Share

8. Langkah Awal

 “Nggak pulang bareng gue aja?” tanya Danish pada gadis itu.

Hari beranjak malam, matahari sudah terbirit dari kaki langit, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan Danish menghabiskan waktu satu jam di tukang kunci—bersama gadis itu. Mereka duduk berjauhan dan sesekali melempar obrolan. Sampai... semuanya selesai dan Danish merasakan ketidakrelaan sebab artinya dia dan Sayna harus berpisah.  Lebay sekali, ya Tuhan...

“Jaketnya cuma satu,” jawab Sayna berdalih. “Dan ini udah mau malam, dingin kalau yang pakai cuma salah satu dari kita aja. Gue udah pesen takol.”

Gadis itu membuka jaket dan menyampirkannya di bahu Danish. Anehnya, Danish merasa itu bukan hal yang asing, padahal biasanya dia selalu menghindari sentuhan dari anak-anak perempuan. Apalagi yang dibonceng di belakangnya, Danish selalu bergidik geli kalau salah satu dari mereka mencoba memegang pinggang, atau bahkan hanya bersandar pada tas sekolahnya. Dia selalu cari alasan untuk menggeliat, alih-alih mengatakan langsung kalau itu membuatnya tidak nyaman.

“Dah sana, sebentar lagi taksi gue datang.”

Danish menggeleng. “Gue tungguin sampai datang.”

“Oke,” jawabnya tanpa banyak membantah.

Barusan, Sayna menyampirkan jaket Danish di bahu dengan kedua tangan direntangkan. Jadi posisinya, kepala Danish ada di tengah-tengah tangan Sayna yang sedang meletakkan jaket itu. Danish berdebar untuk sesaat, tapi dia menyukai sensasinya. Bukan seperti yang dia rasakan pada gadis lain. Berdebar tapi tidak nyaman.

“Pake gih jaketnya, ini sebentar lagi sampai. Lo langsung pulang, ya?”

“Iya,” jawab Danish patuh sembari memasukkan dua tangannya ke dalam jaket, sementara Sayna membantunya memegangi tas. Rasanya pipi Danish pegal, dia lelah tersenyum, tapi lebih lelah lagi kalau harus menahannya.

“Kenapa lo? Cengengesan aja.”

“Nggak apa-apa,” elak Danish cepat.

Sayna baik-baik saja, kan? Dia ini judes, pemarah, kurang ramah, tapi sebenarnya sangat peduli. Dia peduli pada hal-hal kecil seperti memegangi tas barusan. Pasti dia dibesarkan dengan baik oleh orangtuanya.

“Sampai rumah, lo kabarin gue, ya. Hati-hati, Nish.”

Harusnya, Danish yang bilang begitu, kan?

Terakhir, Sayna masuk ke mobil sedan ber-plat B yang beroperasi sebagai taksi online. Gadis itu katanya sedang datang bulan, dia agak lemas, tapi sakit perutnya hilang karena Danish mengajaknya jalan-jalan sore ke tukang kunci duplikat yang agak jauh dari sekolah. Bahkan, Sayna menyimpan nomor ponsel tukang kunci sebagai antisipasi andai ada kunci yang hilang lagi, meskipun Danish sudah menitipkan satu kunci cadangan padanya.

Kenapa Sayna selalu perhatian seperti itu? Tapi kadang-kadang dia juga galak, dan Danish takut untuk mendekat. Sikapnya itu membingungkan, Danish hanya harus lebih peka saja.

Saat ini, diam-diam Danish mengikuti sedan hitam itu, mengikuti Sayna pulang, khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan meski Danish tahu kalau Sayna adalah pemegang taekwondo sabuk hitam, yang artinya gadis itu jago beladiri. Entah dia benar khawatir, entah hanya sedang cari alasan. Danish mengikutinya hingga berhenti di depan gapura perumahan khusus TNI. Wajar saja, ayahnya Sayna kan seorang letnan. Dan dia baru pulang setelah taksi online itu keluar dari sana, artinya Sayna sudah sampai di rumahnya.

