Share

Bab 249

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 08:28:40

Ketika pasukan Giri Amerta mulai melakukan penyisiran di lembah bawah tembok. Di antara mayat-mayat tentara Surya Manggala yang tergeletak kaku, tampak jelas perbedaan mencolok—mereka mati bukan karena tak berani, tapi karena tak mampu bergerak cepat.

Sementara itu, di ruang dalam benteng, di hadapan perapian hangat dan secangkir teh dari akar lerak, Raka duduk bersama para pemikir dan pengrajin kota. Di meja panjang itu terbentang sebuah zirah ringan berbahan kulit sapi, lentur namun kokoh, tak berkilau namun mematikan.

Zirah Ringan dari Kulit Sapi Milik Pasukan Giri Amerta

Nyi Larem (pengrajin kulit paling tua di Giri Amerta, menepuk zirah lembut di mejanya), “Kulit ini bukan sembarang kulit, Tuan Raka. Kami rebus dengan ramuan khusus, lalu dijemur dalam gua hangat selama tujuh hari. Hasilnya... kuat seperti tulang, namun tetap lentur seperti daun kelapa.”

Ki Juba, salah satu pengawal benteng, menyeringai, “Dan yang paling kusuka tak berbunyi saat kita bergerak. Tak seperti para ser
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 250

    Kabut mulai sirna dari lereng timur kala mentari pagi menyibak langit yang pucat. Dataran luas di depan tembok Giri Amerta tampak porak poranda. Jejak-jejak pertempuran semalam masih membekas—tenda-tenda sobek, zirah besi berserakan, dan mayat-mayat tentara Kerajaan yang tak sempat dimakamkan.Di atas tembok, bendera hijau tua lambang Giri Amerta berkibar tenang, seolah mengumandangkan satu kalimat yang tak perlu diucapkan symbol kekuatan yang terorganisir baik.Kekuatan seperti ini hanya ada dimana seorang yang cerdas memimpin sebuah kota kecil dengan kekuatan yang sangat luarbiasa.Ketimpangan Medan Tempur Dataran vs BentengKi Radya, salah satu pengamat strategi, berdiri di pos menara pengawas sambil menunjuk ke arah bawah.“Mereka terlalu percaya diri. Datang dari dataran rendah, berharap bisa menaklukkan tembok yang menjulang seperti dinding langit.”Ki Sandat, pengawal senior, menyeringai sambil menggenggam busur, “Tanah di bawah itu jadi kuburan massal, Ki. Sementara kita hanya

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 249

    Ketika pasukan Giri Amerta mulai melakukan penyisiran di lembah bawah tembok. Di antara mayat-mayat tentara Surya Manggala yang tergeletak kaku, tampak jelas perbedaan mencolok—mereka mati bukan karena tak berani, tapi karena tak mampu bergerak cepat.Sementara itu, di ruang dalam benteng, di hadapan perapian hangat dan secangkir teh dari akar lerak, Raka duduk bersama para pemikir dan pengrajin kota. Di meja panjang itu terbentang sebuah zirah ringan berbahan kulit sapi, lentur namun kokoh, tak berkilau namun mematikan.Zirah Ringan dari Kulit Sapi Milik Pasukan Giri AmertaNyi Larem (pengrajin kulit paling tua di Giri Amerta, menepuk zirah lembut di mejanya), “Kulit ini bukan sembarang kulit, Tuan Raka. Kami rebus dengan ramuan khusus, lalu dijemur dalam gua hangat selama tujuh hari. Hasilnya... kuat seperti tulang, namun tetap lentur seperti daun kelapa.”Ki Juba, salah satu pengawal benteng, menyeringai, “Dan yang paling kusuka tak berbunyi saat kita bergerak. Tak seperti para ser

