David tiba saat rumah dalam keadaan Sepi, hanya ada adiknya Bima yang sedang duduk anteng menyantap sepiring nasi goreng tanpa menyadari kehadirannya.
"Mama papa kemana?"
Tanyanya setelah berhasil meneguk sebotol air dingin dari kulkas. Pandangannya mengarah pada sang adik yang tengah mengunyah sarapannya.
"Ke Bogor, kondangan," jawab Bima cuek dan kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Bang?"
David yang sudah berdiri, mengurungkan niatnya dan kembali duduk menghadap Bima yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti.
"Kenapa?" tanyanya setelah beberapa menit adiknya hanya menatap David tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Gak jadi. Sana kalau mau pergi."
Usir Bima dan kembali memakan nasi gorengnya yang tinggal setengah.
Memilih abai David segera bangkit menuju lantai atas. Ia akan mandi dan bersiap pergi menemui seseorang.
Weekend seperti ini biasanya David hanya m
David menghempaskan tubuhnya di ranjang king size miliknya. Pembicaraan dengan Yuda tadi benar-benar menguras emosinya.Dia tidak pernah menyangka Yuda masih mengingat semuanya sejak bertahun-tahun mereka selalu menghindari topik pembahasan ini.Bagaimanapun sahabatnya itu tau bahwa di awal-awal kepergian Laras, David sempat di rawat di rumah sakit karena stress dan kurang istirahat.Pada masa itu memang adalah masa terpuruk bagi David, dia tidak mengelak bahwa Laras adalah sumber kekuatannya. Wanita itu mampu membuat dirinya menjadi lebih percaya diri dan tetap optimis.Laras jugalah wanita yang mengetahui segala kurangnya namun memilih untuk tetap bertahan di sisinya. Sering kali dia berfikir, kenapa dulu dia bisa bertindak bodoh hingga berakibat seperti sekarang ini.Mengutuk diri sendiripun tidak akan mengubah apapun. David kehilangan jejak wanita itu, dan ia belum cukup keberanian untuk mencari keberadaan Laras."Bang."Ketukan p
Pagi ini rumah tampak ribut saat Sasa sulit sekali untuk di bangunkan. Memang anak kecil itu terkadang susah untuk membuka mata tapi tidak separah pagi ini.Laras sudah melakukan segala cara agar anaknya itu tidak rewel dan menangis saat di mandikan. Namun bukannya berhenti Sasa malah menjerit membuat Laras harus mengusap dada pelan melihat tingkah sang anak yang semakin manja."Kakak udah besar lho, masak mandi harus nangis dulu sih.""Mau mama tinggal di rumah aja sendiri? Iya?"Bukan, dia tidak berniat mengancam namun Laras sudah benar-benar kehabisan cara untuk menenangkan putrinya. Dia sendiri juga tidak tau sebab anaknya rewel begini sejak bangun tidur tadi."Sini mama pakein baju."Laras menarik lembut tangan mungil anaknya, wajah Sasa masih saja cemberut dengan lelehan air mata yang membuat ibu muda itu merasa iba."Nanti jajan ice cream kalau Sasa anteng. Nurut sama mama. Oke?"Sasa masih
"Diminum om." "Makasih Ras, harusnya gak usah repot-repot." Ryan meneguk teh hangat yang baru saja di hidangkan Laras. Udara yang dingin memang paling cocok dengan minuman hangat selepas hujan sore tadi. "Gimana kerjaannya?" Laras memulai pembicaraan setelah beberapa menit mereka terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing. "Lancar. Tapi capek juga," Jawab Ryan dengan kekehan ringan di akhir kalimat. "Yang penting perusahaan laba banyak kan om?" goda Laras. "Tapi gak kuat kalau harus pisah lama sama kalian." "Lebay ih." "Fakta lho Ras. Kalau kamu mau, pengen banget ajak kalian buat ikut kemanapun aku pergi." "Buat di jadiin asisten pribadi." tebak Laras namun di balas tawa oleh Ryan. Kenapa perempuan di sampingnya ini selalu berfikir negatif. "Yakin mau?" Goda Rian lagi. "Sana pulang. Malem-malem begini gak enak diliatin tetangga." Bukannya menjawab Laras malah me
Siang ini cuaca cukup terik, Ryan mengemudi dengan kecepatan sedang mengingat jalanan juga lengang selepas jam makan siang.Di dalam mobil hanya celotehan Sasa yang menemani perjalanan mereka, bocah dengan rambut di kuncir dua itu tak berhenti mengomentari apapun yang di lihatnya.Setelah tadi tidur cukup lama Sasa tidak akan rewel karena jam tidur siangnya terganggu."Ma, nanti mam es kim lagi."Menghembuskan nafas pelan Laras melirik anaknya yang kini sibuk dengan ponsel di tangan tengah menonton mukbang.Pantas saja bocah kecil itu teringat ice cream."Boleh. Tapi satu ya. Gigi Sasa bolong semua kalau banyak-banyak."Mengangguk-angguk Sasa kembali fokus pada tontonannya, mungkin capek karena selama perjalanan berangkat bocah itu tak berhenti mengoceh."Sampai. Sini, Sasa ayah yang gendong."Ryan mengulurkan tangan dan mengendong Sasa keluar dari mobil. Dengan Laras mereka beriringan memasuki rumah megah ya
