Beranda / Fantasi / Heavenly Rift / Pengejaran dan Pelarian

Share

Pengejaran dan Pelarian

Penulis: Zan'Azheil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 12:46:24

Malam itu, apartemen Anza terasa lebih sunyi dari biasanya. Hana duduk di kursi, menatap makhluk kecil berbulu keemasan yang terbaring di sofa dengan ekspresi penuh perhatian. Meski luka-lukanya sudah dibalut, ada sesuatu yang membuat suasana di dalam ruangan terasa aneh—seperti ada energi asing yang menggantung di udara.

Leo—begitulah Hana mulai menyebutnya—tidak lagi mengerang kesakitan, tapi tubuhnya masih sangat lemah. Nafasnya teratur, tapi sesekali bulu keemasannya tampak berpendar samar, seperti berdenyut mengikuti detak jantung yang tak kasatmata.

“Kau yakin dia baik-baik saja?” tanya Anza, memecah keheningan.

Hana menghela napas pelan, masih menatap Leo tanpa berkedip. “Sulit untuk memastikan. Aku belum pernah menangani makhluk seperti ini sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang dia tidak kesakitan.”

Anza mengangguk pelan. Ia bangkit dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Hujan sudah berhenti, tetapi jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu jalan yang berpendar. Normalnya, suasana seperti ini akan membuatnya sedikit tenang. Tapi tidak malam ini.

Ada sesuatu yang mengusik hatinya—sebuah firasat buruk.

“Aku akan menyeduh teh,” kata Hana tiba-tiba, bangkit dari kursinya. “Kau mau?”

“Ya, boleh,” jawab Anza singkat.

Namun, sebelum Hana sempat melangkah ke dapur, Gedoran keras menghantam pintu.

DUG DUG DUG!

Anza tersentak dan menoleh cepat.

“Kau menunggu tamu?” bisik Hana, ekspresinya langsung berubah tegang.

Anza menggeleng. “Tidak.”

Suara gedoran semakin keras, kali ini disertai suara berat dari luar. “Buka pintunya! Kami tahu kau menyembunyikan sesuatu!”

Darah Anza berdesir.

“Apa-apaan ini?!” bisiknya, panik.

Hana dengan refleks mendekat ke sofa, melindungi Leo dengan tubuhnya. “Za, mereka datang untuknya,” katanya, suaranya lebih tegas kali ini.

Anza menatap Leo yang masih lemah di sofa. Makhluk kecil itu membuka matanya perlahan, tatapannya seperti memahami situasi yang terjadi. Ia mengeluarkan suara lirih, hampir seperti peringatan.

Gedoran di pintu berubah menjadi dentuman keras, seolah seseorang mencoba mendobraknya.

“Serahkan makhluk itu kepada kami, dan kalian tidak akan terluka!”

Anza langsung mengunci pintu lebih rapat, meskipun ia tahu itu tidak akan bertahan lama.

“Kita harus kabur,” bisik Hana, wajahnya penuh kewaspadaan.

“Ke mana? Kita ada di lantai lima!” balas Anza, suaranya nyaris bergetar.

Hana berpikir cepat, lalu membuka jendela dengan paksa. Angin malam yang dingin langsung menyusup ke dalam ruangan. “Kalau mereka masuk, kita tidak punya pilihan lain.”

Leo berusaha bangkit, meskipun tubuhnya masih lemah. Anza meraih tas kecil di meja, lalu dengan hati-hati memasukkan Leo ke dalamnya. “Maaf, kawan kecil, ini mungkin agak tidak nyaman,” gumamnya.

Suara pintu yang jebol terdengar di belakang mereka.

“Mereka kabur!”

Tanpa pikir panjang, Hana melompat keluar jendela menuju balkon apartemen tetangga yang berjarak tidak terlalu jauh. Anza mengikutinya, membawa tas yang kini menjadi tempat perlindungan Leo.

Saat mereka berhasil turun ke halaman belakang apartemen, suara langkah-langkah berat terdengar semakin dekat.

“Mereka pasti bukan orang biasa,” ujar Anza, setengah berbisik.

“Percaya padaku, aku juga menyadarinya,” sahut Hana tajam. “Tapi kita tidak punya waktu untuk menganalisis sekarang.”

Mereka berlari melewati gang sempit di belakang apartemen, tetapi sebelum mereka bisa mencapai jalan utama, salah satu pengejar berhasil menghadang mereka.

Seorang pria berbadan besar dengan seragam hitam berdiri di ujung gang, mengacungkan senjata aneh yang tampak seperti senapan, tetapi desainnya terlalu modern—terlalu asing.

“Serahkan makhluk itu, atau kalian akan mati di sini.”

