"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya heran."Itu adalah upacara pengukur energi seorang Healer, setiap lukisan sudah dimanterai untuk mengetahui potensimu dan sebenarnya kau punya Energi yang hampir menyeimbangi seorang Dewa." Tabib Gilovich menjawab sembari duduk disalah satu bangku. "Tapi tampaknya kau lupa menggunakan kekuatanmu, maka aku akan melatihmu lagi," ucapnya. "Aku ingin menanyakan satu hal juga," ucap Aricia."Katakan, aku tak suka berbasa basi.""Apa kau tahu mengenai kematianku?" tanya Aricia dengan pandangan mata yang serius, ia tau jika Tabib Agung Gilovich mengetahui kebenaran dari semua ini. Setidaknya itulah dugaan Aricia karena menganggap Tabib Gilovich sebagai salah satu yang berpengaruh. Tabib Agung Gilovich menatap Aricia. "Kau memang kembali tapi seolah jadi orang lain." Pria Tua itu berucap sembari beranjak berdiri dan mengibas ujung lengan jubahnya yang lebar itu. "Bergegaslah, latihan akan dimulai," ucap Pria itu sembari beranjak pergi.Sepeninggalan Tabi
"Nak, Gracewill terakhir terlihat lima tahun lalu, itupun karena Kepala Keluarga Gracewill dipanggil Yang Mulia Clara untuk melaporkan kematian dari Putri Termuda mereka yang berbakat itu," jawab Sang Nenek."Mengapa semua orang membenci Gracewill?" tanya Aricia."Itu karena ... Putri Termuda mereka jadi Healer paling berbakat disepanjang sejarah, ia dibenci karena kemampuannya yang luar biasa hebat bukan karena kesalahannya." Nenek itu tersenyum. "Satu kesalahan saja akan diingat oleh manusia meski kau membuat seribu kebaikan sekalipun, itulah yang membuat Iblis mudah menyerang kita." Nenek itu melambaikan tangannya kala Aricia memulai perjalanannya. Aricia menggunakan petunjuk Sang Nenek untuk pergi menuju kediaman Gracewill. Kala itu hari nyaris menjelang petang, Aricia tiba di tengah hutan belantara. Pepohonan wisteria tumbuh subur di sekitar hutan ini. warna kelopak magenta yang gugur memenuhi sepanjang jalanan setapak menuju ke sebuah kediaman.Aricia mendadak gugup karena temp
"Jangan mencoba lebih mahir dariku atau Emily," cibir Gadis itu. "Akulah yang akan lolos jadi lulusan terbaik Healer," ucap Gadis itu dengan tatapan sinisnya. Kemudian meninggalkan Aricia yang mematung di ruang tamu."Apa ... yang baru saja terjadi?" gumam Aricia masih memengangi pipinya sendiri. Demi menyelesaikan Quest agar bisa kembali ke alur dunia ini, Aricia menghela napas dan membiarkan rasa berdenyut di pipi usai diberi tamparan oleh Karina. Aricia menatap kediaman mewah ini kemudian berjalan keluar dari ruang tamu. Ia mendapati para pelayan sibuk mengurusi seisi mansion, ada yang sedang membukakan pintu untuknya, ada yang berjalan membawa hidangan makanan dan ada yang sedang mengelap vas-vas kaca yang mahal itu. Aricia menghela napas. Ia sadar jika Aricia di dunia ini benar-benar anak seorang bangsawan yang hidupnya tragis. "Aku ... benar-benar tak menyangka, sebenarnya apa yang Babushka itu hendak perlihatkan padaku?" tanya Aricia seorang diri. Aricia pu mendatangi ruang
"Ayah, tunggu!" teriak Aricia sembari bangkit berdiri. Ia berjalan menghadapi ayahnya dikala Earl Gracewill baru saja hendak meninggalkan ruang makan. "Aku anakmu, katakan kepadaku kenapa aku selalu dianggap tabu dan aneh?" tanya Aricia. Ia pikir hanya itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi mengenai dirinya saat ini agar bisa mengetahui teka-teki dari Babushka. Babushka yang sedari tadi menunduk dan patuh terhadap tuannya mulai tertawa usai mendengar pertanyaan dari Aricia. "Kedua mata merah kutukan, katakan Earl ... Putri bungsumu tiada memiliki warna mata warisan dari Gracewill melainkan mata dari Sang Iblis," celetuk Babushka. "Oh, aku mulai bosan mendengar hal itu," sahut Aricia. "Kau menyadari permainan waktu ini?" tanya Babushka. Aricia tersenyum miring. "Ini masa lalu bukan? kau mau menunjukkan bagaimana hidup Aricia sebelum ini atau ... kau mau menunjukkan hidupmu di masa lalu?" terka Aricia sembari melipat kedua tangan di depan dadanya bersidekap. Seluruh
