Share

Bab 170

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-05-12 09:02:10

Musim dingin tahun ini memang lain. Salju turun lebih tebal, dan hawa membeku lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya. Namun anehnya, Desa Kali Bening seperti tidak tersentuh rasa gentar.

Segalanya berjalan seolah telah dirancang jauh-jauh hari. Dari penangkaran rusa hingga pabrik arang, semua berfungsi dengan nyaris tanpa hambatan. Jalan-jalan desa memang lengang, hanya sesekali terlihat orang-orang terpilih—mereka yang dipilih langsung oleh Kades Raka—menjalankan tugas harian.

Orang-orang itu tak hanya kuat secara tubuh, tapi juga tahan hati dan pikiran menghadapi musim yang menyusup ke dalam tulang.

Sore itu, suara deru dari tungku besar terdengar dari arah pabrik arang yang berdiri di ujung timur desa. Asapnya naik perlahan, berwarna putih keabu-abuan, menyatu dengan kabut. Di dalam bangunan beratap rendah itu, suara pukulan kayu, bara, dan percikan api saling menyahut.

Amar, kepala pabrik arang, sedang berdiri mengawasi setumpuk kayu malam yang baru datang dari Desa Anggur. Ia men
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 172

    Istana Surya Manggala, suasana tengah memanas. Di ruang utama tempat para pejabat berkumpul, Mahapatih Maheswara berdiri tegak di hadapan Raja Mahesa Warman. Sebuah gulungan surat tergeletak di atas meja berlapis emas—surat dari Raka, Kepala Desa Kali Bening.“Jadi... ia benar-benar menolak,” gumam Raja sambil menatap langit-langit ruangan.Mahapatih mengangguk perlahan. “Seperti yang hamba duga. Jawaban Raka sangat rapi, terukur, dan sulit dibantah.”Raja menatap Mahapatih, agak kecewa. “Padahal aku harap dia bisa menjadi bagian dari inti kekuatan kita.”Mahapatih mengangkat alisnya, lalu berkata tenang, “Paduka, bukankah paduka sendiri yang menyetujui hukum bahwa para lulusan terbaik bebas memilih jalannya sendiri setelah menyelesaikan ujian kerajaan? Raka hanya menjalankan hak yang paduka berikan.”“Benar,” Raja menghela napas. “Namun tetap saja, sedikit kecewa.”Mahapatih tersenyum bijak. “Kadang, orang seperti Raka dibutuhkan untuk menjaga agar negeri ini tetap waras. Dia lebih b

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 171

    Embun pagi masih menggantung di pucuk-pucuk daun pinus, menyatu dengan lapisan es tipis yang menyelimuti bahu jalan-jalan batu Desa Kali Bening. Balai desa tampak tenang, namun pagi itu berbeda dari biasanya. Di bawah langit yang kelabu, sebuah kereta ringan berhias lambang Kerajaan Surya Manggala memasuki pelataran utama desa.Tiga penunggang kuda berlapis mantel tebal turun terlebih dahulu, diikuti oleh seorang utusan berpakaian rapi, membawa gulungan surat bersegel emas. Di sisi dalam balai desa, Kades Raka sudah menunggu. Ia duduk tenang, didampingi Sakri dan dua tetua desa.Utusan itu melangkah mantap, membungkuk hormat, lalu membuka suara.“Salam dari Istana Surya Manggala. Saya, Kertanegara, ditugaskan oleh Mahapatih Maheswara membawa titah dari Raja Mahesa Warman.”Raka mengangguk ringan. “Silakan duduk, Utusan. Desa kami sederhana, tapi kami tahu tata cara menyambut tamu agung.”Kertanegara duduk, lalu membuka gulungan surat dan membacanya perlahan namun tegas.“Atas nama Raj

