Setelah 3 bulan insiden itu berlalu, daftar anak yang ditakuti pun bertambah, yaitu Seana Alicia yang cukup disegani karena ia adalah seseorang yang dinilai cukup berpengaruh apalagi setelah kejadian itu, Enzi menjadi tidak berani terang-terangan merundung di depannya, walaupun tetap saja.
Ini cukup mengganjal.
Kini Enzi duduk di tribun sekolah bersama dengan Gilbert menyaksikan kelas MIPA 6 yang sedang bermain bola basket karena ini jam pelajaran, maka dapat disimpulkan mereka tengah memasuki materi itu.
“Kak, kamu tidak masuk kelas?” tanya Enzi yang tengah mengemut permennya.
Gilbert yang memperhatikan anak-anak mipa 6 pun terpecah fokusnya. “Kelas sedang jam kosong.”
“Oh begitu rupanya,” balas Enzi sambil mengangguk.
Sebenarnya pun Gilbert ke tribun ini karena melihat Alicia dan Enzi. Pikirannya adalah sambil menyelam minum air karena ada sesuatu yang ingin ia ketahui dari Enzi dan juga ingin melihat pesona Alicia yang sedang ramain diperbincangkan akhir-akhir ini.
Gilbert yang awalnya hanya terfokus oleh seorang gadis di lapangan pun kini mulai menanyai Enzi tentang kejadian sewaktu mereka makrab malam itu.
Enzi menatap Gilbert dengan dalam, ia sejujurnya ingin menceritakannya. Namun ia terlalu takut jika laki-laki di hadapannya ini akan membocorkan cerita aslinya itu kepada yang lain.
Orang-orang yang terlibat hanya tahu bahwa mereka terpeleset karena hari sedang hujan sehingga reputasi sekolah tidak akan begitu tercemar jika sewaktu-waktu cerita ini bocor ke khalayak luas.
Akhirnya Enzi bercerita bahwa mereka hanya terpeleset sewaktu mencari bendera di permainan malam itu karena terlalu gelap dan tanah yang basah serta licin. Sesimpel itu saja yang dapat ia ceritakan. Namun, Gilbert tetap tidak menyerah, pasti ada sesuatu yang lain karena menurutnya terlalu janggal jika hanya terpeleset tetapi pemulihan sampai 2 bulan. Itu sangat tidak masuk akal.
“Jika kalian mencari bendera, mengapa kalian bisa bersama padahal kalian berbeda kelompok?” kata Gilbert yang mulai merasa senang karena terlihat dari mata Enzi yang mulai terlihat kebingungan untuk menjelaskan.
Gilbert menatap mata Enzi sedikit lama sedangkan gadis itu langsung memalingkan wajahnya dan sesuai dengan dugaan Gilbert.
"Kami tidak sengaja bertemu."
‘Gotcha! kamu bohong ‘kan? Haha,’ batin Gilbert dengan senang. Ia merasa akan mendapatkan informasi baru dari Enzi.
***
Felix dan Alicia yang melihat dari bawah pun berdiskusi untuk apa kedua orang itu berada di tribun sana dengan wajah yang terlihat tegang dan Gilbert yang terlihat menunjukkan senyum miring yang tidak dapat diartikan.
Kedua orang ini merasakan ada yang aneh dengan kakak kelasnya itu. Tidak biasanya ia mendatangi Enzi apalagi dahulu ia sangat tidak peduli dengan anak famous yang satu itu, jangankan peduli melirik saja enggan, dan sekarang mereka akhir-akhir ini terlihat dekat bahkan saat sebelum makrab dilaksanakan.
“Menurutmu apa yang kak Gilbert rencanakan?” tanya Felix sambil membuka air mineral di pinggir lapangan bersama Alicia.
Alicia mengernyitkan dahinya sambil berpikir keras. “Kau tahu tidak? Kak Gilbert termasuk orang yang cukup onar, tetapi cara dia berbuat onar saja yang berbeda.”
Ekspresi Felix menunjukkan bahwa ia tak mengerti dengan apa yang ia bicarakan barusan. Alicia yang melihat wajahnya itu langsung menjelaskan bahwa Gilbert adalah tipe orang yang berbuat onar dengan menyebarkan fakta-fakta ataupun rumor yang mencengangkan.
