Malam itu, apartemen Anza terasa lebih sunyi dari biasanya. Hana duduk di kursi, menatap makhluk kecil berbulu keemasan yang terbaring di sofa dengan ekspresi penuh perhatian. Meski luka-lukanya sudah dibalut, ada sesuatu yang membuat suasana di dalam ruangan terasa aneh—seperti ada energi asing yang menggantung di udara.
Leo—begitulah Hana mulai menyebutnya—tidak lagi mengerang kesakitan, tapi tubuhnya masih sangat lemah. Nafasnya teratur, tapi sesekali bulu keemasannya tampak berpendar samar, seperti berdenyut mengikuti detak jantung yang tak kasatmata. “Kau yakin dia baik-baik saja?” tanya Anza, memecah keheningan. Hana menghela napas pelan, masih menatap Leo tanpa berkedip. “Sulit untuk memastikan. Aku belum pernah menangani makhluk seperti ini sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang dia tidak kesakitan.” Anza mengangguk pelan. Ia bangkit dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Hujan sudah berhenti, tetapi jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu jalan yang berpendar. Normalnya, suasana seperti ini akan membuatnya sedikit tenang. Tapi tidak malam ini. Ada sesuatu yang mengusik hatinya—sebuah firasat buruk. “Aku akan menyeduh teh,” kata Hana tiba-tiba, bangkit dari kursinya. “Kau mau?” “Ya, boleh,” jawab Anza singkat. Namun, sebelum Hana sempat melangkah ke dapur, Gedoran keras menghantam pintu. DUG DUG DUG! Anza tersentak dan menoleh cepat. “Kau menunggu tamu?” bisik Hana, ekspresinya langsung berubah tegang. Anza menggeleng. “Tidak.” Suara gedoran semakin keras, kali ini disertai suara berat dari luar. “Buka pintunya! Kami tahu kau menyembunyikan sesuatu!” Darah Anza berdesir. “Apa-apaan ini?!” bisiknya, panik. Hana dengan refleks mendekat ke sofa, melindungi Leo dengan tubuhnya. “Za, mereka datang untuknya,” katanya, suaranya lebih tegas kali ini. Anza menatap Leo yang masih lemah di sofa. Makhluk kecil itu membuka matanya perlahan, tatapannya seperti memahami situasi yang terjadi. Ia mengeluarkan suara lirih, hampir seperti peringatan. Gedoran di pintu berubah menjadi dentuman keras, seolah seseorang mencoba mendobraknya. “Serahkan makhluk itu kepada kami, dan kalian tidak akan terluka!” Anza langsung mengunci pintu lebih rapat, meskipun ia tahu itu tidak akan bertahan lama. “Kita harus kabur,” bisik Hana, wajahnya penuh kewaspadaan. “Ke mana? Kita ada di lantai lima!” balas Anza, suaranya nyaris bergetar. Hana berpikir cepat, lalu membuka jendela dengan paksa. Angin malam yang dingin langsung menyusup ke dalam ruangan. “Kalau mereka masuk, kita tidak punya pilihan lain.” Leo berusaha bangkit, meskipun tubuhnya masih lemah. Anza meraih tas kecil di meja, lalu dengan hati-hati memasukkan Leo ke dalamnya. “Maaf, kawan kecil, ini mungkin agak tidak nyaman,” gumamnya. Suara pintu yang jebol terdengar di belakang mereka. “Mereka kabur!” Tanpa pikir panjang, Hana melompat keluar jendela menuju balkon apartemen tetangga yang berjarak tidak terlalu jauh. Anza mengikutinya, membawa tas yang kini menjadi tempat perlindungan Leo. Saat mereka berhasil turun ke halaman belakang apartemen, suara langkah-langkah berat terdengar semakin dekat. “Mereka pasti bukan orang biasa,” ujar Anza, setengah berbisik. “Percaya padaku, aku juga menyadarinya,” sahut Hana tajam. “Tapi kita tidak punya waktu untuk menganalisis sekarang.” Mereka berlari melewati gang sempit di belakang apartemen, tetapi sebelum mereka bisa mencapai jalan utama, salah satu pengejar berhasil menghadang mereka. Seorang pria berbadan besar dengan seragam hitam berdiri di ujung gang, mengacungkan senjata aneh yang tampak seperti senapan, tetapi desainnya terlalu modern—terlalu asing. “Serahkan makhluk itu, atau kalian akan mati di sini.” Anza langsung berdiri melindungi Hana, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Kami tidak tahu apa yang kalian inginkan!” balasnya, mencoba terdengar tegas. Namun, sebelum pria itu sempat melangkah lebih dekat, Leo tiba-tiba mengeluarkan suara keras dari dalam tas. Seketika, cahaya keemasan intens memancar dari dalam tas tersebut. Anza dan Hana terkejut. Mereka berdua menatap tas yang kini bergetar hebat, disertai dengan kilauan yang semakin terang. Dalam sekejap, Leo mulai berubah. Bulu-bulunya bersinar, tubuhnya membesar dengan cepat, dan sayapnya yang tadinya kecil kini berkembang menjadi sepasang sayap raksasa yang megah. Griffin itu telah bangkit. Pengejar itu terbelalak, langkahnya mundur. Leo mengeluarkan raungan keras. Raungan itu menggema di gang, membuat kaca jendela di sekitar mereka bergetar hebat. Dengan satu kibasan sayapnya, angin kencang meledak, menghantam pengejar itu dengan keras hingga ia terhempas ke dinding. Senjatanya terlepas dan jatuh ke tanah, hancur berkeping-keping. Hana menarik lengan Anza. “Kita harus pergi sekarang!” Leo menatap mereka, lalu membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi isyarat agar mereka naik ke punggungnya. Anza masih terkejut, tetapi tidak punya waktu untuk berpikir dua kali. Ia membantu Hana naik sebelum dirinya sendiri. “Semoga ini bukan keputusan yang salah,” gumam Anza saat Leo mengepakkan sayapnya. Dalam sekejap, mereka melesat ke langit malam. Di bawah sana, pengejar yang tersisa hanya bisa menatap dengan ketakutan. Mereka telah kehilangan targetnya. Dan kini, permainan yang jauh lebih besar baru saja dimulai.Kereta berhenti di jalur batu yang berakhir di depan gerbang kayu besar. Rumah di depannya dikelilingi pagar tumbuhan merambat, menjulang rapi seperti tembok hijau. Udara di tempat ini lebih sejuk, angin berembus dari ladang luas yang mengelilinginya. Jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya suara dedaunan dan denting alat pertanian yang terdengar samar dari kejauhan.Begitu mereka turun satu per satu, dua sosok muncul diam-diam di belakang Reinalt.Langkah mereka tak bersuara, seperti bagian dari bayangan rumah itu sendiri.Arra, elf bermata tajam dengan rambut perak sebahu dan katana panjang di punggungnya.Axxa, manusia setengah harimau dengan tubuh besar dan tenang, membawa pedang shotel yang tergantung di punggung.Anza, Hana, dan Haya terkejut, langkah mereka terhenti mendadak. Haya bahkan sempat mengangkat tombaknya sedikit.Reinalt hanya bergumam datar, “Sudah datang rupanya.”Hana langsung maju. “Bagaimana keadaan Eldrin?! Dia selamat, kan?!”“Apakah dia baik-baik saja?” sambung Hay
Roda kereta bergulir pelan, memantul lembut di atas jalanan berbatu yang menurun. Di dalam, ruang sempit terasa lebih hangat dibanding kota. Aroma kayu dan karpet tenun memenuhi kabin. Tapi tak ada yang bersandar nyaman.Reinalt duduk diam, Kael meringkuk tenang di sampingnya.Hana memeluk Lumi, yang sesekali menggeliat dalam selimut tipis.Haya bersandar di sisi kiri, menatap tirai yang tak sepenuhnya menutup jendela.Anza duduk paling pojok, Leo kecil terbaring lemah di pelukannya, napasnya lambat tapi stabil.Di depan mereka, Tarin duduk dengan tongkat disandarkan di lutut. Wajahnya tetap santai, tapi sorot matanya lebih serius sekarang."Kurasa ini waktu yang tepat untuk saling bertukar kabar," katanya, membuka pembicaraan.Reinalt menoleh cepat. “Apa yang kau tahu sejauh ini?”Tarin mengangguk. “Banyak. Dan belum semuanya bagus.”Ia menghela napas. “Jaringanku di istana bilang... Raja tak lagi sepenuhnya berdaulat. Sejak insiden Heavenly terakhir, Hoplites makin menekan. Dan seka
