Share

7. Danish Adiswara

“Sayna, gue boleh mampir ke rumah lo nggak, kebetulan kan ki—”

“Nggak boleh,” jawab gadis berponi itu dingin. Tipe orang yang tidak suka berpura-pura atau tidak enakan pada ajakan orang lain kira-kira merasa dirinya kurang nyaman.

“Kenapa?”

“Keluarga gue takut sama anjing.”

Lalu dia pergi, begitu saja, meninggalkan pemuda yang tadi mengajaknya bicara sambil membawa sebungkus Twisko rasa jagung bakar dan tangan kirinya menggenggam minuman dengan label Teh Kotak.

Danish memerhatikannya saat itu sambil sibuk menahan tawa, sekitar tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu di klub taekwondo. Gadis itu bernama Sayna Lalisa Ghissani, Danish baru mengetahuinya beberapa waktu kemudian. Dan Sayna adalah gadis paling aneh yang dia kenal. Sayna tidak ramah, tidak pada siapa pun, termasuk kepadanya.

Padahal Danish kurang apa? Kurang ganteng? Tidak mungkin. Kurang baik? Rasanya tidak. Kurang pintar? Iya sih. Tapi di klub taekwondo Sayna mana tahu kalau Danish payah matematika? Jadi, kenapa? Kenapa Sayna selalu judes padanya? Kenapa Sayna selalu... susah didekati. Sayna kadang begitu dekat, tapi susah sekali untuk diraih. Seperti saat ini.

“Say,” panggil Danish. Gadis itu berjalan di sisi kirinya, sementara dirinya sendiri sibuk menuntun sepeda motor yang kehilangan kunci. “Mau pakai jaket gue?”

Sayna mengernyit sambil menatapnya lalu mengibaskan tangan buru-buru.

“Say—”

“Lo mau modus?” tembaknya cepat. Aneh sekali, biasanya dia agak lebih lunak kalau mereka bicara berdua. Hari ini dia marah-marah terus.

“Bukan, kan panas. Nanti kulit lo kebakar. Pakai sunblock emangnya?”

Sayna menoleh padanya lagi, lalu mengelus tangan kirinya yang terlihat mulai kering. Kalaupun dia pakai lotion tadi pagi, pasti manfaatnya sudah hilang jam segini. “Jadi lo pakai jaket ke mana-mana itu takut item, ya?”

“Ya, bukan lah!” jawab Danish. Orang-orang salah paham terus kenapa sih?

“Terus?”

“Ya, usaha aja biar mengurangi efek buruk sinar UV. Kalau kena kanker kulit gimana?”

“Mikir lo kejauhan!” Sayna tertawa sambil mengatakannya.

“Gue serius, lo mau pake, nggak?”

“Dan lo rela kena kanker kulit?”

“Ih, ya jangan. Sesekali doang. Nih, pake.”

Danish menurunkan standar motornya untuk membuka jaket dan menyodorkan benda keramatnya itu pada Sayna. Dia tidak tega pada gadis itu, Sayna jauh lebih membutuhkannya daripada Danish saat ini. Jakarta Selatan, meskipun sudah sore, tidak se-adem itu. Lagipula proteksi dini itu penting.

“Gue kira selama ini lo kayak gitu karena takut item, kulitnya terbakar matahari.” Sayna agak mencibir sambil mengatakan hal itu setelah memakai jaketnya Danish. Dan dia terlihat lucu, jaketnya kebesaran. Tapi memangnya ada jaket yang ketat?

“Kalau hitam doang sih nggak apa-apa. Parahnya kan kulit jadi rusak, nggak sehat, terus yang terparah kanker. Gimana dong?”

Gadis itu tertawa lagi. “Danish... Danish...” katanya sambil menggelengkan kepala. Memangnya itu barusan lucu, ya?

Untuk beberapa waktu berikutnya, mereka belum saling bicara lagi. Danish memperhatikannya sesekali, bentuk wajah Sayna dari samping, caranya berjalan, dan ... menemaninya saat ini. Danish tidak tahu kenapa, meskipun mereka tidak benar-benar dekat, meski Danish sering berinteraksi dengan banyak gadis, tapi Sayna adalah... tempatnya pulang.

Sayna mungkin bukan gadis yang berdiri di jajaran terdepan untuk mengaguminya, tapi dia selalu jadi orang terakhir yang berdiri untuk Danish saat tidak ada siapa-siapa lagi di sisinya. Bahkan tidak dengan dua sahabat dekatnya. Sayna yang selalu ada di sana, mencari kunci loker untuknya, mencari kaus olahraga yang Danish lupa simpan di mana, mencari... mencari banyak sekali, hingga hari ini. Mencarikan kunci motor juga.  Apa artinya hubungan mereka?

“Nish, bukannya hari ini lo pulang sama Chaca?” Sayna bersuara dan Danish mengangguk. “Terus dia ke mana?”

“Gue suruh pulang duluan, kasihan kalau harus nungguin gue nemuin kunci.”

“Sama gue, lo nggak kasihan?”

Danish segera menolehkan kepala, bertatapan dengan Sayna untuk beberapa detik pertama, lalu gadis itu membuang pandang dan memilih menatap ujung sepatunya sambil terus berjalan beriringan. Danish sadar, dia salah bicara, dia salah memilih kata, dia salah ... menempatkan Sayna dalam situasi seperti sekarang.

Gadis itu berlarian untuknya dari tempat parkir hingga ke loker demi mencari kunci motor, dan sekarang, harus berjalan jauh demi menemani Danish menduplikatkan kuncinya. “Kalau sama lo gue sayang, bukan kasihan,” jawab Danish pada akhirnya. Entah itu mempan atau tidak pada Sayna. Tapi gadis itu segera membuang muka dan berdeham, seolah tidak mendengar apa-apa. “Nanti gue antar lo pulang sebagai gantinya.”

“Nggak usah,” katanya judes.

“Gue bayarin aja ongkos taksinya.”

“Gue punya uang.”

“Gue ajak makan kalau gitu.” Sayna menoleh, dan mereka saling menatap lagi. Kali ini, Danish memasang senyum, meskipun debaran di dalam dadanya bukan main, seperti ada yang menabuh bedug pertanda adzan Magrib di bulan puasa. “Mau, kan?”

“Lain kali aja,” jawabnya pelan, menundukkan kepala lagi. “Takut keburu malam, nanti ibu gue marah.”

“Oh, oke.” Danish menyengir lebar, meski ada rasa kecewa menyelip dalam dadanya. “Tagih aja, ya? Takutnya gue lupa.”

Sayna terkekeh pelan, kakinya yang panjang dan sepatu converse-nya menginjak paving-paving trotoar jalan dengan berirama. Dia sengaja bermain-main dan berusaha tidak menginjak garis terluar, seperti sedang bernostalgia dengan mainannya waktu kecil.

“Banyak banget emang, ya?”

“Apa?” tanya Danish sigap.

“Yang lo ajak makan.”

“Ah, nggak.” Dia mengibaskan tangan. “Gue mana pernah ngajak siapa-siapa, cuma lo doang.”

Sayna melempar senyum ke arahnya. “Kalau cuma gue doang, harusnya lo nggak lupa.”

Oh, jadi begitu maunya? “Oke, gue janji nggak akan lupa. Kasih tahu aja kapan lo siap diajak makan barengnya.”

“Oke.”

“Pulang bareng gue, lo mau nggak?”

“Lain kali aja.”

“Oke.” Danish tersenyum lebar. “Gue nggak akan lupa juga, kasih tahu kapan lo siap pulang bareng gue.”

Gadis itu tertawa. “Dan lo kelupaan ninggalin gue di pom bensin? Diturunin di lampu merah? Ketinggalan di minimarket? Atau lo—”

“Janji,” potong Danish cepat. “Gue nggak akan lupa.”

Sayna tertawa. Tawanya lebar sekali sampai pipinya menggunduk membentuk bulatan lucu yang menggemaskan, dan Danish ingin mencubitnya. Tidak bisa dibayangkan kalau yang saat ini berjalan dengannya bukan Sayna, entah itu Chaca atau Lianka, Danish tidak akan suka. Memikirkannya saja dia tidak mau. Hanya karena gadis ini Sayna, dan Sayna yang ini orangnya, maka Danish bersedia. Hanya karena Sayna.

ªªª

“Say, sepatu olahraga gue di loker. Boleh pinjem kuncinya, nggak?”

