Pintu pondok kembali terbuka sebelum matahari naik ke ubun-ubun. Celia berdiri di ambang, topeng putihnya memantulkan garis tipis cahaya yang lolos dari sela dinding kayu. Di belakangnya, Bhubu menyelinap—membawa kantong kain berisi botol kecil dan bungkusan daun.“Boleh bicara sebelum kalian berangkat?” suara Celia rendah, terkendali.Axxa—yang sedari pagi sudah menyiapkan kereta—menoleh ke halaman. “Kambing hutan siap. Kita punya waktu, tapi tidak banyak.”“Aku akan mendengarmu,” kata Anza. Ia menunjuk bangku pendek. “Masuklah.”Mereka kembali duduk di ruangan yang sama: meja rendah, perapian kecil yang dibiarkan menyala pelan, Leo meringkuk di pojok bantal sambil mematuki biji-bijian. Arra duduk tegak, setengah bersandar pada dinding, katana bersarung melintang di pangkuan. Axxa bersila di dekat pintu, menghadap ke luar. Anza—balut perban di sisi tulang rusuknya masih baru—menahan diri untuk tidak terburu-buru. “Kau bilang ada yang perlu kami dengar.”Celia mengangguk. Kali ini ia
Jalur batu menurun makin sempit. Di kanan, dinding tebing menjulang; di kiri, rimbun pepohonan menyembunyikan sungai yang mengalir tenang. Hanya suara air dan langkah kaki mereka yang terdengar—Reinalt di depan, Haya setengah langkah di belakangnya, Hana memeluk Lumi di tengah, Kael berjalan hati-hati seperti kuda perang yang menahan instingnya untuk terbang.Mereka sendirian. Sio sudah berbalik di bibir lembah; petunjuknya tinggal gema di kepala—ikuti sungai, cari batu retak berbentuk huruf Syl. Beberapa kali Reinalt berhenti, mengamati tanda yang dipahat samar pada batu: goresan mirip aksara, ditutup lumut tipis. Ia menjejak ke depan lagi tanpa banyak kata.Semakin dekat lembah, kabut menipis. Rumah-rumah kayu berangka batu muncul di sela pepohonan, atapnya rendah, jendelanya sempit. Seorang perempuan tua membawa keranjang daun, menyeberang jalan tepat di depan mereka… dan berlalu begitu saja, seolah tak melihat rombongan asing lewat. Seorang remaja berambut hijau gelap memanggul ta
Cahaya pagi menembus celah-celah dinding pondok, menorehkan garis tipis di lantai kayu yang masih dingin. Anza duduk di tepi ranjang, tangannya menekan kening, kalimat Celia terus berulang dalam kepalanya: darah beracun… tidak diterima… dibuang.Kalau anak campuran saja ditolak… bagaimana dengan manusia penuh?Napasnya tercekat. Hana. Reinalt..Wajah mereka muncul di kepalanya, ditutup kabut. “Kalau suku Anxaxin benar membenci manusia,” ucapnya nyaris berbisik, “mereka dalam bahaya.”Arra yang duduk di dekat jendela berhenti meraut gagang katananya. “Anxaxin memang keras. Mereka menjaga rune, tapi adat mereka… bisa kejam.”Axxa menoleh dari kursi, tubuhnya masih besar meski dibalut perban. “Kalau begitu, kita tidak bisa menunggu di sini.”Anza mengangguk. “Kita harus berangkat.”Leo di pangkuannya bergerak pelan, bulu keemasan kecilnya mengusap perban Anza seakan menguatkan. Anza membalas dengan usapan singkat. Ia menegakkan tubuh, meski kepalanya masih berat.“Aku coba sesuatu dulu,”
Pintu itu terbuka pelan. Cahaya pagi menimpa topeng putih tersenyum—dua guratan hitam seperti air mata yang tertahan di bawah mata—sebelum sosok itu melangkah masuk. Lantai kayu tidak berderit. Udara dingin dari luar ikut mengalir barang sehela, lalu terperangkap oleh hangatnya ruangan. Anza, yang masih setengah bangkit di ranjang, refleks menegang. Arra sudah siap menoleh sambil menyentuh gagang katana; Axxa mengangkat badannya dari kursi panjang, telinga menajam, napas memadat. Lalu mereka bertiga sama-sama mengembuskan napas—wanita bertopeng itu bukan ancaman. Bukan sekarang. “Dari tadi aku mikir,” gumam Arra setengah berbisik. “Dia jalan, tapi lantai nggak bunyi.” “Dia napas, tapi suara nggak keluar,” sambung Axxa, mengendus ke udara. “Hawa kehadirannya… nol.” Topeng itu hanya miring sedikit, seolah menanggapi tanpa perlu suara. Ia menaruh baki di meja pendek: teko, gulungan perban, dua botol kecil, dan sebilah batu tulis tipis dengan kapur. Tangannya bersarung, geraknya ra
Suara “Gencatan!” masih bergema di antara tebing dan kabut. Dua belas tombak bergeser turun seujung lengan, delapan busur melunak tapi tetap terarah. Air terjun mengaum di samping mereka, kontras dengan keheningan yang menegangkan.Lencana perak tergeletak di atas batu basah, memantulkan cahaya pucat. Pemuda bertopeng yang tadi melepas panah pertama berlutut, jemarinya meraih benda itu. Ia mengangkat lencana setinggi mata, mengusap permukaannya dengan sarung tangan kasar. Ukiran wajah Eldrin, huruf-huruf kuno, dan lingkar daun terlihat jelas.Suara pemuda itu pecah di udara:“Eldrin Caelvaris… 4712 Sylvara.”Sunyi. Bahkan aliran air di sisi tebing terdengar seperti ditahan.Pemimpin rombongan—bertubuh setinggi Reinalt, topeng berhidung panjang berwarna hitam dengan gurat merah di pipinya—maju selangkah. Bahunya lebar, posturnya kokoh. Suaranya berat, tenang, tapi tegas.“Dari mana kalian mendapat tanda penjaga itu?”Reinalt melangkah maju. Naval cutlass masih di tangannya, menunduk re
Cahaya tipis merembes lewat celah papan, menggambar garis-garis emas di langit-langit kayu. Udara lembap bercampur wangi rempah, suara sungai terdengar jauh, seperti dibungkus kain. Anza membuka mata pelan; dunia datang dalam beberapa lapis—buram, lalu samar, lalu jelas. Perban melilit dada dan bahunya, kaku oleh ramuan. Ia mencoba bangkit setengah, tertahan perih yang memanjat tulang. “Bangun juga,” suara datar tapi lega menyapa. Arra duduk bersila di lantai dekat jendela, katana tergeletak di pangkuan. Di meja kayu, Axxa—setengah harimau, setengah manusia, seratus persen bangga diri—sedang mematah-matahkan daging kering untuk sarapan. Griffin mungil itu menyambar sepotong, mengepak sekali, lalu mendarat di pundak Arra seperti jenderal inspeksi. “Hei!” Axxa protes. “Itu jata—” Leo menoleh malas, “kriik” pendek, lalu sengaja mengunyah lebih keras. Arra tidak berkedip. “Kau kalah cepat dari bayi bersayap.” “Griffin,” koreksi Axxa dramatis. “Jangan diremehkan.” Anza ingin tertawa,