu giliran dipanggil untuk menjajal kemampuan mereka. Mimi menunggu hampir dua puluh menit akhirnya dipanggil.

“Bernice Milano Antoneta Ferdian!” Tegas, jelas, seorang cowok dari meja depan memanggil nama lengkap Mimi.

Mimi melangkah ke depan, berdiri di hadapan tiga penilai. Beneran kayak mau audisi pencarian bakat saja.

“Nama kamu keren banget. Asli mana?” tanya yang duduk di tengah, cewek sedikit gemuk, tapi terlihat ramah dan cantik.

“Dari Surabaya, Kak.” Mimi menjawab tegas.

“Ohh … tetangga, bukan orang jauh.” Cewek itu tersenyum.

“Dipanggil apa, nih??” Cowok di sebelah cewek itu mengangkat mukanya. 

Mimi menatap cowok itu. Rasanya dia ga asing dengan wajahnya. Putih bersih, rambut cepak, keren … Di mana, ya?

“Hei … Bernice Milano Antoneta … Kamu dipanggil siapa? Ice? Bern?” tanya cowok itu membuyarkan lamunan Mimi.

Mimi gelagapan. Cewek dan seorang cowok lagi yang ada di depan Mimi tertawa mendengar itu.

“Mimi. Panggilanku Mimi, Kak,” jawab Mimi cepat.

“Oke, Mimi. Silakan, kamu mau menyanyi lagu apa. Kalau aku angkat tangan artinya kamu stop, ya. Langsung saja.” Cowok yang satu lagi, hitam manis, memandang Mimi dengan senyum ramah.

Mimi menarik napas dalam, lalu dia mulai membuka suaranya. Soundtrack film Moana yang jadi pilihannya, How Far I’ll Go.

“Long as I can remember, never really knowing why … I wish I could be the perfect daughter … But I come back to the water, no matter how hard I try …”

Ketiga orang di depan Mimi menyimak Mimi menyanyikan lagu merdu dan manis itu.

“See the line where the sky meets the sea? It calls me … And no one knows, how far it goes … If the wind in my sail on the sea stays behind me … One day I'll know, if I go there's just no telling how far I'll go …”

Cowok hitam manis itu mengangkat tangan. “Nice, sweet …” Dia tersenyum lebar.

“Aku masih penasaran. Sepertinya dia bisa dengan nada lebih tinggi.” Cowok keren yang Mimi masih belum ingat pernah lihat di mana itu, bicara. “Kamu bisa lagu Never Enough, Lorren Allrerd? Ambil reff puncak saja.” 

“Bisa, Kak.” Mimi mengangguk. Kembali Mimi mengatur nafasnya.

“All the shine of a thousand spotlights … All the stars we steal from the night sky … Will never be enough … Never be enough …” Mimi mulai menyanyikan bagian reff-nya.

Penilai di depannya menyimak dengan serius.

“Towers of gold are still too little … These hands could hold the world but it'll … Never be enough … Never be enough …” Suara Mimi makin tinggi.

Dan klimaks. “For me … Never, never … Never, never … Never, for me … For me … Never enough … Never enough … Never enough … For me … For me … For me ...”

“Wowww!!!” Cewek itu mengangkat dua jempolnya. “That’s so great!”

“Kamu jeli sekali, Han. Pas, model begini yang kita cari.” Cowok hitam manis itu tersenyum.

Si keren tersenyum lebar. “Oke, Mimi … Kamu langsung kami terima. Siap mulai berlatih minggu depan. Good job!”

“Terima kasih, Kak. Terima kasih banyak!” Mimi melebarkan senyum. 

Dia melangkah ke depan, menyalami ketiga kakak tingkatnya itu. 

“Aku Bram. Selamat, Mimi.” Bram menyambut uluran tangan Mimi.

“Selamat bergabung, ya … Aku Finda.” Yang cewek sekarang menyalami Mimi. 

Ketika sampai di dekat si keren, makin jelas wajahnya dan … Ah, dia cowok di mall, di food court itu.

