Kabut pagi belum benar-benar terangkat ketika pasukan Surya Manggala kembali maju. Kali ini, jumlah mereka jauh lebih besar. Dari balik bukit-bukit dan semak belantara, ribuan prajurit perlahan mendekat ke tembok pertama Giri Amerta — lapisan pertahanan terluar yang terkenal sebagai kuburan sunyi para penyerbu.Namun tak satu pun dari mereka benar-benar tahu… bahwa tanah yang mereka injak telah lama dipenuhi jebakan dan mata-mata bisu yang menunggu mangsanya.Ki Pram, pengatur jebakan tanah dan salah satu tokoh tua di Giri Amerta, berdiri di balik batu besar di sisi barat tembok.Ki Pram (berbisik pada prajurit muda di sebelahnya): “Jangan takut, Ndan. Kalau kau dengar suara kayu retak, tahan napas. Kalau mereka jatuh… jangan bantu.”Prajurit muda itu hanya menelan ludah. Di sekelilingnya, ada puluhan lubang jebakan dengan tutup tipis dari daun dan tanah, diisi dengan batang bambu runcing yang dicelup racun ular merah dari Kali Onga.Ketika pasukan musuh melintas, beberapa suara terde
Fajar baru saja menyibak kabut saat pasukan utama Surya Manggala mulai bergerak. Tanpa genderang perang. Tanpa suara komando lantang. Hanya derap kaki dalam diam dan bisikan dingin antara semak dan batu.Di pucuk-pucuk bukit, para pengintai Giri Amerta masih bergelung dalam selimut wol. Mereka tak menyangka musuh akan seberani itu menyerang di tengah musim beku. Tapi pagi itu, medan perang mendidih sebelum matahari sempat menampakkan wajah.Di perbatasan timur Giri Amerta, di bawah lembah Candra, pasukan khusus Kerajaan Surya Manggala yang terdiri dari 1.500 penyerbu mulai menyusup.Ki Darga (panglima serang): "Jangan teriak. Angin pagi milik kita. Kita lenyapkan pengawal benteng sebelum ayam berkokok."Prajurit-prajurit muda di belakangnya menahan napas. Pedang-pedang ditarik perlahan. Mata mereka menyala oleh semangat. Tapi mereka tak tahu… bahwa Giri Amerta tak pernah benar-benar tidur.Saat barisan depan Surya Manggala mendekati parit luar, terdengar jerit tajam dari langit."KREE
Pagi itu di perkemahan utama Surya Manggala, suara terompet kuda tak lagi membawa semangat perang. Kabar pembelotan seribu lebih prajurit menuju Giri Amerta menyebar seperti racun. Tenda-tenda panglima yang dulu tegak gagah, kini bergetar oleh badai amarah seorang jenderal—Jenderal Niko, panglima tertinggi pasukan barat.Mengetahui pasukannya ada yang membelot masuk ke giri amerta dengan hanya mengenakan baju rami saja, mereka menyerah sebelum perang, karena mereka menyadari bahwa jika mereka tetap menyerang maka mereka akan mati.Di tengah ruang pertemuan darurat, tangan Jenderal Niko menghantam meja kayu hingga belanga air terguling.Jenderal Niko (mendesis): "Seribu lebih?! Mereka pikir mereka bisa mencampakkan kehormatan Surya Manggala begitu saja?!"Ki Ragat (penasihat militer, dengan nada hati-hati): "Ampun, Tuan Jenderal... mereka membawa kain putih dan menyerahkan diri ke Giri Amerta. Beberapa membawa keluarga mereka."Jenderal Niko (menatap tajam): "Itu bukan penyerahan, itu
Giri Amerta masih diselimuti mendung perang. Salju tipis turun, menyelimuti tanah-tanah keras yang pernah hijau. Di antara pasukan Kerajaan Surya Manggala yang bertahan di perbatasan, muncul gejolak yang tak terlihat oleh mata para panglima gejolak batin yang membakar dari dalam.Banyak pasukan mulai goyah keyakinan mereka karena menyaksikan benteng yang kokoh dari giri amerta, benteng itu berlapis tiga dan mengelilingi seluruh desa kali bening dan desa anggur.Suasana semakin tidak menentu Ketika di hadapan mereka ada kanal yang harus di sebrangi, yak anal buatan mantan kades anom yang kini menjadi pejabat di istana, membuat pasukan istana kesulitan.Di sebuah perkemahan penjuru selatan, beberapa prajurit duduk melingkar mengelilingi api unggun kecil. Di antara mereka, seorang lelaki berumur dengan janggut yang sudah memutih, Ki Ardan, berbicara dengan suara lirih namun tegas.Ki Ardan: "Anakku tinggal di Giri Amerta… Dua cucuku pun dilahirkan di sana. Bagaimana aku bisa mengangkat p
Langit mendung menggantung muram di atas bukit. Salju tipis mulai turun seperti abu dari langit. Pasukan Surya Manggala kini telah berdiri di seberang parit pertahanan terakhir. Dari tempat mereka berdiri, tampak Kota Giri Amerta menjulang seperti batu karang raksasa yang tumbuh dari bumi.Bukan hanya benteng yang tinggi dan kokoh yang mengejutkan mereka, tapi arsitektur kota itu sendiri. Bangunan-bangunan dari batu hitam dan kayu keras disusun teratur, menjulang bertingkat di lereng perbukitan.Terhubung oleh jembatan gantung dan menara penjaga yang tak terhitung jumlahnya. Asap dari dapur dan pandai besi mengepul tenang—tanda bahwa kota ini hidup, sibuk, dan siap menghadapi apa pun.Kekaguman Diam-diamKi Jantra, salah satu perwira lapangan yang terkenal cerewet, berdiri dengan mata menyipit memandang ke arah tembok Giri Amerta.“Astaga langit… siapa yang sangka orang-orang dusun bisa membangun kota macam ini?” gumamnya pelan.Di sebelahnya, Ki Talang mengangguk setuju.“Ini bukan k
Kabut pagi belum benar-benar terangkat ketika suara derap kaki pasukan dan roda kereta terdengar menghantam jalan beku di utara. Delapan ribu prajurit Surya Manggala, bersenjata lengkap, kini telah mendekati batas wilayah Giri Amerta.Di depan rombongan, Ki Jirna, komandan pasukan utama, menatap lurus ke arah horizon. Dedaunan yang menguning dan tertutup embun beku mengisyaratkan bahwa musim dingin akan segera mencapai puncaknya.“Sebentar lagi kita tiba di Desa Petir,” ujar Ki Jirna kepada pasukan pengawal. “Pastikan logistik diturunkan dengan rapi. Tempat itu akan jadi pusat pergerakan kita.”Di sampingnya, Ki Patra, kepala urusan logistik, mencatat dalam buku kecil sambil menggumam,“Nyi Lodra telah menyiapkan lumbung sementara di dekat sumur tua. Kita tinggal membersihkan sedikit, lalu pindahkan semua perbekalan dari kereta.”Pasukan terus melaju, sementara mata-mata Giri Amerta sudah menandai setiap langkah mereka dari balik semak dan lereng hutan. Kabarnya, Tuan Raka telah membe