Sayna menyipit, melipat tangannya di dada. “Kunci yang di lo, mana?” Pemuda itu menggaruk pelipis sambil meringis. Sayna sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan mereka sekarang. “Hilang lagi? Lupa naro? Ketinggalan di rumah?”

“A—nu,”

“Anu, anu! Ngapain lo bawa-bawa si anu? Nih!” Sayna menyerahkan kunci loker dengan gantungan berinisial D warna hijau itu kepadanya. Sengaja memasang tampang murka agar Danish—si peminjam kunci, berhati-hati memakai benda tersebut dan mengembalikannya dengan selamat. “Balikin cepet!”

“Iya, iya ...”

Mengingat potongan itu, Sayna tertawa geli sambil menutup wajahnya dengan bantal. Aneh memang hubungannya dengan Danish. Setelah kunci loker yang dia bantu simpan sebagai cadangan, atau saat ini malah jadi kunci utama loker Danish, sekarang dia mempunyai 1 buah duplikat kunci motor pemuda itu. Katanya, Sayna sangat membantu dengan menyimpan kunci-kunci itu.

Bukan membantu lag, jatuhnya sudah sangat merepotkan. Danish bisa bolak-balik meminjam kunci loker padanya untuk berbagai keperluan, dan sekarang kunci motor. Jadi kalau kunci motornya hilang lagi, Danish tidak akan bisa pulang sampai Sayna datang.

“Teh, ini cangkang Teh Kotak udah dibersihin sama Ceu May. Mau dibawa ke mana?”

Sayna melonjak dari tempat tidur begitu mendengar ibunda berteriak. “Aku ambil ke bawah, Bu. Tunggu!” jawabnya sembari berlarian menyongsong anak tangga.

“Dari mana sih tadi, Teh? Ibu cari-cari di sekolah nggak ada, ditelepon malah nggak diangkat.”

Pintar sekali ya, ibunda. Sayna kira dia bisa lolos dari pertanyaan ini setelah tadi mengantarkan Danish ke tempat duplikat kunci dan menemaninya hingga selesai. Mengabaikan ponsel yang bergetar di saku, karena kalau Danish dengar ibunda menelepon, pasti Sayna disuruh pulang duluan.

“Aku tadi pulang sama temen. Kan Ibu sendiri yang dimintain jemput tapi nggak respons,” ujarnya mengeluarkan alibi. “Terus tadi teman aku yang mau nganter pulang ini kunci motornya hilang, jadi aku anter ke tempat duplikat kunci.”

Ibunda mengernyit. Susah kalau punya orangtua kritis seperti beliau. “Kenapa selama dia duplikat kunci kamu nggak pulang?”

“Kasihan dia sendirian di tukang kunci, nanti digodain.”

“Emang tukang kuncinya perempuan?”

“Ibu tahu dari mana teman aku ini laki-laki?”

Suara tawa Ikrar yang menggelegar segera menyadarkan Sayna. Dia sudah masuk jebakan ibunda, dan justru tidak sadar akan hal itu. Ibunya tersenyum miring, menarik kursi di ruang makan dan meminta Sayna duduk berhadapan, siap untuk interogasi tahap dua.

“Tuh, kan udah aku bilang, Bu. Teteh mah bobogohan, pulang sekolah bukannya pulang ke rumah, malah bobogohan,” kata si ember Ikrar. Sayna tidak tahan untuk tidak menginjak mulut adiknya yang suka memprovokasi itu.

“Teh,” panggil sang ibu dengan suara rendah. Dan itu jauh lebih menyeramkan dibanding dengan saat beliau berteriak-teriak layaknya tarzan. “Ibu bilang berulang kali, kan? Sok, pacaran, nggak apa-apa. Asal sekolah tetap diutamakan, belajar diprioritaskan. Pacar itu untuk penyemangat kamu di sekolah, untuk membuat kamu memiliki harga diri. Kalau kamu malas belajar dan malu-maluin, kasihan pacarnya. Nggak bangga punya pacar kayak kamu.”

Sayna menunduk. Ibunda tidak salah, semua alasannya masuk akal, semuanya benar. Yang salah adalah dirinya, hatinya yang tidak bisa diajak kompromi, karena berlabuh diam-diam pada seseorang. Orang yang... sayang sekali, tidak bisa dia banggakan pada orangtuanya.