"Gue gak nyangka, ternyata jodoh emang gak ada yang tau."David menyeringai menatap sepupunya yang sedari tadi menunduk dalam. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan.Wajah kusut adalah penampilan yang ia lihat akhir-akhir ini. Padahal selangkah lagi sepupunya itu akan menikah dengan perempuan yang di cintai.Namun bukannya bahagia malah wajah kurang gairah yang sering di tampilkan."Dari banyaknya cewek di sekeliling Lo. Kenapa harus dia yang Lo pilih. Cewek petakilan bermulut pedas.""Seperti yang Lo bilang tadi. Jodoh gak ada yang tau.""Tapi Lo bisa milih yang lain.""Gue cinta sama dia vid. Itu kenapa gue pilih dia.""Alasan klasik."Sena memilih tak peduli. Enggan menangapi lebih jauh. Sonya dan David sama-sama memiliki sifat keras dan menjengkelkan. Dan ia tak akan menghabiskan waktu untuk berdebat dengan keduanya.
Menikah dengan David Ardinata Wiryawan, menikah saat usia 25 tahun dan memiliki sepasang anak kembar.Dulu mimpi itu terasa mudah untuk di raih, dulu harapan itu akan segera terealisasikan andai saja kesalahan tidak kami lakukan.Semua hancur karena kecerobohan kami, tidak ia bukan menyalahkan sasa yang hadir tanpa rencana. Ia menyalahkan dirinya sendiri dan David yang menghadirkan Sasa pada waktu yang tidak tepat. Menghadirkan Sasa pada situasi yang sulit.David memilih tidak bertanggung jawab bahkan ayah dari anaknya itu meminta laras untuk melenyapkan darah daging mereka sendiri.Adakah yang lebih kejam dari itu? Adakah perlakuan menyakitkan yang melebihi itu?Bahkan janin yang belum berbentuk sempurna itu sudah di rencanakan untuk di rengut paksa hidupnya oleh ayahnya sendiri.Andai laras menyetujui mungkin saat ini hanya penyesalan yang akan selalu menghantui hari perempuan itu.Angin malam menerbangkan rambut Laras yan
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi Sena namun tidak untuk Sonya. Laki-laki itu tersenyum lega sesaat setelah mengucap qobul dengan sekali tarikan nafas.Jantungnya berdetak kencang dengan pandangan mengarah pada tirai sebelah kanan tempat dimana sang mempelai wanita berjalan menemuinya.Sonya tengah berjalan di apit Laras di sebelah kanan dan keponakannya Listi yang merangkul tangan Sonya di sebelah kiri. Ketiganya tersenyum saat melewati para tamu undangan.Tiba di depan Sena, Sonya meraih tangan laki-laki yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Mencium takzim dengan mata terpejam rapat."Assalamualaikum istri."Bisikan halus Sena membuat Sonya melepas kecupannya dan kembali tertegun saat bibir Sena mencium lembut keningnya.Mata Sena memancarkan kebahagiaan, kedua bola mata laki-laki itu berbinar cerah berbeda dengan Sonya yang kini bersumpah serapah dalam hati mengutuk diri sendiri yang tadi sempat terlena dengan perlakuan l
David baru tiba di rumah saat jarum jam menunjuk angka sepuluh malam. Laki-laki berperawakan tinggi itu membuka pintu dan tersentak kaget saat menemukan mamanya berdiri di depannya dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Darimana saja mas baru pulang?"Pertanyaan dengan nada penuh tekanan itu membuat David meringis ngeri. Ekspresi mamanya benar-benar membuatnya merasa bersalah."Maaf ma. Ada urusan mendadak.""Urusan apa sampe bikin kamu pergi gitu aja?""Bukan urusan kantor kan?"Perempuan paruh baya itu kembali menyindir yang membuat David diam tak bisa berkutik. Rasa bersalahnya membuat David tak tega untuk menimpali ucapan mamanya."Mama malu mas. Di acara keluarga kamu selalu absen. Dan sekarang, di acara nikahan Sena kamu malah pergi gitu aja tanpa pamit. Apa kamu gak mikir perasaan mama?"Perempuan itu duduk dengan nafas memburu. Kekesalannya baru terlampiaskan sekarang. Sungguh ibu dua anak itu tak habis fikir deng