“Dia akan berbuat onar jika dirasa dapat menimbulkan atensi yang besar. Entah itu untuk dirinya ataupun untuk orang lain.”
Itulah alasan di balik semua sikap baiknya. Orang yang mengetahui sifatnya seperti itu hanya beberapa dan alasan kenapa Alicia mengetahuinya karena berdasarkan kejadian sebelumnya Alicia sudah bisa membaca karakter Gilbert yang dominan seperti apa.
Gadis ini tersenyum saat Gilbert menatapnya lekat-lekat dari kejauhan lalu segera memalingkan wajahnya dan kembali berpura-pura berbicara kepada Felix, padahal sebenarnya pun ia tidak suka.
“Kau ini menang banyak ya,” goda Felix. "Jangan lupa pajak jadian."
Alicia memalingkan wajahnya. “Apa maksudmu?”
Felix pun terkekeh. “Kau bisa manfaatkan kak Gilbert jika ia benar jatuh hati sama kamu. It’s a big chance, Alicia.”
Alicia tersenyum miring lalu memukul pelan bahu Felix sambil tertawa dan sekejap kemudian kembali memasang ekspresi wajah datar. “Are you wanna die?”
***
Jam makan siang Letta pergi sendirian tanpa Alicia. Jujur saja ia merasa tidak enak jika terus-terusan bergantung kepada gadis itu sedangkan mereka saja berbeda kelas. Alicia di kelas MIPA 6 dan dia yang berada di kelas MIPA 2.
'Mengapa aku menjadi bergantung padanya?' pikir Letta
Tiba-tiba sebuah mangkuk berisi bakso tersaji di depannya bersama dengan minuman es teh yang sangat menyegarkan dan ternyata pelakunya adalah Adelio.
“A-ada apa? M-mengapa makan di depanku?” tanya Letta terbata-bata.
Adelio pun berbicara seperti orang berbisik, “Tidak mungkin kamu lupakan ‘kan yang kemarin?”
Letta menelan salivanya, jujur saja ia tidak sama sekali berniat untuk mencari tahu tentang Alicia dan menjadi mata-matanya Adelio.
Gadis ini berusaha tenang sebisa mungkin dan mulai merangkai kata demi kata di dalam kepalanya. Dan Adelio pun mulai mengintrogasinya.
“Apa aktivitas terbaru, apa ada yang penting?” tanyanya sambil mengaduk-aduk makanannya dan mulai menyantapnya.
Letta yang telah menghabiskan makanannya pun membereskan peralatan makan dan meminggirkannya. “Tidak ada yang penting. Ia hanya berdekatan dengan Felix. Namun, akhir-akhir ini ia seperti diincar oleh kakak kelas.”
Adelio pun menatap mata Letta seakan-akan menagih jawaban yang jelas darinya. “Kak Gilbert.”
Setelah itu Letta pergi meninggalkan Adelio yang masih menyantap makanannya dengan tenang walaupun pikirannya berhasil dibuyarkan oleh pernyataan Letta kurang dari 1 menit yang lalu.
***
Gilbert tidak sengaja mendengar obrolan Adelio. Awalnya ia penasaran dengan sikap laki-laki itu yang dengan senang hati makan di depan Letta. Ia pun akhirnya memutuskan untuk makan dengan membelakangi Adelio.
Letta pun tidak sadar saat itu.
“Tidak ada yang penting. Ia hanya berdekatan dengan Felix. Namun, akhir-akhir ini ia seperti diincar oleh kakak kelas.”
“Kak Gilbert.”
Gilbert yang mendengar hal itu pun tersenyum sembari memakan kentang gorengnya. Tak meyangka Letta lihai dalam membaca bahasa tubuh orang. Gilbert harus memberinya sedikit apresiasi mungkin?
‘Tunggu aku pulang sekolah, Letta.’
Laki-laki itu menghabiskan kentang gorengnya. Namun, sebelum ia hendak berdiri menuju kelas sebuah tangan mendarat di pundaknya. Pelakunya adalah Adelio.
Rupanya Adelio menyadari adanya Gilbert di situ. Laki-laki ini lantas berpindah tempat ke hadapan Gilbert.
Selesai dengan makanan masing-masing mereka mulai membicarakan Alicia dengan nada yang santai. Namun, kata-kata yang terlontarkan oleh mulut mereka saling mengisyaratkan satu sama lain.
***
Brakk!
“Kau ini memantangku ya?” ucap Enzi kepada Letta yang sekarang berada di tengah-tengah Enzi dan kawanannya.
Alasan mengapa Letta pergi secepatnya dari Adelio adalah selain menghindari laki-laki itu ia menghindari tatapan Enzi dari sudut kantin yang tengah menatapnya tajam. Terlihat gadis itu tidak suka dirinya berdekatan dengan Adelio.
Lagi-lagi Letta tidak bisa melawan. Hanya bisa tertunduk dengan wajah yang sayu seperti orang yang ingin menangis walaupun ia sekarang tidak menangis. Gadis ini tidak mau menunjukkan betapa lemahnya ia.
Enzi menendang kakinya sampai menimbulkan ruam merah, di dahinya pun sama. Letta sempat terbentur saat Enzi mendorongnya di gudang belakang sekolah yang sempit ini.
Rahang Letta ditekan keras oleh gadis itu yang membuat Letta meringis. “Dekati saja Adelio jika kau masih mau hadiah dariku!”
Enzi dan kawannya pun pergi saat bel berbunyi dan meninggalkan Letta sendirian di sana yang mulai menangisi dirinya.
Letta terlihat sudah pasrah sekali dengan dirinya. Namun, saat Enzi dan kawanannya pergi datanglah seorang cleaning service membantunya mengobati lukanya dengan p3k yang ia punya.
“Terima kasih.”
Sebuah suara berhasil mengalikan perhatian Letta, dilihatnya seperti bayangan seseorang di balik pintu, terdengar jelas suara orang yang berlari karena panik. Letta memberanikan diri untuk mengejarnya.
Gadis ini tak pantang menyerah ia bahkan mengejarnya sampai ke kolam renang. Namun, saat ia ingin mengejarnya ternyata siswa dan siswi dari kelas lain ingin memakai fasilitas sekolah tersebut. Letta kehilangan jejaknya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya ketua kelas.
Letta segera pergi meninggalkan tempat itu dan kembali menuju kelasnya dengan keadaan yang sedikit berantakan.
Ia mengendap-endap saat memasuki kelas. Namun, selalu saja teman-temannya ada yang menjahilinya dengan membuat sedikit kegaduhan dan guru yang tadinya tidak sadar menjadi mengetahui bahwa ada salah seorang murid yang terlambat masuk ke kelasnya.
“Letta, kamu tahukan peraturan di kelas saya?” Letta mengangguk lemah.
“Bu, beri saya kesempatan sekali saja ya?” pintanya penuh harap.
Guru itu menggeleng dan menunjuk ke arah pintu sebagai isyarat bahwa gadis berambut coklat ini harus meninggalkan kelasnya saat itu juga.
Letta pun keluar dari sana. Berjalan ke arah rooftop sekolah secara diam-diam, karena murid dilarang keras untuk ke atas sana.
Ia mulai duduk di salah satu kursi-kursi yang tak terpakai di sana dan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya sekarang dan mulai membicarakan kekurangannya sendiri.
“Sampai kapan kamu akan menghujat dirimu sendiri? Lebih baik kamu cari power-mu. Don’t waste your time.” Alicia keluar dari balik terpal biru yang menutupi kursi-kursi tak terpakai itu.
Gadis bermata besar dan sinis ini sekarang berada di hadapan Letta dengan tangan terlipat di dada dan rambut panjangnya yang tertiup angin menambah kesan cool di dirinya. Letta yang melihatnya saja seperti melihat diri Alicia yang lain.
Alicia tersenyum miring melihat Letta yang terdiam melihatnya. Sungguh, Alicia cukup muak dengan semuanya, sebab itu ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membuat kekacauan secara perlahan.
“Jika kamu mau melawan Enzi, Gilbert, Adelio dan semua yang membuatmu muak besok jam delapan malam temui aku di sini,” ucap Alicia sembari memberikan secarik kertas berwarna biru ke tangan Letta. “Hapus air matamu. Cukup sampai hari ini kau menangisi mereka.”
Letta menerimanya lalu dengan segera menghapus air matanya. Kini terpancar dari matanya bahwa ia akan bangkit membalaskan semua perlakuan yang tak adil yang ia terima selama ini. Bahkan secarik kertas yang tadinya hanya terlipat menjadi 2 kini menjadi sebuah bola kertas di tangan Letta.
