Share

9. One Step

 

“Nggak semudah itu, Ferguso,” jawabnya setelah menghabiskan dua porsi es krim dan waffle padahal tadi seingat Danish gadis itu bilang bahwa dia sudah makan. Apakah waffle bukan makanan? Pencuci mulut saja?

“Terus? Gue harus gimana biar kita bisa pacaran?”

Sayna tampak memikirkan sesuatu, dan Danish penasaran dengan pemikiran gadis itu. Mengejutkan sekali hari ini, tiba-tiba saja Danish mengutakan perasaannya secepat dia menyadari perasaan itu beberapa hari yang lalu. “Gue nggak mau lo ikut tawuran, ngumpul sama anak geng—”

“Oke.” Danish memotongnya cepat. Semudah itu memang, asal demi Sayna, hanya Sayna, karena Sayna. Lagipula dia tahu bahwa hal-hal yang Sayna larang memang tidak baik.

“Dan nggak ikut remedial terus,” sambungnya lagi, yang justru membuat Danish terperangah.

“Gimana caranya gue nggak ikut remedial kalau nilai gue nggak cukup? Nggak lulus KKM?” Dia kebingungan.

“Ya, belajar yang bener, Danish.” Sayna manyun, mungkin ini sepele untuk anak-anak pintar, tapi bagi Danish ini tidak sesederhana itu. “Lagian apa bagusnya coba imej bintang kelas remedial? Harusnya lo malu punya predikat kayak gitu.”

Memangnya Danish yang menjuluki dirinya sendiri seperti itu? Tidak, kan? “Karena ngejar imej bintang kelas anak pinter susah, Say. Apa salahnya kan gue jadi bintang kelas remedial?”

“Nggak salah, tapi ya, nggak bagus juga.”

Danish mengernyit. “Kenapa nggak bagus?” tanyanya bingung. “Remedial itu kayak kesempatan kedua, kesempatan buat memperbaiki kesalahan kita di ujian dan soal pertama. Kenapa jadi lebih baik dan jadi bintang pas remedial itu nggak bagus? Gue lulus ujian, Say. Dengan hasil kerja keras gue sendiri, meski gue harus ngulang dua kali.”

Apa seburuk itu? Apa buruk memberi seseorang kesempatan untuk memperbaiki diri dan justru dia sungguh-sungguh saat kesempatan itu diberikan kepadanya hingga mendapat hasil yang memuaskan? Hasil yang sempurna? Danish memang butuh belajar lebih keras, dua kali lipat lebih giat jika ingin benar-benar mengerti. Maka dari itu dia selalu berhasil mendapat nilai terbaik saat remedial, walaupun yang tertera di lembar laporan adalah nilai standar. Yang penting Danish mengerti, kan? Apa sih artinya sebuah angka kalau dia tidak benar-benar paham?

Sayna menggeleng setelah sekian lama waktu bergerak dan tidak ada kata bergaung di antara mereka berdua. “Gue... pengen yang normal aja.”

Seperti ada yang menyentil dada Danish saat mendengar Sayna mengatakan hal barusan. Jadi selama ini, dia memang tidak terlihat normal di mata gadis yang dia sukai. Danish mengangguk paham, dia tahu tidak semua orang memandang dari sudut yang sama dengannya, dia paham pemikirannya tidak bisa dipaksakan pada Sayna, dia mengerti kenapa Sayna menginginkan hal tersebut.

“Oke, bantu gue belajar kalau gitu.”

“Nyokap lo banyak duit, Nish. Lo bisa bayar bimbel mahal atau apa kek, datangin guru les privat ke rumah.”

Sayna tidak paham, bagi Melia—ibu kandung Danish, ini semua baik-baik saja. Beliau tidak pernah protes ataupun menuntutnya macam-macam. Asal Danish jadi anak baik—di luar suka tawuran, dia aman, asal tidak ketahuan.

“Nggak mau.” Danish menggeleng. “Gue maunya belajar sama lo, bukannya lo suka belajar bareng gitu, ya? Sama anak-anak sekolah lain? Sharing atau apalah itu. Gue mau ikutan.”

Sayna bergidik, tampak tidak setuju dan langsung mendorong kursinya jauh untuk berdiri menuju kasir. Pasti dia akan membayar dua es krim waffle yang dia makan tadi. Tidak tahu kalau Danish sudah membayarnya diam-diam duluan.

“Nish,” panggilnya. Gadis itu kembali setelah sempat bicara sebentar di depan kasir. “Gue punya duit, jangan suka bayar-bayarin gue makan tanpa izin kayak gitu.”

Tadinya Danish ingin membantah, tapi begitu dia sadar bahwa gadis di hadapannya ini adalah Sayna, dia urung. Danish langsung mengangguk setuju. “Lain kali gue nggak gitu.”

“Lain kali kalau kita belajar bareng di kafe atau apa, kita patungan buat bayar makan sama sewa room.

“Kita nge-room?” Otak korslet Danish bisa langsung jenius kalau membahas hal seperti ini.

