Home / Rumah Tangga / Hidup Bersama Yang Tak Terduga! / Bab 4 - Temuan Yang Mengejutkan

Share

Bab 4 - Temuan Yang Mengejutkan

Author: MeowMoe
last update Last Updated: 2023-10-22 02:42:37

Terlihat jelas dia agak kaget saat membuka pintu kamar mandi itu. Entah karena kamar mandinya yang hanya seukuran 1,5x2 meter atau karena ini adalah pertama kalinya dia melihat sebuah kamar mandi.

Dari cerita-cerita orang tentang penduduk Kalimantan yang pernah kudengar, mereka masih mandi di sungai. Jadi kupikir dia baru kali ini melihat kamar mandi.

'Hmmm... Tadi dia kan menanyakan tentang kamar mandi, jadi dia pasti punya juga di rumahnya.'

Setelah Steven masuk, aku mulai menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran yang lebih banyak sebelum menambahkan air dingin juga ke dalamnya. Berharap air minum itu tidak dingin setelah Steven selesai mandi.

Aku kemudian membawanya ke sofa lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja kaca di depan sofa.

Tatapanku kemudian tertuju pada kantongan plastik tempatnya tadi mengambil pakaian, lalu menatap ransel besar seukuran tubuh manusia yang tentu saja tanpa tangan, kaki, dan kepala. Keduanya membuatku penasaran.

"Kalau pakaiannya ada di kantong plastik, lalu apa isi ransel besar ini? Kenapa dia tidak menaruh pakaiannya di dalam ransel saja?"

Aku menatap ke pintu kamar mandi sebentar, lalu mendekati kantong plastik yang Steven letakkan di lantai, di dekat tas ranselnya, kemudian menyentuh kantongan plastik itu dengan ujung jemariku lalu menekan-nekannya. Dari kelembutannya aku menebak kalau isi tas plastik ini hanya pakaian.

“Hmmm...” Aku malah penasaran juga dengan isi ranselnya.

Aku menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, lalu menatap tas ransel lagi. "Apa tidak masalah kalau aku mengecek isinya?" Aku mempertimbangkan untuk membuka ranselnya karena penasaran dengan ukurannya.

"Tidak. Ini tidak benar."

Aku menyandarkan tubuhku ke sofa dan duduk diam beberapa saat.

Setelah mendengar suara air berjatuhan di lantai kamar mandi, barulah aku mendekati tas itu lagi.

"Benar. Kalau mau melihat isinya, inilah saatnya. Asal tidak ketahuan tidak apa-apa, kan?"

Aku meraih ritsleting ransel lalu menariknya perlahan sembari terus menatap ke pintu kamar mandi, mengawasi seandainya Steven tiba-tiba membuka pintu tersebut.

Setelah kurasa tasnya sudah terbuka cukup lebar, barulah aku memalingkan wajah dan memeriksa isinya.

“Astaga!”

Aku melepaskan tas itu secara refleks. Tubuhku juga ikut mundur menjauh dengan refleks setelah melihat apa yang ada di dalam sana.

Dengan jantung berdebar kencang akibat adrenalin yang meningkat, aku akhirnya menghampiri tas itu lagi untuk memastikan apa yang baru saja kulihat.

Benar saja. Ada sepucuk senjata api, HP model lama, dan sebungkus rokok di dalamnya dan... Aku membuka tas itu lebih lebar lagi, menggali-gali isinya untuk memastikannya lebih jauh.

Selain benda-benda tadi, yang diletakkan di bagian atas, ransel itu hanya berisi bergepok-gepok uang seratus ribu yang masih tersegel per sepuluh juta dan tersusun dengan sangat rapi.

“Dari mana uang-uang ini? Apa dia..."

Rasa takut mulai melanda pikiranku setelah melihat senjata api itu lagi, membuatku dengan segera mengembalikan semua benda yang baru saja kukeluarkan dari ransel dan menutupnya kembali.

Aku buru-buru pergi menjauhi sofa dan berdiri di dekat kitchen set, ingin berpura-pura bahwa aku tidak pernah beranjak dari sana sejak tadi, saat tidak mendengar suara air lagi dari dalam kamar mandi.

'Oh, tidak...! Itu ketinggalan…'

Aku kembali lagi untuk mengambil gelas yang tadi sudah kuletakkan di meja, dan bergegas kembali ke area kitchen set tepat sebelum Steven membuka pintu.

'Hampir saja.'

Steven sedikit membungkukkan tubuhnya seraya menganggukkan kepala padaku.

Walau sangat sulit untuk dilakukan setelah apa yang baru saja kulihat di dalam ranselnya, aku memaksa bibirku untuk tersenyum. Tapi rasa takut yang sudah menguasaiku secara penuh membuatku susah untuk tersenyum. Senyumku pasti akan terlihat aneh di matanya.