Alicia menepuk pundak Letta pelan, lalu turun dari sana meninggalkan gadis itu sendirian.
“Mari kita mulai dramanya,” kata Alicia.
***
Sepulang sekolah Gilbert benar-benar menunggu Letta untuk membawanya ke ruang musik. Ia menunggu tepat di depan kelas sampai akhirnya Letta muncul setelah 15 menit menunggu. Gadis itu baru mau turun dari sana setelah sekolah sepi, padahal di saat waktu itu ia akan sangat mudah dimangsa.
Saat di ruang musik Gilbert mengunci pintunya dari dalam dan mulai mengintrogasi gadis itu sambil bermain piano dengan tenang menanyainya segala sesuatu tentang Alicia seperti makanan kesukaannya dan sebagainya. Sedangkan Letta hanya menjawab sesuai apa yang ia ketahui saja.
Gilbert mengelus pucuk kepalanya lalu berkata, “Letta pintar. Aku bangga padamu jika seperti ini.”
Letta tetap tak bergeming. “B-bisakah k-kamu tidak seperti itu.”
“Jadilah bonekaku. Ikuti semua kata-kataku dan berikan informasi Alicia kepadaku lalu ke Adelio, paham?”
Gilbert yang awalnya menekan tuts piano secara teratur kini menekannya secara bersamaan yang menimbulkan suara yang cukup mengagetkan. Ia berbicara kepada Letta agar tidak menkhianatinya jika tidak mau menganggung akibatnya. Dan setelah itu ia meninggalkan Letta sendirian di sana sembari membanting pintu.
“DASAR LAKI-LAKI GILA!”
Mereka tak sadar bahwa sedari tadi pembicaraan ada yang mengupingi mereka. “Woah, scandal maker ternyata juga sama brengseknya.”
Alicia kini terduduk di atas ranjangnya. Ia tidak ingin berlama-lama di rumah sakit dan segera menghubungi kakak kembarnya itu untuk membantunya berpindah. Rio ikut membantu agar kelakuan mereka tidak sampai terdengar ke telinga orang tua masing-masing, walaupun lambat laun pasti akan terbongkar juga karena keluarga Danendra tidak mungkin diam saja. Gadis itu sedang sarapan sendirian di dalam kamar sebelum Rio tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan wajahnya yang nampak lesu dari biasanya. “Ketuk pintu dulu!” sentak Alicia dengan mata yang sinis, ia tidak suka orang-orang sembarangan membuka kamarnya. Namun, Rio bebal diberi tahu. Sedangkan yang ditegur hanya menggaruk kepalanya tak gatal sembari tersenyum masam. “Kamu ini anak iblis apa ya?” “Anak kambing!” jawab Alicia dengan nada yang sedikit dihentak, sontak jawaban itu membuat Rio terbahak. Rio pun duduk di tepi ranjang sembari memerhatikan Alicia menghabiskan sarapannya, di mata
Alicia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kamar utama untuk mencari tahu dan membeberkan semua, anak ini benar-benar nekat untuk remaja seusia 18 tahun. Ia bersama Letta mulai mencari bukti itu dibantu oleh Rio tentu saja. Suara sepatu dari luar membuat mereka sedikit tergesa-gesa dan mereka lebih memilih untuk bersembunyi di tempat yang berbeda sembari merapikan tempat-tempat yang mereka acak-acak tadi. Jantung Letta berdesir saat seseorang itu masuk dan mulai mendekati persembunyiannya yang berada di balik tirai di sudut kamar sedangkan Alicia yang melihat itu segera memberikan kode kepada Rio. Untungnya sebelum orang itu semakin curiga Rio yang mengamati situasi pun segera membuat kegaduhan. “Oh maaf, aku terpeleset. Bisakah kamu mengepelnya. Akan bahaya jika orang lewat,” ucapnya sembari tersenyum lebar seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sampai semenit, orang itu menyerangnya tiba-tiba, namun orang yang menemani Rio itu cepat datang
