Share

Bab 18

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-17 12:02:22

Raka merasa bersalah kepada ketiga istrinya untung saja ketiga istrinya tidak di nodai oleh mertuanya hanya mengalami cambukan saja.

“Mari kita duduk dulu di pojok sambil menikmati makan siang dan melihat hamparan sawah di Seberang Sungai ini.” Ujar Raka membujuk ketiga istrinya.

“Iya kanda” mereka kompak

“Tuan dan Nona mau makan seperti biasa atau menu baru juga di hidangkan.” Ujar pelayan

“Boleh dan kalian juga ikut makan di lesehan sebelah ajak semuanya makan dan buat bergantian hingga kalian tidak kualahan meladeni tamu.”

Dio kemarilah kamu pergi kedepan panggil paman Nara, Tomi dan Zio untuk ikut makan juga Bersama kita di sini. Baik tuan ucap anak kecil berumur 9 tahun itu ya dia adalah Dio seorang yatim yang ayahnya tewas dalam konflik Kerajaan.

Dio segera bergegas kedepan melalui pintu samping dan menelusuri pinggiran Sungai. Sesampainya di depan dia berujar. Paman Nara, Paman Tomi dan Paman Zio di panggil Tuan Raka untuk ikut makan siang Bersama.

Ohhhh bocah pintar baik nanti
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 186

    Sinar mentari pagi menyusup lembut ke balik jendela-jendela Sekar Kedaton, penginapan termewah di Kali Bening. Bangunannya menjulang dua tingkat, beratap genteng merah dengan ukiran kayu jati di setiap sisinya. Aroma kayu manis dan teh cengkeh menguar dari ruang makan.Raja Mahesa Warman berdiri di beranda atas, memandang ke arah timur di mana pabrik kayu dan pelabuhan tengah sNyik sejak fajar.“Dulu tempat ini hanya kubur kabut dan ladang kelaparan,” gumamnya pelan.Mahapatih Maheswara menyahut dari belakang, “Sekarang menjadi mercusuar bagi desa-desa lain.”Hari itu, Raja Mahesa dan Mahapatih Maheswara memutuskan berjalan kaki keliling desa. Mereka tidak dikawal ketat, hanya didampingi Raka dan dua pengawal dalam Kiaian sipil. Tujuannya sederhana: ingin melihat dengan mata kepala sendiri, bukan laporan.Mereka melewati pasar utama. Pedagang rempah, pengrajin logam, penjual kain, hingga anak-anak yang menjajakan buah-buahan hasil kebun mereka.“Paduka, silakan cicipi apel kali bening

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 185

    Musim dingin baru saja berlalu. Salju yang menutupi ladang dan jalanan telah mencair, menyisakan kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di sekitar Kali Bening. Tapi kabut bukan satu-satunya yang menyelimuti hati Raka pagi itu—ia gelisah.Seorang pengintai datang tergesa dari barat.“Tuanku Raka,” ia menunduk dalam, “pasukan kerajaan terlihat melintasi jalan utama. Jumlahnya tak sedikit.”Raka berdiri di beranda balai desa, menatap ke kejauhan.“Apakah mereka bawa panji Surya Manggala?”“Ya, lengkap. Dan dari jarak segitu, kuda perang yang dipakai itu... milik pasukan inti.”Diam sejenak. Lalu Raka berkata mantap, “Panggil semua kepala penjaga. Segera.”Di ruang utama, semua penjaga desa berkumpul. Kepala-kepala gerbang, kepala pos penjagaan, dan pasukan ronda malam duduk bersila, mendengarkan Raka yang berdiri di depan mereka.“Kita sambut dengan baik kedatangan mereka,” ujar Raka. “Tapi kita tidak boleh lengah.”“Apakah kita bersiap perang?” tanya Kepala Pos Selatan.“Tidak,” jawab

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 184

    Burung-burung melintas rendah di atas atap-atap rumah warga yang kini kian padat. Pasar ramai sejak fajar. Kapal-kapal kecil mulai menyentuh dermaga sungai membawa hasil kebun dari dusun barat dan hasil tangkapan ikan dari dusun tembok wetan. Desa itu tumbuh seperti tak kenal henti.Namun dari arah barat daya, terdengar kabar yang membuat para pembesar dusun mengernyit.“Desa Petir, Kincir, dan Melati mengirim utusan. Banyak warga mereka ingin bergabung ke wilayah kita,” ujar Pangripta Aran, tangan kanan Raka di urusan wilayah.“Apakah sudah pasti keinginan rakyat atau hanya suara segelintir?” tanya Raka sambil menatap peta besar di balai desa.“Sebagian besar berasal dari kaum muda dan pedagang. Mereka melihat perkembangan Kali Bening dan ingin turut serta.”Raka mengangguk pelan. “Tapi... tentu ini akan menimbulkan riak.”Dan benar saja, tidak lama setelah itu, surat penolakan datang dari tiga kepala desa: Anom dari Desa Petir, Gio dari Desa Kincir, dan Toro dari Desa Melati. Dalam

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 183

    Matahari masih miring ke timur saat Raka dan rombongannya tiba di batas hutan yang lebat. Kabut tipis menggantung di antara batang-batang kayu tua, tapi udara pagi membawa aroma rumput liar dan tanah lembab yang segar. Di depannya, terbentang sabana Boko—hamparan luas berumput tinggi yang tamKi seperti permadani hijau keemasan, bergelombang oleh hembusan angin pagi.“Tanah ini… belum terjamah siapa pun sejak zaman kakek buyut kita,” gumam Raka, menepuk leher kudanya.“Hanya suara burung dan jejak rusa yang menghuni sini,” ujar Karba, kepala regu pengawal yang menyertai Raka.“Lihatlah betapa luas dan datarnya sabana ini. Dataran yang baik, angin yang bersih, dan air yang mengalir dari kaki bukit. Tempat yang sempurna,” Raka memandang jauh sambil memejam sejenak, seolah melihat masa depan di balik gelombang rumput.Tak lama, sebuah keputusan dibuat. Raka memerintahkan pengukuran lahan dan pembangunan Kampung Boko, perkampungan baru untuk generasi muda. Ia ingin tempat ini dihuni oleh o

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 182

    Musim salju telah benar-benar pergi. Tanah utara Kali Bening, yang semula keras membeku, kini mulai lunak. Es yang mencair membentuk aliran-aliran kecil di antara kebun dan ladang. Matahari muncul lebih lama, dan angin membawa aroma tanah basah yang menyimpan harapan.Di lereng utara, Raka berdiri di atas batu besar. Di bawahnya, para petani dan kepala dusun berkumpul, menanti penjelasan. Di samping Raka, berdiri seorang lelaki tua kurus berkumis putih, membawa gulungan kain berisi gambar-gambar dan angka.“Kalian lihat tanah itu?” ujar Raka sambil menunjuk ke hamparan tanah berundak.“Lihat, lembut dan dalam. Tapi bila dibiarkan, air akan menyeret humusnya ke bawah. Kita butuh pola tanam baru. Ladang-ladang ini akan dibentuk berteras.”“Teras?” tanya seorang petani bingung.“Ya. Kita gali lajur-lajur mendatar seperti tangga. Air akan mengalir pelan, tidak langsung menghanyutkan. Dan setiap petak bisa ditanami berbeda,” ujar lelaki tua di samping Raka.“Namanya Kira, ia datang dari ba

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 181

    Salju mulai surut dari tembok-tembok batu yang mengelilingi wilayah Desa Kali Bening. Kabut dingin yang selama berminggu-minggu menyelimuti lembah kini perlahan menghilang, memperlihatkan atap-atap rumah dan menara penjaga yang kembali berasap. Asap dapur, asap bengkel pandai besi, dan api unggun para pekerja mulai menari di udara.Di pelataran barat benteng, beberapa pemuda terlihat memindahkan kayu-kayu basah. Sebagian yang tua menyalakan api, menghangatkan tangan sambil bercanda.“Musim dingin tahun ini seperti istri tua yang tak mau pergi,” celetuk Ki Janta, sambil menggosok-gosokkan telaKi tangan ke bara api.“Tapi dia selalu pergi juga, Ki. Meski dengan enggan,” sahut Jeren, pemuda yang baru pulang dari pelatihan jaga malam.“Dan selalu kembali setiap tahun, seperti utang yang tak lunas-lunas,” tambah Ki Janta, membuat tawa meledak dari para pekerja di sekitarnya.Kehidupan mulai bergerak lagi. Benteng yang sempat membeku kini bergema oleh langkah-langkah kaki, suara pedati, dan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 180

    Musim dingin mulai melemah. Es di parit-parit pinggir ladang mulai mencair, dan kabut pagi tak lagi sepekat sebulan lalu. Namun, di balik ketenangan Kali Bening, sebuah kabar busuk berhembus dari arah selatan.Di ruang pertemuan Kecamatan Kemusuk, Aryo duduk dengan wajah masam. Di hadapannya, Anom—pamannya raka, yang kini menjadi Kepala Desa Petir—tampak gelisah, memutar-mutar cincin peraknya."Paman... empat tahun lalu aku sudah bilang, bunuh saja Raka itu ketika ia masih jadi bocah dungu. Sekarang? Lihat apa yang terjadi. Desa itu jadi wilayah otonom. Rakyatnya loyal. Perdagangannya jalan. Sementara kau?" Aryo menatap tajam. "Masih di tempat yang sama. Dan aku? Hanya pejabat kecil!"Anom mengerutkan dahi. "Jangan gegabah, Aryo. Raka bukan orang yang mudah dijatuhkan. Apalagi sekarang, Mahapatih Maheswara dan Raja Mahesa Warman sendiri tampak melindunginya."Aryo bangkit dari kursinya. "Kalau begitu kita tiupkan saja isu. Katakan saja ia bersiap mencaplok wilayah selatan Desa Petir.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 179

    Malam menggantung di atas Istana Surya Manggala. Udara dingin menyusup lewat jendela batu yang terbuka setengah. Di sebuah ruang sempit di balik dapur istana, lima orang duduk melingkar tanpa lilin, hanya diterangi cahaya obor yang jauh dari jangkauan. Jubah mereka berwarna gelap, suara mereka hampir tak terdengar.Seorang pria tua dengan garis-garis wajah seperti tergores pisau berbisik, “Kali Bening makin kuat. Pajak mereka kecil, tapi untung mereka besar. Sementara kita di sini, mulai kekurangan pedagang dan pembeli.”Seorang yang lain mengangguk. “Raja Mahesa Warman membiarkan Raka tumbuh seperti tunas liar. Dan Mahapatih Mahesawara hanya memuji-muji desa itu seolah ia bagian dari darah birunya.”Pria ketiga, seorang bangsawan dari wilayah utara yang dulunya punya ladang garam luas, menepuk lututnya dengan gusar. “Kita kirim orang. Diam-diam. Bukan atas nama kerajaan. Kita awasi desa itu dari dalam. Kalau perlu, kita tanam orang di sana. Buat keributan. Buat Raka lengah.”“Sudah k

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 178

    Embun es masih menggumpal di atas rerumputan pagi itu ketika kereta kayu melintas di jalan utama Kali Bening. Di kiri-kanannya, barisan toko dan gudang mulai buka lebih awal dari biasanya. Tak hanya menjual bahan makanan dan pakaian musim dingin, tetapi kini juga ada tempat penukaran garam, pengrajin besi ringan, bahkan penjual minyak tanah dari biji nyamplung.“Kau lihat itu?” tanya Darwan, pengurus logistik desa, pada seorang pedagang baru. “Dua tahun lalu, tempat ini cuma ladang kosong dan rumah reyot.”Pedagang itu tersenyum. “Tak kusangka, aku datang hanya untuk mencari pekerjaan di pabrik arang, tapi mungkin aku tinggal selamanya di sini.”Memang tak sedikit warga dari desa-desa kecil dan wilayah utara yang datang ke Kali Bening. Sebagian mencari pekerjaan. Sebagian lagi sekadar ingin hidup lebih tenang dari pajak tinggi kota madya.Jumlah penduduk bertambah cepat. Rumah-rumah yang dibangun dua tahun lalu kini padat penghuninya. Beberapa kepala keluarga bahkan mulai tidur di kan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status