“Iya, Bu,” jawabnya pelan. Sayna cengeng memang, dia hampir menangis sekarang.

“Jadi tadi ke mana?”

“Aku tadi di UKS pas jam pelajaran terakhir sampai pulang, sekolah udah sepi, terus ada pemuda ini, teman aku, sekelas, dia kehilangan kunci.”

“Terus?”

“Aku bantuin cari kunci, nggak ada, Bu. Jadi aku temenin dia ke tempat duplikat kunci. Kasihan, udah sore juga.”

“Tapi dia laki-laki, kan?” tanya ibunda lagi, Sayna mengangguk. “Cowok?”

“Iya.”

“Ganteng?”

“I—” Sayna segera tersadar bahwa dia telah masuk jebakan berikutnya, dan di hadapannya sekarang, sang ibu tertawa, Ikrar juga, hanya Sayna yang tidak. Wajahnya pasti merah padam.

“Ibu kira kenapa, pemuda kok perlu ditemenin sampai selesai, ternyata pemuda ganteng. Pantesan!”

“Cie ...” Ikrar ikut-ikutan meledeknya juga.

Ya, silakan saja. Memangnya Sayna bisa apa? Menyangkal? Mana mungkin! Berkilah? Percuma! Wajahnya menjelaskan semua, dia pasti kelihatan malu-malu najis saat ini. Semuanya gara-gara Danish, dan wajah sialan gantengnya itu! Juga pada kelakuannya yang ... akhir-akhir ini sangat manis. Sayangnya dia manis pada semua orang, jadi jangan disalahpahami.

“Teh, nggak apa-apa. Ibu pernah muda, kagum sama teman itu wajar, jadikan motivasi buat maju dan bikin dia bangga karena orang yang mengaguminya seperti Teteh. Pintar, rajin, anak baik-baik.” Ibunda menjeda sambil mengelus lengan kanannya. “Tapi tolong, jangan diulang ya, yang barusan? Angkat telepon dari ibu, kalau Teteh mau pulang sama temannya, ibu nggak apa-apa. Jangan bikin ibu khawatir, ya?”

Gadis itu mengangguk, meski ia ragu. “Maaf ya, Bu.”

“Nggak apa-apa.” Ibunda tersenyum. “Udah sana, bawa tuh kemasan Teh Kotak kamu. Terus kapan-kapan, kenalin si ganteng ini ke ibu, ya?”

“Ibu apaan sih?”

Ibunda dan Ikrar kembali meledakkan tawa, sementara Sayna buru-buru mengambil kemasan Teh Kotaknya yang sudah kosong untuk dia simpan di kamar. Gadis itu duduk di lantai, menarik sebuah kontainer plastik tempatnya menyimpan puluhan bungkus Twisko yang sudah kosong, juga kemasan Teh Kotak yang sudah kering dan dikempiskan.

Semuanya dari Danish.

Sayna menyimpannya sejak pertama kali Danish membelikan Teh Kotak di klub taekwondo. Lalu mereka satu sekolah setahun kemudian, dan satu kelas di tahun berikutnya. Total, Sayna mengenalnya hampir tiga tahun, dan lihat apa yang sudah dilakukannya selama itu diam-diam. Terlebih, sejak mereka satu kelas, bungkus dan kemasan ini semakin bertumpuk, semakin banyak. Suatu saat, dia pasti akan malu karena melakukan hal sekonyol ini. Pasti. Sayna meyakininya.

Danish: Say, gue baru sampai rumah. Tadi lo suruh ngabarin kalau gue sampai rumah, kan? Nih, gue kabarin. Nggak lupa kan gue? Hehe.

Sayna: Y.

Danish: Kapan kita bisa makan bareng? Besok gimana? Di kantin.

Sayna mendengkus, di kantin ternyata.

Sayna: Iya.

Danish: Kalau lusanya di Cosmic, gimana?

Gadis itu mengerutkan alis.

Danish: Terus besoknya habis lusa, di Kemang, di Bahtera Diamanta. Oke, nggak?

Danish: Gue nggak bilang cuma ngajakin lo makan bareng sekali, kan?

Danish: Gue maunya kita makan bareng tiap hari sih, kalau bisa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
anjayyyy!! Danish sat set nihh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status