Angin dingin menggigit wajah Anza saat Leo membawa mereka menembus langit malam. Kota di bawah mereka semakin mengecil, menjadi kumpulan cahaya yang berpendar redup di kejauhan. Sayap besar Leo mengepak kuat, menembus lapisan awan yang semakin padat.
Hana berpegangan erat di belakangnya. "Za! Kau masih hidup?" teriaknya, setengah panik. Anza merapatkan tubuhnya ke bulu hangat Leo, mencoba menyeimbangkan diri. "Kupikir aku akan mati kapan saja!" balasnya, suaranya nyaris tertelan angin. Leo terus naik, melewati batas awan terakhir. Udara semakin dingin, tapi sebelum mereka bisa merasa kedinginan lebih jauh, cahaya keemasan menyelimuti seluruh pandangan mereka. Awan-awan di sekitar perlahan berputar, membuka jalan ke sesuatu yang luar biasa. Heavenly. Di depan mereka, pulau-pulau melayang di udara, seperti negeri dongeng yang tercipta dari cahaya. Sungai-sungai berkilauan mengalir di udara, melayang di antara tebing-tebing hijau yang menjulang. Pohon-pohon raksasa tumbuh dengan akar menjuntai seperti jembatan alami, menghubungkan daratan satu dengan lainnya. Langitnya bukan hanya biru, tetapi dihiasi semburat ungu dan emas, seperti matahari di tempat ini tak pernah benar-benar tenggelam. Hana terdiam, mulutnya sedikit terbuka. "Ini... ini gila." Leo mulai melambat, turun melewati sebuah desa kecil di salah satu pulau. Rumah-rumah dengan atap runcing dan dinding batu putih berdiri kokoh di tepi sungai, dikelilingi ladang tempat rusa bertanduk kristal merumput dengan tenang. Penduduk—para elf, manusia bertelinga hewan, dan makhluk-makhluk lain yang asing bagi mereka—melirik ke langit saat Leo melintas. Beberapa bahkan melambai, seolah menyambut sesuatu yang telah lama mereka nantikan. Namun, tidak semua tempat seindah ini. Di kejauhan, sebuah pulau mati berdiri dalam keheningan yang kelam. Tanahnya hitam, pohon-pohonnya hangus, dan udara di sekitarnya tampak berat, seperti menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak ada. Reruntuhan bangunan berdiri di antara kabut tipis, saksi bisu dari sesuatu yang telah dihancurkan tanpa belas kasihan. Anza menatap pulau itu dengan ekspresi berat. "Itu... bukan bagian dari surga ini, kan?" Hana bergidik. "Rasanya seperti... dunia ini pernah berperang dengan sesuatu yang seharusnya tidak menyentuhnya." Tiba-tiba, Leo mengepak lebih lambat, tubuhnya sedikit bergetar. "Dia tidak bisa terbang lebih lama," kata Hana cepat. Beberapa saat kemudian, Leo meluncur turun, mendarat di padang rumput luas yang dikelilingi pepohonan raksasa. Saat cakarnya menyentuh tanah, tubuhnya bergetar, lalu perlahan mengecil. Dalam hitungan menit, makhluk gagah itu kembali ke bentuk kecilnya, tubuhnya lunglai di rerumputan. Hana berjongkok di sampingnya. "Dia baik-baik saja, tapi kita perlu istirahat." Suara langkah mendekat. Anza langsung menoleh. Dari balik pepohonan, seorang pria berambut perak dan bermata biru cerah berjalan mendekati mereka. Wajahnya terlihat muda, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang menandakan usianya jauh lebih tua dari yang terlihat. Di sampingnya, seorang gadis remaja bertelinga dan berekor cheetah melangkah ringan. Kulitnya kecokelatan, matanya bersinar seperti emas cair. Ia mengenakan rompi panjang dengan celana longgar yang memudahkannya bergerak, dan dari ekornya yang bergoyang, jelas ia lebih gelisah dibanding pria di sebelahnya. Pria itu menghentikan langkahnya begitu melihat Leo. Matanya melebar sedikit sebelum ia berbicara. "Makhluk itu... masih hidup?" Anza mengerutkan kening. "Anda mengenalnya?" Pria itu mengangguk pelan. "Aku sudah mengira dia mungkin masih ada... tapi aku tak menyangka dia bisa kembali ke sini." Hana menoleh ke Leo yang terbaring lemah. "Kami hanya menemukannya di dunia kami. Dia terluka dan sekarat... kami