Pagi masih kelabu, namun benteng-benteng di perbatasan Desa Kali Bening telah bersiaga penuh. Bendera Giri Amerta berkibar gagah di setiap menara pengintai. Di balik tembok batu yang tinggi dan tebal, para pemanah menyiapkan anak panah, sementara para prajurit meriam memeriksa bubuk mesiu dan posisi laras yang kini diarahkan ke arah Desa Petir tanah yang kini mulai bermusuhan.Di puncak benteng utama Kali Bening, Raka berdiri tegak. Ia mengenakan jubah perang berwarna gelap dengan lambang Giri Amerta di dada. Pandangannya tajam menelusuri garis perbatasan. Angin berembus kencang, namun wajahnya tetap tenang.“Bagaimana dengan persiapan di Pos Timur?” tanya Raka kepada Ki Bayu, komandan pengawas di kawasan itu.Ki Bayu membungkuk hormat. “Sudah lengkap, Tuan. Panah, tombak, dan pelontar batu siap digunakan. Bahkan getek pun kami tambatkan agar sewaktu-waktu bisa dipindah cepat ke pos selatan.”Raka mengangguk pelan. “Jangan serang terlebih dahulu. Tapi pastikan, satu langkah pun dari P
Mentari pagi belum tinggi, namun deru alat gali dan palu besi sudah terdengar di perbatasan Desa Petir dan Kali Bening. Tanah dibelah, air dialirkan, dan kanal baru terbentuk makin lebar setiap harinya. Di tepi kanal yang berlumpur, berdiri dua sosok berpakaian pejabat kerajaan: Ki Aro dan Ki Anom, utusan Kerajaan Surya Manggala.“Percepat penggalian!” teriak Ki Anom sambil menunjuk ke arah para pekerja yang mulai letih. “Kita harus pisahkan Kali Bening dari daratan induk. Tak boleh lagi mereka mudah keluar masuk ke wilayah Petir!”Ki Aro mengangguk puas. “Dengan begini, siapa pun dari Giri Amerta harus menggunakan perahu jika ingin menyebrangi batas ini. Mereka akan tahu siapa yang berkuasa di sini!”Namun, jauh dari sana, di atas menara kayu pengawas milik Giri Amerta, Ki Warna, salah satu teliksandi, mengamati aktivitas itu dengan seksama. Ia mengirim burung pos yang berisi laporan singkat ke Kota Giri Amerta:“Kanal diperluas. Anom dan Aro memisahkan Kali Bening dari Petir. Darata
Mentari baru saja menyembul dari balik cakrawala ketika layar kapal cepat milik Giri Amerta menepi di dermaga Teluk Penyu. Seorang pemuda bertubuh tegap, dengan rambut ikal dan sorot mata tajam, melangkah turun dari kapal. Ia membawa bendera kecil berwarna biru laut dengan lambang kerang emas di tengahnya.“Namaku Ki Gowo,” ucapnya lantang kepada penjaga dermaga. “Kami dari Pulau Kerrang datang membawa kabar dan niat baik kepada Tuan Raka.”Ki Wira, penjaga dermaga yang telah lama bertugas di pelabuhan itu, mengerutkan kening. “Pulau Kerrang... yang letaknya tak lebih dari setengah hari pelayaran dari sini?”“Benar, Ki. Kami ingin mengikat tali persaudaraan secara resmi. Sudah terlalu lama kami berdagang diam-diam, saling kenal namun belum pernah benar-benar bersatu.”Ki Wira segera mengirim utusan ke Balai Pusat.Beberapa jam kemudian, Ki Gowo berdiri di hadapan Raka, di ruang pertemuan Balai Utama Giri Amerta. Para pembesar dan tetua duduk mengelilingi mereka. Udara terasa hangat ol
Giri Amerta pagi itu diselimuti asap tipis dari cerobong-cerobong tinggi. Suara palu dan roda kayu berdentang dari segala penjuru. Pembangunan sedang berada pada puncaknya, dan hampir setiap lorong dusun dipenuhi para pekerja, pengrajin, dan pedagang.Ki Wanta datang tergesa ke ruang pertemuan, wajahnya diliputi peluh dan mata berbinar.“Tuan Raka, mohon ampun, hamba membawa kabar dari Balai Pandai Besi,” ucapnya sambil menunduk.Raka meletakkan naskah laporan di hadapannya. “Apa gerangan?”“Pabrik peleburan bijih timah kini mampu mencetak tiga ratus bilah besi dalam sehari. Bahkan para pandai sudah mulai merancang roda air untuk menggerakkan palu besar, agar tak perlu lagi tenaga banyak orang.”Raka mengangguk perlahan. “Ki Wanta, beritahu para pandai itu, mereka bukan hanya mengubah besi... mereka sedang mengubah masa depan.”Di tempat lain, di bawah pohon besar di halaman Istana Surya Manggala, Patih Maheswara sedang berbicara dengan para tetua kadipaten.“Ki Patih,” tanya salah sa
Udara pagi menyatu dengan kabut tipis di sekitar Desa Anggur. Di kejauhan, suara ketukan palu bertalu-talu menandai geliat pembangunan yang tak pernah padam. Raka berdiri di atas bukit kecil, ditemani Ki Wanta, kepala pengawasan wilayah baru.“Tuan,” ujar Ki Wanta, menunjuk ke arah selatan, “di balik bukit itu kini telah terbuka dusun baru. Kami menamakannya Dusun Kemitir, sesuai dengan tanaman bunga yang dulu tumbuh liar di sana.”Raka mengangguk. “Dan bagaimana hasil batu alam yang dikabarkan itu?”Ki Wanta mengusap janggutnya, matanya menyipit. “Tak seperti batu biasa, Tuan. Warnanya kelam keperakan. Bila dipahat dan dipoles, kilaunya seperti kaca yang tersaput arang. Sudah beberapa pedagang dari negeri jauh datang menawar, bahkan ada yang rela membayar dua karung emas untuk hanya dua balok.”Raka tersenyum tipis. “Batu yang lahir dari tanah ini akan memperkuat tiang Giri Amerta. Tapi lebih dari itu... akan memperkuat pesan bagi siapa pun yang memandang.”Di arah barat daya, tembok
Rombongan dari Giri Amerta melintasi pasir keemasan yang membentang luas di wilayah selatan. Raka duduk di atas punggung kuda hitamnya, diapit oleh para pengawal pribadi yang mengenakan jubah panjang berwarna biru tua dengan lambang matahari dan perisai di dada.Mereka disambut oleh Ki Talam, penasihat utama Negeri Pesir, bersama sekelompok penjaga bersenjatakan tombak panjang yang berkilau tertimpa cahaya.“Selamat datang di tanah kami, Tuan Raka dari Giri Amerta,” ujar Ki Talam sambil menundukkan badan, suaranya dalam namun penuh hormat. “Padang pasir ini mungkin gersang, tapi hati kami terbuka seluas langitnya.”Raka tersenyum tipis, lalu turun dari kudanya. Ia membalas hormat dengan menangkupkan tangan di dada.“Dan Giri Amerta datang tidak dengan beban, melainkan dengan ikatan niat baik. Mari kita duduk dan bicarakan masa depan.”Di dalam balairung istana Negeri Pesir, dengan tiang-tiang batu yang kokoh dan karpet merah pasir yang terbentang, perundingan dimulai. Nyi Larent, sala