“Kamu yang di food court sore itu, kan?” Ternyata cowok itu juga ingat. “Aku Nehan. Senang bisa bertemu lagi.”

Mimi merasa tiba-tiba ada yang berdesir di hatinya. “Iya, Kak.” 

Makin ganteng kalau sedekat ini. Astaga!

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   120. Hari Itu

    Allan berdiri di altar menunggu Mimi akan masuk bersama Hendra. Hatinya berdetak makin kencang setiap melihat arloji di pergelangan tangannya, memastikan menit berjalan dan tidak lama lagi pengantinnya akan datang menemui dia. Velia duduk di kursi di deretan pertama. Ferdinand di sisinya. Momen yang tak pernah terpikir oleh Velia, mereka duduk bersama, menyaksikan putra mereka menikah. Kalaupun ada pikiran itu, Velia membuangnya jauh-jauh. Ferdinand suami orang lain. Dia singkirkan semua bayangan Ferdinand. Siapa yang tahu yang akan terjadi dalam hidup. Velia dan Ferdinand menjadi teman. Perlahan, Velia mampu mengubah sakit hati jadi pengalaman yang mendewasakannya. Cinta yang dalam pada Ferdinand, dia ubah menjadi rasa sayang pada seorang kakak. Lea duduk di belakang mereka bersama Astari, Devis, dan putra mereka yang lucu. Sayang, Andini tidak bisa datang pada acara pemberkatan. Dia mengatakan akan menyusul saat resepsi. "Mari hadirin sekalian, kita akan menyambut mempelai wanita

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   119. Hari-hari Penuh Kejutan

    Hari-hari penuh kejutan seolah tiada habisnya. Itu yang Mimi rasakan. Kejutan baik dan menyenangkan, tetapi juga kejutan yang membuat hati rasa tidak karuan. Semua itu membuat up and down hari-hari yang dilalui. Megi, kejutan terakhir yang sempat membuat Mimi galau. Keinginannya untuk bersimpati membuka pintu lain yang tidak dia duga. Allan bertemu sahabat lamanya. Megi, yang Allan kenal dengan panggilan Rere. Setelah kunjungan ke rumah sakit hari itu, Allan terus berkomunikasi dengan Megi. Mimi tidak bisa melarang. Bagaimanapun mereka teman lama dan Megi sedang butuh bantuan. Allan juga selalu memberitahu Mimi apa saja yang Allan komunikasikan dengan temannya itu. Allan tidak ingin Mimi salah paham lalu hubungan mereka yang menjadi tidak baik. "Kamu yakin ga masalah Kak Allan dekat sama Megi?" Dayinta menimpali apa yang Mimi katakan padanya. "Aku harus larang? Hanya karena cemburu? Aku ga cemburu juga, sih. Hanya ada rasa ga nyaman saja." Mimi menelusuri hatinya. Dia harus percaya

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   118. Ada Kenangan Di Antara Mereka

    Mimi, Allan, dan Velia mengantar Ferdinand, Lea, dan Astari, serta Bintang yang tampan ke bandara. Mereka akhirnya balik ke Bandung. Astari sudah cukup kuat. Begitu juga bayinya. Perusahaan juga sudah menunggu Astari kembali menata pekerjaan di sana. Melepaskan mereka pulang ternyata cukup mengharukan. Apalagi Mimi mulai terbiasa mendengar suara tangis bayi mungil itu. Mendengar Velia atau Lea menyanyi saat menggendong Bintang hingga bayi itu tidur dalam dekaoan mereka. Pasti akan lama bisa melihatnya lagi. Dari bandara, Allan meluncur menuju kantor Velia. Memang hari Sabtu, tetapi ada yang harus Velia kerjakan. Sedang Allan dan Mimi, meneruskan perjalanan kemudian ke rumah sakit. Mimi terus memikirkan Megi. Sejak tahu wanita itu kecelakaan, dia merasa iba dan ingin tahu seperti apa kondisinya. "Kamu mau menjenguk Megi? Dia yang selama ini bersikap mengesalkan sama kamu? Yakin?" Itu yang Allan katakan waktu mendengar permintaan Mimi. Mimi dengan mantap mengatakan memang ingin menje

