Share

13. Michiko

Meski sudah tidak lagi kesal karena kemarin memergoki Danish berboncengan pulang dengan Lianka, tapi bukan berarti Sayna tidak berniat membalas dendam. Pagi-pagi sekali setelah bersiap dengan seragam sekolahnya, gadis itu menuju ke dapur, mengemas beberapa roti yang dia buat kemarin, menentengnya dalam paper bag cokelat tua, dan tersenyum lebar setelahnya.

“Mau dibawa ke mana?” tanya ibunda, karena tak biasanya seorang Sayna sudi melakukan hal seperti itu. Membawa bekal atau camilan bukan gayanya sama sekali.

“Ke sekolah,” jawab gadis itu sambil berusaha menyembunyikan senyum. Dia mencoba beberapa gigit kemarin, dan rotinya cukup keras untuk dimakan manusia biasa. Hanya ayah yang biasanya bersedia menelan roti-roti itu, mencelupnya dengan teh panas atau air putih kalau sedang kepepet.

“Mau diapain?” tanya ibunda sekali lagi, seolah tidak puas dengan kenyataan bahwa roti-roti Sayna akan dibawa ke sekolah saja.

“Mau dipakai buat senjata tawuran, Bu,” celetuk Ikrar sambil terkekeh.

Sayna mendelik jengkel. “Mau aku bagiin ke temen, Bu. Di rumah juga nggak ada yang makan selain ayah.”

“Ih, udah jangan!” Ibunda menarik paper bag itu dari tangannya buru-buru. “Udah kalau ayah nggak mau makan mah biar ibu jadiin campuran buat bikin puding atau setup roti kekinian itu. Jangan dibawa ke sekolah. Jangan dibagiin ke temennya.”

Alis Sayna nyaris bertaut. “Emang kenapa. Bu?”

“Kasihan temennya,” cicit sang ibu yang tentu saja membuat ledakan tawa menggelegar dari mulut adik semata wayang Sayna, Ikrar si usil tak ada lawan.

“Itu yang aku pikirin dari tadi, Bu.” Bocah laknat itu memulai. “Dosa apa teman si Teteh yang bakal kebagian roti ini? Kayaknya fatal banget, ya.”

Sepertinya dilempar adonan dough kemarin belum cukup, Ikrar harus dilempar kursi sekalian agar tidak selalu ikut campur.

“Mungkin di masa lalu temannya si Teteh pernah jadi pembunuh bayaran.”

“Mungkin.” Ibunda mengangguk-angguk dengan sebelah tangan memegang dagu. “Malang nian nasib anak itu.”

Sayna murka, rasanya tidak semalang itu juga nasib penerima roti-roti buatannya ini. Dia segera merampas paper bag dari tangan sang ibu lalu pergi setelah mengucapkan salam. Sabar, Sayna... jangan durhaka pada orangtua. Gadis itu menahan kesal sepanjang perjalanan menuju sekolah bersama sang ayah.

“Teteh tenang aja.” Suara ayahnya terdengar sayup-sayup di antara angin pagi dan bunyi kendaraan. “Kalau rotinya dikembalikan, biar ayah yang makan.” Sayna lupa kalau ada satu orang lagi yang pasti tidak akan ketinggalan jatah untuk menggodanya pagi ini. “Tapi, teh, kalau yang makan roti itu teman cowok dan dia merasa baik-baik aja. Perlu Teteh pertimbangkan.”

“Pertimbangkan apa?” Sayna menyahut.

“Pertimbangkan buat jadi pacar,” jawab sang ayah lembut. “Lumayan buat antar jemput dan bantuin ayah menghabiskan penderitaan itu di masa depan.”

Ya Tuhan... bahkan roti buatan tangan Sayna disebut dengan penderitaan. Kenapa dia harus hidup di sekeliling orang-orang ini? Sayna memijit pelipisnya tak habis pikir. Obrolannya dengan orang-orang serumah cukup menguras energi pagi ini.

