Home / Fantasi / Heavenly Rift / Tanda-Tanda Dunia Baru

Share

Tanda-Tanda Dunia Baru

Author: Zan'Azheil
last update Last Updated: 2025-01-30 12:34:00

Pintu apartemen terbuka dengan sedikit dorongan, engselnya mengeluarkan suara berderit pelan. Anza masuk dengan tergesa, memegang makhluk kecil berbulu keemasan yang terbungkus jaketnya dengan satu tangan. Lampu redup ruang tamu menyambutnya, menerangi ruangan yang masih berantakan seperti saat ia meninggalkannya.

Tagihan berserakan di meja, piring kotor masih memenuhi wastafel, dan tumpukan pakaian yang belum dicuci teronggok di sudut ruangan. Tapi malam ini, semua itu bukan lagi perhatiannya.

Ia berjalan ke arah sofa dan menurunkan makhluk kecil itu dengan hati-hati. Nafasnya terdengar lemah, sayapnya masih terkulai tak berdaya. Bulu keemasannya yang dulu mungkin berkilauan kini tampak kusut dan kotor, bercampur dengan bercak darah yang mulai mengering di sekitar luka.

Anza duduk di tepi sofa, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa yang sebenarnya sedang ia hadapi? Ia ingin berpikir logis, mencari alasan masuk akal untuk keberadaan makhluk ini, tapi tidak ada teori yang bisa menjelaskan semua ini.

Sebuah ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Anza melirik ke arah jam dinding—Hana datang lebih cepat dari yang ia kira.

Ia berjalan cepat ke pintu, membukanya tanpa banyak bicara. Hana berdiri di sana, mengenakan hoodie abu-abu dengan tas kecil tergantung di bahunya. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena terburu-buru keluar di tengah hujan. Matanya memancarkan ekspresi khawatir bercampur kelelahan.

"Za, ini soal kerjaan lagi atau—" ucapnya, tapi kata-katanya terputus begitu melihat ke dalam apartemen.

Matanya langsung tertuju pada sosok kecil di sofa.

“Apa itu?” tanyanya dengan nada setengah kaget, setengah ragu.

"Itu yang mau kutanyakan," balas Anza, menutup pintu di belakangnya. "Aku menemukannya di gang belakang. Dia terluka."

Hana meletakkan tasnya di meja dan berjalan mendekat, membungkuk untuk melihat lebih jelas. Ekspresinya berubah, dari bingung menjadi serius. Ia menyentuh bulu makhluk itu dengan hati-hati, jari-jarinya merasakan tekstur lembut namun basah karena hujan.

"Astaga, Za… ini jelas bukan hewan biasa," gumamnya. "Tapi… bentuknya juga nggak kayak burung atau mamalia pada umumnya."

Tangannya menyentuh area sekitar luka, lalu menekan pelan untuk merasakan suhu tubuhnya. Ia langsung mengerutkan kening.

“Dia panas sekali. Mungkin ada infeksi atau… sesuatu yang lain,” katanya.

Anza mengangguk pelan. “Aku tahu ini aneh, tapi aku nggak bisa meninggalkannya begitu saja.”

Hana menarik napas dalam, lalu membuka tasnya. Sebagai dokter hewan, ia terbiasa menangani situasi darurat, tapi ini jelas di luar pengalaman normalnya. Meski begitu, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tetap tenang dan fokus.

“Kita harus keluarkan panah ini dulu,” katanya, mengambil beberapa peralatan dari dalam tasnya. "Kalau ini anak panah sungguhan, dia pasti kesakitan luar biasa. Tapi aku nggak yakin gimana tubuhnya bakal bereaksi."

Anza menatap makhluk kecil itu. “Jadi… apa yang harus kita lakukan?”

"Pertama, kita harus menghentikan perdarahannya tanpa membuatnya lebih kesakitan," jawab Hana. Ia meraih kapas steril dan antiseptik, bersiap membersihkan luka dengan gerakan hati-hati.

Saat kapas menyentuh luka, makhluk kecil itu sedikit menggeliat, mengeluarkan suara lirih yang hampir seperti keluhan. Hana segera menarik tangannya.

“Rasanya… aneh. Panasnya bukan kayak demam biasa,” katanya, mengerutkan kening. “Lebih kayak energi yang mengalir di dalam tubuhnya.”

Anza memandangnya dengan ragu. “Maksudmu… bukan panas biasa?”

Hana menggeleng. “Aku nggak bisa jelasin, tapi aku bisa ngerasainnya.”

Ia mengambil semprotan analgesik dan menyemprotkan sedikit ke luka. Makhluk itu hanya sedikit bergerak, matanya mengerjap lemah.

“Sekarang aku akan cabut panahnya,” kata Hana. “Kau harus menahannya tetap diam.”