Kemudian, Danish juga cepat-cepat memacu motornya untuk pulang. Dia harus mengabari Sayna kalau sudah sampai di rumah dengan selamat. Jangan bohong dan jangan sampai lupa.

Terang saja, yang dilakukannya saat menurunkan standar sepeda motor di garasi rumah adalah merogoh saku, lalu mengirim pesan pada gadis itu, dan duduk di teras rumahnya, menunggu balasan. Danish tidak pernah merasa begini repot karena seorang gadis. Dan Sayna, semakin dekat justru makin sulit digapai, dia selalu memberi batas sendiri. Tapi hari ini, hanya dengan satu kalimat tadi, Danish tahu dia sudah berhasil menembusnya sedikit.

Sampai rumah, lo kabarin gue, ya.

Bukankah biasanya, itu hanya dilakukan pada orang-orang yang dispesialkan? Atau Danish hanya kegeeran? Dan semangatnya untuk lebih dekat dengan Sayna semakin membara, dia memulai beberapa taktik untuk mengajak gadis itu makan berdua. Setiap hari kalau bisa.

Kenapa?

Apa karena Danish menyukainya? Karena... Sayna satu-satunya gadis yang dia perhatikan sejak lama? Yang sering membuat Danish berkorban uang jajan tiap latihan, membelikan semua anak minuman, demi bisa memberi Teh Kotak untuk Sayna tanpa ditolak atau pun disalahpahami? Yang sering jadi tempatnya mengadu, jika ada sesuatu yang hilang dan susah dicari?

Sayna seperti... tempatnya pulang. Ke manapun Danish berpetualang, Sayna selalu jadi pelabuhan terakhirnya. Jadi orang yang... dia pikirkan setiap hari sebelum menutup mata. Kenapa Danish baru sadar sekarang?

ªªª

Ini hari Sabtu, berarti jadwal Danish mengantarkan cucian dari salah satu laundry cabang Jakarta Utara. Dia sudah bersiap dengan jaket kulit, mengaplikasikan sunblock di sekujur badan, mengenakan sarung tangan kain, penutup leher, hingga masker untuk menutupi bagian hidung dan mulutnya.

Apa Danish juga harus memakai kacamata hitam? Dia pasti akan terlihat sama persis dengan perampok bank.

“Dek... Nish, makan dulu,” panggil ibunya dari dalam saat Danish sudah bersiap menunggang di Jalu di garasi rumah.

Apa ibunya lupa kalau dia sudah melahap dua roti isi daging giling sebelum berganti pakaian? Dan apakah dua roti berkalori tinggi sebagai karbohidrat plus daging sebagai sumber protein tidak cukup disebut makan?

“Kan tadi udah, Ma.” Danish menjawab sembari melepas masker di wajah. “Roti loh, dua.” Anak lelaki itu mengacungkan dua jari di udara.

“Kalau mama hitung, kayaknya udah hari ketiga kamu nggak makan nasi. Roti terus, apa nggak kembung itu perut?”

Danish menggeleng. Dia bahkan bisa bertahan hidup hanya dengan roti tawar, apalagi roti-rotian isi daging, selai dan toping. “Udah, ya. Aku berangkat.”

“Ya udah.”

“Tapi, Ma...” Danish menghentikan langkah ibunya yang terlihat akan kembali ke rumah. “Aku boleh pinjam mobil, nggak?” tanyanya, mencari peruntungan.

Sudah jelas kalau Danish mungkin satu-satunya anak di antara tempat dia bergaul yang belum diizinkan mengendarai sebuah mobil. Ibunya bilang, Danish harus punya SIM dulu, padahal kapan dia punya SIM kalau belajar mengemudi resmi saja tidak pernah? Jadi, Marcedes Benz di carport rumahnya sama sekali tidak pernah disentuh. Hanya sang ibu—Melia yang mengendarainya.

“Mau ke mana, Nish?”

“Aku mau pacaran,” jelas Danish dengan tampang sok imut. “Aku mau punya pacar, Ma.”