Anza langsung berdiri melindungi Hana, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Kami tidak tahu apa yang kalian inginkan!” balasnya, mencoba terdengar tegas.

Namun, sebelum pria itu sempat melangkah lebih dekat, Leo tiba-tiba mengeluarkan suara keras dari dalam tas.

Seketika, cahaya keemasan intens memancar dari dalam tas tersebut.

Anza dan Hana terkejut. Mereka berdua menatap tas yang kini bergetar hebat, disertai dengan kilauan yang semakin terang.

Dalam sekejap, Leo mulai berubah.

Bulu-bulunya bersinar, tubuhnya membesar dengan cepat, dan sayapnya yang tadinya kecil kini berkembang menjadi sepasang sayap raksasa yang megah.

Griffin itu telah bangkit.

Pengejar itu terbelalak, langkahnya mundur.

Leo mengeluarkan raungan keras.

Raungan itu menggema di gang, membuat kaca jendela di sekitar mereka bergetar hebat. Dengan satu kibasan sayapnya, angin kencang meledak, menghantam pengejar itu dengan keras hingga ia terhempas ke dinding. Senjatanya terlepas dan jatuh ke tanah, hancur berkeping-keping.

Hana menarik lengan Anza. “Kita harus pergi sekarang!”

Leo menatap mereka, lalu membungkukkan tubuhnya sedikit, memberi isyarat agar mereka naik ke punggungnya.

Anza masih terkejut, tetapi tidak punya waktu untuk berpikir dua kali. Ia membantu Hana naik sebelum dirinya sendiri.

“Semoga ini bukan keputusan yang salah,” gumam Anza saat Leo mengepakkan sayapnya.

Dalam sekejap, mereka melesat ke langit malam.

Di bawah sana, pengejar yang tersisa hanya bisa menatap dengan ketakutan.

Mereka telah kehilangan targetnya.

Dan kini, permainan yang jauh lebih besar baru saja dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Heavenly Rift   Malam Kedua di Bawah Tebing

    Malam turun rapat di bawah perut tebing. Di lorong penjara Anxaxin, obor menyala hemat—cahayanya berkedip pendek, seperti enggan bersaksi. Dinding batu basah memantulkan tetes air yang jatuh berkala, membentuk irama dingin yang menempel di kulit. Jeruji di depan Reinalt bukan besi biasa: batang hitamnya dipenuhi ukir tipis rune pelindung, garis-garis yang berdenyut samar seperti nadi yang menahan dunia di tempatnya.Reinalt mendekatkan dahi ke jeruji, menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Amarahnya berada tepat di bawah permukaan, siap meledak, tapi ia paksa tetap mengalir seperti sungai di musim beku—bergerak, namun tidak memecah bendungan.Dua hari. Sejak jamuan itu berubah jadi jebakan. Sejak ia bangun di altar batu, terikat, lampu-lampu hijau pucat mengitari kepala suku yang menyebut dirinya Penjaga Selatan: Kargis Neth—mata licin, lidah tajam, menyebut “adat” seperti cambuk. Sejak tawaran kotor itu dilontarkan: bebaskan dia dan Hana, biarkan Haya jadi selirnya, Kael ja

  • Heavenly Rift   Bentangan Topeng

    Kabut pagi menetes di daun-daun rendah ketika kereta berhenti mendadak. Dari tirai pepohonan, dua puluh sosok bertopeng muncul membentuk setengah lingkaran: dua belas bertombak, delapan memegang busur dengan anak panah sudah di tali. Topeng mereka berwarna-warni, berhidung panjang, motif garis berwarna kusam menyilang di pipi.Axxa melompat turun duluan. Arra menyusul, katana sudah di tangan. Kambing hutan mengentak tanah, gelisah. Jalanan hutan di sini memang mirip pos—sempit, berlumpur, diapit batu punggung setinggi dada.“Turun. Lepas senjata,” perintah satu sosok paling depan. Suaranya berat, tenang. “Kalian memenuhi ciri-ciri yang kami cari.”“Ciri apa?” Arra mencondongkan badan, mata sempit mengukur jarak panah ke dadanya.“Satu elf dan satu kucing berotot,” jawab yang bertopeng itu, agak terbata “Di mana manusia dan griffin?”Axxa tertawa pendek, suara tanpa tawa. “Hanya kami berdua.”“Bohong.” Pemimpin itu mengangkat satu telunjuk. Busur-busur menegang serempak, tombak menukik