Anza meraih tubuh mungil makhluk itu dengan hati-hati, mencoba menahannya tanpa membuatnya merasa terancam. Bulunya terasa lembut, hampir seperti sutra. Suhu tubuhnya yang hangat terasa semakin aneh di tangan Anza—bukan panas karena demam, melainkan seolah ada sesuatu yang berdenyut di dalamnya.

Hana menarik napas panjang, lalu dengan gerakan terlatih, mencabut panah itu perlahan.

Darah segar langsung mengalir keluar.

Anza menahan napas. “Hana, darahnya—”

“Tenang. Aku sudah siap,” jawab Hana cepat, segera menekan kain steril ke luka itu untuk menghentikan perdarahan.

Setelah beberapa menit, darahnya mulai berhenti, dan Hana segera membalut luka itu dengan perban kecil yang telah ia modifikasi.

“Selesai,” katanya akhirnya. Ia menghela napas, lalu menatap Anza. “Tapi kita harus pantau keadaannya. Kalau dia stabil, berarti kita berhasil. Kalau tidak… kita harus pikirkan cara lain.”

Anza melepaskan pegangannya perlahan, memperhatikan makhluk itu yang kini tampak lebih tenang.

Namun, sesuatu menarik perhatiannya.

Anak panah yang tadi tertancap di tubuh makhluk itu kini tergeletak di atas meja. Anza mengambilnya, memperhatikan ukiran kecil yang tergores di permukaannya.

“Lihat ini,” katanya sambil menyerahkannya ke Hana. “Menurutmu ini cuma tanda produksi biasa?”

Hana mengambilnya, memutar panah kecil itu di bawah cahaya lampu. Ukirannya terlalu halus, terlalu rapi untuk sesuatu yang dibuat massal.

“Aku bukan ahli simbol, tapi ini… bukan sesuatu yang aku kenal,” gumamnya. “Terlalu spesifik. Terlalu… aneh.”

Anza menatap makhluk kecil itu lagi.

Hana benar. Ini bukan sesuatu yang bisa mereka temukan dalam buku biologi atau jurnal ilmiah mana pun. Ini bukan hanya soal luka dan perawatan biasa.

Ini adalah tanda pertama bahwa dunia yang mereka kenal tidak sesederhana yang mereka kira.

Dan ini… baru permulaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Heavenly Rift   Malam Kedua di Bawah Tebing

    Malam turun rapat di bawah perut tebing. Di lorong penjara Anxaxin, obor menyala hemat—cahayanya berkedip pendek, seperti enggan bersaksi. Dinding batu basah memantulkan tetes air yang jatuh berkala, membentuk irama dingin yang menempel di kulit. Jeruji di depan Reinalt bukan besi biasa: batang hitamnya dipenuhi ukir tipis rune pelindung, garis-garis yang berdenyut samar seperti nadi yang menahan dunia di tempatnya.Reinalt mendekatkan dahi ke jeruji, menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. Amarahnya berada tepat di bawah permukaan, siap meledak, tapi ia paksa tetap mengalir seperti sungai di musim beku—bergerak, namun tidak memecah bendungan.Dua hari. Sejak jamuan itu berubah jadi jebakan. Sejak ia bangun di altar batu, terikat, lampu-lampu hijau pucat mengitari kepala suku yang menyebut dirinya Penjaga Selatan: Kargis Neth—mata licin, lidah tajam, menyebut “adat” seperti cambuk. Sejak tawaran kotor itu dilontarkan: bebaskan dia dan Hana, biarkan Haya jadi selirnya, Kael ja

  • Heavenly Rift   Bentangan Topeng

    Kabut pagi menetes di daun-daun rendah ketika kereta berhenti mendadak. Dari tirai pepohonan, dua puluh sosok bertopeng muncul membentuk setengah lingkaran: dua belas bertombak, delapan memegang busur dengan anak panah sudah di tali. Topeng mereka berwarna-warni, berhidung panjang, motif garis berwarna kusam menyilang di pipi.Axxa melompat turun duluan. Arra menyusul, katana sudah di tangan. Kambing hutan mengentak tanah, gelisah. Jalanan hutan di sini memang mirip pos—sempit, berlumpur, diapit batu punggung setinggi dada.“Turun. Lepas senjata,” perintah satu sosok paling depan. Suaranya berat, tenang. “Kalian memenuhi ciri-ciri yang kami cari.”“Ciri apa?” Arra mencondongkan badan, mata sempit mengukur jarak panah ke dadanya.“Satu elf dan satu kucing berotot,” jawab yang bertopeng itu, agak terbata “Di mana manusia dan griffin?”Axxa tertawa pendek, suara tanpa tawa. “Hanya kami berdua.”“Bohong.” Pemimpin itu mengangkat satu telunjuk. Busur-busur menegang serempak, tombak menukik