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   117. Kata Orang Senjata Makan Tuan

    Hati Mimi berdetak kencang. Pesan yang dia terima dari Megi membuat semua kegembiraannya seketika lenyap. Megi dipecat. Tentu saja dia sangat marah. Dia punya posisi dengan prospek bagus di kantor, sebagai asisten bagian pemasaran. Kalau sampai tiba-tiba itu lepas, dia harus mulai di tempat lain, tentu tidak mudah. Yang menjadi masalah adalah Mimi yang Megi anggap sebagai biang keladi! Sangat tidak masuk akal. Mimi ada di bagian lain di kantor itu. Dengan Megi juga jarang berurusan. Bagaimana bisa Mimi yang bersalah kalau Megi dipecat? Mimi berpikir, apa yang terjadi? Di mana letak kesalahannya? Dia bicara apa dengan Pak Guntur? Mimi tidak mengerti. Sepanjang malam Mimi jadi tidak tenang. Beberapa kali dia terbangun karena mimpi buruk. "Ah, Mi, kenapa kamu jadi takut kayak gini. Megi uda ga akan balik kantor. Tenang saja." Mimi menenangkan dirinya sendiri. Dia tegaskan kalau Megi hanya mengancam, karena dia kesal. Bisa jadi dia begitu kepada orang lain juga, bukan hanya Mimi. Mimi

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   116. Janji Hati

    Tangan Allan terulur, meraih jemari Mimi dan menyematkan cincin mungil di jari manis tangan kiri gadis berbalut gaun warna salem itu. Cantik, sangat pas buat dirinya. Mimi terlihat lebih dewasa tapi tidak terkesan lebih tua dari umurnya. Dengan senyum manis, sementara jantung yang terus meletup, Mimi ganti memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Allan. Jarinya kuat, besar, dan panjang. Tangan Mimi terlihat begitu mungil berpegangan pada tangan Allan. Tepuk tangan terdengar dari keluarga yang hadir. Senyum menghiasi wajah orang tua Mimi, Viviana dan Hendra. Velia dan Ferdinand, kali ini duduk berdampingan. Ini hari istimewa Allan. Putra mereka resmi bertunangan dengan Mimi. Ferdinand tidak mengira, dia bisa hadir dan menyaksikan hari berharga ini. "Selamat ya ... makin sayang satu sama lain. Biar angin ribut menderu, tetap kokoh cintanya!" Melisa, kakak Mimi nyeletuk, membuat yang lain tertawa, sementara Mimi makin tersipu. Doa dinaikkan untuk keduanya. Agar dengan memasuki hub

  • Hatimu Bukan Sebongkah Batu   115. Tangis yang Membawa Kegembiraan

    Suara tangis bayi kembali terdengar, tapi kemudian hilang. Andini berdiri dan mendekat ke ruang bersalin. Dia yakin itu bayi Astari yang sudah lahir. Tangis yang membawa kebahagiaan. Sebuah kehidupan baru yang hadir. Mengubah banyak hal dalam kehidupan sebuah keluarga. "Suaranya kencang sekali. Pasti dia anak laki-laki yang kuat." Andini tersenyum. Hatinya campur aduk dengan kejadian tiba-tiba ini. Senang, tapi masih sedikit cemas. Apakah Astari baik-baik saja? Bayinya juga, apakah benar-benar sehat? Allan memandang Andini yang masih gelisah, tetapi senyum Andini belum hilang dari bibirnya. "Sudah tahu nama anaknya Kak Tari?" Allan bertanya. Andini kembali mendekati Allan, duduk di tempatnya semula. "Ya. Kak Tari pernah bilang, Bintang. Baru itu yang aku tahu, belum tahu lengkapnya. Aku ga sabar mau lihat dia." Pintu ruangan itu terbuka. Velia keluar dari sana. Allan dan Andini memandang Velia yang berjalan ke arah mereka. "Tan, gimana?" Andini menatap Velia. Velia tersenyum. "T

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status