Share

The Slap

Carla menemuka Cheril tengkurap menangis di kamar rawatnya. Gadis bermata abu-abu itu sungguh tak senang melihat sahabat kecilnya yang biasanya selalu terlihat ceria menjadi begitu sedih. Ia benar-benar kesal dengan sikap Sbastian yang begitu kasar dan angkuh.

“Hai, apa kau baik-baik saja?” Carla menyentuh pundak Cheril dengan lembut.

Gadis kecil itu tak menjawab. Ia masihh menangis sesenggukan. Carla duduk di atas tempat duduk sahabat kecilnya. Ia membelai lembut rambut Cheril yang dikuncir kuda.

“Cheril, di dunia ini tidak semua orang baik, mungkin Dokter Sbastian adalah salah satu orang yang tidak baik itu. Jadi, berhentilah untuk menangisinya! Dia sama sekali tidak pantas untuk menerima kebaikanmu,” Carla mencoba untuk menghibur sahabat kecilnya.

Cheril mulai tenang, kemudian ia bangkit dari posisi tengkurapnya. Duduk menatap Carla dengan mata yang masih dipenuhi air mata, “Jadi, dia bukan orang baik?”

Carla tersenyum lembut, “Ya, menurutku dia bukan orang baik.”

“Tapi dia tampan,” ucap Cheril dengan wajah polos.

Carla memegang lehernya, berusaha mencari cara agar Cheril tak lagi mengingat Sbastian, “Menurutku dia tidak terlalu tampan. Masih ada dokter yang lebih tampan darinya. Kau tahu aku ini memiliki selera yang sangat tinggi tentang pria.”

Cheril tertawa kecil, Carla menhapus air mata gadis itu dengan tangannya, “Jadi, karena kau memilki selera tinggi sehingga sampai sekarang kau tidak memiliki kekasih?” tanya Cheril yang membuat Carla terkejut.

“Kenapa kau diam?” tegur Cheril.

“Aku…aku sedang berpikir, kau benar seleraku terlalu tinggi sehingga aku sangat pemilih untuk mencari kekasih,” ucap Carla dengan kikuk.

“Kau tidak sedang berbohong bukan?” Cheril menatap Carla dengan tatapan menyelidik. Gadis bermata abu-abu itu menggelengkan kepalany, “Tentu saja tidak Cheril.”

Setelah itu, Carla pun memeluk Cheril dengan pelukan penuh kasih sayang, “Bagaimana jika kita ke aula. Pasti pertunjukannya sudah dimulai?” Carla kembali ingat tentang pertunjukan pentas seni yang diadakan di aula rumah sakit.

“Tidak, itu acara untuk anak-anak. Aku tidak mau datang,” tolak Cheril dengan wajah menggemaskan.

Carla tertawa kecil, ia menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kau juga masih anak-anak Cheril.”

Gadis sembilan tahun itu memberikan tatapan kesal pada Carla, “Aku ini sudah besar, bukan anak-anak lagi. Aku seorang remaja,” ucap Cheril dengan penuh percaya diri.

Carla terbelalak, “Baiklah, gadis remaja. Tapi tidak ada salahnya menonton pertunjukan itu bukan? Aku juga bukan anak-anak tapi aku ingin menontonnya,” Carla tak ingin membuat Cheril kembali kesal.

Gadis kecil itu meletakkan jari telunjuk tangan kanannya di dagu, menopang tangan kanannya dengan tangan kiri, matanya melirik ke atas. Dia sedang berpikir.

“Kenapa diam?” tanya Carla.

“Aku sedang berpikir Carla. Baiklah, setelah aku pikirkan, tidak ada salahnya kita menonton pertunjukan anak-anak itu,” ucap Cheril dengan nada bicara orang dewasa.

Carla menganggukkan kepalanya, “Jadi, tunggu apalagi, ayo kita ke sana!”

Keduanya pun berjalan sambil berpegangan tangan menuju aula rumah sakit ST Thomas’. Carla senang karena sahabat kecilnya bisa kembali tersenyum dan tak lagi menangis kecewa karena ulah si dokter sombong.

Carla sangat menyayangi gadis kecil itu, ia sudah menganggapnya sebagai adik sendiri. Pertama kali gadis bermata abu-abu itu bertemu dengan Cheril adalah tiga bulan lalu, saat Cheril pertama kali didiagnosa mengalami gagal ginjal. Carla sangatlah kagum dengan gadis kecil itu karena sangat tegar dalam menghadapi penyakitnya.