tidak tahu dia berasal dari sini." Gadis setengah cheetah itu, yang sejak tadi mengamati Leo dengan penuh perhatian, berjongkok dan menyentuh bulu keemasannya. "Aku belum pernah melihat satu pun dari mereka sebelumnya..." gumamnya. Pria berambut perak itu menghela napas panjang. "Namaku Eldrin. Aku adalah salah satu penjaga dunia ini. Dan dia..." ia menatap Leo dengan ekspresi berat. "Dia adalah satu dari sedikit yang berhasil melarikan diri dari kejaran Hoplites." Kesunyian menggantung. Eldrin melanjutkan, suaranya lebih tenang tetapi sarat makna. "Dulu, Griffin adalah penjaga gerbang yang menghubungkan dunia manusia dengan Heavenly. Mereka bukan hanya makhluk mitos, mereka adalah bagian dari keseimbangan antara dua dunia. Tetapi Hoplites... mereka ingin menguasai jalan antara dunia ini dan dunia manusia. Mereka memburu Griffin satu per satu, memanfaatkan energi mereka untuk membuka gerbang permanen ke sini." Anza menatap Leo yang tertidur lelah di rumput. Tidak ada kata-kata yang bisa diucapkannya saat ini, tetapi ia tahu bahwa pertemuan mereka dengan makhluk itu bukan sekadar kebetulan. Eldrin menatap mereka dengan lebih serius. "Kalian pasti lelah. Ikutlah denganku. Kalian aman di sini, untuk sementara waktu." Anza dan Hana saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengikuti langkah Eldrin dan Haya. Di bawah langit Heavenly yang keemasan, mereka berjalan menuju sebuah rumah kecil di tepi hutan. Cahaya hangat dari jendela menerangi jalan setapak di depan mereka, menawarkan ketenangan di tengah semua ketidakpastian yang menanti.Kereta berhenti di jalur batu yang berakhir di depan gerbang kayu besar. Rumah di depannya dikelilingi pagar tumbuhan merambat, menjulang rapi seperti tembok hijau. Udara di tempat ini lebih sejuk, angin berembus dari ladang luas yang mengelilinginya. Jauh dari hiruk-pikuk kota, hanya suara dedaunan dan denting alat pertanian yang terdengar samar dari kejauhan.Begitu mereka turun satu per satu, dua sosok muncul diam-diam di belakang Reinalt.Langkah mereka tak bersuara, seperti bagian dari bayangan rumah itu sendiri.Arra, elf bermata tajam dengan rambut perak sebahu dan katana panjang di punggungnya.Axxa, manusia setengah harimau dengan tubuh besar dan tenang, membawa pedang shotel yang tergantung di punggung.Anza, Hana, dan Haya terkejut, langkah mereka terhenti mendadak. Haya bahkan sempat mengangkat tombaknya sedikit.Reinalt hanya bergumam datar, “Sudah datang rupanya.”Hana langsung maju. “Bagaimana keadaan Eldrin?! Dia selamat, kan?!”“Apakah dia baik-baik saja?” sambung Hay
Roda kereta bergulir pelan, memantul lembut di atas jalanan berbatu yang menurun. Di dalam, ruang sempit terasa lebih hangat dibanding kota. Aroma kayu dan karpet tenun memenuhi kabin. Tapi tak ada yang bersandar nyaman.Reinalt duduk diam, Kael meringkuk tenang di sampingnya.Hana memeluk Lumi, yang sesekali menggeliat dalam selimut tipis.Haya bersandar di sisi kiri, menatap tirai yang tak sepenuhnya menutup jendela.Anza duduk paling pojok, Leo kecil terbaring lemah di pelukannya, napasnya lambat tapi stabil.Di depan mereka, Tarin duduk dengan tongkat disandarkan di lutut. Wajahnya tetap santai, tapi sorot matanya lebih serius sekarang."Kurasa ini waktu yang tepat untuk saling bertukar kabar," katanya, membuka pembicaraan.Reinalt menoleh cepat. “Apa yang kau tahu sejauh ini?”Tarin mengangguk. “Banyak. Dan belum semuanya bagus.”Ia menghela napas. “Jaringanku di istana bilang... Raja tak lagi sepenuhnya berdaulat. Sejak insiden Heavenly terakhir, Hoplites makin menekan. Dan seka
