Share

BAB 9 EFEK

BAB 9 EFEK

Dagaz mendatangi kota yang kemarin hancur karena badai petir yang berpesta semalaman. Hanya hamparan gosong yang ia lihat di wilayah itu. Pihak – pihak pemberi bantuan silih berganti mendatangi lokasi tersebut. Dagaz menelusuri setiap area di kota tersebut dengan sepeda motornya. Jalan – jalan yang seharusnya halus menjadi rusak karena reruntuhan gedung dan tanaman yang menghalangi jalan. Banyak mayat berserakan di jalan yang tampak gosong.

Armada pemadam kebakaran dari  wilyah dekat kota itu, berbondong – bondong masuk wilayah kejadian. Mereka menyingkirkan puing – puing gedung yang hancur, pohon – pohon yang tumbang, dan fasilitas umum yang berserakan di jalan. Dagaz hanya menyaksikan armada tersebut bahu membahu, namun ia tidak ikut membantu. Ia merasa ada hal yang lebih penting untuk ia kerjakan saat ini.

Beberapa saat setelah berkeliling, Dagaz melihat berbagai macam artis – artis sosial media ikut mendatangi kota tersebut. Beberapa dari mereka datang memberi bantuan, namun mereka juga menjadikan kegiatan mereka tersebut sebagai konten.

“Kalau melihat pemandangan seperti ini, aku jadi tidak ingin membantu mereka.”

“Kalau kau tidak berkenan membantu, lebih baik tidak usah membantu.” Dark memberikan pendapatnya. “Daripada kau membantu dengan setengah hati.”

“Aku hanya kesal karena mereka mengeksploitasi kejadian ini untuk kepentingan mereka. Aku yakin, sebentar lagi akan dapat beberapa perwakilan dari perusahaan yang datang untuk memberikan bantuan. Mereka akan merekam kegiatan mereka dengan alasan dokumentasi, lalu mereka mengeksposenya ke sosial media.” Dagaz masih melihat artis – artis dadakan itu.

“Jadi... bagaimana? Aku tahu kau melihat beberapa dari mereka melakukan itu hanya untuk pencitraan.”

“Karena aku masih memiliki hati manusia, sebenarnya aku ingin membantu mereka yang selamat dari kejadian ini.”

Benar saja, tidak lama berselang, beberapa awak media dari stasiun TV berbondong – bondong datang untuk mewawancarai mereka yang selamat. Mereka tidak mempedulikan kondisi korban yang sebenarnya masih trauma. Mereka memang hanya menjalankan tugas untuk meliput kejadian tersebut. Tentu itu adalah perintah dari atasan mereka.

“Lebih baik kita pergi dari sini, daripada kau semakin kesal melihatnya.”

“Tidak, aku ada urusan di sini.”

“Kemana kita sekarang?”

“Ayo kita masuk ke dalam salah satu gedung yang hancur itu.”

Dagaz menunjuk salah satu gedung yang seluruh kacanya pecah akibat getaran yang dihasilkan oleh suara guntur. Dark melihat gedung tersebut. Dagaz melajukan motornya menuju gedung yang ia tunjuk. Suara motor Dagaz tersamarkan oleh suara mesin – mesin kendaraan berat yang memindahkan puing – puing yang berserakan di jalan. Deru mesin diikuti deru debu yang membuat jalanan serasa berkabut. Dagaz menutup kaca helmnya untuk menghindari debu itu. Jalan yang seharusnya halus menjadi terasa bergelombang yang membuat berkendara terasa tidak nyaman sama sekali. Dagaz tiba di depan gedung yang hampir hancur itu.

Sesampai di depan halaman pintu masuk, Dagaz langsung memarkirkan motornya tepat di sana. Ia berjalan kaki masuk ke dalam gedung. Suasana gedung itu memang berantakan, meskipun beberapa perabotan sepertinya masih bisa di pakai. Ia disambut oleh mayat – mayat yang hangus. Aroma arang menyelimuti seluruh isi gedung. Dagaz hanya bisa geleng – geleng kepala menyaksikan apa yang dilihatnya saat ini.

“Separah apakah badai petir kemarin? Kenapa sampai satu kota ini bisa sehancur ini?” tanya Dagaz keheranan. Ia tidak tahu mendetail karena dia sempat kabur dari kota itu sebelum Herrscher meningkatkan skala resonansi.