“Say!” panggil suara itu, di pagi hari begini, bahkan saat ayah belum sepenuhnya menghilang dari depan gerbang sekolah. “Pagi, Sayna yang senyumnya selalu cerah secerah masa depan kita.”

Gadis itu tidak bisa untuk tidak tertawa walau matanya masih melirik-lirik dan berharap sang ayah tidak sedang memergokinya dengan Danish pagi ini.

“Lo datang pagian?”

“Demi bisa jalan bareng lo ke kelas.”

Sayna menaikkan alis, jawaban sejujur itu membuatnya merinding pagi-pagi begini.

“Ada yang mau gue tunjukin sama lo. Sini!” Danish menarik tangannya pelan dan mereka berjalan ke arah parkiran sepeda motor di sebelah kanan setelah pos satpam.

Pagi itu masih cukup sunyi, hanya beberapa kendaraan terparkir di sana dan udara belum sepanas biasanya. Danish berhenti di depan sepeda motor yang mereka beli dua hari lalu dan tersenyum bangga di hadapannya.

“Gue dikasih plat nomor sementara.” Pemuda itu menunjukkan plat berwarna putih dengan tulisan berwarna merah kepadanya. “Gue udah nggak sabar pengen pulang bareng lo, boncengan ke mana-mana berdua sama lo.” Dia tersenyum. Senyum yang menular ke bibir Sayna.

Senyum yang lucu, yang menggemaskan, karena mata Danish nyaris tertutup oleh lengkungan berbentuk sabit di wajahnya sekarang. Dan Sayna berdeham, dadanya terasa penuh, seperti ada tukang kebun yang sedang memekarkan bunga-bungaan di sana.

“Hai, Michiko. Aku Sayna.” Gadis itu melambaikan tangan pada Yamaha FreeGo di hadapannya.

“Salaman dong, salaman.”

Sejak berani dekat dengan Danish dan mencoba memberi pemuda itu kesempatan, Sayna sering terhipnotis tiba-tiba, sering melakukan hal impulsif bersamanya, dan seperti pagi ini, dia menurut begitu saja ketika Danish memberi tahunya untuk melakukan hal konyol. Setelah memberi nama untuk sepeda motor, sekarang juga dia harus bersalaman dengan motor itu.

“Tapi, Nish, biasanya kalau temen kita pake sepatu baru kan sepatunya diinjek. Kalau motor baru?” Danish melongo dan Sayna terkekeh. “Michiko belum dapat tendangan dari gue kayak si Jalu.” Kaki gadis itu melayang dan menyentuh ujung ban sepeda motor baru milik pemuda pujaannya.

“Ahhh... Sayna!” pekiknya kaget dan langsung berjongkok di hadapan motor itu sambil mengusap-usap ban yang baru saja disentuh ujung sepatu Sayna. “Maafin, ya? Mama kamu emang suka gitu.” Danish berbisik-bisik, tapi karena masih cukup senyap, Sayna tetap bisa mendengarnya.

“Siapa mama?”

“Lo lah, kan lo yang ngasih dia nama.”

Gadis itu juga menyentuh ujung bokong Danish dengan sepatunya. “Mama-mama pala lo! Terus lo siapa? Papanya gitu?”

“Ya, iya gue, kan gue yang beli. Atau lo mau siapa? Hamam jadi papanya Michiko?”

Sayna menarik tas pemuda itu dan membawanya berdiri. “Sembarangan!” omelnya kesal.

“Ih, udah bagus gue mau jadi papanya. Lo kalau jadi mama sendiri disangka janda lho, single parent, kayak nyokap gue.”

 Danish cengengesan dan entah kenapa Sayna tidak bisa menanggapinya sama. Dia masih selalu sedih dengan kenyataan Danish tidak dibesarkan oleh orangtua utuh, Sayna masih terus memikirkan perkataan pemuda itu tempo hari, saat dia bercerita bahwa tidak pernah punya sosok ayah selama ini. Dan yang membuatnya terus-terusan terganggu adalah senyum pemuda itu, senyum di wajah Danish. Kenapa dia tidak sedih saat mengatakannya? Kenapa Danish... tidak merasa ada yang salah atau kurang?

“Dadah, Michiko. Sampai jumpa pulang sekolah, ya! Nanti pulang bareng mama papa.”

Plak! Sayna langsung menggeplak punggung Danish dari arah belakang dan pemuda itu mengaduh kesakitan. “Itu namanya KDRT! Lo sepagi ini udah nendang Michi, terus ngegeplak gue,” rengek Danish.

“Alah, pelan gitu. Cengeng amat kalian.” Danish manyun, tapi Sayna segera punya cara untuk membujuknya. “Gue bikin ini kemarin.” Gadis itu mengacungkan paper bag yang sejak tadi dia bawa.

“Wah...” Dan tepat seperti dugaannya, mata Danish berbinar lebar, semudah itu membujuk Danish, ya Tuhan...

 “Buat gue?”

Sayna mengangguk-angguk dengan cengiran lebar, semoga saja Danish tidak curiga pada cengiran antagonisnya ini. “Mau makan sekarang? Cuci tangan dulu.” Gadis itu menyerahkan hand sanitizer yang selalu dia simpan dalam saku seragam.

“Iya, mau.” Danish menurut. Setelah membersihkan tangan, dia buru-buru membuka kantong cokelat dalam genggamannya tersebut lalu mengintip ke dalam, menghirup aroma butter yang seketika menyeruak saat kemasan itu dibuka. “Wah, wangi banget!”

Senyum Sayna semakin lebar, mungkin dia akan kelihatan seperti Joker tak lama lagi, karena menyunggingkan senyum dengan kejahatan terselubung di dalam dada. Danish mengambil satu buah roti dan menggigitnya sambil mengerutkan hidung—sebab roti itu keras, lalu mengunyahnya penuh semangat, seperti kuda lumping sedang makan beling.

Senyum Sayna berubah menjadi ringisan, ayah benar, roti buatannya cocok disebut sebagai roti penderitaan.

“Nish?” Sayna mengkhawatirkan keadaan pemuda itu, sebab dia menghabiskan satu roti dan berniat mengambil roti berikutnya. Padahal tadi Sayna jelas-jelas melihat Danish menelan rotinya susah payah.

“Makasih ya, Say.” Dia tersenyum. Dan senyumnya aneh, senyum itu tulus. Matanya tidak tampak keberatan menikmati roti-roti penderitaan yang Sayna bawakan. “Ini boleh buat gue semua, kan?”

“Hah?” Sayna mengerutkan dahinya bingung. Danish tidak salah? Apa ini yang disebut cinta itu buta, ya? Selain buta mata juga buta rasa. “Lo yakin nggak kenapa-napa?”

“Kenapa?” Pemuda itu mengunyah rotinya santai sambil berjalan bersisian. “Gue suka roti yang bisa dikunyah lama kayak gini, lebih seru aja gitu. Nyokap kalau bikin biasanya empuk, cepet habis.” Danish cengengesan.

Ini efek dia terlalu suka pada Sayna atau apa? Kenapa pemuda itu baik-baik saja saat makan roti penderitaan buatannya? Kenapa Danish tidak menyumpah serapah seperti Ikrar?

“Ini lo bikin sendiri?” tanyanya lagi, tidak memberikan Sayna kesempatan untuk berpikir lebih lama dan hanya mengangguk polos untuk menjawabnya. “Wih, hebat! Makasih banget pokoknya!”

Sayna jelas tahu, bukan hanya kali ini Danish diberi makanan buatan seorang gadis. Tapi melihat caranya berterima kasih dan berbincang, Sayna jelas senang. Ini berbeda dengan cara Danish berhadapan pada gadis-gadis lainnya.

“Gue mau tanya.”

“Apa?” Sayna sigap menjawab.

“Jadi, kapan lo sayang sama gue?”

Mata Sayna melebar, ditanya seperti itu pagi-pagi mana bisa otaknya berpikir dan memberi jawaban dengan benar. Dia hanya memasang reaksi aneh sementara Danish di sebelahnya tertawa senang.

“Curang banget deh lo, Say.”

“Curang apa?” Sayna mengerutkan alis, bertanya-tanya. Topik pembicaraan mereka berubah dengan cepat.

“Mentang-mentang cakep, bikin anak orang sayang sembarangan. Kayak gue gini,” katanya sambil menunjuk dada dan tertawa dengan pipi yang merona.

Danish jago sekali ya, membuat Sayna berbunga-bunga.

ªªª

Biologi adalah mata pelajaran yang paling membuat Danish ingin menyerah. Kata-kata aneh, hafalan-hafalan, istilah ilmiah, mungkin Danish bisa gila tidak lama lagi hanya karena membaca buku Biologi saja. Dan ketika pemuda itu merebahkan kepalanya tepat di atas meja dengan tangan menjulur ke depan, matanya bertatapan dengan Hamam, temannya itu juga tengah melakukan hal yang sama. Andai ini anime, pasti orang-orang akan menggambar mereka seperti sepasang kekasih sesama jenis yang tidak punya masa depan.

“Kenapa lo?” Danish lebih dulu membuka suara.

“Gue mending disuruh lari keliling lapangan sepuluh kali, ketimbang begini,” ujarnya pelan.

Danish mengangguk. “Wasting time banget.”

“Sesungguhnya wasting time hanyalah membuang waktu.”

“Setuju.”

Hamam mengerjap-ngerjap dan menaikkan kepala, seolah teringat sesuatu. “Gue harus minum yang seger-seger, lo mau nitip? Gue ke kopsis sama Arvin.”

Danish merogoh saku dan memberikan lembaran uang 5 ribuan pada pemuda itu. Paham bahwa Hamam sedang memberi kode halus untuk minta jatah jajan harian darinya. Dan Hamam seperti biasa menerimanya penuh sukacita, Danish tidak masalah selagi dia punya uang, dia akan membelanjakan teman-temannya sesering yang mereka ingin. Terutama Hamam, di kelas ini Hamam adalah teman sejatinya. Dan teman sejati itu seperti ingus, dia selalu hadir saat air mata datang bercuruan jatuh. Layaknya Hamam yang setia pada Danish tak peduli apa.

“Lo beli apa nih?” Hamam melebarkan lembaran-lembaran uang itu di hadapannya. “Bank Indonesia, lima ribu rupiah,” ucapnya keras-keras seperti sedang membacakan undang-undang.

“Gue mau—”

“Eh, lo tahu, nggak? Bank ini ngaku-ngaku doang,” potong Hamam yang membuat Danish mengurungkan niat untuk meneruskan kalimatnya.

“Ngaku-ngaku gimana?” Danish terpancing.

“Sebenarnya, yang melahirkan uang adalah Mpok Indonesia. Bank Indonesia cuma membuahi.”

Danish langsung terpingkal-pingkal mendengar banyolan temannya yang satu itu, beberapa orang anak di kelas juga ikut bergabung karena suara Hamam saat mengatakannya barusan cukup keras untuk didengar. Bahkan ketika Danish menolehkan kepala ke belakang tubuh, dia mendapati Sayna—mamanya Michiko tengah tersenyum, tidak biasanya. Sayna yang biasanya jarang berbaur.

“Sayna senyumnya cerah banget, kayak masa depan kita.” Danish menggodainya walau jarak mereka tidak terlalu dekat, dan sorak riuh anak-anak di kelas terdengar bergemuruh.

“Suram masa depan lo kalau remedial mulu bareng si Hamam,” jawabnya tak acuh.

“Eh, tapi kan—”

“Danish!” panggil seseorang dari arah pintu kelas yang membuat semua orang kompak melihat ke arah sana. Seorang siswa dari kelas lain terlihat mencari keberadaannya, Danish tidak tahu dia kelas berapa dan siapa namanya. Kenapa Danish harus berurusan dengan banyak manusia yang namanya saja tidak dia ketahui, ya Tuhan? Kenapa?