Menyadari kebodohanku, aku melirik ke arah ransel. 'Bodoh! Harusnya kuambil saja pistolnya,' pikirku, menyesal tidak melakukannya.

Entah dia menyadari atau tidak, Steven kemudian pergi menuju sofa dan duduk di dekat ranselnya, lalu membuka ritsletingnya.

Dadaku menjadi sesak. Tanpa sadar aku menahan napas, terutama saat melihatnya mengeluarkan senjata api itu dari dalam tasnya.

'Oh, astaga... Bagaimana ini!?'

Dengan santainya ia mengeluarkan senjata itu seolah itu hanyalah senjata mainan, lalu dengan santai pula ia meletakkannya di atas meja seakan aku tidak melihatnya.

'Apa yang ingin kau lakukan?!' Aku berteriak dalam hati.

Setidaknya kalimat itu yang ingin kuteriakkan, tapi kalimat itu tidak pernah terlontar dari mulutku. Aku mulai panik dan gemetar ketakutan. Tubuhku terasa sangat lemas hingga tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang masih kupegang.

Pyaarr!

Suara gelas pecah dari dekat kakiku malah membuat Steven terkejut dan langsung menatap ke arahku, sebelum menatap pada senjata apinya lagi.

“A-apa... yang… ingin kau lakukan?” Aku akhirnya bisa mengucapkan kalimat itu dengan susah payah setelah melihat Steven memegang senjata api itu lagi.

“Tidak! Maaf, saya hanya ingin mengeluarkannya saja,” sahutnya dengan ekspresi penuh penyesalan.

'Hanya mengeluarkannya? Benda berbahaya itu? Oh, yang benar saja! Benda itu bahkan bisa membunuhku.'

Aku melihat Steven berdiri dan tampak hendak berjalan ke arahku namun berbalik lagi dan berjongkok di dekat meja sambil mengangkat senjata api itu ke depan dadanya.

“Jangan... tolong...,” pintaku dengan suara bergetar takut. Sebenarnya suaraku hampir tidak keluar sama sekali.

“Tidak... Anda salah paham. Tolong percaya pada saya. Saya tidak bermaksud menyakiti Anda,” ucapnya sembari membongkar senjata api itu dengan cepat.

Aku melihatnya memisah-misahkan bagian senjata api itu dengan sangat cekatan dan sangat cepat seolah sudah sangat terlatih melakukannya, hingga akhirnya melihat senjata api itu tidak lagi bisa digunakan untuk menembak.

“Maaf, di tempat saya biasanya memegang benda ini sudah biasa. Jadi saya tidak mengira Anda akan takut. Maksud saya… saya lupa kalau saya sedang tidak berada di kampung saya.”

Kata-kata itu justru tidak menenangkan, apalagi menghiburku. Imajinasiku malah berkembang semakin liar. 'Senjata api adalah benda biasa di tempatnya? Tinggal di mana dia sebenarnya? Di sebuah medan perang?'

Aku teringat kembali dengan apa yang dikatakan Bu Rosa. Dia… Steven, mungkin benar-benar anggota mafia. 

'Benar! Dia punya senjata api. Ada banyak uang di dalam ranselnya, juga ponsel model lama, dan rokok. Dan... sudah biasa memegang senjata api. Semuanya sangat cocok dengan apa yang sering kulihat di film-film Hollywood. Dia mafia!'

Polisi atau tentara tidak mungkin membawa uang sebanyak itu kemana-mana. Dia pasti anggota mafia. Pasti seperti itu.

'Mama sialan! Dia pasti mau membunuhku karena ingin menjual tanah dan rumah kami!' Aku mengumpat dengan pemikiranku yang semakin berkembang luas, baru menyadari alasan mengapa ibu tiriku memaksaku untuk menikahi pria ini.

Aku melirik pada salah satu pintu yang akan langsung tembus ke halaman belakang rumah andai aku bisa membukanya. Itu adalah pintu terdekat dari posisiku berdiri.

'Aku harus melarikan diri sekarang!'

Aku pun bergegas berlari menuju pintu itu.

Setidaknya itulah niatku.

Sayangnya, syok yang kudapat setelah melihatnya mengeluarkan senjata api membuat kedua kakiku kaku dan gemetar. Bukannya berlari, aku malah terjatuh. Bahkan aku kemudian pingsan saat melihat Steven berlari ke arahku. 'Mati aku!'

❀❀❀

MeowMoe

Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Hi5
detail ceritanya bagus, semangat otor
goodnovel comment avatar
Siti Rayanna
lucu ceritanya ssru juga
goodnovel comment avatar
eko pujianto
bagus bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Thank You

    Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 130 - Bersyukur

    “Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 129 - Berkumpulnya Geng Semenjana

    “Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 128 - Pengusaha Sukses

    “Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 127 - Pulang Kampung

    “Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 126 - Chloe Ophelia Steve

    “Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 125 - Bantuan

    “A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 124 - Psikopat

    ◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 123 - Amukan Singa Betina

    ♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status