“Iya.” Sayna mengangguk. “Gue tahu tempat yang bisa disewa buat belajar dan bisa pesen makan juga.”

Oh, sewa tempat untuk belajar. Danish kira tadi apa, dadanya sudah berdesir tak keruan. Tapi omong-omong... “Ini maksudnya... lo setuju bakal belajar bareng gue?” Danish tak kuasa menahan senyum. “Maksudnya, ngajarin gue gitu?”

Sayna mengangguk. Semudah itu.

Danish semringah, pasti wajahnya sudah merah.

“Iya, yuk ah pulang. Udah sore, ntar kemaleman nyampe rumah,” ajaknya sambil lalu dan membuka pintu kafe untuk keluar.

Danish bangkit dengan terburu-buru, senyumnya masih setia bertengger, pipinya mulai pegal, mungkin nanti Danish akan minum jamu pegal linu milik ibunya setelah sampai di rumah. Semuanya gara-gara Sayna.

“Say,” panggil Danish ketika mereka sudah sampai di luar. “Kenapa setuju ngajarin gue?”

Gadis pujaannya itu menoleh, tampak cantik dengan riasan wajah sederhana. Sayna selalu cantik tanpa perlu banyak usaha. “Gue harus ikut berkontribusi dong buat mencerdaskan calon pacar.”

Calon pacar? Calon pacar katanya?!

Danish pasti sudah gila sekarang, dia menahan jeritan hingga Sayna di sebelahnya tertawa pelan. Kenapa jadi terbalik begini, ya? Siapa yang membuat hati siapa berbunga-bunga? Bukankah itu biasanya dilakukan seorang laki-laki pada gadisnya?

“Gih, sana pulang. Hati-hati di jalan, sampai rumah kabarin gue.”

Lho? Apa lagi ini? Kenapa Sayna seperti angin sih? Tiba-tiba menaikkannya tinggi karena Danish adalah daun yang gugur dari dahan, lalu sedetik kemudian berubah haluan dan menjatuhkannya hingga tersungkur seperti sekarang.

“Kok... nggak bareng gue?” tanya Danish, menumpahkan keheranan yang terlintas di kepalanya. “Oh, itu ya. Gara-gara keranjang laundry. Nggak apa-apa gue bisa titip dulu di sini, ntar gue antar lo terus balik buat ambil lagi ke sini.”

“Nggak usah.” Sayna terkekeh. “Nanti lo capek.”

“Nggak, Say—”

“Bukan gara-gara itu, kok.” Sayna memotongnya cepat. “Meskipun keranjang lo itu nggak ada, gue nggak akan pulang bareng lo.”

“Kenapa?” Danish memasang tampang ala anak anjing andalannya. Berharap Sayna bermurah hati kali ini.

Gadis itu mengendikkan bahu. “Gue... jadi cewek ke berapa yang duduk di jok belakang si Jalu, Nish?”

Oh, jadi gara-gara itu.

***

Sayna menyukainya, itu adalah hal yang pertama kali Danish yakini melihat respons gadis itu ketika ia menyatakan perasaannya kemarin. Tapi aneh juga, kenapa seseorang yang menyukai orang lain bisa bersikap seperti itu? Seperti Sayna kepadanya selama ini? Dia bahkan hanya ramah di saat tertentu. Sayna tidak seperti anak-anak perempuan lain yang terang-terangan bilang menyukainya. Danish kira, Sayna bahkan membencinya.

“Dih, Danish. Gue nitip es krim cokelat malah dibeliin yang vanila. Ngelamun aja lo!” Suara Hamam membuat Danish terperanjat.

Oh, jadi sejak tadi Danish senyam-senyum di sepanjang koridor menuju kelas setelah dari koperasi sekolah? Dan sepanjang perjalanannya itu dia terus memikirkan Sayna tanpa henti. Seperti orang kasmaran saja.

“Nish!” Hamam meneriakinya sekali lagi. “Mana nih es krim cokelat pesenan gue? Lo janji ya traktir kalau gue ngasih contekan pidato.”

“Tenang.” Danish tersenyum iseng seraya membuka salah satu sekat kecil di tas sekolahnya, kemudian mengeluarkan kacamata hitam anti sinar UV dari sana. “Pake ini coba.”

Dia menyerahkan kacamata itu pada Hamam, dan dengan begitu Hamam menurutinya segera, sementara Danish membuka kemasan es krim vanilla yang sejak tadi dia pegang.

“Gimana? Jadi cokelat, kan?” Danish menyodorkan es krim putih itu ke hadapan wajah Hamam yang tengah mengenakan kacamata hitam.

“Wah, iya! Jadi cokelat. Hahaha. Makasih, Nish!”

Danish tertawa sambil menepuk dada dan menyerahkan es krim itu pada Hamam, disambut tawa beberapa anak di kelas yang melihat tingkah mereka berdua.

“Penipuan lo mah!” Arvin berteriak dari sudut lain. “Mam, ntar kalo gedenya si Danish jadi kang dagang lo mending nggak usah beli deh, ditipu mulu kasian.”