Tapak sepatu berdetak pelan di atas papan kereta. Tirai bergeser. Seseorang muncul. Seorang pria tua, tinggi, rambut putih diikat ke belakang, wajahnya dihiasi brewok tipis. Matanya biru terang, seperti danau yang tak bisa dibaca dalam sekali pandang. Ia memegang tongkat kayu gelap, dan pakaiannya sederhana, tapi jelas potongan bangsawan—rapi tanpa kesan pamer. Tubuhnya masih kekar untuk pria seusianya, dan setiap geraknya mantap, seperti orang yang tahu betul ke mana ia melangkah. Ia melihat kelima orang di depannya. Dan—tanpa aba-aba—tertawa keras. “HAHAHA! Lihat kalian! Wajah-wajah tegang seperti habis dikejar naga!” Reinalt refleks maju satu langkah. “Kau benar-benar—” Tarin mengangkat satu tangan. “Tenang, tenang. Jangan tarik pedangmu dulu, Reinalt. Masih ingat caraku menyapa?” Reinalt menggeram. “Kau tak pernah bisa masuk dengan cara normal, ya?” Sementara itu, Anza, Hana, dan Haya saling bertukar pandang—campuran bingung, siaga, dan siap bertindak. Tarin m
Udara siang menekan, padat dan penuh bisikan yang tak terdengar.Dari pintu kayu belakang rumah Bu Nirra, lima sosok berkerudung melangkah keluar tanpa suara. Langkah mereka menyusuri gang sempit, berbaur dengan bayangan tembok dan aroma roti madu yang perlahan memudar.Reinalt berjalan di tengah, jubahnya agak longgar karena di baliknya tersembunyi Kael, hippogriff kecil yang tidur nyenyak. Di depannya, Haya berjalan cepat, berbelok dan mengamati ujung gang lebih dulu sebelum memberi isyarat untuk lanjut. Hana di sisi kiri belakang, menjaga gerakan sambil memeluk Lumi erat di dalam tas. Anza berada paling belakang, menggendong Leo yang lemah dalam pelukannya.Tak ada yang bicara.Mereka tak perlu. Setiap napas diatur, setiap gerakan diperhitungkan.---Tembok keempat setelah belokan pertama membuat Reinalt berhenti.Di sana, tertempel selebaran.REINALT EVERHARTDICARIHIDUP-HIDUPKertas itu masih segar, cetakannya gelap. Di sudut bawah, cap kerajaan tercetak rapi, membuat pesan itu
Cahaya siang menyusup lembut melalui jendela kecil di ujung kamar. Udara yang masuk membawa aroma madu panggang dari dapur bawah—hangat, ringan, dan menenangkan.Anza membuka matanya perlahan.Langit-langit kayu menyambut pandangannya, bergoyang samar karena kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba duduk… perlahan… dan berhasil tanpa bantuan, meski tubuhnya terasa seperti baru saja bangun dari mimpi yang terlalu dalam.Di sudut ruangan, Reinalt duduk di atas kursi rendah, tangan terlipat, pandangannya tertuju ke lantai. Tapi ia langsung menoleh ketika mendengar suara kasur berderit pelan.“Selamat datang kembali.” Suaranya pelan, tapi lega.Anza menatapnya sebentar. “Di mana… kita?”“Masih di ibukota,” sahut Reinalt. “Di rumah salah satu warga yang membantu. Kita aman untuk saat ini.”Anza hanya mengangguk perlahan. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba mencerna segalanya. Lalu membuka lagi. “Leo?”Sebelum Reinalt menjawab, suara pelan dari belakang menjawab lebih dulu.“Masih lemas, t
Sinar terakhir dari portal memudar di udara—dan hanya sekejap setelahnya, keributan pasar pecah.“Wah! Mereka jatuh dari mana?!”“Pangeran?!”Keramaian pasar ibukota Heavenly yang biasanya dipenuhi canda dan obrolan kini berubah menjadi gumaman bingung dan langkah-langkah ragu. Di tengah jalan utama yang dibatasi kios-kios makanan, kerajinan tangan, dan gantungan bunga, empat sosok muncul tiba-tiba dari udara, mendarat dengan suara lembut di atas batu yang masih basah oleh embun pagi.Tak ada darah. Tak ada luka.Namun mereka jelas... terengah-engah, limbung, dan kelelahan.Reinalt berdiri dengan satu lutut menyentuh tanah, menahan tubuh Anza yang tak sadarkan diri di lengannya. Nafasnya masih berat, rambutnya sedikit berantakan, tapi matanya sigap menyapu sekeliling.Hana berlutut di samping mereka, memeluk Leo kecil yang tampak lemah, serta Lumi yang bersembunyi gemetar dalam pelukannya.Haya terduduk di sisi lain bersama Kael, hippogriff yang telah mengecil secara sadar dan duduk t