Udara malam menusuk kulit saat Anza menyesap sisa kopinya. Kafe itu sudah hampir kosong, hanya menyisakan seorang pelayan yang sibuk merapikan meja-meja yang berantakan. Cahaya hangat lampu gantung menyoroti cangkir kopinya yang tinggal separuh, menyisakan noda hitam di bagian dalam.
Di luar, hujan masih turun deras, membasahi trotoar dan jalanan yang kini berkilauan di bawah lampu jalan. Ia menatap ponselnya—layarnya memantulkan wajah lelahnya, dan di balik ikon-ikon aplikasi, tampak samar foto seorang wanita tersenyum lembut sebagai wallpaper. Ibunya. Sejenak, tatapan Anza mengeras, lalu berpindah ke deretan notifikasi yang belum terbaca, mencoba mengalihkan pikirannya dari segalanya. Notifikasi dari klien masih berjejer, pesan dari Hana belum ia balas, dan kepalanya semakin terasa berat. Jam hampir menunjukkan pukul setengah dua belas malam ketika pelayan terakhir mulai mematikan lampu di beberapa sudut kafe. Anza menghela napas, meraih jaketnya, dan beranjak keluar. Begitu pintu kaca tertutup di belakangnya, hawa dingin segera menyergap tubuhnya. Langkahnya cepat, berusaha menghindari genangan air yang tersebar di trotoar. Jaketnya sudah mulai lembap, dan sepatu ketsnya basah saat tanpa sengaja menginjak kubangan kecil di pinggir jalan. Lalu, di tengah suara hujan yang menutupi hampir semua suara lainnya, ia mendengar sesuatu. Bugh. Suara berat, seperti sesuatu yang jatuh ke tanah. Anza berhenti. Matanya menyapu sekitar, mencari sumber suara itu. Tidak ada siapa pun di jalan, hanya deretan lampu yang menerangi aspal basah dan etalase toko yang sudah tutup. Tapi suara itu terdengar lagi—lebih pelan, disertai napas berat yang terputus-putus. Ia menoleh ke arah gang kecil di sebelah kiri. Gelap dan sunyi. Pintu belakang beberapa toko berjajar di sepanjang lorong sempit itu, dan bau aspal basah bercampur samar aroma karat dari pipa-pipa tua di dinding. “Jangan terlibat, Anza,” katanya pada diri sendiri. Tapi rasa ingin tahunya tidak bisa ditahan. Sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ada sesuatu—atau seseorang—di sana yang butuh bantuan. Dengan ragu, ia melangkah masuk ke dalam gang. Begitu matanya terbiasa dengan kegelapan, ia melihatnya. Sebuah sosok kecil tergeletak di tengah jalan setapak yang basah. Awalnya, ia mengira itu hanyalah seekor burung atau kucing liar. Tapi saat ia melangkah lebih dekat, napasnya tercekat. Makhluk itu bukan sesuatu yang pernah ia lihat sebelumnya. Tubuhnya mungil, hampir seukuran anak kucing, dengan bulu keemasan yang basah dan kusut karena bercampur darah. Sayap kecil terkulai di sisinya, lemas dan robek di beberapa bagian. Dan yang paling mencolok, sebuah anak panah kecil tertancap dalam di bahunya, kilauan peraknya menyilaukan di bawah pantulan lampu jalan yang redup. Anza menelan ludah. “Apa ini…?” bisiknya, matanya tidak bisa berpaling dari sosok mungil yang tampak lemah itu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba mencari penjelasan rasional—mungkin ini hanya mimpi buruk? Atau efek kelelahan? Tapi tidak, ini nyata. Darah hangat merembes ke sepatunya, dan suara napas berat makhluk itu terdengar jelas di telinganya. Pelan, makhluk itu mengangkat kepalanya. Sepasang mata besar menatapnya—penuh rasa sakit, tapi juga tajam, seolah menembus pikirannya. Seketika, Anza merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertemuan biasa. Makhluk itu mencoba bergerak, tapi hanya mampu mengerjapkan mata sebelum merosot ke tanah lagi, kehilangan tenaga. Anza berjongkok, mengulurkan tangan dengan ragu. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat lebih jelas: bulu emas yang samar-samar berpendar seperti bintang, dan sayap yang meskipun kecil, memiliki pola yang terlihat hampir mistis. “Aku nggak tahu kau ini hewan, burung kecil, atau semacam makhluk dongeng…” gumamnya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi kau pasti butuh bantuan.” Makhluk itu mengeluarkan suara lirih—bukan suara binatang biasa, tapi sesuatu yang lebih dalam, seperti sebuah isyarat. Anza menggigit bibir, kemudian merogoh ponselnya dan mengetik pesan cepat ke Hana. Anza: "Hana, aku menemukan sesuatu. Aku butuh bantuan. Jangan tanya apa-apa. Aku di rumah sebentar lagi." Tanpa pikir panjang, ia melepas jaketnya dan membungkus makhluk kecil itu dengan hati-hati. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh mungil itu yang mulai memudar, membuatnya semakin yakin bahwa ia harus bertindak cepat. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan mendekapnya di dada. Hujan masih turun deras, membasahi wajah dan jaketnya, tapi ia tidak peduli. Ia harus membawa makhluk ini pulang. Apa pun ini, siapa pun yang mengejarnya, dan bagaimana pun ia bisa sampai di dunia ini—Anza tahu satu hal. Ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.Udara malam belum benar-benar tenang. Meskipun suara hutan kembali seperti biasa, ada sesuatu yang menggantung di langit—sisa rasa dari ancaman yang tak terlihat. Di halaman rumah Eldrin, Anza duduk sendirian di undakan, memandangi bayangan pepohonan yang perlahan menghilang ditelan gelap. Lampu dari dalam rumah memancar lembut, tapi ia memilih tetap di ambang gelap. Angin membawa aroma tanah basah. Dunia ini begitu asing, tapi beban yang ia bawa terasa sangat familiar. Langkah kaki mendekat. Eldrin muncul membawa dua cangkir yang mengepulkan uap. Ia duduk di anak tangga bawah, menyodorkan satu tanpa kata. “Teh daun malam,” ucapnya ringan. “Tidak menjawab semua pertanyaanmu. Tapi bisa menenangkan sebagian.” Anza hanya memandangi cangkir itu. “Kau yakin… aku memang terhubung dengan Leo?” Eldrin memandang ke hutan. “Aku tidak perlu yakin. Tapi kau sendiri yang akan tahu, cepat atau lambat.” Anza diam lama, lalu menatap kosong ke tanah. “Di dunia asalku… aku kerja terus,
Langit malam di Heavenly menggantung berat, seolah hutan itu belum sepenuhnya melepaskan ancamannya. Tapi jauh dari gemuruh hutan dan jejak misterius yang tertinggal di tanah, cahaya keemasan masih menyinari menara tertinggi istana kerajaan—tempat di mana suara-suara langkah tak terdengar dan kebenaran dikubur dalam diam.Lorong-lorong batu yang biasa dipenuhi cahaya kini terlihat lebih gelap. Cahaya lampu sihir masih menyala di sepanjang dinding, tapi ada kesunyian di udara. Sesuatu yang tidak biasa.Reinalt berjalan perlahan menyusuri lorong samping istana, tanpa pengawal, tanpa tujuan yang jelas. Tapi pikirannya terus berputar.Sorot mata Hana. Cara bicara mereka. Pertemuan itu hanya sebentar, tapi ada sesuatu dalam diri mereka yang tak bisa ia singkirkan. Terutama Hana.Ia bukan seperti pendatang biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketenangan itu. Entah kenapa, ia merasa… seharusnya tahu lebih banyak.Langkahnya terhenti saat melihat dua sosok berseragam asing melintas di
Langit senja menyusup pelan ke sela pepohonan Heavenly. Lembayung dan emas berbaur, menciptakan bias cahaya yang membungkus rumah Eldrin dengan kelembutan. Di halaman depan, meja makan dari kayu alami telah ditata. Lilin-lilin kristal menyala, cahayanya bergetar kecil diterpa angin. Hana duduk di samping Anza, membelai seekor kucing kecil berbulu ungu kebiruan di pangkuannya. Bulu kucing itu berubah warna setiap kali disentuh—merah muda hangat saat senang, keperakan saat tenang. “Lumi,” ucap Hana pelan. “Namanya Lumi.” Lumi mengeong singkat, seolah menjawab. Ekornya melingkar lembut di pergelangan tangan Hana. Eldrin tersenyum kecil. “Nama yang halus untuk jiwa yang peka.” Leo duduk tenang di sisi lain meja. Haya sibuk menyendok sup ke dalam mangkuk, sembari melirik langit yang mulai kehilangan warnanya. Anza hanya memandangi makanannya. Tangan kirinya sesekali menyentuh ponsel di atas meja. Layarnya menyala, tapi kosong. Tidak ada suara. Tidak ada tanda bahwa dunia yang d
Di balik kedamaian Heavenly yang baru saja menerima dua tamu dari dunia lain, angin gelap bergerak di tempat yang tak terjangkau cahaya.Jauh di dunia manusia, tersembunyi di sebuah pulau terpencil yang bahkan tak tercantum di peta mana pun, berdiri sebuah fasilitas hitam raksasa. Tak ada yang tahu keberadaannya. Tak ada yang pernah kembali jika sempat melihatnya. Inilah markas Hoplites—organisasi bayangan yang berdiri di antara ilmu, ambisi, dan kekejaman.Fasilitas itu menjulang rendah, tapi menembus jauh ke dalam bumi. Dinding-dindingnya dari baja berlapis rune sintetis, dirancang bukan hanya untuk menahan makhluk, tapi juga menyembunyikan kebenaran. Tak ada jendela. Tak ada angin. Hanya eksperimen, target, dan dunia lain yang harus ditaklukkan.---Di ruang observasi utama, layar holografik memutar ulang rekaman dari salah satu pasukan yang gugur.Hujan. Gang sempit. Kilat keemasan dari dalam tas. Sekejap kemudian, tubuh Griffin muda muncul—sayap mengembang, mata menyala, dan raun
Pasar Heavenly tetap ramai meski matahari mulai meredup. Lampu-lampu kristal mulai dinyalakan, memancarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin hangat. Penduduk dari berbagai ras masih sibuk berbelanja, berbincang, dan tertawa, sementara wangi rempah-rempah bercampur dengan aroma manis dari roti yang baru dipanggang.Di tengah hiruk-pikuk itu, Reinalt berdiri dengan santai, senyumnya tetap terukir, matanya keemasan bersinar di bawah cahaya sore.“Kalian baru pertama kali ke Heavenly?” tanyanya sambil mengamati mereka dengan ekspresi tertarik.Anza dan Hana bertukar pandang sesaat sebelum Hana menjawab, “Ya, kami hanya pelancong.”Reinalt menautkan alisnya seolah mempertimbangkan jawaban itu, tetapi alih-alih bertanya lebih lanjut, ia justru mengangkat dua jarinya dengan gerakan halus.Dari balik keramaian, dua sosok tinggi berbaju biru perak muncul dengan langkah tenang, seolah baru saja keluar dari bayangan. Mereka mengenakan seragam penjaga kerajaan, dan keberadaan mereka yang
Pagi di rumah Eldrin terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari lembut menelusup melalui jendela besar, menciptakan kilauan samar di meja makan yang dipenuhi aroma roti panggang dan teh herbal. Anza, Hana, dan Haya duduk bersama, menikmati sarapan sederhana, sementara Eldrin duduk di ujung meja dengan ekspresi tenang, memperhatikan Leo yang kini tampak lebih segar meskipun masih sedikit waspada. Haya, seperti biasa, tampak paling bersemangat. "Hari ini aku bakal ngajak kalian keliling pusat kota! Kalian pasti nggak nyangka betapa indahnya Heavenly." Hana tersenyum kecil, matanya berbinar penuh antusias. "Aku sudah penasaran. Kalau suasananya sebagus ini, pasti kotanya luar biasa." Anza hanya diam, pikirannya masih bercabang antara Heavenly dan dunia manusia yang telah ia tinggalkan. Tumpukan pekerjaan, hutang yang menggunung, dan semua tanggung jawab yang belum terselesaikan masih menekannya. Ia bahkan belum yakin apakah dirinya benar-benar bisa menikmati perjalanan ini. El
Angin dingin menggigit wajah Anza saat Leo membawa mereka menembus langit malam. Kota di bawah mereka semakin mengecil, menjadi kumpulan cahaya yang berpendar redup di kejauhan. Sayap besar Leo mengepak kuat, menembus lapisan awan yang semakin padat. Hana berpegangan erat di belakangnya. "Za! Kau masih hidup?" teriaknya, setengah panik. Anza merapatkan tubuhnya ke bulu hangat Leo, mencoba menyeimbangkan diri. "Kupikir aku akan mati kapan saja!" balasnya, suaranya nyaris tertelan angin. Leo terus naik, melewati batas awan terakhir. Udara semakin dingin, tapi sebelum mereka bisa merasa kedinginan lebih jauh, cahaya keemasan menyelimuti seluruh pandangan mereka. Awan-awan di sekitar perlahan berputar, membuka jalan ke sesuatu yang luar biasa. Heavenly. Di depan mereka, pulau-pulau melayang di udara, seperti negeri dongeng yang tercipta dari cahaya. Sungai-sungai berkilauan mengalir di udara, melayang di antara tebing-tebing hijau yang menjulang. Pohon-pohon raksasa tumbuh dengan ak
Malam itu, apartemen Anza terasa lebih sunyi dari biasanya. Hana duduk di kursi, menatap makhluk kecil berbulu keemasan yang terbaring di sofa dengan ekspresi penuh perhatian. Meski luka-lukanya sudah dibalut, ada sesuatu yang membuat suasana di dalam ruangan terasa aneh—seperti ada energi asing yang menggantung di udara.Leo—begitulah Hana mulai menyebutnya—tidak lagi mengerang kesakitan, tapi tubuhnya masih sangat lemah. Nafasnya teratur, tapi sesekali bulu keemasannya tampak berpendar samar, seperti berdenyut mengikuti detak jantung yang tak kasatmata.“Kau yakin dia baik-baik saja?” tanya Anza, memecah keheningan.Hana menghela napas pelan, masih menatap Leo tanpa berkedip. “Sulit untuk memastikan. Aku belum pernah menangani makhluk seperti ini sebelumnya. Tapi setidaknya sekarang dia tidak kesakitan.”Anza mengangguk pelan. Ia bangkit dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Hujan sudah berhenti, tetapi jalanan masih basah dan memantulkan cahaya lampu jalan yang berpendar. Normal
Pintu apartemen terbuka dengan sedikit dorongan, engselnya mengeluarkan suara berderit pelan. Anza masuk dengan tergesa, memegang makhluk kecil berbulu keemasan yang terbungkus jaketnya dengan satu tangan. Lampu redup ruang tamu menyambutnya, menerangi ruangan yang masih berantakan seperti saat ia meninggalkannya.Tagihan berserakan di meja, piring kotor masih memenuhi wastafel, dan tumpukan pakaian yang belum dicuci teronggok di sudut ruangan. Tapi malam ini, semua itu bukan lagi perhatiannya.Ia berjalan ke arah sofa dan menurunkan makhluk kecil itu dengan hati-hati. Nafasnya terdengar lemah, sayapnya masih terkulai tak berdaya. Bulu keemasannya yang dulu mungkin berkilauan kini tampak kusut dan kotor, bercampur dengan bercak darah yang mulai mengering di sekitar luka.Anza duduk di tepi sofa, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Apa yang sebenarnya sedang ia hadapi? Ia ingin berpikir logis, mencari alasan masuk akal untuk keberadaan makhluk ini, tapi tidak ada teori yang bisa men