  • Heavenly Rift   Jeruji di Negeri Asing

    Suara air menetes membelah sunyi, satu-satu, seperti jarum kecil yang menghitung waktu. Dinding batu lembap memantulkan cahaya obor menjadi nyala kuning kotor. Di depan Reinalt, jeruji berlapis ukiran kecil-kecil—rune yang saling kait—berkilat redup setiap kali ia bergerak terlalu dekat.Ia menendang jeruji untuk kesekian kalinya. Besi tidak bergeming; justru rune menyambar betisnya dengan geliat listrik dingin. Ia mendesis, mundur satu langkah, menahan amarah yang menekan dada.“Hana! Haya!” suaranya memantul di lorong, pecah menjadi gema pendek. “Lumi! Kael!”Tak ada jawaban. Hanya tetes air, desah obor, dan dengung jauh—mungkin mesin air, mungkin serangga malam. Reinalt mengepalkan tangan, memaksa napasnya tetap rata. Marah tak menolong jika ia tak tahu di mana mereka.“Tak ada gunanya berteriak,” suara tua terdengar di belakangnya, tenang. “Lorong ini buta suara—mereka ukir runenya agar panggilan tak menempuh jauh.”Reinalt menoleh. Di sudut gelap, duduk seorang kakek goblin berse

  • Heavenly Rift   Darah yang Ditolak

    Pintu pondok kembali terbuka sebelum matahari naik ke ubun-ubun. Celia berdiri di ambang, topeng putihnya memantulkan garis tipis cahaya yang lolos dari sela dinding kayu. Di belakangnya, Bhubu menyelinap—membawa kantong kain berisi botol kecil dan bungkusan daun. “Boleh bicara sebelum kalian berangkat?” suara Celia rendah, terkendali. Axxa—yang sedari pagi sudah menyiapkan kereta—menoleh ke halaman. “Kambing hutan siap. Kita punya waktu, tapi tidak banyak.” “Aku akan mendengarmu,” kata Anza. Ia menunjuk bangku pendek. “Masuklah.” Mereka kembali duduk di ruangan yang sama: meja rendah, perapian kecil yang dibiarkan menyala pelan, Leo meringkuk di pojok bantal sambil mematuki biji-bijian. Arra duduk tegak, setengah bersandar pada dinding, katana bersarung melintang di pangkuan. Axxa bersila di dekat pintu, menghadap ke luar. Anza—balut perban di sisi tulang rusuknya masih baru—menahan diri untuk tidak terburu-buru. “Kau bilang ada yang perlu kami dengar.” Celia mengangguk. Kal

  • Heavenly Rift   Jamuan di Balik Gerbang

    Jalur batu menurun makin sempit. Di kanan, dinding tebing menjulang; di kiri, rimbun pepohonan menyembunyikan sungai yang mengalir tenang. Hanya suara air dan langkah kaki mereka yang terdengar—Reinalt di depan, Haya setengah langkah di belakangnya, Hana memeluk Lumi di tengah, Kael berjalan hati-hati seperti kuda perang yang menahan instingnya untuk terbang.Mereka sendirian. Sio sudah berbalik di bibir lembah; petunjuknya tinggal gema di kepala—ikuti sungai, cari batu retak berbentuk huruf Syl. Beberapa kali Reinalt berhenti, mengamati tanda yang dipahat samar pada batu: goresan mirip aksara, ditutup lumut tipis. Ia menjejak ke depan lagi tanpa banyak kata.Semakin dekat lembah, kabut menipis. Rumah-rumah kayu berangka batu muncul di sela pepohonan, atapnya rendah, jendelanya sempit. Seorang perempuan tua membawa keranjang daun, menyeberang jalan tepat di depan mereka… dan berlalu begitu saja, seolah tak melihat rombongan asing lewat. Seorang remaja berambut hijau gelap memanggul ta

  • Heavenly Rift   Jejak yang Terputus

    Cahaya pagi menembus celah-celah dinding pondok, menorehkan garis tipis di lantai kayu yang masih dingin. Anza duduk di tepi ranjang, tangannya menekan kening, kalimat Celia terus berulang dalam kepalanya: darah beracun… tidak diterima… dibuang.Kalau anak campuran saja ditolak… bagaimana dengan manusia penuh?Napasnya tercekat. Hana. Reinalt..Wajah mereka muncul di kepalanya, ditutup kabut. “Kalau suku Anxaxin benar membenci manusia,” ucapnya nyaris berbisik, “mereka dalam bahaya.”Arra yang duduk di dekat jendela berhenti meraut gagang katananya. “Anxaxin memang keras. Mereka menjaga rune, tapi adat mereka… bisa kejam.”Axxa menoleh dari kursi, tubuhnya masih besar meski dibalut perban. “Kalau begitu, kita tidak bisa menunggu di sini.”Anza mengangguk. “Kita harus berangkat.”Leo di pangkuannya bergerak pelan, bulu keemasan kecilnya mengusap perban Anza seakan menguatkan. Anza membalas dengan usapan singkat. Ia menegakkan tubuh, meski kepalanya masih berat.“Aku coba sesuatu dulu,”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status