“Hah?” Melia terperangah. “Harus banget memang kalau mau punya pacar bawa mobil? Matre dong ceweknya kamu.”

“Ih, enggak!” Danish mengibaskan tangannya buru-buru. “Dia nggak matre, tapi kan aku pengertian. Nggak mau pacarnya kepanasan, kehujanan, karena naik si Jalu. Makanya aku pinjam mobil Mama gitu.”

“Kalau panas, kasih dia salah satu koleksi sunblock kamu, dan kalau hujan,” Melia menjeda sebentar, memastikan anaknya masih setia mendengarkan. “Kamu tahu nggak ada terobosan baru baju anti air yang nggak usah dicuci pake mesin dan bisa mengamankan pacar kamu dari air hujan?”

Danish memiringkan kepala sambil melongo. “Jas hujan?” tanyanya hati-hati.

“Nah, itu dia. Pinter juga anaknya mama.”

“Dih!” Danish mencebik.

“Baru juga mau punya pacar, udah songong pake mau bawa mobil segala. Mobil orangtua pula.”

“Nanti aku nabung mau beli mobil sendiri,” balas Danish cepat.

“Iya gitu? Mobil apa? Mobil sejuta umat, ya?”

“Nggak apa-apa asal pacar aku nggak kepanasan.”

Melia menertawakannya, hidup Danish yang sejak kecil dikelilingi oleh para wanita membuatnya terbiasa diperlakukan dan digodai seperti ini. Ibunya, kakaknya, asisten di rumah, para pekerja di laundry, tukang jahit langganan di depan komplek, hingga tukang jamu gendong keliling langganan Danish minum kunyit asam, kencur dan Buyung Upik, semuanya wanita. Danish tidak pernah terluka atau tersinggung jika mereka tengah menggodainya.

“Dek,” kata Melia setelah selesai tertawa. “Kamu tuh nggak tahu seninya naik motor pas pacaran, ya. Padahal cewek-cewek itu suka lho.”

Danish mengerjap, memang iya?

“Nih ya, kalau pacaran naik motor itu di lampu merah pas berhenti dengkulnya diusap-usap, sweet banget, kan?”

Danish meringis, membayangkan dia melakukan hal itu pada Sayna, bisa-bisa kaki Sayna otomatis menendangnya dan mereka terjungkang bersama. Gagal romantis.

“Terus, pas hujan bisa neduh di emperan toko, atau hujan-hujanan berdua. Manis banget!”

Manis dari mananya, sih? Kalau Sayna masuk angin, Danish bisa kena masalah. Kalau Sayna sakit gara-gara itu dan tidak masuk, Danish tidak punya alasan untuk berangkat sekolah.

“Terus ya, bisa pelukan juga tuh sambil jalan motornya. Ajegile, Danish-nya mama udah gede, pacarnya nanti kenalin dan bawa ke sini, ya?”

Pipi Danish memerah, dia bisa merasakan sensasi panas dan gatal di seluruh kulit wajah, juga senyum yang terkulum dan susah sekali ditahan. Membayangkan Sayna duduk di belakangnya dan memasukkan tangan ke saku jaket—seperti yang dilakukan gadis itu pada ayahnya, membuat Danish bergelora.

“Udah sana berangkat, kalau mau antar cucian ke butik Violeva kamu pinjam mobil laundry aja. Habis itu boleh pinjam mobilnya buat pacaran, lumayan, kan?”

Ibunya kembali masuk ke rumah, sementara Danish keki sendiri. Kalau yang beliau maksud adalah mobil van laundry dengan label MELIA LAUNDRY terpampang besar di seluruh badan, maka terima kasih. Danish tidak akan meminjam mobil itu untuk jadi moda transportasinya berkencan dengan Sayna. Yang ada gadis itu malu sepanjang jalan karena Danish dan mobil laundry-nya.

