Share

Keluarga

Hidup sebagai remaja yatim piatu selama ini membuat dada Zero bergemuruh ketika seseorang datang dan mengatakan akan menjadi ayahnya. Lelaki itu mengulurkan tangan dan meminta Zero berdiri.

“Selamat datang ... aku adalah Atalla Gladiolus, yang memanggilmu ke dunia ini.” Atalla menyambut Zero dan memecah keheningan di antara mereka, ia kemudian mengajak Zero beranjak dari sana.

“Se-sebenarnya aku masih tidak mengerti,” kata Zero seraya menggaruk kepalanya. Ada senyum kecil di wajah yang salah tingkah itu.

“Nanti kau pasti akan mengerti, dan aku juga tidak memiliki niat jahat padamu. Singkatnya kau dipanggil ke sini karena aku dan penduduk kota ini membutuhkanmu,” jelas Atalla. Ah, rupanya masih tak dapat mengusir tanda tanya di kepala Zero.

“Dan aku akan lebih senang jika kau menerima nama pemberianku dan bersedia menjadi anakku,” lanjut Atalla. Mereka berdua berjalan pelan melewati gerbang kota. Zero melihat pemandangan yang membuatnya berdecak kagum. Ia terpesona.

Di dekat gerbang berjejer pohon bunga wisteria, di dalamnya terhampar rerumputan hijau dan bunga gladiol ditanam rapi membentuk jalan berliku-liku, dan tepat di tengah-tengah ada sebuah taman dengan danau kecil yang dikelilingi oleh bunga lupin.

Di seberang sana tampak tiga istana megah yang saling berdekatan, lalu ada banyak rumah penduduk dan pohon cemara serta pinus. Di beberapa sudut tumbuh dengan subur pohon apel yang berbuah lebat.

“Baiklah, aku akan menerimanya dan memanggilmu ayah,” tutur Zero kemudian. Ia sama sekali tak menyangka akan menanggalkan nama lamanya, terlebih nama yang diberikan Atalla seperti mengakuinya sebagai seorang pahlawan saja.

"Hero Gladiolus," batinnya. Ia pun tersenyum. Di sini ia merasa lebih tenang seperti perasaan seorang anak perantauan yang akhirnya bisa pulang ke kampung halaman. Apa benar ini adalah kehidupan setelah kematian?

“Hm, apa semua orang yang mati akan ke sini?” tanyanya pada Atalla.

“Tidak, ini bukan dunia setelah kematian seperti dugaanmu, Hero. Ini adalah Kota Gardraff, dunia lain yang hanya bisa dimasuki manusia tertentu saja. Kau belum mati, Hero. Mungkin ada yang sedikit berubah pada penampilanmu, itu disebabkan penyembuhan dan pemanggilan yang kulakukan,” jelas Atalla.

Hero mengangguk-angguk pelan meski ia masih tak benar-benar paham. Ia tahu bahwa ada beberapa pertanyaan yang tak bisa ditemukan jawabannya dalam sehari. Apa pun yang akan terjadi nanti Hero ingin menyusun langkahnya sekali lagi. Mendapati kenyataan bahwa ia belum mati, Hero merasa seperti terlahir kembali.

Ia sama sekali tak pernah memikirkan bahwa ada dunia lain yang berdampingan dengan dunia manusia. Mengingat tak setiap manusia bisa memasuki dunia ini, Hero berpikir mungkin saja ini adalah dunia seperti yang tertera dalam buku dongeng yang pernah dibacanya.

Hero ingin melepaskan ribuan tanya yang mendera, nanti ia pasti akan mencari tahu jawabannya walau harus membaca gunungan buku sekalipun.

***

“Suasana apa ini? Seperti ingin rapat saja,” batin Hero saat melihat beberapa orang duduk mengelilingi meja bundar di sebuah ruangan. Ia masih tak mengira bisa menginjakkan kaki di istana semegah ini. Menurut penjelasan Atalla, istana ini adalah rumahnya dan juga akan menjadi tempat tinggal Hero.

“Hero, duduklah ....” Suara lembut dari seorang perempuan menyambut kedatangan Hero dan Atalla. “Mana ... namaku Mana Gladiolus, istri Atalla,” jelas perempuan itu dan menuntaskan rasa penasaran Hero. “Itu berarti aku adalah Ibumu,” lanjut Mana. Ia tersenyum ramah pada Hero.

Lagi-lagi Hero salah tingkah, kenyataan bahwa perempuan cantik ini akan menjadi ibunya dan Atalla yang gagah akan menjadi ayahnya membuat wajah Hero memerah. Ia menahan rasa bahagia sekaligus malu.

Berbeda dengan Atalla yang hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana panjang putih, beberapa lelaki di ruangan ini mengenakan baju zirah lengkap dengan sebilah pedang di pinggang. Hero bergidik ngeri, itu adalah pedang sungguhan. Sementara Mana dan beberapa perempuan lain di dalam ruangan ini mengenakan gaun mewah. Mana tampak menawan dengan gaun kuning pucat dan rambut hitamnya yang tergerai rapi.

Hero duduk tepat di sebelah Atalla dan Mana. Di atas meja terhidang berbagai jenis makanan dan buah-buahan yang tak pernah dicicipi Hero sebelumnya. Rasa lapar pun kembali bergejolak, namun ia tahan sebisanya.