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 248

    Kabut pagi yang sebelumnya menutup wajah medan pertempuran kini perlahan menyingkap kenyataan yang mengerikan. Tanah di depan Tembok Pertama Giri Amerta kini dipenuhi jasad—berlapis baju zirah kebesaran Surya Manggala, tergeletak membeku dalam posisi terakhir sebelum ajal menjemput.Tapi di sisi dalam tembok, suasana justru tenang. Tak terdengar isak. Tak terdengar pekik luka. Hanya suara burung yang mulai berani bernyanyi di sela-sela sunyi kemenangan.Di ruang pemantau menara, Ki Ara berdiri di antara para penjaga muda yang masih belum percaya bahwa benteng berhasil melewati serangan brutal itu tanpa kehilangan satu jiwa pun.Ki Ara (datar, namun mata berbinar) “Lihat baik-baik, kalian semua… Inilah bedanya mereka yang berperang dengan nafsu, dan kita yang bertahan dengan akal.”Ki Merta (penjaga senior) “Tak satu anak panah pun terbuang sia-sia. Tiap sudut jebakan tepat sasaran. Ini bukan hanya kemenangan, ini pelajaran bagi siapa pun yang berani menyentuh tembok ini.”Para prajuri

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 247

    Kabut pagi belum benar-benar terangkat ketika pasukan Surya Manggala kembali maju. Kali ini, jumlah mereka jauh lebih besar. Dari balik bukit-bukit dan semak belantara, ribuan prajurit perlahan mendekat ke tembok pertama Giri Amerta — lapisan pertahanan terluar yang terkenal sebagai kuburan sunyi para penyerbu.Namun tak satu pun dari mereka benar-benar tahu… bahwa tanah yang mereka injak telah lama dipenuhi jebakan dan mata-mata bisu yang menunggu mangsanya.Ki Pram, pengatur jebakan tanah dan salah satu tokoh tua di Giri Amerta, berdiri di balik batu besar di sisi barat tembok.Ki Pram (berbisik pada prajurit muda di sebelahnya): “Jangan takut, Ndan. Kalau kau dengar suara kayu retak, tahan napas. Kalau mereka jatuh… jangan bantu.”Prajurit muda itu hanya menelan ludah. Di sekelilingnya, ada puluhan lubang jebakan dengan tutup tipis dari daun dan tanah, diisi dengan batang bambu runcing yang dicelup racun ular merah dari Kali Onga.Ketika pasukan musuh melintas, beberapa suara terde

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 246

    Fajar baru saja menyibak kabut saat pasukan utama Surya Manggala mulai bergerak. Tanpa genderang perang. Tanpa suara komando lantang. Hanya derap kaki dalam diam dan bisikan dingin antara semak dan batu.Di pucuk-pucuk bukit, para pengintai Giri Amerta masih bergelung dalam selimut wol. Mereka tak menyangka musuh akan seberani itu menyerang di tengah musim beku. Tapi pagi itu, medan perang mendidih sebelum matahari sempat menampakkan wajah.Di perbatasan timur Giri Amerta, di bawah lembah Candra, pasukan khusus Kerajaan Surya Manggala yang terdiri dari 1.500 penyerbu mulai menyusup.Ki Darga (panglima serang): "Jangan teriak. Angin pagi milik kita. Kita lenyapkan pengawal benteng sebelum ayam berkokok."Prajurit-prajurit muda di belakangnya menahan napas. Pedang-pedang ditarik perlahan. Mata mereka menyala oleh semangat. Tapi mereka tak tahu… bahwa Giri Amerta tak pernah benar-benar tidur.Saat barisan depan Surya Manggala mendekati parit luar, terdengar jerit tajam dari langit."KREE

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 245

    Pagi itu di perkemahan utama Surya Manggala, suara terompet kuda tak lagi membawa semangat perang. Kabar pembelotan seribu lebih prajurit menuju Giri Amerta menyebar seperti racun. Tenda-tenda panglima yang dulu tegak gagah, kini bergetar oleh badai amarah seorang jenderal—Jenderal Niko, panglima tertinggi pasukan barat.Mengetahui pasukannya ada yang membelot masuk ke giri amerta dengan hanya mengenakan baju rami saja, mereka menyerah sebelum perang, karena mereka menyadari bahwa jika mereka tetap menyerang maka mereka akan mati.Di tengah ruang pertemuan darurat, tangan Jenderal Niko menghantam meja kayu hingga belanga air terguling.Jenderal Niko (mendesis): "Seribu lebih?! Mereka pikir mereka bisa mencampakkan kehormatan Surya Manggala begitu saja?!"Ki Ragat (penasihat militer, dengan nada hati-hati): "Ampun, Tuan Jenderal... mereka membawa kain putih dan menyerahkan diri ke Giri Amerta. Beberapa membawa keluarga mereka."Jenderal Niko (menatap tajam): "Itu bukan penyerahan, itu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status