"Itu dia, Anak Kutukan, masih punya nyali ternyata memasuki kelas," ucap Murid Laki-laki.Aricia Anahita Gracewill memakai jubah putih dan seragam Markas Penyembuh namun kali ini penampilannya berbeda karena ia merelakan rambut hitam panjangnya jadi lebih pendek seperti laki-laki. Rambut pendek itu tetap saja tak bisa menipu keindahan wajahnya yang jelita itu. Aricia tidak lagi terkejut menghadapi Para Murid yang memang terdiri atas para pria. "Berkat ulahmu, tiada murid perempuan yang lagi boleh bersekolah di Markas Penyembuh untuk jadi seorang Healer, itu perintah Ratu." Pemuda berwajah bintik-bintik itu berucap sembari menghadang Aricia yang hendak duduk di salah satu bangku.Aricia terkekeh sendiri. "Oh, Ratu terlalu takut kalah saing sampai-sampai tak memperbolehkan Wanita bersekolah," ucap Aricia dengan santai. Ia melintasi Pemuda itu kemudian duduk di sebuah bangku pada kelas ini. Lamban laun Aricia mulai terbiasa dengan kebencian para murid padanya. Seorang Pengajar berjalan
"Manusia itu lebih kejam dari pada iblis karena mereka masih bisa tertawa usai menyakiti orang lain," celetuk Aricia di pagi hari. Ia tengah bersiap dengan memakai atasan putih polosnya, baru usai mandi karena rambut hitam pendeknya masih basah. Aricia membenahi poni panjang rambutnya, seperti Pemuda dengan wajah jelita. Aricia mengenakan jas mantel hitamnya, salah satu seragam di musim dingin. Aricia menghela napas sembari memasang dasi kupu-kupunya. "Rasanya lelah juga bergulat dengan kebencian," ucap Aricia sembari beranjak keluar dari kamarnya sembari menenteng buku yang akan ia baca sembari berjalan menuju ke kelas. "Nona Gracewill!" Aricia langsung menoleh mendapati Pengajar Arlo yang terperanjat kaget sementara disebelahnya Tabib Agung Gilovich hanya menatap biasa sosok Aricia. Aricia memberi hormat pada guru-gurunya itu, sementara mengabaikan keterkejutan Pengajar Arlo karena masih bisa menatap Aricia yang masih hidup. "Salam Pengajar Arlo, Tabib Agung Gilovich," ucap Aric
"Aku Alfred Slyvian," ucap Pemuda itu."Ah, aku tidak tahu dari keluarga mana dirimu tapi terima kasih, kupikir tiada yang mau berteman denganku," sahut Aricia."Siapa bilang? aku mengangumimu Nona Gracewill, orang dari kalangan biasa saja yang beruntung masuk ke Markas Penyembuhan karena beasiswa sepertiku ini." Pemuda itu berucap sembari mengangguk malu. "Kalau begitu, Aku akan kembali ke kamar sebelum Pengawas menemukanku, semoga tanganmu lekas sembuh Nona Gracewill." Pemuda itu beranjak pergi usai berucap.Aricia melambaikan tangannya namun setelah itu ia memasuki kamarnya kembali. Aricia melihat jar kecil berisi salep tumbuhan itu. "Setidaknya ada yang mau berteman denganku," ucap Aricia. Kala itu Aricia menaiki ranjang tidurnya kemudian lelap dalam tidurnya. Sesuatu yang aneh terjadi padanya, Aricia tidur sembari mengenakan kalung liontin milik mendiam Sang Ayah. Aricia ingat sekali jika ia terlelap dalam mimpi tapi yang tidak ia ketahui jika Liontin itu juga yang membawanya ke
"Ayo, kau masih harus melakukannya selama 30 kali lagi," ucap Tabib Agung Gilovich sedang duduk dibangku sembari menikmati secangkir tehnya. Ia sedang mengawasi Aricia yang sedang melakukan push up usai berlari sebanyak lima kali mengelilingi lapangan Markas Penyembuh. Aricia sudah bermandikan keringat menahan lelah, sudah tiga minggu ia melakukan kegiatan fisik seperti ini. Tabib Gilovich tidak memandang Aricia sebagai Perempuan untuk melatihnya dengan keras, tidak tanggung jika Aricia gagal maka ia akan dihukum. "Awww!" jerit Aricia ketika salah satu telapak tangannya terluka akibat menyentuh permukaan tanah yang berkerikil kasar itu. Tubuhnya jadi berbaring di tanah kemudian mengatur napas yang sudah tak beraturan itu. Aricia merasa lelah melakukan latihan fisik sepanjang tiga minggu ini."Apa yang kau lakukan murid bodoh! latihanmu belum selesai!" bentak Tabib Gilovich. Aricia jadi kesal. Mengabaikan kedua tangannya yang sudah dipenuhi lecet itu, dia memandangi Tabib. "Datang,