This Dark Erotica compilation story contains raw and unfiltered mature contents. Strictly R18+. Read with caution. ♠︎♠︎ They know they are both off limit. He knows, and she knows, but they don't care. They are ready to damn the consequences. Ready to taste the forbidden, to indulge in that very taboo cravings and every forbidden things they should never do. Forbidden things are always the sweetest. It's so close, yet frustratingly out of reach. It is something primal. High instinct. The rush of adrenaline. The throbbings. The fantasies. The obsession. The feral beast is ready to devour. It's a steamy affair.
View More"Minimal jadi bidan atau sarjana lah, baru Abang mau nikah sama kamu, Dek. Kalau cuma lulusan SMA kayak kamu gini, maaf-maaf aja, Dek. Kita nggak setara. Aku ini tentara, loh."
Kata-kata itulah yang selalu diingat Nilam dalam hidupnya. Kata-kata yang memotivasi dirinya hingga akhirnya lulus menjadi Sarjana muda di usianya yang baru 22 Tahun. Ia mengambil jurusan bahasa Inggris di universitas ternama dengan jalur beasiswa. Berkat kegigihannya, ia lulus dengan gelar cumlaude. Nilam bukan berasal dari keluarga mampu, ia berasal dari keluarga miskin yang ayah dan ibunya bekerja menjadi seorang pembantu dan supir di rumah keluarga kaya raya. "Aku yakin, Bang Indra mau nerima aku sekarang," ucapnya percaya diri. Ia sudah membayangkan akan menikah dengan pria impiannya dan menjadi Cinderella di prosesi sangkur pora mereka nanti. Pria itu bernama Indra Sanjaya, seorang tentara berpangkat Sersan satu yang saat ini bertugas menjadi Caraka/Ajudan yang membantu Pak Danyon (Komandan Batalyon) di kesatuan tempatnya berdinas. Indra dan Nilam tinggal di satu kampung yang sama. Sejak kecil, pria itu selalu memberi harapan padanya kalau akan menikahi Nilam ketika dewasa nanti. Maka dari itu, saat Nilam lulus SMA, dia menanyakan hal tersebut kepada Indra. Sayangnya, kala itu Indra yang baru dilantik jadi tentara, malah menjawab kalau dirinya hanya akan menikahi Nilam jika wanita itu sudah memiliki gelar atau profesi. Karena katanya, dia ingin menikah dengan wanita yang setara dengannya. Nilam tidak tersinggung, ia justru makin semangat untuk melanjutkan pendidikannya. Meskipun saat itu ia juga kebingungan dari mana biayanya karena orang tuanya bukanlah keluarga mampu. Tetapi, seakan ia diberi keberuntungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Nilam dikabari oleh gurunya kalau ia mendapatkan beasiswa dari universitas ternama. Meskipun harus hidup merantau dan jauh dari orang tuanya karena universitas itu berada di luar kota, Nilam tetap mengambil beasiswa itu demi menjadi seorang sarjana dan memiliki gelar seperti yang diinginkan Indra. Perjuangannya di kota orang tidaklah mudah, Nilam harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak ditanggung oleh beasiswa itu. Apalagi ayahnya juga sudah berhenti menjadi supir karena sakit-sakitan. Hanya ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga mereka. Dreett Dreett Ponsel Nilam tiba-tiba berdering nyaring. Nilam mengambilnya dari dalam tasnya. Rupanya ada panggilan dari sang Ibu. Nilam pikir, ibunya ingin mengucapkan selamat atas kelulusan wisudanya karena memang beliau tidak bisa hadir dikarenakan harus menjaga ayahnya yang sedang sakit. "Hallo, Bu?" "Mbak Nilam..." Terdengar suara isakan dari sebrang telfon. Itu bukanlah suara ibunya. Melainkan suara Tiana, sepupunya. "Ti, ada apa? Kok kamu yang angkat?" Nilam mulai merasa cemas. "Mbak..." Tiana malah menangis. Perasaan Nilam menjadi semakin berkecamuk. "Ada apa, Ti? Kok kamu telfon pake nomer ibuku? Ibuku baik-baik aja 'kan?" "Bude baik Mbak, tapi Pakde...." Nilam membelalak. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan firasat yang tidak bagus. "Bapakku kenapa, Ti?" tanya Nilam dengan suara bergetar. "Pakde meninggal, Mbak." Deg! Tubuh Nilam seketika lemas hingga terduduk ke lantai. Dunianya seakan runtuh saat itu juga. Nilam memandangi ijazah wisudanya yang masih ia pegang. Hatinya berdenyut begitu nyeri. Senyum di bibirnya tersimpul, tetapi matanya terus menangis. Ia meraih mimpinya, tetapi di waktu yang sama, ia kehilangan orang yang disayanginya. “Bapak....” panggilnya lirih. * Setelah kematian ayahnya. Nilam masih belum memutuskan apa yang akan ia lakukan kedepannya. Rasanya separuh hidupnya ikut dibawa pergi oleh sang Ayah. Nilam kehilangan semangat hidup. Sore itu, ketika Nilam memandangi rintik hujan gerimis dari balik jendela kamarnya, ia mendengar suara ketukan pintu dari pintu depan. Nilam buru-buru keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu. Ternyata itu adalah ibunya yang baru pulang bekerja. Memang, belum ada empat puluh hari ayahnya meninggal, tetapi sang ibu harus kembali bekerja. Bosnya tidak mengizinkan ibunya libur lama-lama. “Ibu, sudah pulang? Mau minum dulu?” tawar Nilam. Membantu sang Ibu duduk di atas kursi, sementara ia mengambil air minum di dapur dan memberikannya pada Ibunya. Ia melihat wajah Ibunya lamat. Sepertinya wanita itu terlihat kelelahan, tubuhnya pun sudah mulai lemah. Tangannya yang keriput dan kasar sampai gemetar memegangi gelas di tangannya. Nilam mendekat dan duduk di depan ibunya sambil meraih tangannya. “Bu?” panggilnya lembut. Ibunya mendongak. “Mulai sekarang, biar Nilam aja yang kerja, ya, buat gantiin Ibu. Jadi Ibu nggak usah kerja lagi. Ibu istirahat aja di rumah.” Ibunya kaget. “Maksudnya?” Nilam tersenyum. “Biar Nilam aja yang kerja di sana untuk sementara.” “Jangan, Lam. Kamu itu sudah sarjana, mana mungkin ibu membiarkan kamu bekerja jadi pembantu. Kamu bisa cari kerjaan yang lebih baik, Nak.” Nilam tersenyum. “Opo to hubungannya gelar sarjana sama jadi pembantu, Bu? Kerjaan apa aja yang penting kan halal.” Ia berusaha meyakinkan ibunya. Namun, sang ibu masih terlihat ragu. “Nilam benar-benar nggak apa-apa, Bu. Lagipula, Ibu pasti masih terpukul sama kepergian Bapak. Jadi, sebaiknya Ibu istirahat aja di rumah. Nilam yang akan gantiin, untuk sementara aja kok Bu sampai Nilam dapat pekerjaan yang lain. Ya?” "Tapi Lam, Ibu nggak mau ngerepotin kamu, Nak." Nilam menggeleng. “Ibu enggak pernah merepotkan Nilam sama sekali.” Ibu Nilam masih kelihatan berat mengizinkan Nilam menggantikannya bekerja. "Boleh ya, Bu?" Nilam terus memohon. Akhirnya sang ibu luluh. Nilam tersenyum, lalu memeluk ibunya erat. Nilam sudah kehilangan ayahnya, ia tidak ingin ibunya bekerja terlalu keras di usianya yang sudah menginjak angka enam puluh tahun itu. Nilam ingin ibunya terus sehat dan bahagia di masa tuanya. * Keesokan harinya, Nilam mulai bekerja di rumah Nyonya Mona, majikan ibunya yang ada di desa sebelah. Nilam menjelaskan kondisi ibunya kepada Nyonya Mona. Beliau tidak masalah yang penting ada yang tetap bekerja. “Kamu sudah biasa bersih-bersih, ‘kan?” tanya Nyonya Mona. Nilam tersenyum. “Iya, Nyonya.” “Ya sudah, kalau begitu kamu buruan bersihkan seluruh rumah, jangan lupa juga dirapihkan. Nanti sore, ada calon suami anak saya yang mau datang. Yang bagian masak Mbok Dasimah, tapi kamu bantuin juga ya nanti, soalnya hari ini masak banyak karena ada tamu.” Nilam mengangguk. “Baik, Nyonya.” Nilam pun langsung bekerja. Hari itu, pekerjaannya lumayan banyak. Dia membersihkan rumah besar itu sendirian dari mulai mengelap perabotan rumah, menyapu, mengepel, dan juga menata semua perabotan yang ada supaya lebih rapi. Untungnya, Nilam sudah biasa bersih-bersih, jadi dia pun tidak merasa terlalu kewalahan. Menjelang sore, semua pekerjaan Nilam sudah selesai. Rumah sudah kinclong dan rapi. Ia juga tadi membantu Mbok Dasimah sedikit untuk memotong-motong bahan masakan, jadi ia menemui Nyonya Mona untuk pamit. “Nyonya, semua sudah saya