ªªª

Sayna baru saja keluar dari kafe sekaligus tempat belajar yang dia datangi bersama Tania dan dua teman lain dari luar sekolah mereka. Jadi dibanding ikut bimbel, Sayna lebih suka pergi ke sebuah kelompok belajar dan belajar bersama di tempat-tempat yang menyenangkan. Bisa kafe, bisa perpustakaan nasional, atau tempat yang sengaja disewa untuk pertemuan dengan biaya per-jam.

Dia keluar lebih lama dibanding teman-temannya, lalu berdiri dengan wajah ditekuk di depan pelataran kafe tersebut. Hatinya mendung, harusnya Sayna tahu bahwa berharap banyak pada Danish adalah kesalahan, karena... Danish baik ke semua orang. Danish jago membuat orang salah paham, Danish agak murahan, dia bisa tersenyum sangat lebar hanya karena dipuji tampan rupawan, lalu bersikap sangat baik pada pemujanya.

Sayna keberatan, entah kenapa. Rasanya ada yang sesak tapi bukan asma. Ada yang patah tapi bukan kayu. Tidak ada perempuan yang tidak suka pada laki-laki baik, tapi beda cerita kalau lelaki itu baik ke semua orang. Gampang disalahpahami.

“Say, gue boleh chat lo, nggak? Besok kan libur.”

“Mau chat apaan?”

“Ya, chat aja. Ngobrol gitu, kalau boleh sih ini.”

Danish bertanya seperti itu, dan sampai sekarang... lihat saja. Tidak ada satu pun pesan yang mampir. Dasar pembohong. Atau... pelupa? Kan Sayna tidak bilang, tidak boleh. Sayna hanya... tidak mengiakan, tapi juga tidak melarangnya. Lagipula hanya chat biasa, dan Danish mengirimnya pesan dengan memakai ponsel sendiri, kouta internet sendiri, apa Sayna punya hak melarang? Tidak, kan?

Pilihannya hanya membalas pesan itu atau tidak, bukan melarang Danish mengirimnya pesan. Ah, merepotkan sekali perasaan dan pemikiran ini. Danish itu bukan pacarnya, tapi kalau Sayna tidak mendengar kabarnya sehari saja, dia rindu. Kalau Danish pergi dengan gadis lain, dia tidak senang. Bukan cemburu, ya. Hanya sedikit mirip dengan itu. Tidak tahu diri sekali ya, Sayna.

Sulit memang, menyukai dan menaruh hati pada seseorang tetapi tidak untuk memiliki. Pura-pura tidak peduli padahal sebenarnya menaruh hati, harus menjadi orang yang tabah saat melihat Danish menemukan orang lain yang ingin dia singgahi.

“Say....”

Sayna terkejut, dia bahkan nyaris melompat dan mundur beberapa langkah ke belakang saat seseorang memanggil namanya di sore yang mendung itu. Atau harusnya, Sayna tidak usah terkejut. Dia bahkan sudah sering mengalami hal yang lebih parah daripada ini, bahwa Danish bisa muncul di mana saja, kapan saja, menemukannya di mana saja, bahkan di lubang semut sekalipun.

“Lagi apa?” tanyanya sambil melepas helm dan masker wajah.

Entah kenapa Sayna tertegun menatapnya, kulit wajah Danish memerah, pasti dia lama berkeliling dengan si Jalu hari ini. Bagaimanapun Danish berusaha menutupnya dengan helm full-face dan masker, kulit putihnya itu tetap terbakar matahari.

“Say, kok bengong?”

Sebenarnya pertanyaan, lo ngapain di sini? Atau, kok lo bisa ada di sini, sih? Selalu terlintas di kepala saat dirinya dan Danish selalu tidak sengaja berpapasan seperti sekarang. Tapi karena sudah terlalu sering, Sayna jadi tidak begitu memikirkannya lagi. Dia pasrah dengan keadaan yang mempertemukan mereka terus-terusan.

“Lo... katanya mau nge-chat gue.” Sayna buka suara, entah atas dasar apa mengatakan hal itu. Tapi dia tidak suka terlalu lama memendamnya.