“Eh, gue nggak nipu, ya.” Danish membela diri. “Si kunyuk minta es krim cokelat, bukan es krim rasa cokelat. Noh, lihat dia nggak masalah makan es krim vanila pake kacamata asal di mata dia es krimnya jadi warna cokelat.”

Tawa di kelas itu mengalun lagi, diam-diam, Danish melirik Sayna yang bisa dibilang jarang menibrung obrolan tidak berfaedah di kelas mereka. Gadis itu sibuk dengan novel barunya, setelah dua jam pelajaran tadi mereka habiskan untuk tes lisan Bahasa Indonesia.

“Nish, gue pulang bareng lo, ya.” Seorang gadis muncul, menyerobot tempat duduk Danish dan duduk di kursinya.

“Ini masih jam istirahat pertama, Jenab. Main booking pulang aja.”

“Dih, gue nggak mau keduluan sama yang lain,” kata gadis itu dan Danish berhasil membaca label nama di bagian dada kiri seragamnya. Oh, Lianka. Jadi yang ini toh yang namanya Lianka.

“Nggak ya, mohon maaf gue sekarang nggak bisa di-booking lagi soalnya gue bakal punya cewek sendiri. Ntar cewek gue marah dong.”

“Hah? Mau punya cewek?”

Lianka mengeraskan suara, yang tentu jadi pancingan gadis-gadis lain di kelas mereka. Mendadak, tempat duduk Danish jadi dikerubungi oleh anak-anak perempuan. Dan Danish kesulitan mengintip ke arah tempat duduk Sayna, takut kalau gadis itu berpikir macam-macam tentangnya.

“Siapa yang mau punya cewek?”

“Nggak seru lo, Nish! Lo itu pemuda ganteng, pemuda ganteng itu milik bersama, nggak boleh ada ceweknya.”

Danish melongo, tiba-tiba saja jadi kikuk sendiri. Dan kenapa telinga mereka mendadak tajam saat Danish iseng mengumumkan status barunya sekarang? Bahwa dia tidak bersedia ditempeli lagi. Diam-diam Danish memanjangkan leher, pura-pura menggeliat, dan melirik Sayna yang ternyata tengah menatap ke arahnya. Mampus. Danish sedang bunuh diri.

“Nish, lo nggak kasihan sama calon cewek lo nanti?” tanya salah satu dari mereka, Danish tidak ingat namanya ya Tuhan... kenapa harus ada banyak nama di dunia ini?

“Kasihan kenapa?” tanya Danish polos. Di sebelahnya Hamam sibuk menjilati es krim dan masih mengenakan kacamata hitam. Tidak paham kalau Danish sedang butuh bantuan.

“Kasihan ya, fans lo itu banyak! Apalagi anak-anak kelas 1, belum anak kelas 3. Kalau cewek lo dibuli gimana? Dikurung di toilet, terus disiksa gitu.”

“Kenapa dia harus digituin?” Danish kebingungan.

“Aduh, si kampret. Untung ganteng.” Lianka menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala.

“Bukan anak sini, kan?” tanya yang lainnya. Berambut pendek dengan alis mata yang cetar seperti Dora.

“Ya, jelas anak sini kalau dia takut boncengin cewek pulang biar nggak diamuk sama ceweknya.”

“Oh, iya bener juga.”

“Tapi kira-kira siapa, ya?” tanya Cacha sambil menopang dagunya dengan sebelah tangan. Akhirnya Danish ingat nama anak perempuan dengan rambut sebahu dan lesung pipi di sebelah kiri itu.

“Kalian semua...” Danish menjeda sambil menatap mereka dengan hati-hati. “Nggak akan gangguin dan seret dia ke toilet, kan?”

Liankan berdeham, lalu mengibaskan tangan. “Nggak kok, tenang aja.”

“Kasih tahu, Nish. Biar jaga-jaga nih kita semua,” ujar si rambut pendek alis Dora. Tapi Danish peka karena menangkap kejahatan terselubung di matanya.

“Maksudnya gini, kalau pun kalian seret dia ke toilet, gue nggak khawatir dia yang bonyok, justru lo semua yang babak belur.”

“Hah?” Cacha terperangah.

“Parah nih Danish, lo pacaran sama cowok?” Nana ikut buka suara.

“Lo homo?”

“Lo pacaran sama anak geng itu, ya?”

“Ih, diem dulu!” Danish menghentikan mereka semua. “Dia jago beladiri, jadi nggak mungkin bisa kalian buli.”

“Jago beladiri?” Lianka menggumamkan, disusul dengan gerakan kepala dari anak perempuan lainnya dan tentu saja ini sudah jadi rahasia umum. Bahwa gadis jago beladiri di sekolah ini tidak banyak, dan salah satunya bahkan ada di kelas mereka.

“Say...na?”

Dan hari patah hati nasional season 2 pun dimulai.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
jago bela diri, bapaknya TNI, emaknya kepala sekolah.. lengkap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status