Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat terbangun dari tidurku dan langsung melihat...
“Astaga! Kau siapa?!” Aku melompat sampai ke salah satu sisi tempat tidur dan akhirnya terpojok ke dinding, menatap takut pada pria tampan berperawakan tinggi dan atletis yang sedang duduk di tepi ranjang tidurku.
'Dia…'
Steven...
Suamiku...
Senjata api...
Mafia...
'Astaga!'
Aku terdiam membeku setelah mengingat kembali semua yang terjadi, juga mengingat apa yang sudah kutemukan di dalam ranselnya.
Parahnya, aku sekarang berada di dalam kamar yang sama dengan pria yang ku duga sebagai anggota mafia.
'Aku bersama seorang mafia! Bagaimana ini?!'
Aku akhirnya ingat jika telah kehilangan kesadaran saat dia berlari ke arahku.
“Anda tidak perlu takut. Saya bukan penjahat,” ucap Steven cepat —mungkin menyadari ketakutanku— sembari berdiri dari tepi ranjang dan mundur menjauh dariku yang sudah terpojok di dinding.
“Lihat...,” dia mengangkat selembar kertas di tangan kanannya lalu menaruhnya perlahan ke atas tempat tidur. Sambil menunjuk kertas itu dia kemudian menjelaskan, “Ini surat izin membawa senjata api. Anda pasti tahu kalau tidak sembarang orang diizinkan memiliki senjata api di negara kita, kan?”
Aku masih menatapnya dengan tubuh gemetar sebelum akhirnya menurunkan pandanganku pada selembar kertas yang baru saja diletakkannya di atas tempat tidur.
'Benar, dari yang kutahu memang begitu. Tidak sembarang orang memiliki izin membawa senjata api di negara ini.'
Aku mendekati kertas tersebut sambil terus menatap ke arahnya, takut kalau dia tiba-tiba menyergapku. Aku kemudian membaca tulisan di kertas dengan cepat, melihat cap dari POLRI dan yakin kalau cap itu asli.
Mengetahui itu, aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega, setidaknya sedikit dari rasa takut sudah beranjak pergi dari pikiranku.
Aku menatap Steven kembali. “Kenapa kau punya senjata api? Kalau kau bukan penjahat, apa kau seorang pengawal pribadi? Tidak mungkin kau Polisi, kan?”
Aku melihat keraguan di wajah Steven, juga bisa mendengar helaan napas pendek darinya.
“Saya seorang pengawal pribadi,” sahutnya.
Kami bertatapan dalam keheningan cukup lama setelahnya. Aku menatap dalam pada manik hitam di kedua matanya, mempelajari apakah ada kebohongan di sana, sementara dia menatapku dengan ekspresi seakan memohon agar aku memercayainya.
'Baiklah, ayo coba percaya padanya. Setidaknya dia bukan pengangguran, kan?'
“Di mana senjatanya?” tanyaku lagi.
Steven tidak menjawab dan malah bergegas pergi keluar kamar, sebelum akhirnya kembali dengan membawa komponen senjata api yang masih terpisah-pisah itu padaku dan meletakkannya di tepi ranjang.
Melihat keadaan senjata api yang masih terbongkar, aku menjadi jauh lebih tenang.
“Lalu... Apa gaji pengawal pribadi sebesar itu? Maksudku... Aku juga melihat tumpukan uang di dalam ranselmu.”
'Ups, astaga! Bodoh. Aku malah mengumumkan sendiri kalau aku sudah membongkar tasnya.' Tanpa sadar aku menepuk mulutku yang sudah kelepasan berbicara karena rasa penasaranku yang terlalu besar.
Tapi Steven kemudian mengangguk. Hanya itu jawaban yang diberikannya padaku.
“Baiklah... Jadi..., kau bukan mafia atau sejenisnya, kan?” Walau sebelumnya dia sudah menjelaskan dirinya bukan penjahat, aku tetap ingin memastikannya lagi. 'Yah..., setidaknya memastikan kalau masa depanku benar masih ada.'
Aku bisa melihat perubahan ekspresi wajahnya. Dia terkejut, lalu terlihat jelas sedang menahan diri agar tidak tertawa. 'Dia mau tertawa? Dia sedang menahan tawa, kan?'
“Bukan. Saya tidak bekerja seperti itu.”
“…”
“Saya tidak melakukan hal yang melanggar hukum.”
“B-begitu...”
"Maaf jika sudah membuat Anda takut."
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menutup wajah dengan kedua tangan. Aku benar-benar merasa malu karena sudah bersikap bodoh di depan pria yang berusia 10 tahun lebih muda dariku ini.
'Huft... Kenapa aku malah merasa diriku jadi kekanakan sekali sih?' Aku menyesal karena telah kehilangan ketenangan di hadapan pria yang bahkan berusia lebih muda dari adik tiri laki-lakiku ini.
