Mentari baru saja naik di ufuk timur ketika kabar itu datang seperti petir di langit cerah. Andini, salah satu istri Raka yang tengah mengandung, tidak pulang ke kediaman paviliun puri setelah berpamitan hendak pergi ke perbatasan desa untuk mengunjungi suaminya di kota madya utama. Bersama dua pengawal pribadi, ia meninggalkan rumah sejak pagi dua hari lalu. Kini, jejaknya hilang.Di dalam paviliun puri, Aini dan Aina gelisah, duduk berdampingan di serambi, mata mereka tak lepas dari jalan tanah yang biasa dilalui para pelancong dan pengantar barang.“Kau yakin ia hanya pergi menjenguk Kanda Raka?” tanya Aina, menggenggam erat tangan Aini.“Iya… Ia bilang begitu padaku. Hanya sehari saja, katanya. Tapi hingga kini, tak ada kabar…”Tak lama, Riko dan Roni, dua keponakan Raka, datang dengan langkah cepat dan wajah tegang.“Ada apa ini?” seru Aina.“Bibi Andini tak pulang,” jawab Riko. “Kami tak ingin membuat kekacauan, tapi... ini sudah hari kedua.”Roni segera menarik Riko ke samping.
Gua Tekukur, tempat sunyi yang tersembunyi di balik lembah hutan Kelewer, kini menjadi markas gelap penuh muslihat. Di dalam perut gua yang lembap itu, Andini terikat dengan kedua tangannya di atas kepala. Nafasnya berat, wajahnya pucat namun sorot matanya tetap menyala. Di sudut gua, dua pengawal yang menyertainya tergeletak babak belur, tubuh mereka luka-luka akibat pukulan dari pasukan Baurekso."Kau kira Raka akan datang menyelamatkanmu?" ejek Baron, menyeringai sembari menatap Andini.Bagong, berdiri tak jauh, mencibir, "Ia akan datang, tapi membawa 100 tael emas. Kalau tidak, jangan harap bisa melihat istrimu lagi."Baurekso, pemimpin kelompok itu, berdiri di tengah, tubuh tegapnya tampak bagaikan bayangan maut di tengah cahaya obor. Ia bicara pelan tapi jelas, "Pastikan pesan kita sampai ke Kali Bening. Tapi jangan terlalu cepat... biar mereka panik lebih dulu."Sementara itu di Desa Kali Bening, Zeno duduk termenung di pendopo rumah puri. Wajahnya keruh. Ia menyulut sebatang d
Suara jeritan lirih terdengar dari dalam gubuk tua yang reot di tepi hutan Gunung Tekukur. Angin sore menerobos celah-celah dinding bambu yang rapuh, menggoyangkan lampu minyak yang tergantung di salah satu tiang penyangga.“Andini...! Andini!” seru Zeno panik, menendang pintu gubuk yang tak terkunci.“Aku di dalam, Paman... di dalam... perutku sakit...” suara Andini terdengar lemah, menahan nyeri akibat ikatan yang terlalu kencang di perut dan pergelangan tangannya.Zeno segera berlari masuk, diikuti Riko dan sebelas penjaga Desa Kali Bening. Di tengah gubuk, Andini tergeletak dengan tubuh terikat pada tiang kayu. Wajahnya pucat, tapi matanya berbinar saat melihat Zeno.“Syukurlah kau selamat,” ucap Zeno sambil menghunus belati kecil dari pinggangnya dan memotong tali pengikat yang kasar. “Apa mereka melukaimu?”“Hanya mengikat terlalu kuat... tapi aku tak apa-apa, Paman. Kalian datang tepat waktu. Jika tidak...” ia melirik ke meja reyot di sudut ruangan, “...surat itu mungkin sudah