“Ada apa?” Danish bangkit mendekati anak itu dan berjalan ke arah pintu.

“Lo dipanggil sama Bang Randy, disuruh ke markas. Ada hal penting yang mau diomongin.”

“Randy?” Danish mengerutkan dahi. Tolong jangan salahkan dia karena ingatannya yang seperti ikan dori. “Randy Tanjung?”

“Iya.” Si pembawa berita itu mengangguk dan Danish menggaruk kepalanya gusar.

“Itu yang tadi mau gue omongin.” Hamam tiba-tiba ada di sebelahnya dan menepuk bahu Danish dari belakang. “Cuma gue lupa.”

“Apa?”

“Aryan tadi pagi bawa mobil, gue curiga mereka mau nyerang,” bisik Hamam.

Namun itu tidak mungkin. Tidak mungkin ada serangan tanpa melibatkan Danish untuk mengatur strategi perang. Jelas-jelas dia yang diandalkan turun ke lapangan, mana mungkin Aryan, Angga, Oliv, Anggun dan geng Konoha melewatkannya. Danish hanya beberapa hari tidak ke markas, dan sudah sejauh ini pergerakan yang dibuat tanpa melibatkannya?

“Nish, mau ke mana?” Danish terperanjat saat Sayna tiba-tiba juga ada di dekatnya, persis di belakang Hamam. “Kita ke kantin bareng, kan?” tanyanya dengan suara lembut tapi tatapan yang membuat Danish takut.

“Gu...gue dipanggil sama anak kelas 3 dulu,” ucap Danish gugup.

“Siapa?”

“Bang Randy. Randy Tanjung.”

Di SMA Nusantara Satu alias SMA Nyusu, mana ada anak yang tidak kenal pada pentolan sekolah itu. Berandalan super tidak manusiawi yang sangat dihindari oleh siswa mana pun, termasuk Danish dan anak Konoha yang lain.

“Siapa itu Randy? Kepala sekolah? Jadi bisa manggil-manggil lo seenaknya?”

“Say, gini—”

“Randy Tanjung itu masih jadi pimpinan atas geng Konoha sih, Say.” Hamam menyahut di tengah-tengah, dan Danish ingin menjahit mulut anak itu detik ini juga.

“Oh, si leluhur geng Kobang itu? Yang mukanya codet kena pisau cukur Buser, ya?” Sayna memiringkan bibir sambil mengatakannya dan melipat tangan di dada. “Lo udah janji ke gue, Nish.”

Danish mengangguk. “Iya, Say.”

“Gue pegang janji lo.”

“Janji?” Hamam yang berdiri di antara mereka kebingungan. “Eh, Say bentar deh, geng Kobang apaan?”

“Konoha bangsat,” ucapnya sambil lalu, meninggalkan Danish yang bimbang dan setengah mati kebingungan.

Jadi, dia harus memenuhi panggilan itu, atau tidak?

“Nish, berarti lo dikatain bangsat juga dong sama Sayna?”

Kenapa sih lelembut sebiji ini tidak berhenti bicara?

ªªª

Ternyata Danish tidak menyusulnya ke kantin, dia berbohong. Danish tidak menepati janji untuk tidak lagi bergaul dengan berandalan itu. Pemuda itu membohonginya terang-terangan di depan hidung. Dan membuat Sayna sangat tidak bernafsu untuk makan apa pun saat ini, padahal tadi di kelas dia lapar sekali.

“Udah, Say sama gue aja. Danish tuh omongannya nggak bisa dipegang.” Reno memecah hening di deretan meja panjang yang ditempati anak kelas 2 IPA 3. Masing-masing dari mereka sudah duduk berhadapan dengan hidangan ala kantin sekolah di depan tubuh.

Sayna dengan mie ayam tanpa mie, Tania dengan batagor favoritnya, Arvin, Hamam, Herdian, Reno, Rafid, Chaca, Nana, Nui, dan yang lain dengan makanan mereka. Meja ini ribut sekali, suasana kantin juga riuh, namun tanpa Danish rasanya semua ini terasa aneh. Beberapa hari ini belakangan Sayna terus bersamanya saat jam istirahat, antisipasi andai pemuda itu diculik oleh teman gengnya dari kelas sebelah.

“Apa sih yang istimewa dari Danish, Say? Selain dia ganteng lah.” Reno kembali buka suara dan langsung menerima geplakan kepala dari Arvin yang duduk di sebelahnya.

“Perlu gue jelasin, ha?” tanya pemuda itu pada sang teman. “Danish itu anak orang kaya, baik, suka traktir kita-kita, jago beladiri, nggak kere kayak lo!”

“Danish juga nggak songong.” Hamam menambahkan, sebagai salah satu orang yang paling dekat dengan Danish di kelas mereka.

Dan Sayna termenung mendengar semua penuturan teman-temannya, tentang Danish tentu saja. Dengan melupakan fakta bahwa dia punya wajah yang menawan, kelebihan Danish yang lainnya sangat bisa diperhitungkan. Ibu dan ayah pasti tidak keberatan kalau Sayna punya pacar seperti Danish. Asal dia berhenti tawuran dan gabung dengan geng sekolah itu, ya Tuhan... hanya itu. Imej itu akan sulit sekali diterima oleh orangtuanya, terutama ayah.

“Apa yang istimewa dari Danish?”

“Nggak ada.” Ucapan Sayna itu berhasil membuat semua kepala yang mengisi meja itu terangkat untuk menatapnya. “Tapi nggak ada yang istimewa tanpa dia.”

Dehaman tertahan dan suara cie yang tidak berani keluar berdesas-desus dari tiap anak yang mendengarnya. Kalau ada Danish, mereka berani berteriak karena Danish anak yang supel dan ramah. Tapi pada Sayna, jangan harap mereka bisa melakukannya.

“Dan lo masih gantungin dia kayak gini, Say?” Suara seorang gadis tiba-tiba menyahut, yang Sayna kenali sebagai ketua tim cheerleader sekolah, dan katanya menempati urutan kedua gadis paling cantik se-SMA Nyusu.

“Siapa yang ngomong barusan?” jawab Sayna dengan pertanyaan balik lalu bertatap muka dengan Lianka yang duduk di seberangnya sebelah ujung kanan, cukup jauh dari posisinya sekarang. “Oh, cewek yang mepetin calon pacar gue?”

Lianka dan gengnya langsung membeliak, mungkin mereka pikir Sayna tidak tahu apa-apa soal Danish. “Say, udah. Yuk, cabut ke kelas kalau lo udah kenyang,” bisik Tania yang duduk persis di sebelahnya, gadis itu pasti mencium bau-bau bibit baku hantam di sekitar mereka.

“Diem dulu,” pinta Sayna yang matanya masih menatap Lianka lekat-lekat. “Lo tahu apa hubungan lo sama bangke?” tanyanya melanjutkan. “Sama-sama busuk, Lian.”

“Itu kemarin nggak seperti yang lo pikir, Say.”

“Tapi seperti yang gue lihat,” bantah Sayna. “Gue nggak masalah ya, waktu Danish masih free dan kalian nempelin dia kayak lintah. Tapi sekarang jelas-jelas lo semua tahu gue sama dia lagi dalam masa pendekatan—”

Sayna menggantung ucapannya, dia malu meneruskan ini tapi entah kenapa merasa perlu mengatakannya pada Lianka juga teman-teman satu gengnya yang keranjingan diantar pulang oleh Danish bergantian, terjadwal, sampai Sayna hafal jadwal mereka di luar kepala. Saat ini Danish tengah memperjuangkannya, dan Sayna mau mereka tidak mengganggu lagi, dalam bentuk apa pun.

ªªª

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status