Share

Bab 64

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-06 18:15:22

Di pagi hari yang cerah, Raka Wironegoro duduk bersama istri ketiga—Aina, Aini, dan Andini—di serambi belakang rumah. Secangkir wedang jahe mengepul di hadapannya, sementara istrinya sibuk mengiris rempah dan mencatat sesuatu di daun lontar.

“Kanda,” ujar Aini sambil meletakkan ulekan yang masih berbau harum kunyit dan ketumbar. “Beta berpikir, kenapa kita tidak membuat racikan bumbu yang siap digunakan? Dengan begitu, siapa pun bisa memasak seperti di Sekar Kedaton.”

Andini yang sedari tadi menggiling merica hitam menimpali, "Benar adanya! Banyak istri saudagar yang datang kemari mengeluh tak pandai meracik bumbu. Jika kita menjual rempah siap saji, mereka tak perlu bersusah payah menakar dan menghaluskan sendiri."

Raka tersenyum, matanya berbinar. "Kalian sungguh cerdik. Dengan ini, tak hanya rumah makan kita yang semakin dikenal, tapi kita juga bisa memperluas usaha ke pasar-pasar yang lebih besar."

Aina yang sejak tadi diam kini angkat bicara. "Namun, Kanda, bagaimana caranya bumb
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 210

    Kabut pagi mengambang ringan di atas sawah luas Desa Kali Bening. Gemericik air irigasi yang ditata rapi menyatu dengan dentingan palu para pandai besi dan celoteh para petani yang menata hasil panen. Jalan-jalan tanah kini berubah menjadi jalur batu lempeng yang dilalui pedati dan kereta kayu penuh muatan dari arah pelabuhan Teluk Penyu.Di tengah pasar baru yang selalu ramai sejak matahari muncul, para saudagar dari berbagai penjuru berdatangan. Mereka tak hanya membawa barang, tapi juga membawa kabar Kali Bening dan Desa Anggur kini menjadi pusat ekonomi baru di wilayah timur Kerajaan Surya Manggala.Bahkan pusat desa kini sudah menjadi kota baru giri amerta, karena pesatnya Pembangunan dan perdagangan yang ramai dan ketertiban yang tercipta membuat wilayah kali bening kini menjadi sebuah kota kecil yang maju dan berkembang.Pertumbuhan yang MelonjakDi bale uCakra pasar, dua tokoh penting tengah berdiskusi serius Kades Cakra dari Desa Anggur, dan Goro, penasihat kepercayaan Raka.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 209

    Senja menggantung malas di langit Giri Amerta. Di balik jendela lebar yang terbuka, angin lembut membawa aroma kayu bakar dan wangi bunga kenanga dari taman. Raka duduk di bale kayu, dikelilingi tiga perempuan yang telah menjadi belahan jiwanya: Aina, Aini, dan Andini. Mereka baru saja selesai bersantap malam bersama, namun suasana terasa berbeda malam itu—lebih dalam, lebih hangat, dan penuh rasa ingin tahu.Aina menatap Raka lekat-lekat. "Kanda selalu terlihat begitu tangguh, tenang... Tapi kadang aku bertanya-tanya, seperti apa hidupmu sebelum semua ini?"Raka terdiam sesaat. Tangannya menggenggam cangkir tanah liat yang masih hangat. Ia memandang jauh ke luar jendela, seolah menyibak kabut waktu."Aku tak pernah benar-benar menceritakan masa laluku, bukan?" katanya pelan. "Mungkin sudah waktunya."Rahasia yang TerungkapRaka memulai kisahnya. Suaranya datar, namun matanya menyiratkan emosi yang tak bisa disembunyikan."Dulu, aku bukan siapa-siapa. Kuat dan cerdas, ya… mungkin. Tap

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 208

    Desa Kali Bening tampak jernih. Kabut tipis masih menggantung di lembah, sementara burung-burung kecil beterbangan di antara pepohonan yang hijau subur. Di pelataran lapang dekat sungai, beberapa tukang batu tampak sibuk menggambar garis-garis di tanah dengan kapur putih.Raka berdiri di tengah-tengah mereka, mengenakan jubah abu-abu yang bersih. Tangannya memegang selembar kulit pohon tempat sketsa bangunan tergambar dengan rinci.Di hadapan para pekerja dan pengrajin yang telah dikumpulkan, Raka mengangkat suara:“Balai desa ini bukan sekadar tempat duduk para tetua. Kita sedang membangun sebuah pusat kekuatan baru. Ini—” katanya sambil mengangkat sketsa, “—akan berdiri dengan pilar-pilar besar, tinggi, kokoh. Tiap pilar melambangkan tekad rakyat Giri Amerta: kerja keras, keadilan, ilmu, dan persatuan.”Para pekerja saling pandang, kagum dan bersemangat. Seorang pengrajin tua, Pak Rendi, mendekat pelan.“Kades Raka, mohon ampun, pilar sebesar ini... siapa yang akan mengangkat batu-b

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 207

    Sinar matahari pagi menyinari halaman depan Balai Desa Kali Bening, yang kini tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa warga terlihat membentangkan kain, membentuk tenda-tenda kecil untuk jualan, sementara anak-anak berlarian membawa tongkat kayu dan bendera buatan sendiri.Di salah satu sudut, Rama, putra sulung Raka yang kini menginjak usia enam tahun, sedang melatih adik-adiknya. Wini, yang cerdas dan lincah, sedang membuat garis lingkar di tanah dengan ranting, sementara si bungsu Tama asyik mencorat-coret potongan papan dengan arang.Rama: “Tama, itu bukan untuk digambar. Itu buat penunjuk arah... sudah kubilang tadi.”Tama (cemberut): “Tapi aku mau bikin naga…”Wini (tersenyum nakal): “Biar saja, Mas Rama. Siapa tahu naganya bisa menunjuk arah juga.”Raka memperhatikan mereka dari teras balai, senyum kecil terselip di wajahnya yang mulai terlihat tua. Di sampingnya berdiri Genta dan Goro. Mereka baru saja menyelesaikan pertemuan pagi.Raka: “Anak-anak itu... cepat benar tumbuh

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 206

    Suasana pagi di Balai Utama Desa Kali Bening dipenuhi kesunyian yang tegang. Semua pejabat desa telah berkumpul. Di hadapan mereka, Kades Raka berdiri di sisi sebuah meja kayu panjang, di atasnya terhampar beberapa keping logam emas dan perak. Setiap keping bersinar keemasan dan keperakan, dengan satu ukiran yang mencolok gambar seekor penyu sedang berenang mengitari matahari.Raka: “Mulai hari ini, desa kita tak lagi bergantung pada koin dari luar. Ini... adalah milik kita. Mata uang kita. Simbol kemandirian dan persatuan.”Para pejabat saling pandang Goro mengangkat satu keping emas, mengamatinya.Goro: “Ini... beratnya pas. Ukirannya rapi. Dari mana tuan dapat perajin sebagus ini?”Raka: “Bengkel Lembah Ketam telah kutugasi dua musim lalu. Mereka bekerja dalam diam, menyiapkan ini semua.”Genta: “Luar biasa, tuan Raka. Tapi... apakah dunia luar akan terima uang ini?”Raka tersenyum, seolah sudah memikirkan hal itu jauh sebelum yang lain.Raka: “Orang-orang akan percaya jika kita du

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 205

    Pagi baru saja menyingkapkan cahaya ketika deru ombak mengalun tenang di Teluk Penyu. Kabut tipis menggantung di atas air, menciptakan siluet kapal-kapal yang mulai bersandar. Di ujung dermaga, Kapten Ranu berdiri sambil memandangi langit. Pria berperawakan kekar itu menarik napas dalam.Kapten Ranu: “Lihatlah ini... dulu tempat ini hanya ladang ilalang dan batu karang. Sekarang... kapal dari seberang lautan mulai datang satu demi satu.”Di sisi lain dermaga, Paman Galuh, tokoh tua yang dulu memimpin kelompok tukang batu, mengamati tiang pancang yang baru dibangun. Ia menepuk-nepuk kayu penyangga yang kini diselimuti pelat besi buatan bengkel Raka.Paman Galuh: “Tiang-tiang ini berdiri lebih kokoh dari yang pernah kupasang di hidupku. Anak-anak muda itu... mereka bekerja seolah-olah pelabuhan ini akan berdiri seribu tahun.”Kapten Ranu: “Dan mungkin memang akan. Karena dermaga yang satu lagi di Sungai Kali Bening juga sudah selesai. Kini kapal dari pedalaman bisa langsung sambung ke l

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status