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 170

    Musim dingin tahun ini memang lain. Salju turun lebih tebal, dan hawa membeku lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya. Namun anehnya, Desa Kali Bening seperti tidak tersentuh rasa gentar.Segalanya berjalan seolah telah dirancang jauh-jauh hari. Dari penangkaran rusa hingga pabrik arang, semua berfungsi dengan nyaris tanpa hambatan. Jalan-jalan desa memang lengang, hanya sesekali terlihat orang-orang terpilih—mereka yang dipilih langsung oleh Kades Raka—menjalankan tugas harian.Orang-orang itu tak hanya kuat secara tubuh, tapi juga tahan hati dan pikiran menghadapi musim yang menyusup ke dalam tulang.Sore itu, suara deru dari tungku besar terdengar dari arah pabrik arang yang berdiri di ujung timur desa. Asapnya naik perlahan, berwarna putih keabu-abuan, menyatu dengan kabut. Di dalam bangunan beratap rendah itu, suara pukulan kayu, bara, dan percikan api saling menyahut.Amar, kepala pabrik arang, sedang berdiri mengawasi setumpuk kayu malam yang baru datang dari Desa Anggur. Ia men

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 169

    Musim dingin belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Kabut tipis menyelimuti lembah Kali Bening setiap pagi, menyusup perlahan ke sela-sela rumah penduduk. Pepohonan membeku, ladang-ladang tertutup es, dan suara burung pun seolah enggan berkicau.Di antara semua itu, Kades Raka tak berdiam diri. Ia memperhatikan dengan cermat kebiasaan rusa-rusa liar yang mulai berkeliaran dekat ladang-ladang penduduk, mencari sisa-sisa makanan di balik salju tipis. Sesekali, kawanan rusa bahkan masuk ke pemukiman, melintasi jalan setapak, tanpa takut manusia.Raka berdiri di depan rumah panggungnya yang menghadap ke arah barat, ditemani Sakri, salah satu orang kepercayaannya.“Apa kau lihat itu, Sakri?” tanya Raka sambil menunjuk seekor rusa jantan muda yang melompat ringan di sela pagar kebun tua. “Mereka datang sendiri ke desa.”Sakri mengangguk, wajahnya sedikit heran. “Iya, Kades. Tak biasanya mereka sedekat ini. Mungkin karena hutan di utara membeku. Mereka lapar.”Raka menatap rusa itu dengan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 168

    Salju masih menutupi ladang-ladang, dan embun beku menggigit tiap helai daun di pinggir hutan. Namun di balik itu, kesempatan lain justru mulai terlihat.Sejak beberapa pekan terakhir, kawanan rusa mulai bermunculan di dekat pemukiman. Mereka berkeliaran, lapar, mencari dedaunan yang sulit mereka temukan di hutan beku. Beberapa warga bahkan melihat rusa-rusa muda bersembunyi di balik lumbung padi yang kosong.Kabar itu sampai ke telinga Raka saat ia baru pulang dari memeriksa gudang arang.“Rusa, ya?” gumamnya sambil memandang ke arah pegunungan. “Kalau mereka sudah masuk desa, artinya mereka kehabisan makan. Ini bisa jadi peluang…”Hari itu juga, ia memanggil beberapa pemuda yang biasa berjaga di pos timur desa.“Aku ingin kalian siapkan kandang dari kayu besi di dekat ladang lama. Tak perlu besar dulu, cukup untuk sepuluh ekor. Kita mulai dengan penangkaran rusa.”“Menangkar, Kades?” tanya Arman, salah satu pemuda desa, agak heran. “Bukan diburu saja sekalian?”Raka tersenyum tipis.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 167

    Di Balai Desa Kali Bening yang berdinding bata merah dan beratap genting merah dengan pilar-pilar tinggi, suara semangat terdengar dari balik meja panjang yang dipenuhi tumpukan kertas daun lontar dan kantong-kantong perak.“Seribu perak... per kilo!” seru Mirna, menoleh ke penjaga gudang dengan mata berbinar. “Harga ini bahkan mengalahkan garam langka dari pesisir selatan!”Ia menulis cepat, jarinya lincah mencatat jumlah perak yang masuk sejak fajar tadi. Satu kereta dari Desa Anggur, dua kereta dari desa sebelah gunung, dan kini... satu utusan dari pejabat kota madya.“Bilang saja ke mereka,” gumam Mirna sembari menggulung catatannya, “arang kita bukan untuk dijual bebas dulu. Rakyat di desa ini butuh lebih dari siapapun.”Di luar, Raka baru kembali dari perjalanan keliling ke rumah-rumah warga. Dengan mantel tebal dan syal wol melilit leher, ia menepuk bahu dua pemuda yang baru saja menurunkan karung arang.“Terus bantu warga. Jika setiap tungku menyala, tidak ada yang jatuh sakit