***

Meski Cheril tak menganggap dirinya anak-anak dan mendeklarasikan diri sebagai gadis remaja, tetapi tetap saja dia masih anak-anak. Dia bersorak gembira saat menyaksikkan anak-anak lain sedang bermain drama Pinokio di atas panggung aula.Kesedihan dan kekecewaan yang tadi terlukis jelas di wajahnya kini sepenuhnya telah lenyap, digantikan senyum ceria.

“Kau sangat menyukai pertunjukannya?” bisik Carla di telinga Cheril.

“Diamlah Carla! Jangan berisik! Saat kau menyaksikkan pertunjukkan, kau harus tenang! Bersikaplah dewasa!” tegur Cheril dengan suara berbisik.

Carla terperangah mendapatkan teguran dari seorang gadis berusia sembilan tahun, “Kau menyuruhku diam, tapi kau terus bersorak,” gerutu Carla.

Cheril melirik tajam Carla, “Sst…berisik!” ucap Cheril dengan kesal.

Carla memutar bola matanya kesal, “Baiklah, aku akan diam. Aku akan ke kamar mandi, jangan mencariku!”

“Pergilah! Aku tidak akan mencarimu,” ujar Cheril dengan acuh.

Carla berdiri dari tempat duduknya. Ia pun berjalan keluar aula. Berjalan menuju kamar mandi yang berjarak beberapa meter dari tempat pertunjukan berada. Saat itulah, ketika dia akan masuk ke dalam kamar mandi perempuan, dilihatnya si dokter sombong yang telah melukai perasaan sang sahabat kecil.

Carla mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Ia berjalan menghampiri Sbastian yang sedang berjalan menuju ruangannya.

“Hei kau, dokter brengsek!” teriak Carla dengan cukup keras hingga bisa didengar oleh beberapa orang yang sedang berada di sekitarnya dan Sbastian.

Si dokter bermata hijau terkejut dengan teriakannya itu. Ia menghentikan langkah kakinya, mencari sumber suara. Setelah menemukan orang yang mengatainya, dia mengeluarkan tatapan tajam siap menerkam.

Carla tak takut sedikit pun. Dia terus berjalan mendekati dokter itu dengan tatapan yang tak kalah tajamnya. Sejak tadi dia telah menahan amarah dan kini dia siap mengeluarkan amarahnya itu.

Plak!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Sbastian. Dokter itu terbelalak. Terkejut dengan tamparan yang begitu tiba-tiba datangnya. Orang-orang yang melihat kejadian itu secara spontan membukan mulut karena rasa terkejut.

“Gadis gila! Apa yang kau lakukan?” ucap Sbastian dengan geram.

Carla bersidekap, “Memberi pelajaran pada seorang dokter yang telah menyakiti hati seorang anak kecil,” jawab Carla dengan penekanan di setiap kata yang diucapkannya.

Sbastian mengepalkan tangan kanannya yang menggantung di samping tubuh. Mencoba untuk menahan amarahnya.

“Kau tidak terima? Kau bisa membalas tamparanku!” Carla menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan mendekatkan pipinya ke hadapan Sbastian.

“Kau menantangku?” tanya Sbastian dengan sorot penuh amarah.

Carla tersenyum sinis, “Anggap saja begitu.”

Plak!!

Sebuah tamparan pun mendarat di pipi kanan Carla. Terasa panas. Namun, gadis itu sama sekali tak menangis atau bersikap lembek. Tatapannya masih sama tajam dengan sebelumnya. Hatinya sama sekali tak menciut atau takut dengan dokter yang berdiri di hadapannya itu. Orang-orang yang ada di sekitar mereka mulai berbisik-bisik, namun baik Carla maupun Sbastian tak memedulikan hal itu.

“Kau pikir karena kau perempuan, aku tidak akan membalas tamparanmu? Apa sekarang kau menyesal telah menantangku?” ucap Sbastian dengan dingin.

Carla tertawa sarkas, “Tidak! Aku sama sekali tidak menyesalinya. Aku senang kau membalas tamparanku karena dengan begitu aku tidak perlu merasa bersalah karena telah menamparmu, tapi kau akan merasa bersalah.”

Sbastian berkacak pinggang, “Apa kau pikir aku akan menyesali perbuatanku menamparmu? Sayangnya itu tidak akan terjadi. Aku tidak pernah menyesali tindakanku.”

“Bukan menyesali tamparan yang kau layangkan padaku tapi menyesali perbuatanmu pada gadis sembilan tahu. Gadis polos yang mengangumi tetapi kau hancurkan hatinya dan kau buat dia menangis,” ucap Carla dengan geram. Sbastian hanya diam. Pria itu tak menanggapi.

“Semoga harimu menyanangkan Dokter Sbastian yang sombong,” ucap Carla dengan tatapan benci. Kemudian, dia pun pergi meninggalkan Sbastian yang masih berdiri di tempatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status