Senja jatuh perlahan di pelataran Akademi Agung Surya Manggala. Angin membawa debu halus dan aroma kayu cendana dari hutan utara. Di aula batu yang luas, dua pemuda berdiri saling berhadapan. Aryo dengan jubah birunya yang menjuntai, Raka dengan pakaian cokelat sederhana tapi bersih.“Jadi kau benar-benar berani menantangku dalam adu syair, Raka?” tanya Aryo, nada suaranya campuran antara heran dan meremehkan.Raka mengangguk, matanya tenang. “Ini bukan tentang menantang, Aryo. Kita hanya diuji siapa yang bisa merangkai kata dengan jiwa, bukan sekadar hiasan indah.”Suara gendang ditabuh perlahan. Para siswa kelas S, bahkan beberapa guru, berkumpul menyaksikan duel syair ini. Di tengah lingkaran batu, Raka mulai lebih dulu:“Jika kelana tak pulang, jangan salahkan malam, Langkahnya bukan hilang, hanya mencari tenang. Bila negeri ingin terang, jangan paksa rembulan, Karena cahaya sejati lahir dari kesadaran.”Suara bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa kepala menoleh ke guru utama yang
Kabut pagi masih tipis menyelimuti halaman utama Akademi Surya Manggala. Hari itu, suasana terasa berbeda. Hari ujian kerajaan — momen penting di mana beberapa siswa terbaik dari berbagai kelas diundang untuk mengikuti seleksi lanjutan yang bisa menentukan masa depan mereka. Termasuk satu sesi rahasia: pertukaran sandera antar wilayah kekuasaan untuk misi diplomatik.Namun semua tak berjalan seperti rencana.Di lorong timur akademi, suara langkah kaki panik terdengar.“Cepat! Panggil tabib! Dia pingsan!” seru seorang penjaga.Seorang pelajar dari kelas B — bernama Dawa — tergeletak, darah merembes dari mulutnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ujian pun dihentikan seketika.Di sisi lain halaman, suara benturan terdengar keras. Di bawah tangga batu utama, Raka tergeletak sambil meringis menahan sakit. Tangannya menggantung tidak wajar.“Rakaaa!” Temon berteriak, berlari dari arah perpustakaan. “Apa yang terjadi? Siapa yang dorong kau?”Raka menahan rasa nyeri sambil mencoba bangk
Langit Surya Manggala mulai menguning. Angin sore membawa bau tanah dan daun kering dari taman belakang Akademi Kerajaan. Suasana yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi arena sorak-sorai. Di tengah halaman utama, Raka berdiri dengan napas tenang, dikelilingi oleh murid-murid dari kelas A yang penuh amarah.Teknik Rahasia“Raka! Kau terlalu sombong! Kelas S seharusnya tahu diri!” bentak Darwa, pemimpin kelas A, sembari mengayunkan serangan cepat ke arah dada Raka.Raka menghindar tipis, langkahnya ringan seperti angin musim semi. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangkat tangan kanan, menekuk jari-jari dengan formasi aneh yang belum pernah dilihat siapa pun.“Ap—apa itu?” bisik salah satu murid di kerumunan.Dalam sekejap, Darwa terpental ke belakang. Suara desis halus terdengar, seperti angin memecah udara. Raka memutar badannya, tiga lawan lainnya terjatuh sebelum mereka sempat menyentuh jubahnya.Teknik itu... bukan berasal dari Surya Manggala.“Teknik apa itu, Raka?” tanya Ni
Hari itu, halaman utama Akademi Surya Manggala ramai luar biasa. Langit bersih, tapi ketegangan seperti menggantung di udara. Para murid berdesakan, tak ingin melewatkan ujian bela diri tingkat tinggi—yang akan mempertemukan Raka dengan Master Resi Kumara dalam pertandingan resmi di depan seluruh guru besar.Resi Kumara berdiri gagah, tongkatnya menyentuh tanah, dan suaranya bergema.“Raka dari kelas S. Ujian ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kehormatan seluruh angkatan. Jangan kira aku akan menahan diri.”Raka mengangguk hormat. “Aku tidak ingin menang dengan belas kasihan.”Lonceng ujian berdentang. Dalam sekejap, Resi Kumara menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tapi Raka sudah bersiap. Ia tak hanya menangkis—ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum lawan, dan selalu menghindar Ketika resi kumara menyerang dengan keahlian resi yang di atas rata-rata penduduk Kerajaan surya manggala, namun tidak bagi raka.Raka terus mengelak hingga membuat resi jengkel dan mengeluarkan jurus
Tubuh Master Resi Kumara terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan hangat dan balur akar-akar langka dari Pegunungan Sembilak. Di sisi tempat tidurnya, berdiri seorang lelaki tua berjubah cokelat tanah dengan sabuk hijau zamrud—Tabib Nambi, sang penyembuh istana.“Sepempat Kekuatan Saja Sudah Cukup”Patih Nambi berdiri di sisi ranjang, wajahnya tenang namun suaranya berat saat berbicara kepada salah satu guru besar.“Jika benar seperti yang kalian katakan... bahwa Raka hanya menggunakan sepempat kekuatannya, maka bersyukurlah Master Kumara masih bisa bernapas.”“Separuh saja sudah seperti ini...” gumam Guru Lomas, menunduk.“Kalau separuh tenaganya dilepas,” lanjut Tabib Nambi, “aku tak yakin tubuh manusia bisa bertahan. Ia bisa lumpuh... bahkan mati, dalam sekejap.”Semua yang mendengar berita itu terdiam. Terbayang di kepala mereka: Raka yang santun, diam, ternyata menyimpan kekuatan seolah bukan milik manusia biasa.Keesokan harinya, Raka mendapat pesan khusus. Ia diminta datang ke
Kabut tipis menyelimuti halaman dalam Istana Surya Manggala ketika Damar melangkah masuk ke balairung kerajaan. Di sisi kiri singgasana berdiri Mahapatih Maheswara, mengenakan jubah hitam panjang dengan bordir perak. Raja Mahesa Warman duduk tegak di singgasananya, mengenakan mantel wol ringan berwarna kelabu pucat.“Masuklah, Damar,” ujar Raja dengan nada hangat namun penuh wibawa.Damar memberi sembah, lalu melangkah mantap. “Hamba datang membawa laporan dari wilayah timur, Paduka.”Raja mengangguk. “Kami dengar angin musim salju kali ini membawa kerugian besar. Tapi rakyat tak bergejolak. Jelaskan.”Damar membuka gulungan kecil dari kantung pinggangnya. “Benar, Paduka. Beberapa desa kehilangan hasil panen karena badai awal musim, namun… ada dua desa yang tidak hanya bertahan, tapi justru menjadi tumpuan kekuatan Desa Kali Bening dan Desa Anggur.”Raja Mahesa Warman menaikkan alisnya. “Kali Bening?”Mahapatih Maheswara melirik tajam ke arah Damar. “Lanjutkan.”“Desa Kali Bening,” uj
Langit kelabu telah menggantung selama berminggu-minggu di atas wilayah Kerajaan Surya Manggala. Angin menggila, hujan salju turun nyaris tak mengenal jeda. Pepohonan tumbang, sungai membeku, atap-atap runtuh, dan jalan-jalan menjadi ladang salju tebal yang sulit dilalui. Di balai kerajaan, para pejabat mencatat laporan kerusakan dari seluruh penjuru negeri.Raja Mahesa Warman berdiri tegak di depan peta besar yang terbentang di ruang pertemuan utama. Sorot matanya tajam namun wajahnya menyimpan kelelahan.“Berapa jumlah kerugian yang harus kita tanggung, Patih Darsa?” tanyanya pelan namun tegas.Patih Darsa membuka gulungan laporan dari para bupati dan panglima wilayah.“Hamba telah menghitung, Paduka. Kerajaan setidaknya harus mengeluarkan seratus ribu tael emas untuk memperbaiki jembatan, bendungan, gudang logistik, dan rumah warga,” ucapnya hati-hati.Mahesa Warman mengangguk perlahan, lalu menghela napas berat.“Kita tak bisa menghindar dari murka alam, tapi rakyat harus tetap ki