kerjakan. Saya mau pamit pulang dulu.” Nyonya Mona mengernyit. “Kok pulang? ‘Kan sudah saya bilang kalau hari ini calon suami anak saya mau datang. Jadi, kamu di sini dulu saja sampai acaranya selesai. Nanti setelah acara ‘kan kamu harus beres-beres lagi. Setelah itu, baru kamu boleh pulang.” Nilam mengangguk patuh. “Oh, begitu. Baik, Nya.” Akhirnya, Nilam pun ke dapur untuk membantu menyiapkan semua suguhan yang akan disajikan untuk calon suami anak Nyonya Mona beserta keluarganya. Makanan yang disiapkan Mbok Dasimah sudah siap semua, paling-paling hanya tinggal menata saja dan mengantar ke depan nanti. Sekitar pukul tiga sore, rombongan keluarga calon suami anak Nyonya Mona datang. Sellina—anak Nyonya Mona juga sudah berdandan amat cantik dan siap menyambut mereka. Ruang tamu terdengar ramai. Nyonya Mona kelihatan antusias sekali menyambut calon menantu dan besannya. Lalu, Nilam yang diam di dapur menunggu komando selanjutnya dihampiri oleh Mbok Dasimah yang tergesa-gesa. “Lam, bawakan minuman sama gelasnya. Di depan ternyata kurang. Buruan ya, sudah ditunggu sama Nyonya dan tamu-tamu yang lain.” Nilam mengangguk dan langsung sigap membawa teko berisi minuman dan beberapa gelas bersih untuk dibawa ke depan. Perlahan, langkah kakinya semakin dekat. Namun, tiba-tiba tatapan matanya berhenti pada sosok pria yang sedang mengobrol dan saling tatap dengan Selina. Jantung Nilam seketika berdetak dengan keras, tubuhnya membeku di tempat. Prang!!! Nampan yang ia bawa di tangannya seketika jatuh. Membuat gelas-gelas itu pecah berserakan ke lantai. Semua mata menatap ke arahnya. Bibir Nilam bergetar menyebut nama pria itu. “B-bang, Indra...”By the time Eli got home, he couldn’t tell if the ache in his chest was grief or shame. Probably both. He stood in the middle of the living room, numb, and realized he had to choose to either get himself back together or keep sinking He chose the former.It wasn’t a miracle cure. He didn’t spring back to life overnight. But the next morning, he shaved. He showered. He made real breakfast and drank water like it was medicine. He changed his sheets. Answered a few emails. And when his father called to say he was coming to check up on him again. Eli didn’t panic.He wasn’t okay.But he wasn’t disappearing either.He was a Coward, Yes but not as cowardly as Dominic. Eli didn’t bounce back overnight, but eventually, something softened. Maybe it was the silence, the sheer quiet of not chasing something that refused to be held. He stopped waking up hoping for a message. He stopped going to bed imagining a voice mail. And somewhere in that dull, lingering stillness, he remembered how to m
Eli didn’t cry when he deleted Dominic’s number.His thumb hovered for a second longer than it should have, maybe waiting for a reason to stop, maybe hoping a text would come through and save him from himself. But it didn’t. He pressed down, watched the screen blink, and just like that, Dominic was gone.At least, from the phone.The silence afterward was too loud. Eli threw the phone across the bed and sat there, motionless. It wasn’t impulsive. It was an attempt at control—one last shred of power in a relationship that had never been equal.But six hours later, his hand hovered over the bedspread, phone cradled in his palm, now he felt more empty.He didn’t even remember Dominic’s number. It had lived in his favorites for so long, he’d never had the need to memorize it. And now it was gone, like none of it ever mattered.Eli stopped going into the office.At first, he lied to his father that he would be working from home—claims of remote meetings that didn’t exist. His father