“Seperti terkena bom atom skala mini ya? Namun seperti bom mini dalam jumlah yang banyak dan menyebar di setiap sudut.”

Dagaz masih memperhatikan setiap sudut ruangan di gedung tersebut. Apakah mungkin petir kemarin bisa sampai masuk ke dalam gedung? Itulah yang ada di pikiran Dagaz. Sangat mengerikan bila petir bisa sampai menjalar seperti itu. Dagaz menyentuh lantai gedung itu, lalu seketika pikirannya melayang.

------------------------------

Gemuruh guntur di luar gedung semakin menggila. Kaca – kaca gedung bergetar hebat dan satu persatu kaca mulai pecah. Orang – orang di dalam gedung panik karena kondisi di luar sangat tidak kondusif. Mereka menutup telinga mereka karena tidak kuat dengan suara petir yang bersahutan tiada henti. Mata mereka terbutakan oleh kilatan cahaya petir dari langit. Suasana yang seharusnya malam hari, menjadi seperti siang hari karena terangnya kilatan cahaya yang tiada henti. Salah satu dari penghuni gedung menyarankan yang lainnya untuk segera meninggalkan gedung. Namun hal itu dihentikan oleh seorang pemuda yang tiba – tiba masuk ke dalam gedung. Pemuda tersebut menyuruh mereka tetap di dalam gedung karena petir terlalu liar hingga menyambar ke tanah. Mendengar kesaksian dari pemuda itu, orang – orang di dalam gedung itu semakin panik. Penghuni gedung yang tidak mempercayai kesaksian pemuda itu menunjukkan gestur meremehkan.

“Mana mungkin petir sampai separah itu,” kata pria itu dengan nada mengejek.

“Kalau tidak percaya, silahkan keluar. Lihat saja dengan mata anda sendiri,” saran pemuda itu dengan nada kesal. Ia tidak senang dengan tingkah pria tersebut.

“Ok, akan aku keluar sekarang. Akan aku cek sendiri. Awas saja kalau kamu bohong!” ancam pria itu sambil menodongkan telunjuknya ke arah pemuda itu.

Pria itu keluar dari gedung dengan penuh percaya diri. Suara guntur yang bersahutan tidak membuatnya takut sama sekali. Orang – orang di dalam gedung menyaksikan pria tersebut yang saat ini berada di luar gedung.

Dari luar, pria itu berkacak pinggang sambil berteriak, “Lihat, petirnya tidak mungkin sampai menyentuh tanah!”

DARR!!

Tepat setelah mengucapkan kalimat tersebut, petir menyambar pria itu hingga menjadi gosong. Pria itu tewas seketika dengan tubuh penuh asap. Sontak, orang – orang di dalam gedung berteriak terkejut karena menyaksikan kejadian tersebut. Orang – orang langsung masuk lebih ke dalam gedung.

Orang – orang di dalam gedung masih gelisah karena petir tidak kunjung berhenti. Setelah beberapa saat, suatu cahaya yang sangat terang terlihat menyambar ke wilayah itu. Getaran tersebut terasa seperti ada gempa bumi. Dari pancaran cahaya itu, muncul arus listrik yang tampak oleh mata, masuk ke dalam gedung. Arus itu menjalar ke seluruh ruangan di gedung itu. Berapa orang yang terkena arus itu menjadi mati gosong seketika. Tampak sudah tidak ada harapan untuk bisa lolos dari arus listrik yang kasat mata. Arus listrik itu menewaskan hampir seluruh orang yang berada di dalam gedung.

------------------------------

Dagaz kembali sadar dari pikirannya.

“Astaga... Badai petir kemarin benar – benar liar. Bahkan bisa masuk sampai ke dalam gedung.” Dagaz masih tidak bisa menerima pengelihatan yang ia rasakan barusan.

“Apakah kau tidak menyadari kalau waktu saat ini berjalan terlalu cepat dibandingkan biasanya?”

“Tidak, aku tidak merasakan hal itu.”

Dagaz tidak menyadari hal itu. Sebagai makhluk yang berada dalam sistem tersebut, tentu hal itu  berjalan otomatis di bawah alam sadarnya, sehingga itu adalah hal yang normal baginya.