Musim dingin kali ini datang lebih panjang dan menggigit. Langit tak henti-hentinya menurunkan salju, mengubur ladang-ladang, menutup jalan-jalan, dan menghalangi sinar matahari dari menyentuh tanah. Angin dari utara menderu seperti suara serigala lapar, menghantam atap rumah dan menerbangkan debu salju ke segala arah.Di ujung desa Kali Bening, Raka berdiri di menara penjaga benteng, memandang luas ke arah lembah yang perlahan menghilang dalam rintikan salju.“Ini badai paling buruk yang pernah kita alami,” gumamnya.Di sampingnya, Tomi, kepala penjaga desa, mengangguk sambil menarik jubah bulunya lebih erat.“Pohon-pohon besar di sisi barat tumbang semalam, Tuanku. Tiga atap rumah hampir terangkat kalau gentingnya tak seberat itu,” lapor Tomi.Raka menarik napas panjang. Ia telah mempersiapkan musim dingin sejak dua bulan lalu. Gudang makanan penuh. Kayu bakar ditumpuk di setiap sudut desa. Rumah-rumah warga telah dibangun ulang setahun terakhir menggunakan bata merah dan genting ta
Angin musim dingin menyapu lereng Kali Bening dengan suara lirih, seolah membawa kabar yang tak ingin didengar siapa pun. Hari itu, Raka baru saja selesai memeriksa kemajuan pembangunan kapal di pelabuhan, ketika seorang pemuda berlari mendekat sambil terengah-engah.“Tuan Raka... Riko... Riko jatuh sakit parah,” katanya terbata, wajahnya pucat karena lelah dan cemas.Langkah Raka terhenti. Ia menoleh cepat. “Riko?”Pemuda itu mengangguk cepat. “Ia tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Katanya sudah lama ia sembunyikan, tapi sekarang tubuhnya seperti tak mau bergerak.”Tanpa banyak tanya lagi, Raka langsung bergegas menunggangi kudanya dan memacu dengan cepat. Langkahnya cepat menyusuri jalan batu yang hangat di bawah kaki kuda putih raka, menuruni bukit kecil menuju rumah kayu besar nan megah di pinggir desa, tak jauh dari aliran sungai kecil yang hampir membeku.Begitu sampai, tiga wanita keluar dari rumah itu. Wajah mereka terlihat lelah dan khawatir. Salah satunya, istri tertua Ri
Hawa beku menusuk bahkan hingga ke tulang. Tapi di dermaga sungai Kali Bening, suara palu tak berhenti. Asap tipis mengepul dari dapur kayu tempat para tukang menghangatkan tangan dan mengeringkan perkakas. Di tengah semuanya, kerangka besar kapal dagang berdiri megah—bagaikan tulang naga yang belum ditumbuhi kulit.Para tukang bekerja dengan mantel wol ringan yang dijahit ibu-ibu Kali Bening, hangat dan tahan lembab. Kades Raka berjalan di antara mereka, menepuk bahu satu per satu.“Kerja kalian luar biasa. Tanpa semangat seperti ini, kapal ini hanya akan jadi mimpi,” katanya sambil tersenyum.“Kalau Tuan mengutus seseorang untuk terus bawa kami teh hangat dan pisang goreng seperti tadi pagi, kami bisa selesaikan kapal ini sebelum salju merata,” jawab Kerta si tukang utama, disambut tawa kecil para pekerja.Tapi senyum Raka cepat memudar saat ia masuk ke ruang kecil yang dijadikan tempat menyimpan dokumen dan catatan perjalanan para pedagang. Di atas meja kayu, puluhan gulungan bambu
Raka berdiri di atas batu besar dekat pasar baru yang menghadap ke dermaga kecil. Wajahnya tenang, tapi tatapannya menyimpan tekad.“Waktu kita sudah dekat,” ucap Raka lantang kepada para warga yang berkumpul. “Hasil bumi kita melimpah, rempah-rempah kita harum, rotan dan kain dari para pengrajin sudah siap. Tapi kita tidak bisa terus menunggu pedagang dari luar datang ke desa ini.”Seorang lelaki tua, Darsa, mengangkat tangan, “Kamu ingin kami berdagang ke luar desa, Raka?”Raka mengangguk. “Ya. Kita yang membawa barang kita sendiri ke luar. Jika kitab awa Ke kota madya, ke pasar Kemusuk seperti yang kalian ketahui pajak tidak masuk akal di berikan kepada para pedagang kita. Dan biar mereka tahu bahwa Kali Bening tidak cuma tahu menanam dan menenun, tapi juga tahu cara berniaga.”Sorak kecil muncul, tapi wajah-wajah ragu masih terlihat.Seorang pemuda, Tawi, bersuara, “Kalau kita lewat Kemusuk dan kota madya, mereka pasti minta pajak. Kadang semaunya. Kadang bayar, kadang cuma dimint
Di tengah musim dingin yang membuat sebagian wilayah Kerajaan Surya Manggala lumpuh, satu peristiwa bersejarah terjadi di ujung Selatan Pelabuhan Teluk Penyu resmi berdiri.Di bibir teluk yang kini membeku sebagian, berdirilah bangunan pelabuhan kokoh dengan dermaga dari kayu besi dan batu kapur. Meski angin laut membawa dingin yang menggigit, semangat para pekerja dan warga desa menghangatkan suasana.“Lihatlah, Tuan! Bahkan es tak sanggup menghentikan kerja tangan rakyatmu,” ujar Janta sambil tertawa lepas.Raka berdiri tegak di depan Gudang Pelabuhan, mengenakan mantel tebal berwarna coklat tua. Ia mengangguk pelan, matanya menyapu seluruh sudut pelabuhan yang dibangun hanya dalam beberapa bulan yang lalu kini sudah dapat berdiri kokoh.“Tak ada yang bisa menghentikan niat baik, Janta. Apalagi jika dikerjakan bersama,” jawabnya.Raka melangkah ke pemanggangan rusa dan mengeluarkan serbuk bumbu khas rumah makan sekar kedaton kemudian mengaduknya di Loyang tanah, mencampurnya dengan
Pagi itu salju tebal menutupi atap-atap genting merah desa kali bening, angin dari utara membawa kabar buruk ke Kali Bening. Sebuah surat resmi dari pejabat kecamatan Kemusuk dan kota madya utama tiba di balai desa.Raka membuka gulungan surat itu dengan tenang, dikelilingi para pengawal dan beberapa pemuka warga. Matanya menelusuri tulisan yang tercetak rapi, tapi isinya menyesakkan dada.“Mulai bulan ini, setiap usaha yang berjalan di wilayah Kali Bening dikenai sanksi administratif karena dianggap tidak sesuai jalur hukum wilayah kota madya, dan wajib membayar pajak tambahan sebesar tiga kali lipat dari ketentuan biasa.”Pandu mengumpat pelan. “Ini... ini tidak masuk akal, Tuan! Kita ini cuma desa!”Raka tetap tenang. Ia menggulung kembali surat itu dan meletakkannya di meja.“Kalau mereka ingin menjatuhkan kita dengan beban, maka kita tak perlu melawan beban itu… kita tinggal membuangnya.”Warga yang hadir saling berpandangan. Mereka berbicara dan mengeluarkan asap dari mulut mere
Musim dingin menyelimuti tanah Surya Manggala. Salju tipis turun perlahan, menyelimuti atap rumah dan ranting-ranting pohon. Desa Kali Bening yang dahulu sunyi, kini menjadi bahan pembicaraan para pejabat di kota madya dan kecamatan Kemusuk.Di dalam sebuah pendopo bertiang kayu jati, Pejabat Kota Madya Utama, Tumenggung Wira Atmaka, menatap peta wilayah dengan wajah masam.“Kau tahu, sejak anak muda dari Kali Bening itu muncul... pendapatan dari kawasan selatan menyusut drastis,” gumamnya sambil menunjuk daerah yang dimaksud.Pejabat Kecamatan Kemusuk, Jagabaya Lodra, menyeringai sinis. “Bandit-bandit kita tak bisa lagi leluasa meminta ‘upeti jaga jalan’. Semua jalan dibersihkan oleh pasukan jaga desa.”Wira Atmaka mengangguk pelan. “Laporan terakhir menyebutkan, Kali Bening bahkan memiliki penjaga desa yang terlatih. Lengkap dengan aturan ronda dan pengawasan hasil bumi.”Lodra mencibir. “Apa yang bisa dilakukan pemuda kampung itu? Cuma karena ia bisa bela diri dan punya sedikit pas