“Selamat datang, Hero Gladiolus!” Salah seorang lelaki mengarahkan pedang pada Hero, tepat di antara kedua mata Hero yang tak berkedip. Ia gugup dan menelan ludah, bulir keringat pun menetes. Hero merasa nyawanya bagai berada di ujung pedang ini.

“Dryas, bercandamu sangat berlebihan,” tegur Atalla lalu memerhatikan wajah Hero yang memucat tegang. “Minumlah ....” Atalla memberikan segelas air pada Hero. Lelaki yang bernama Dryas itu sontak tertawa terbahak-bahak, seolah ia puas sekali sudah mengerjai Hero.

“Hahaa ... rileks, Hero. Aku bukan musuhmu,” ucap Dryas sambil mengacak-acak rambut Hero. Setelah keadaan lebih tenang, Dryas mengenalkan keluarganya. Lelaki berwajah ramah ini bersama istrinya Arma Wisteria, putri sulungnya Seema Wisteria, dan putranya Genio Wisteria yang berumur 9 tahun.

“Kami berharap banyak padamu, Hero,” kata lelaki lainnya yang turut berkenalan pada Hero. Dia adalah Argana Lupine, duduk di sebelahnya sang istri Xalma Lupine, anak-anak mereka Leander Lupine dan Eireena Lupine.

“Hero, Leander, Seema, dan Eireena ... usia kalian tak berbeda jauh, jadilah teman yang baik satu sama lain.” Argana memberikan petuahnya. Ia dapat membaca kebingungan di wajah Hero, namun Argana sungguh-sungguh mengatakan bahwa mereka berharap banyak pada Hero.

“Hero, ini adalah Farrabi. Dia yang akan mengajarimu menggunakan pedang.” Atalla menunjuk Farrabi yang duduk di seberangnya. Hero mengangguk dan melihat Farrabi, wajahnya tenang dan ia tampak bijaksana.

Meski ada banyak pertanyaan yang bergelantungan di benaknya, Hero dapat membaur. Ia bahkan ikut tertawa saat Dryas melontarkan canda, kehangatan dan kebersamaan seperti ini tak pernah Hero alami sebelumnya. Rasa bahagia seakan ingin meledak dalam hatinya. Apa ini yang dinamakan keluarga?

Semua orang di sini menyambut Hero dengan ramah, namun ia masih tak tahu apa tujuan Atalla memanggilnya dan apa yang diharapkan mereka dari Hero?

Di dalam ruangan luas bernuansa keemasan yang tampak kokoh dan megah ini, sebuah ikatan pun terjalin kuat. Tirai jendela yang berwarna merah tua bergerak pelan tertiup angin seolah baru saja turut mengucapkan selamat datang pada Hero.

Duduk bersama anggota keluarga seperti inilah yang pernah diimpikan Hero saat di panti asuhan. Makan bersama seraya bertukar cerita menciptakan kehangatan tersendiri di dalam hati.

“Apa tidak masalah jika aku merasa sebahagia ini?” tanya Hero dalam hatinya. Ia sempat merasa ragu bahwa dirinya benar-benar pantas berada di keluarga yang sempurna.

Setelah pertemuan itu, beberapa orang pelayan mengantarkan Hero ke kamarnya. Sangat jauh berbeda dengan kontrakan kecil yang ia sewa dulu, terlampau jauh perbedaannya. Menghadapi cermin yang lebih tinggi darinya, Hero berkaca dan terdiam.

Kedua bola mata hitam kecokelatan miliknya memancarkan kebahagiaan, Hero kembali tersenyum. Mulai saat ini ia bisa tidur di kasur yang empuk, bisa makan tiga kali sehari atau sebanyak yang ia mau, bisa mengenakan baju bagus setiap hari, dan yang terpenting mulai saat ini Hero memiliki ibu dan ayah. Lalu tadi ia juga berkenalan dengan beberapa orang teman.

“Hero ....” Suara lembut itu lagi, Hero bisa dengan mudah mengenalinya. Jujur saja ia masih kaku untuk menyebut ibu.

Mana masuk setelah Hero membukakan pintu, lengkung senyum itu tak pernah lepas di wajahnya. Ia perempuan yang memiliki jiwa keibuan dengan tutur katanya yang lemah lembut. Mana datang untuk menjelaskan beberapa hal seperti jadwal belajar dan latihan berpedang yang akan dilakukan Hero.

“Hero, mulai sekarang kau bisa menceritakan apapun pada Ibu. Katakan jika ada yang bisa Ibu bantu, pada ayah pun begitu. Semua orang di kota ini bahkan tak akan menolak jika dimintai bantuan,” ujar Mana.

“Se-sebenarnya aku merasa ini seperti mimpi, seolah aku tidak pantas mendapatkan ini semua,” ucap Hero terbata-bata. Air matanya sekuat tenaga ia bendung.

“Ini bukan mimpi, Hero. Dan takdir yang memilihmu menjadi keluarga kami.” Kata-kata yang diucapkan Mana bagai mantra penenang bagi Hero. Jika ia dapat membuat bintang bercahaya saat ini, Hero akan mengambil dan menghadiahkan satu untuk Mana. Seperti itulah yang dirasakan Hero setelah mendengar ucapan Mana.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurfa Latif.
wah. ceritanya bagus banget, penulisannya juga. semangat ya author.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status