Tapak sepatu berdetak pelan di atas papan kereta. Tirai bergeser. Seseorang muncul. Seorang pria tua, tinggi, rambut putih diikat ke belakang, wajahnya dihiasi brewok tipis. Matanya biru terang, seperti danau yang tak bisa dibaca dalam sekali pandang. Ia memegang tongkat kayu gelap, dan pakaiannya sederhana, tapi jelas potongan bangsawan—rapi tanpa kesan pamer. Tubuhnya masih kekar untuk pria seusianya, dan setiap geraknya mantap, seperti orang yang tahu betul ke mana ia melangkah. Ia melihat kelima orang di depannya. Dan—tanpa aba-aba—tertawa keras. “HAHAHA! Lihat kalian! Wajah-wajah tegang seperti habis dikejar naga!” Reinalt refleks maju satu langkah. “Kau benar-benar—” Tarin mengangkat satu tangan. “Tenang, tenang. Jangan tarik pedangmu dulu, Reinalt. Masih ingat caraku menyapa?” Reinalt menggeram. “Kau tak pernah bisa masuk dengan cara normal, ya?” Sementara itu, Anza, Hana, dan Haya saling bertukar pandang—campuran bingung, siaga, dan siap bertindak. Tarin m
Udara siang menekan, padat dan penuh bisikan yang tak terdengar.Dari pintu kayu belakang rumah Bu Nirra, lima sosok berkerudung melangkah keluar tanpa suara. Langkah mereka menyusuri gang sempit, berbaur dengan bayangan tembok dan aroma roti madu yang perlahan memudar.Reinalt berjalan di tengah, jubahnya agak longgar karena di baliknya tersembunyi Kael, hippogriff kecil yang tidur nyenyak. Di depannya, Haya berjalan cepat, berbelok dan mengamati ujung gang lebih dulu sebelum memberi isyarat untuk lanjut. Hana di sisi kiri belakang, menjaga gerakan sambil memeluk Lumi erat di dalam tas. Anza berada paling belakang, menggendong Leo yang lemah dalam pelukannya.Tak ada yang bicara.Mereka tak perlu. Setiap napas diatur, setiap gerakan diperhitungkan.---Tembok keempat setelah belokan pertama membuat Reinalt berhenti.Di sana, tertempel selebaran.REINALT EVERHARTDICARIHIDUP-HIDUPKertas itu masih segar, cetakannya gelap. Di sudut bawah, cap kerajaan tercetak rapi, membuat pesan itu
Cahaya siang menyusup lembut melalui jendela kecil di ujung kamar. Udara yang masuk membawa aroma madu panggang dari dapur bawah—hangat, ringan, dan menenangkan.Anza membuka matanya perlahan.Langit-langit kayu menyambut pandangannya, bergoyang samar karena kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba duduk… perlahan… dan berhasil tanpa bantuan, meski tubuhnya terasa seperti baru saja bangun dari mimpi yang terlalu dalam.Di sudut ruangan, Reinalt duduk di atas kursi rendah, tangan terlipat, pandangannya tertuju ke lantai. Tapi ia langsung menoleh ketika mendengar suara kasur berderit pelan.“Selamat datang kembali.” Suaranya pelan, tapi lega.Anza menatapnya sebentar. “Di mana… kita?”“Masih di ibukota,” sahut Reinalt. “Di rumah salah satu warga yang membantu. Kita aman untuk saat ini.”Anza hanya mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba mencerna segalanya. Lalu membuka lagi. “Leo?”Sebelum Reinalt menjawab, suara pelan dari belakang menjawab lebih dulu.“Masih lemas, t
Sinar terakhir dari portal memudar di udara—dan hanya sekejap setelahnya, keributan pasar pecah.“Wah! Mereka jatuh dari mana?!”“Pangeran?!”Keramaian pasar ibukota Heavenly yang biasanya dipenuhi canda dan obrolan kini berubah menjadi gumaman bingung dan langkah-langkah ragu. Di tengah jalan utama yang dibatasi kios-kios makanan, kerajinan tangan, dan gantungan bunga, empat sosok muncul tiba-tiba dari udara, mendarat dengan suara lembut di atas batu yang masih basah oleh embun pagi.Tak ada darah. Tak ada luka.Namun mereka jelas... terengah-engah, limbung, dan kelelahan.Reinalt berdiri dengan satu lutut menyentuh tanah, menahan tubuh Anza yang tak sadarkan diri di lengannya. Nafasnya masih berat, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya sigap menyapu sekeliling.Hana berlutut di samping mereka, memeluk Leo kecil yang tampak lemah, serta Lumi yang bersembunyi gemetar dalam pelukannya.Haya terduduk di sisi lain bersama Kael, hippogriff yang telah mengecil secara sadar dan duduk t