Danish di hadapannya berdiri kaku, alisnya agak berkerut, dia tampak salah tingkah. Ke mana Danish yang biasanya suka iseng dan gombal itu? “Emang boleh?” jawabnya—atau tanyanya, malah balik bertanya.

“Emang gue bilang nggak boleh?”

Danish menggeleng cepat. “Tapi lo nggak bilang boleh.”

Sayna tertegun, satu hal yang baru ia tahu dari Danish, bahwa sebenarnya dia sangat berhati-hati. Dia sangat hati-hati untuk melakukan sesuatu, padahal Danish itu tipe anak iseng, terlihat gampang dekat dengan siapa saja, jadi sikap berhati-hatinya sangat tidak mudah dikenali.

“Gue kira lo lupa,” ujar Sayna kemudian, setelah diam yang lama.

“Nggak.” Danish mengibaskan tangan. “Gue nggak lupa, kan lo belum setuju.”

Gadis itu mengangguk-angguk, ada senyum tertahan di bibirnya.

“Kalau gitu sekarang udah boleh, ya?”

“Hah?”

“Sebentar.”

Danish di hadapannya merogoh saku, menggigit sarung tangan dengan gigi dan menyimpannya di tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk mengotak-atik ponsel. Dan Sayna berdiri di hadapannya beberapa centimeter, tinggi badan mereka selisih cukup jauh, Danish tinggi sekali untuk ukuran anak SMA kelas 2. Kalau tidak berlebihan, dia ganteng sekali mirip Jungkook, maknae-nya grup BTS dari Korea.

Danish: Say, makan bareng, yuk! Mumpung ada di depan kafe, sekalian aja.

Danish: Gue kan maunya ngajak lo makan bareng tiap hari.

Sayna mengulum senyum, tapi tetap mempertahankan tatapan tajamnya pada pemuda yang sedang cengar-cengir setelah Sayna membaca pesan darinya itu.

“Kurang kerjaan,” cibirnya sambil tertawa, gagal sudah Sayna menahan senyum yang sejak tadi susah payah ia tahan. “Makan aja sendiri sana, gue udah makan.”

“Gue belum,” ungkap Danish. “Gue udah 3 harian nggak makan nasi, lagi kepengen nih.”

“Di sini nasi butter-nya enak,” jelas Sayna pelan. “Mau gue temenin makan?”

Danish mengangguk buru-buru. “Temenin dong, masa orang ganteng makan sendirian. Kayak jomblo aja.”

“Lha, emang jomblo, kan?” Senyum Sayna memudar, dia merasa ada sesuatu yang retak tiba-tiba. Tapi bukan gelas yang disiram air panas. “Atau lo—”

“Gue bakal punya pacar sebentar lagi,” potong Danish dengan nada penuh percaya diri yang tidak terprediksi lagi.

Sayna berdiri mematung di hadapannya, tiba-tiba tangannya dingin, Tania bilang Danish itu paling ganteng di kelas mereka, di sekolah mereka, dan orang ganteng itu harus jadi milik bersama. Lalu sekarang Danish mendeklarasikan bahwa dia akan punya pacar. Jadi, bagaimana nasib para remah-remah rengginang sepertinya ini?

“Oh gitu.” Sayna mulai berpikir akan mengembalikan kunci loker, kunci motor dan juga akan membuang kemasan Teh Kotak serta Twisko yang selama ini sudah dia kumpulkan.

“Iya.” Danish mengangguk senang. “Orangnya ada di depan gue sekarang.”

“Hah?”

“Say, lo mau nggak jadi pacar gue?”

“Apa?”

“Lo mau nggak jadi pacar gue?”

“Hah?”

Ini... tidak salah dengar, kan?

“Kalau lo nggak mau ya udah,” ujarnya dengan tampang memelas yang dibuat-buat. “Gue aja yang jadi pacar lo.”

ªªª

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Danish! ajak masuk, makan dulu kek, baru tembakk.. ini mah bisa mati berdiri anak orang wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status