  • Heavenly Rift   Jeruji di Negeri Asing

    Suara air menetes membelah sunyi, satu-satu, seperti jarum kecil yang menghitung waktu. Dinding batu lembap memantulkan cahaya obor menjadi nyala kuning kotor. Di depan Reinalt, jeruji berlapis ukiran kecil-kecil—rune yang saling kait—berkilat redup setiap kali ia bergerak terlalu dekat.Ia menendang jeruji untuk kesekian kalinya. Besi tidak bergeming; justru rune menyambar betisnya dengan geliat listrik dingin. Ia mendesis, mundur satu langkah, menahan amarah yang menekan dada.“Hana! Haya!” suaranya memantul di lorong, pecah menjadi gema pendek. “Lumi! Kael!”Tak ada jawaban. Hanya tetes air, desah obor, dan dengung jauh—mungkin mesin air, mungkin serangga malam. Reinalt mengepalkan tangan, memaksa napasnya tetap rata. Marah tak menolong jika ia tak tahu di mana mereka.“Tak ada gunanya berteriak,” suara tua terdengar di belakangnya, tenang. “Lorong ini buta suara—mereka ukir runenya agar panggilan tak menempuh jauh.”Reinalt menoleh. Di sudut gelap, duduk seorang kakek goblin berse

  • Heavenly Rift   Darah yang Ditolak

    Pintu pondok kembali terbuka sebelum matahari naik ke ubun-ubun. Celia berdiri di ambang, topeng putihnya memantulkan garis tipis cahaya yang lolos dari sela dinding kayu. Di belakangnya, Bhubu menyelinap—membawa kantong kain berisi botol kecil dan bungkusan daun. “Boleh bicara sebelum kalian berangkat?” suara Celia rendah, terkendali. Axxa—yang sedari pagi sudah menyiapkan kereta—menoleh ke halaman. “Kambing hutan siap. Kita punya waktu, tapi tidak banyak.” “Aku akan mendengarmu,” kata Anza. Ia menunjuk bangku pendek. “Masuklah.” Mereka kembali duduk di ruangan yang sama: meja rendah, perapian kecil yang dibiarkan menyala pelan, Leo meringkuk di pojok bantal sambil mematuki biji-bijian. Arra duduk tegak, setengah bersandar pada dinding, katana bersarung melintang di pangkuan. Axxa bersila di dekat pintu, menghadap ke luar. Anza—balut perban di sisi tulang rusuknya masih baru—menahan diri untuk tidak terburu-buru. “Kau bilang ada yang perlu kami dengar.” Celia mengangguk. Kal

  • Heavenly Rift   Jamuan di Balik Gerbang

    Jalur batu menurun makin sempit. Di kanan, dinding tebing menjulang; di kiri, rimbun pepohonan menyembunyikan sungai yang mengalir tenang. Hanya suara air dan langkah kaki mereka yang terdengar—Reinalt di depan, Haya setengah langkah di belakangnya, Hana memeluk Lumi di tengah, Kael berjalan hati-hati seperti kuda perang yang menahan instingnya untuk terbang.Mereka sendirian. Sio sudah berbalik di bibir lembah; petunjuknya tinggal gema di kepala—ikuti sungai, cari batu retak berbentuk huruf Syl. Beberapa kali Reinalt berhenti, mengamati tanda yang dipahat samar pada batu: goresan mirip aksara, ditutup lumut tipis. Ia menjejak ke depan lagi tanpa banyak kata.Semakin dekat lembah, kabut menipis. Rumah-rumah kayu berangka batu muncul di sela pepohonan, atapnya rendah, jendelanya sempit. Seorang perempuan tua membawa keranjang daun, menyeberang jalan tepat di depan mereka… dan berlalu begitu saja, seolah tak melihat rombongan asing lewat. Seorang remaja berambut hijau gelap memanggul ta

  • Heavenly Rift   Jejak yang Terputus

    Cahaya pagi menembus celah-celah dinding pondok, menorehkan garis tipis di lantai kayu yang masih dingin. Anza duduk di tepi ranjang, tangannya menekan kening, kalimat Celia terus berulang dalam kepalanya: darah beracun… tidak diterima… dibuang.Kalau anak campuran saja ditolak… bagaimana dengan manusia penuh?Napasnya tercekat. Hana. Reinalt..Wajah mereka muncul di kepalanya, ditutup kabut. “Kalau suku Anxaxin benar membenci manusia,” ucapnya nyaris berbisik, “mereka dalam bahaya.”Arra yang duduk di dekat jendela berhenti meraut gagang katananya. “Anxaxin memang keras. Mereka menjaga rune, tapi adat mereka… bisa kejam.”Axxa menoleh dari kursi, tubuhnya masih besar meski dibalut perban. “Kalau begitu, kita tidak bisa menunggu di sini.”Anza mengangguk. “Kita harus berangkat.”Leo di pangkuannya bergerak pelan, bulu keemasan kecilnya mengusap perban Anza seakan menguatkan. Anza membalas dengan usapan singkat. Ia menegakkan tubuh, meski kepalanya masih berat.“Aku coba sesuatu dulu,”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status