“Tidak heran. Saat ini waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Itu karena resonansi saat ini lebih tinggi daripada sebelumnya. Kita harus mengembalikannya ke keadaan semula.”

“Bagaimana caranya?” tanya Dagaz kepada Dark.

“Tidak bisa kalau hanya kau sendiri.”

“Lalu siapa yang bisa membantuku?”

“Mereka...” Dark menunjuk ke suatu arah yang tampak kosong.

Dagaz menyadari maksud Dark. Ia memejamkan matanya. Sebuah aliran chakra masuk ke kepalanya. Aliran itu merambat ke tengah – tengah kedua matanya lalu mengaktifkan indera penglihatannya yang lain. Dagaz melihat arwah – arwah yang bergentayangan di dalam gedung. Mereka adalah manusia korban kejadian itu. Dagaz tertegun menyaksikan banyaknya jumlah mereka. “Mereka sebanyak ini... Astaga...”

“Kau perlu bantuan mereka untuk membantumu, Dagaz.”

“Wow, aku akan dibantu oleh arwah – arwah ini?” Dagaz tidak mempercayai perkataan Dark. Ia masih tercengang melihat kumpulan arwah – arwah itu.

Suara notifikasi dari gawainya berbunyi. Itu adalah pesan dari grup chattingnya. Setelah membaca pesan tersebut, Dagaz memantapkan hatinya untuk memulai aksinya . Ia menegakkan kepalanya dan mulai berbicara kepada arwah – arwah di sana.

“Aku membutuhkan bantuan kalian. Setidaknya inilah yang bisa kalian perbuat untuk menyelamatkan dunia kalian. Eh tidak, maksudku... dunia tempat manusia yang masih hidup. Meskipun kalian sudah mati, tapi saudara dan sanak keluarga kalian masih hidup. Merekalah yang akan kena imbas akibat kejadian kemarin. Aku mohon bantuan kalian,” pinta Dagaz kepada kumpulan arwah tersebut.

Satu per satu arwah itu tersenyum kepada Dagaz, pertanda mereka bersedia membantu Dagaz. Dagaz membalas respon mereka dengan senyum balik.

------------------------------

“Ada pihak yang sengaja memanipulasi frekuensi alam yang seharusnya berada dalam kondisi tinggi.” Herrscher  terkejut mendapati frekuensi tersebut muncul di layar laptopnya. “Kau tahu penyebab dari hal ini, Death?”

Herrscher mencoba mengutak - atik programnya. Dia berharap frekuensi kembali seperti yang diharapkannya.

------------------------------

Dagaz telah kembali ke rumahnya. Di dalam kamarnya, Dagaz dengan pikirannya mengirimkan frekuensi tersebut. Dalam tenang, dia memusatkan pikirannya setelah membaca prediksi bencana yang disebarkan oleh grup chat supranatural.

Ia sebenarnya dibantu pihak – pihak yang mempunyai kekuatan supranatural untuk memprediksi alam, seperti indigo dan sejenisnya.  Bisa dibilang, Dagaz sebenarnya hanyalah mata – mata di grup itu. Ia menggunakan informasi tersebut untuk kesenangannya sendiri. Sehingga ia sering mempermainkan alam. Namun karena seringnya ia memanipulasi alam, menyebabkan prediksi para indigo tersebut selalu tidak terjadi.

Di dalam kamarnya yang tenang, Dagaz sedang memejamkan mata. Berkonsentrasi menggunakan pikirannya untuk mencegah bencana. Lampu kamar cukup redup saat itu, membuat konsentrasi lebih mudah dilakukan.

“Apakah tidak ada masalah bila kau memanipulasi alam?”

“Kurasa tidak masalah. Lagipula manusia di kondisi sekarang belum siap menghadapi bencana seperti itu. Juga belum saatnya sosok legenda tersebut muncul,” jawabnya dengan mata yang masih tertutup. Nafasnya masih stabil mengikuti detak jantungnya. Setiap lima kali ketukan jantungnya, Dagaz menarik nafas panjang. Lima ketukan berikutnya, Dagaz menghembuskan nafasnya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, Dagaz tidak lagi bernafas untuk waktu yang cukup lama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status