Share

Bab 260

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 13:27:41

Matahari bersinar terik di atas Giri Amerta. Ribuan pasang mata menatap sebuah struktur menjulang tinggi di pusat kota—sebuah mahakarya batu dan ukiran yang megah.

Aroma dupa dan bunga persembahan semerbak di udara, bercampur dengan bisikan bangga dan haru dari kerumunan rakyat yang memadati alun-alun.

Inilah hari yang dinanti, hari peresmian monumen kemenangan Giri Amerta.

Di mimbar utama, berdiri Raka, sang penguasa baru Giri Amerta, dengan pakaian kebesaran yang gagah. Di sampingnya, Ki Sanjaya, Nyi Kanthi, dan para tetua Giri Amerta lainnya turut hadir, wajah mereka memancarkan kebanggaan.

Namun, ada satu sosok yang paling menarik perhatian Cakra, mantan kades anggur teman setia raka, yang kini hadir sebagai penasehat raka. Penampilannya masih menunjukkan kesetiaan dan pengalaman yang mendalam.

Cakra hanya tersenyum tipis. "Sebuah pengakuan, Ki Sanjaya. Pengakuan atas perubahan zaman. Dan ini adalah bagian dari rencana besar kita."

Suasana hening saat Raka dan Cakra melangkah maju
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 273

    Mentari pagi bersinar cerah, namun sinarnya tak mampu menghapus bayang-bayang kehancuran yang menyelimuti Desa Petir. Di atas benteng batu Desa Petir, yang kini tinggal puing-puing hangus, sebuah pemandangan simbolis terpampang nyata.Bendera perang Giri Amerta ditancapkan dengan gagah, sebagai simbol penaklukkan seutuhnya. Kibaran kain merah dan emas itu seolah mengejek kesunyian dan kesedihan yang mencekam.Seorang prajurit Giri Amerta, Ki Darmanto, dengan senyum puas menatap bendera yang berkibar. "Lihatlah, Ki Jaya! Betapa indahnya lambang kemenangan kita di atas puing-puing ini."Ki Jaya, seorang perwira tinggi yang tampak lebih muram, hanya mengangguk kecil. "Memang sebuah penaklukkan, Ki Darmanto. Tapi ingat, kemenangan ini juga dibayar mahal dengan darah prajurit kita.""Benar, itu sudah menjadi harga sebuah pembelaan untuk wilayah kita yang di serang pihak kerajaan surya manggala," sahut Nyi Kembang, seorang penasihat spiritual Giri Amerta, suaranya melengking. "Sekarang, tak

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 272

    Kobaran api melahap habis sisa-sisa Desa Petir. Langit pagi yang kelabu kini memerah, diwarnai lidah-lidah api yang menari ganas, melalap apapun yang tersisa.Asap hitam membumbung tinggi, menyisakan bau hangus dan keputusasaan. Desa Petir terbakar hebat dalam pertempuran kedua ini, rumah-rumah penduduk menjadi medan perang yang berkobar.Jerit kesakitan dan raungan amarah semalam kini digantikan oleh deru api yang mengerikan, seolah alam pun turut berduka."Ya Dewa, lihatlah ini!" seru Nyi Karti, seorang perempuan tua yang bersembunyi di balik reruntuhan, matanya membelalak ngeri menyaksikan kampung halamannya menjadi neraka. "Semua musnah! Apa lagi yang tersisa untuk kita?"Seorang prajurit Giri Amerta, Ki Bandi, dengan wajah hitam jelaga dan pedang masih menggenggam erat, menatap kosong pada lautan api. "Kita sudah membersihkan sarang tikus ini, Nyi. Tidak ada yang bisa hidup di tengah kobaran api seperti ini."Nyi Karti hanya bisa menggelengkan kepala, air mata membasahi pipinya y

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 271

    Senja membara di ufuk barat, melukis langit dengan warna darah saat genderang perang menggelegar, membelah kesunyian Desa Petir. Udara terasa berat, dipenuhi bau anyir tanah basah dan ketakutan yang mencekam.Ini bukan kali pertama Desa Petir menjadi saksi bisu pertumpahan darah, namun kali ini, pertaruhannya jauh lebih besar. Di satu sisi, pasukan Kerajaan Giri Amerta berdiri tegak, meski jumlah mereka bak setetes embun dibandingkan gelombang pasang di hadapan mereka."Ki Rana, lihatlah lautan manusia itu!" seru seorang prajurit muda dengan suara bergetar, menunjuk ke arah barisan musuh yang tak berujung. "Bagaimana mungkin kita bisa menahan mereka?"Ki Rana, seorang komandan veteran dengan luka-luka menghiasi wajahnya, menepuk bahu prajurit itu. "Jangan gentar, Anak muda.Ingatlah, keberanian tak diukur dari banyaknya jumlah, melainkan dari teguhnya hati." Matanya menyapu barisan pasukannya yang lelah namun pantang menyerah.Mereka tahu, peluang mereka tipis, namun harga diri dan ke

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 270

    Debu beterbangan di Desa Petir, diangkat oleh angin musim semi yang membawa aroma ketegangan. Perang terbuka kini bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan pahit yang menggerogoti setiap sudut wilayah perbatasan Giri Amerta.Sejak pasukan Surya Manggala yang dipimpin Raja Aryo bergerak menuju perbatasan Distrik Kemusuk, Desa Petir yang dulunya ramai oleh suara canda tawa dan hiruk pikuk kehidupan, kini berubah menjadi desa mati.Rumah-rumah kosong melompong, jendelanya pecah bagai mata yang kosong, dan pintu-pintu yang terbuka lebar seolah mengundang kehampaan. Tak ada lagi asap mengepul dari dapur, tak ada lagi suara anak-anak bermain di halaman."Ki Prajurit, apakah semua penduduk sudah dievakuasi?" tanya Rama kepada seorang prajurit tua yang tampak kelelahan, matanya nanar menatap desa yang ditinggalkan itu."Sudah, Gusti Rama," jawab Ki Prajurit dengan suara serak. "Sebagian besar memilih mengungsi ke pedalaman Giri Amerta, mencari perlindungan di bawah panji Gusti Raka.Namun, ada

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 269

    Kabar aliansi dengan Negeri Pasir membawa secercah harapan di Giri Amerta, namun bayangan perang yang kian mendekat tak bisa dihindari.Raka dan Rama tahu, ini bukan lagi tentang intrik di balik tirai istana, melainkan tentang perang terbuka yang akan menuntut setiap tetes darah dan keringat.Di Balai Prajurit Giri Amerta, genderang perang mulai ditabuh. Ribuan prajurit bersenjata lengkap berbaris rapi, wajah-wajah mereka memancarkan tekad membara.Raka berdiri di podium, menatap pasukannya dengan bangga. Di sampingnya, Rama menginspeksi barisan, memastikan setiap prajurit siap tempur."Ki Panglima Wira, bagaimana persiapan kita di perbatasan?" tanya Raka, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.Ki Panglima Wira, seorang prajurit tua berwibawa dengan bekas luka di pelipisnya, melangkah maju. "Ampun, Gusti Raka! Seluruh pasukan telah siaga penuh di sepanjang perbatasan.Benteng-benteng telah diperkuat, dan para pemanah telah menempati posisi terbaik mereka. Kami telah mendirikan pos-po

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 268

    Awan kelabu pekat masih menggantung di atas Balai Pertemuan Giri Amerta. Kabar tentang penobatan Aryo sebagai Raja Surya Manggala, diiringi kekejaman rezim barunya, telah menyebar seperti bara api.Namun, di tengah ancaman itu, Raka tidak tinggal diam. Ia tahu, untuk menghadapi kegilaan yang baru, Giri Amerta harus bermain lebih cerdas, lebih berani.Pagi itu, Raka memanggil Rama dan Ki Senopati Agung ke ruang peta. Sebuah gulungan peta baru terhampar di meja, memperlihatkan wilayah barat daya yang luas, meliputi gurun dan beberapa kerajaan kecil."Kita tidak bisa menghadapi Surya Manggala sendirian, terutama dengan kepemimpinan baru Aryo yang brutal," ucap Raka, suaranya tenang namun penuh perhitungan. "Kita butuh sekutu."Rama menunjuk ke arah peta. "Ayahanda, apakah maksud Ayahanda adalah Negeri Pasir? Mereka dikenal sebagai prajurit gurun yang tangguh, namun selalu dikenal netral dalam konflik besar.""Tepat sekali, Rama," sahut Raka. "Malam tadi, utusan dari Negeri Pasir telah ti

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status