“Aku tidak akan pergi karena ini juga acaraku.” Rio dari luar hanya terkekeh melihat drama yang ia perbuat itu. Pemadaman lampu itu adalah ulahnya itulah sebab ia berpisah dengan Alicia tadinya. Ia membawa seseorang untuk menjaga listrik. Terukir senyuman di bibir saat Nara mulai menjalankan perannya. Rio yang melihat Alicia membawa Letta keluar pun segera menyusulnya. "Alicia!" panggil Rio dari arah pintu masuk. Langkah kedua gadis itu pun terhenti, Alicia membiarkan Rio membawa Letta entah ke mana sedangkan Alicia sendiri harus kembali ke dalam untuk mencari apa yang ia cari. Letta dan Rio akhirnya menuju parkir dan mereka pun berdiam di sana untuk menunggu kelanjutan peran mereka. Namun, belum sampai lima menit terlihat seseorang hendak mendatangi mobil Rio. "Letta sembunyi di belakang cepat," suruhnya sembari membantu gadis itu karena bajunya yang dikenakannya cukup membuat kerusuhan di dalam mobil. Rio pun menurunkan
Di sebuah kamar seorang gadis duduk di depan meja riasnya ditemani sinar mentari kejingaan yang menandakan sang Surya akan segera menghilang. Gadis yang menggunakan piyama berwarna coklat keemasan itu tersenyum simpul saat ia duduk di depan cermin. "Drama kehidupan begitu kejam ya. Tapi, mereka sendiri yang membuat keadaan sulit untuk diri mereka," monolognya sembari mengatur rambutnya dan mulai meriasi wajahnya dengan make up. Alicia memilih untuk memakai pakaian yang cukup elegan, ia memilih untuk menggunakan dress berwarna abu-abu dengan sepatu heels yang telah disiapkan dan rambut yang sudah diatur sedemikian rupa untuk pesta formal malam ini. Setelah selesai dengan kegiatannya itu ia keluar balkon dan duduk di sana menikmati warna langit yang perlahan memunculkan bintangnya. Ponselnya berdering saat ia hendak menelpon Felix, terpampang jelas di sana ada nama Letta. “Aku di dekatnya,” ucap Letta dari seberang
Di malam hari, Felix akhirnya mendengarkan apa kata Letta, walaupun tadi mereka sempat berdebat kecil karena Felix yang tiba-tiba keras kepala tidak mau mendengarkan. Namun setelah Letta menghampiri kediamannya hati Felix terbuka. Mereka memasuki rumah sakit tersebut. Felix bersama Letta masuk ke ruangan tersebut sedangkan Alicia dan Nara lebih memilih untuk menunggu mereka dari luar karena tidak boleh terlalu banyak orang yang menjenguk. Felix duduk di sebelah ranjang sembari melihat ibunya yang tengah berbaring dengan selang serta alat bantu yang lainnya. Letta menepuk pundak laki-laki itu saat ia ingin menumpahkan air matanya. “Menangislah, aku tidak akan berbicara apapun,” ucap Letta pelan dan saat itu juga ia melihat bahu Felix bergetar menandakan laki-laki itu tengah menangis. Dari belakang Letta hanya bisa mendengar suara isakan kecil Felix. Namun, setelah itu suara dari alat berbentuk kotak itu mengalihkan mereka berdua. Letta keluar d
Sesuai dengan perkataannya, Valerio dengan para staff sekolah akhirnya berdiskusi mengenai masalah ini. Suasana di ruangan ini menegang saat Valerio mulai duduk di kursinya dan memulai pembicaraan. "Saya akan mulai pembicaraan ini, mengenai skandal yang tengah terjadi," ucapnya memulai pembicaraan berat ini. Semua orang di sana menegang, jantung mereka berdegup kencang tidak karuan karena mereka belum dapat mendapatkan pelakunya. Kepala sekolah yang baru saja datang dengan tergesa-gesa itu pun menarik perhatian orang-orang di sana. Terlihat di tanganya ada sebuah amplop coklat lalu ia mengeluarkan beberapa foto dari sana dan memperlihatkannya kepada Valerio, tentu saja laki-laki itu sekarang agak terkejut dan meragukan sang Kepala sekolah. Valerio menarik napasnya untuk tidak meledak sekarang juga, ia tidak pernah berpikir jika kandidat pelakunya adalah gadis yang ia kenal cukup baik. Valerio denial akan hal itu dan semakin berpikir jik