'Tapi mana ada wanita yang tidak takut saat ada orang asing membawa senjata api di hadapannya, kan? Ini tidak memalukan. Bukan pula kekanakan. Ini adalah hal yang wajar. Iya benar, ini sangat wajar…'
Saat masih berusaha mengembalikan kepercayaan diriku lagi, aku merasakan kelembaban dan basah di antara kedua pahaku. 'Hah? Tunggu... Kenapa basah?'
Tidak ingat kalau Steven berada di hadapanku, aku langsung meraba-raba bagian yang kurasa basah.
“Anda mengompol...,” ucap Steven dengan ragu, sepertinya menyadari kebingunganku akan diriku sendiri.
Aku menatapnya dengan mulut terbuka lebar, lalu melihat celana panjang ketatku yang memiliki bekas basah lebar di antara kedua pahaku. 'Astaga... Memalukan sekali!'
Aku langsung melompat dan berlari ke kamar mandi, tapi tak lama kemudian balik lagi untuk mengambil pakaian ganti di lemari, lalu bergegas berlari kembali menuju ke kamar mandi yang entah kenapa terasa menjadi sangat jauh.
Sekilas aku melihatnya memerhatikan kesibukanku sambil mengulum bibirnya. Aku tahu dia sedang menahan dirinya agar tidak tertawa.
'Memalukan! Benar-benar memalukan!'
❀❀❀
Setelah kesegaran air menj4m4h tubuhku, aku akhirnya bisa berpikir jernih kembali. Mencoba mengesampingkan pemikiran lain, aku menatap kembali ke lantai, pada pakaian kotorku yang berhamburan.
Saat aku bangun tadi, aku masih berpakaian lengkap. Pakaian yang sama dengan yang kukenakan untuk pernikahan. 'Dia tidak melakukan apa-apa padaku, kan?'
Aku lebih meyakininya setelah ingat kalau dia bahkan tidak menggantikan celanaku yang basah. Dia mungkin benar-benar bukan orang jahat yang sudah pasti akan memanfaatkan keadaan saat aku pingsan.
Aku menoleh ke cermin yang berada di balik pintu kamar mandi, menatap pantulan diriku yang ada di dalamnya. 'Atau karena aku kurang menarik?'
Setelah keluar dari kamar mandi, mataku langsung tertuju pada Steven yang sedang duduk di sofa. Terlihat jelas kalau dia sedang menungguku di sana. Tapi aku baru menghampirinya 20 menit kemudian setelah selesai mengeringkan rambutku yang cukup panjang.
“Maaf sudah salah menilaimu,” ucapku pelan setelah duduk di dekatnya. Sebenarnya tempat terjauh karena sofa kami tidaklah panjang. Hanya satu baris sofa yang muat untuk 3 orang. Steven duduk di ujung dan aku duduk di ujung yang berlawanan.
“Tidak masalah. Saya juga ingin meminta maaf karena terlalu ceroboh.”
Aku tersenyum kaku lalu melirik pada tumpukan uang di atas meja. Aku sebenarnya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah tumpukan uang itu sejak keluar dari kamar mandi tadi. Tumpukan uang yang hampir tidak memberikan ruang kosong sama sekali pada meja kaca berukuran 0,5x1,5 meter di depan kami.
“Jadi... Apa maksudnya ini?” tanyaku dengan kedua mata yang masih tertuju pada tumpukan uang.
“Ini… Sebelumnya saya ingin minta maaf karena tidak melakukan lamaran secara benar. Saya ingin melakukannya tapi ibu Anda mengatakan kalau itu tidak perlu. Beliau ingin agar kita langsung menikah saja.”
“Begitu ya…”
'Tsk… Dasar ibu tiri brengsek!'
Apa yang kuucapkan tidak sama dengan apa yang kupikirkan. Namun demikian, aku akhirnya mengangguk pelan saat ingat apa yang ibu tiriku katakan padanya juga sama dengan yang dikatakannya padaku. Tapi itu tidak menjawab pertanyaanku tadi.
“Jadi... Uang ini sebenarnya uang yang akan saya gunakan untuk melamar Anda, uang yang ingin saya berikan pada Anda,” lanjut Steven.
“Apa?!”
Steven ikut terkejut saat aku, secara tidak sengaja, memekik kaget mendengar apa yang baru dikatakannya.
'Wow! Untukku? Tunggu... Tadi itu ada kata sebenarnya, kan? Berarti tidak untukku lagi? Eh...?' Aku tiba-tiba menyadari maksudnya. “Apa kau ingin memberikan uang ini pada ibu tiriku?!” tanyaku merasa tidak terima.
“Tidak... Sejak awal saya memang ingin memberikan uang ini pada Anda.”