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 166

    Salju masih turun tipis di pagi hari, lalu membeku menjelang siang. Angin dari utara meniup tajam, membuat batang-batang bambu di pinggir desa mengerang lirih. Namun rumah-rumah di Desa Kali Bening tetap berdiri kokoh dan hangat.Kini, hampir semua rumah telah berdinding bata merah dan beratapkan genting dari tanah liat khas desa itu. Asap putih tipis mengepul dari tungku-tungku yang menyala sejak subuh. Di dalam, para nelayan dan petani yang tak bisa bekerja duduk bersila, bermain catur batu, minum air jahe, atau mendengarkan dongeng tua dari para sesepuh.Suatu pagi, Raka berjalan di antara rumah-rumah itu, mantel bulunya menari tertiup angin. Ia mengetuk satu pintu, lalu pintu lain. Mengajak bicara para pemuda desa yang hanya duduk menunggu musim berganti.Di halaman rumah tua milik Ki Wargo, sekelompok pemuda tengah menghangatkan diri.“Kalian kuat-kuat, tapi sayang duduk saja sepanjang hari,” kata Raka sambil tersenyum.“Ayolah, hutan di bawah Gunung Puri butuh tangan-tangan kali

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 165

    Musim dingin belum mereda, tetapi Desa Kali Bening telah berubah wajah. Di rumah-rumah warga, tungku menyala tenang dengan bara yang bertahan sepanjang malam. Tak ada lagi kabar bayi menggigil atau orang tua sakit karena udara beku. Semua karena satu benda sederhana—arang buatan Raka.Raka duduk di balai bambu bersama Kemi dan Uban, mengamati sebatang arang yang baru keluar dari tungku pembakaran.“Kau tahu, Tuan Raka,” kata Kemi sambil mengelus permukaan arang, “biasanya kita harus bolak-balik menambah kayu tiap dua jam. Tapi ini? Sejak magrib sampai subuh tak padam.”Uban menimpali, “Arang ini menyala seperti tidak ada batas waktu. Tak besar apinya, tapi hangatnya dalam.”Raka hanya mengangguk kecil. “Itu sebabnya kita harus menjaga produksinya, jangan asal bakar. Kualitas harus tetap sama, walau permintaan makin banyak.”Desa-desa tetangga mulai berdatangan. Dari Desa Anggur, Desa Kelewer, bahkan utusan dari kaki Kota Madya Utama pun mulai bermunculan. Mereka membawa keranjang rota

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 164

    Angin musim dingin berhembus tajam dari arah pegunungan Rinjaya. Selimut putih salju menutupi hamparan ladang Desa Kali Bening, membuat orang-orang enggan keluar rumah kecuali memang perlu. Di balik jendela rumah-rumah mewah, asap tipis mengepul dari tungku kayu yang nyalanya semakin sulit dijaga di musim sedingin ini.Raka berdiri di pinggir dermaga Teluk Penyu yang baru selesai dibangun. Matanya memandangi tumpukan kayu sisa pembangunan—batang kayu malam dan balok kayu besi yang tak terpakai. Ia menarik napas panjang dan menoleh pada Galan, salah satu pengawas pelabuhan.“Lihat kayu-kayu itu, Galan,” ujar Raka sambil menunjuk. “Sayang sekali kalau dibiarkan lapuk. Padahal di desa orang-orang menggigil di dekat tungku.”Galan mengangguk, menggosok tangannya yang dingin. “Kebanyakan kayu tak layak buat bangunan, tapi masih keras dan padat, apalagi kayu malam. Apa Tuan punya rencana?”Raka menatapnya sambil tersenyum samar. “Kita buat arang. Angkut dengan kereta kuda. Dan kita buat ara

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status