Liana melihat semuanya, pria itu berjalan menyeret sebuah tongkat. Tongkat itu, terlihat persis seperti yang ia lihat di mimpinya, saat usianya masih 10 tahun. Tapi, kenapa ia selalu datang dan menebar ketakutan.
Sebelum ia menusuk leher Liana, tiba-tiba waktu berhenti. Ia berdiri tepat di hadapan Liana, mematung dan tidak bergerak. Bahkan, detik jarum jam dinding, juga ikut berhenti, tanpa ia ketahui sebabnya.
Suasana begitu sunyi, namun masih sangat mencekam. Liana yang berusaha untuk berdiri, namun ternyata ia juga mematung, sama seperti pria itu. “Kenapa, bahkan aku, tidak bisa membuka mulut?” tanya Liana dalam hati, berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tubuhnya.
Dari balik pintu, terlihat sebuah kilatan cahaya, yang sangat terang. Cahaya itu, perlahan mendekati Liana, dan membuatnya menutup mata, karena terlalu silau.
***
“Dimana aku? Kenapa, aku bisa berada disini?” Liana mulai memperhatikan jalanan kota yang ramai. Ia menyadari, bahwa ini hanyalah mimpi, namun, entah kenapa mimpi ini, terasa begitu nyata.
“Liana, kemarilah,” ucap seorang wanita, yang keluar dari toko bunga.
“Mama, aku ingin komputer pink itu,” ucap seorang anak kecil, sambil menunjuk komputer yang terpajang di etalase sebuah toko elektronik.
“Tidak, kamu masih kecil, tidak boleh main itu,” tolak wanita itu, kemudian menggandeng tangan anak itu, yang mulai merengek.
“Mama.” Bayangan keduanya tiba-tiba menghilang di tengah keramaian, membuat Liana berlari untuk mencari mereka. Beberapa kali ia mencoba bertanya kepada orang-orang yang berlalulalang, namun tidak seorangpun menyadari keberadaannya.
***
Beberapa kali aku melihat kejadian di masa lalu, entah kenapa tiba-tiba aku mengalami ini semua. Setiap kali aku menutup mata, aku selalu berada di kenangan masa lalu, yang mungkin, tidak ingin ku ingat sama sekali.
“Papa, aku ingin pergi ke perpustakaan,” ucap diriku saat berusia 8 tahun.
“Liana, bermain boneka saja ya,” pinta papa mengelus rambutnya.
“Tidak mau, Liana mau membaca buku. Liana, akan membuat robot,” gumam Liana kecil, kemudian melempar boneka yang diberi papa.
“Sekali tidak boleh, tetap tidak boleh,” bentak papa, membuat Liana kecil menangis dan mengurung diri di kamar.
Tentu, Liana mengingat semua itu. Kenangan masa kecilnya, yang selalu dijauhkan dari hal-hal yang sangat ia suka. Liana ingat, beberapa kali ia mencoba kabur dari rumah, dan bermain seharian di perpustakaan.
Hal itu membuat papa dan mama sangat marah kepadanya, namun, ia masih tidak tau, kenapa ia diperlakukan berbeda dengan anak yang lain. Mengingat semua itu, kini Liana mulai meneteskan air mata.
***
“Apa kamu, ingin pergi ke luar negeri?” tanya mama dengan perasaan marah.
“Apa? Keluar negeri, untuk apa?” tanya Liana memegang sebuah piala kejuaraan olimpiade sains.“Papa sudah melarangmu bukan, kenapa, kamu masih mengikuti olimpiade itu?” tanya papa dengan raut wajah serius.
“Aku, aku menyukainya, bermain komputer, membaca buku, dan belajar semua hal tentang sains, aku menyukainya. Lihatlah, Ma, Pa, aku berhasil, membawa piala kejuaraan ini,” kata Liana tetap tersenyum dan menyodorkan piala itu.
“Cukup, kamu harus berhenti, Liana. Kamu harus berhenti,” murka papa merebut piala itu, kemudian melemparnya, hingga pecah menjadi beberapa bagian.
Ketika melihat masa lalu itu, Liana kembali meneteskan air mata dan membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Saat itu, seharusnya mama dan papa, memberikan selamat kepadanya, namun, itu menjadi kenangan buruk Liana bersama mereka.
Sejak SMP, Liana selalu di awasi oleh mama dan papa. Ia tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan apapun, yang berhubungan dengan komputer dan sains. Mereka bahkan tidak perduli, dengan semua pencapaian belajarnya, karena, Liana selalu mendapat peringkat pertama, sejak berada di bangku sekolah dasar.
***
“Liana, ayo ikut kami ke laboratorium,” ucap salah seorang teman Liana.
Liana yang akan menuntaskan masa SMP nya itu, kembali tidak bisa menahan ajakan untuk berkeliling laboratorium kota. Melihat hal itu, Liana berlari dan mencoa menghentikan dirinya sendiri untuk masuk ke dalam laboratorium.
“Liana, dengar. Tidak, kamu tidak boleh masuk, tidak,” teriak Liana, berusaha menghentikan dirinya yang tergoda dengan sains, namun tidak ada respon. Ia berusaha menghalanginya, namun semua itu tidak berhasil.
“Tolong, bangunkan aku dari mimpi ini. Aku, tidak bisa melihat Mama terluka, untuk kedua kalinya,” ucap Liana memohon, agar dibangunkan dari mimpi ini, sebelum kejadian itu menjadi trauma, untuk kedua kalinya.
“Liana,” teriak mama yang menangkap basah Liana, saat belajar mencampur beberapa cairan di laboratorium.
“Mama, kenapa mama, ada disini?” tanya Liana terlihat kebingungan, sambil menyembunyikan labu takar yang ia pegang.
“Ayo pulang,” perintah mama menarik tangannya.
“Tidak, mama.” Liana kemudian menutup matanya, berharap akan pergi ke tempat lain, sama seperti sebelumnya. Karena, ia tidak sanggup melihat kesalahan bodohnya itu. Akibat perbuatannya, mama mengalami masa kritis, karena terkena tumpahan cairan yang Liana buat.
“Ku mohon, bawa aku pergi. Aku, tidak sanggup, melihat Mama kesakitan.” Cahaya itu, kembali menghampiri Liana. Kali ini, cahayanya terlihat lebih terang, bahkan sangat terang, dari cahaya sebelumnya.
***
“Ah, panas. Apa ini?” tanya Liana, berusaha memindahkan kakinya, dan mulai membuka mata. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat begitu banyak bagunan, yang hancur. Bahkan, tanah yang ia injak, bisa mengeluarkan sebuah cairan panas.
“Apa semua ini?” tanya Liana, mebelalakkan mata, seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,