Aku menatap tumpukan uang itu lagi sambil menelan ludah. 'Syukurlah kalau bukan untuknya. Tapi aku ikut rugi juga,' sesalku dalam hati, mengira kalau dia pasti membatalkan niat untuk memberikan uang ini padaku karena tidak diberikan kesempatan melamarku dengan benar oleh ibu tiriku.
“Saya tahu kalau Anda sebenarnya tidak ingin menikah. Anda mungkin menikah hanya karena terpaksa.”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Saat saya meminta untuk bisa berbicara pada Anda, ibu Anda selalu memberikan alasan yang saya rasa tidak masuk akal.”
Aku mengernyit, menatapnya sembari tersenyum tipis. 'Intuisinya bagus juga. Pengawal pribadi memang beda.' Aku berpaling kembali pada tumpukan uang. “Tapi... Ada berapa banyak uang ini?” tanyaku tanpa merasa sungkan.
Rasa penasaranku mengalahkan akal sehatku yang berusaha menahan diri untuk tidak bertanya.
Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_
Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.
“Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe
“Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh
“Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang
“Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s
“Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is
“A-apa yang ingin kau lakukan?” Aku buru-buru menggeser tubuhku menjauhi Sonya yang sudah duduk di sampingku sambil mengangkat pisau ke dekat dadanya.“Nyonya Steve. Saya ingin bertanya pada Anda. Jika saya menolong Anda, apa Anda akan membantu saya?”Pertanyaan Sonya sempat membuatku tertegun sejenak sebelum akhirnya bisa menanggapi dengan gugup, “Y-ya? Apa maksudmu?” tanyaku balik, sembari memperhatikan sorot matanya yang tampak putus asa.“Jika Anda berjanji melepaskan saya dari bertanggung jawab atas penculikan kali ini, saya akan membantu Anda meloloskan diri dari sini.”Aku terdiam sejenak, merasa heran dengan kata-kata yang terdengar seperti sebuah permintaan itu.“Kita sepakat. Aku tidak akan menuntutmu jika kau melepas… Maksudku, membantuku pergi dari sini,” dengan cepat aku memberikan jawaban setelah mendengar suara tembak menembak yang semakin intens di bawah sana.“Bukan cuma menuntut. Tolong berikan jaminan pada saya agar keluarga Steve tidak menghancurkan hidup saya karen
◇Sofia Jørgensen◇Aku dan Cakra langsung pergi menuju lokasi penyekapan Nyonya Steve yang Jason berikan pada kami, sementara Tuan Steve dan timnya akan menyusul menggunakan helikopter yang sedang dikirimkan pasukan kami pada mereka.Walau aku memiliki tingkat kekhawatiran yang sama seperti saat Nyonya kami diculik untuk pertama kalinya dulu, namun kali ini aku tidak mengkhawatirkan nyawanya. Berbeda dengan saat pertama kali dulu, kali ini kami sudah mengetahui siapa dalang penculikannya.Jika Nyonya berada dalam tangan Duncan Wise, kemungkinan Nyonya untuk mati sangatlah kecil karena Duncan memiliki kelemahan pada wanita cantik dan kami merasa sangat bersyukur atas ‘kekurangannya’ itu. Tidak ada di antara kami yang tidak tahu jika Duncan sangat menyukai wanita, terutama wanita secantik Nyonya kami.‘Aku juga yakin kalau Nyonya tidak akan tinggal diam andai Duncan Wise ingin melecehkannya,’ pikirku, tahu kalau Nyonya kami sebenarnya cukup menakutkan saat sedang marah.“Jangan lewati jal
♡Keysa Andini♡“Lepaskan aku brengsek!”Aku mengumpat sambil terus berusaha melepaskan kedua tanganku dari genggaman Duncan yang sedang berusaha menjilat wajahku lagi setelah usaha pertamanya tadi hampir saja berhasil.Awalnya, aku memang ingin berusaha untuk tetap tenang —sambil memikirkan cara mengetahui lokasi keberadaanku saat ini untuk membantu Steven agar dapat lebih mudah menemukanku— dan bermaksud memengaruhi Duncan dengan menggunakan gaya Sofi berbicara pada setiap lawan bisnisnya. Tapi, setelah diperlakukan seperti ini, niat itu pun pada akhirnya langsung kulupakan.Wanita mana yang akan diam saja saat tahu dirinya hendak dilecehkan?Tentu saja aku langsung mengerahkan seluruh tenaga untuk menjauhkan Duncan dari atas tubuhku. Sialnya, tubuh Duncan yang gemuk dan tenaganya yang sangat kuat membuatku tak berdaya.Walau beberapa seranganku sempat berhasil mengenai wajahnya —saat ia membebaskan salah satu tanganku untuk merobek baju atasanku—, pada akhirnya dia menangkap tanganku