Before, it was full of hope. Heavy with possibility. Eli could imagine Dominic’s fingers hovering over his screen, thinking of what to say. He could tell himself that Dominic was just scared, or confused, or tied up with life. That the love was still there, just waiting for the right moment to speak again.But this silence?This was final.Eli sat in the dark, still on the floor, phone in hand, the call screen gone. No missed message. No apology. Just nothing.His chest ached—not the kind of ache that came from crying too hard or breathing too fast, but the kind that lodged deep and slow, like a splinter under the skin of the heart. The kind that didn't leave. Not quickly.For a long time, he didn’t move. He let the night stretch around him, shadows crawling up the walls like reminders of everything that had happened in Dominic’s bedroom, only days before.It felt like another life.You’re not ruining me. You’re the only good thing in my life right now.He had meant every word. And Do
Eli got home before his father did. He had no choice.The lights in the kitchen buzzed to life as he stepped inside, dropping his duffel bag near the door like a boy returning from camp. His body still carried the warmth of Dominic’s sheets, the echo of his voice murmuring against Eli’s skin, and yet here he was—back to the house with straight lines and quiet corners, where everything stayed in its place except him.His father’s absence was expected. A late meeting, probably. Or a drink with one of the other suits. Eli wasn’t concerned about him. He was concerned about Dominic.He fished his phone from his pocket and opened their thread. Last night’s messages were still there. The final one from Eli—I miss you already. Don’t forget about me.—sat unanswered.He typed, Home safe. Thinking about you, and hit send.No reply.He waited until the morning.Monday passed like wet concrete. Heavy. Slow. Drying in all the wrong places.Eli sat behind his desk at his father's office sorting thro
That night, they cooked together.Eli chopped vegetables while Dominic manned the stove. It was domestic in a way that almost hurt—too easy, too perfect, like slipping into a life that didn’t belong to them.“You’re terrible at slicing peppers,” Dominic said, watching the mess Eli was making.“I’m not here to be judged. I’m here to be loved.”Dominic shook his head, grinning. “You’re lucky you’re pretty.”Eli blushed as Dominic stepped back to slap his buttocks playfully. “You really don't know how complete i feel around you. Like this moment should last forever. I want you literally all the time.” Eli fantasized. “You're going too fast.” “I know but sometimes I dream about us_ You and I with our cute daughter. I dream about when we wouldn't always have to hide. When I wouldn't feel like a disappointment to my father once I let him know my sexuality. I dream of when we get married, standing in a garden with well wishers and we exchange our vows to be together forever. When we w
“Okay,” he said softly. “Thanks for telling me.”That was all. No fireworks. No shock. Just quiet acceptance.But that moment did something to Eli. Unlocked something.He started letting himself feel it.The attraction.The curiosity.And especially—the desire for Dominic.It built slowly.In glances. In lingering touches when their hands brushed. In the way Dominic looked at him like he was trying not to.They didn’t kiss right away. That came later.What came first was tension.Heat that simmered between them until it became unbearable.The first kiss happened in the garage.Eli had just finished cleaning the motorcycle carburetor. Oil smudged on his cheek. His shirt clung to his back from the heat.Dominic leaned against the workbench, watching him. His gaze heavy. His jaw tight.“You keep looking at me like that,” Eli said, barely above a whisper, “and I’m gonna do something stupid.”Dominic didn’t move. “Maybe I want you to.”Silence.Then Eli stepped forward, breath shallow.“Yo
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments