Pagi itu, angin semilir meniupkan harum bunga kosambi yang sedang mekar di pekarangan Balai Kota. Di alun-alun Giri Amerta, ratusan penduduk berkumpul dalam lingkaran besar. Hari ini adalah hari yang telah lama dinanti hari di mana Raka akan mengumumkan struktur pemerintahan Kota Giri Amerta.Langkah kaki pemuda-pemuda terdengar dari arah selatan balai. Lima belas anak muda mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah dan ikat kepala berwarna biru tua. Mereka bukan bangsawan, bukan keturunan priyayi, tetapi pemuda cerdas dari ladang, sungai, sekolah, dan bengkel kayu. Di tangan mereka, masa depan kota diletakkan.Cakra mendampingi raka di belakangnya dan membawa sebuah gulungan nama-nama yang telah mereka sepakati berdua dan mendapat dukungan langsung dari para warga yang memilih mereka di setiap dusun.Raka berdiri di panggung kayu sederhana. Di sisi kirinya, Cakra berdiri tenang. Di sisi kanan, dua bendera—bendera Giri Amerta dan lambang baru sebuah penyu dengan dua batang padi bersi
Giri Amerta berwarna biru pucat. Embun masih menggantung di pucuk-pucuk rumput saat ratusan warga mulai memenuhi pelataran Balai Kota yang baru saja selesai dibangun. Balai megah itu berdiri di antara dua desa Kali Bening dan Anggur dengan menara kecil yang memayungi dua bendera lambang pohon beringin dari Kali Bening dan lambang matahari dari Desa Anggur.Hari itu, sebuah rapat akbar digelar. Bukan sekadar musyawarah biasa, melainkan penentuan arah baru dua desa di bawah satu kepemimpinan Kota Giri Amerta.Di dalam balai, para sesepuh dan tokoh desa duduk berjajar. Di barisan depan, Kades Cakra dari Desa Anggur tampak anggun dengan jubah biru tua, duduk berdampingan dengan Raka yang mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah, namun dengan sorot mata yang kuat dan tenang.Ki Galendra, juru bicara dari pihak rakyat, berdiri lebih dulu. Suaranya lantang dan menggema.“Wahai hadirin, hari ini sejarah tengah ditulis. Dua desa yang dahulu hanya dihubungkan oleh jalan tanah, kini hendak di
Suara lonceng kayu bergema dari menara sekolah Giri Amerta, menggema lembut ke seluruh penjuru Kali Bening. Hari baru dimulai. Debu tanah terangkat pelan oleh langkah kaki ratusan pelajar yang datang dari arah barat, utara, bahkan sejauh perbatasan timur Kerajaan Surya Manggala.Di bawah beringin besar, dua orang tua sedang duduk memperhatikan rombongan anak-anak muda yang datang berbaris rapi, membawa tas anyaman dan gulungan lontar. Salah satunya, Ki Tarang, tukang kayu tua dari Desa Ketangi, menggeleng pelan.“Lihatlah, Nyi. Dulu jalan ini cuma dilewati petani dan pedagang garam. Sekarang, langkah-langkah muda dari segala penjuru datang hendak berguru.”Nyi Sampar, istrinya, menyahut sambil menepuk lutut. “Berkat Lurah Raka. Tapi jangan sebut dia Lurah saja, Ki. Di pasar orang-orang menyebutnya Cendekiawan Besar dari Kali Bening.”Ki Tarang terkekeh. “Kalau begitu, nanti kita lihat, siapa duluan jadi cendekiawan, cucu kita atau anak bupati dari Kadipaten Kemuning yang katanya baru
Kali Bening kini jauh berbeda dari dulu. Jalan-jalan berbatu rapi, bangunan-bangunan besar dari kayu jati dan batu gunung berdiri tegak, dan anak-anak berlari ke sekolah sambil membawa gulungan daun lontar berisi pelajaran. Di tengah-tengah semua itu, nama Raka terus disebut bukan hanya sebagai Lurah, tapi sebagai cendekiawan paling dihormati di wilayah selatan Kerajaan Surya Manggala.Di balai utama, rombongan pelajar dari Kadipaten Arung datang membawa titah untuk belajar di Sekolah Giri Amerta. Beberapa pemuka desa dari daerah pesisir juga mulai mengirim utusan untuk menimba ilmu pemerintahan, tata kota, hingga pengetahuan tanaman dan logam.“Lurah Raka,” kata seorang pengawas dari Kadipaten Guning, “apa yang Anda bangun di Kali Bening akan mengubah wajah negeri ini.”Raka hanya tersenyum. “Bukan aku yang mengubah negeri ini. Rakyat yang membaca dan berpikir merekalah yang akan mengubahnya.”Kecemburuan Aryo dari KemusukNamun, kabar tentang kejayaan itu tak semua diterima dengan h
Matahari belum sepenuhnya meninggi ketika Lurah Raka berdiri di pelataran bangunan batu besar yang menjadi kebanggaan warga Giri Amerta Sekolah Utama Giri Amerta. Bangunannya menjulang dengan atap dari genting merah, jendela-jendela tinggi, dan halaman luas yang setiap paginya ramai oleh langkah kaki para pelajar dari berbagai penjuru negeri.Hari itu, Raka datang mengenakan pakaian sederhana, namun rapi, dengan sabuk kulit berukir lambang Kali Bening. Di sisinya, berjalan Guru Tama, lelaki muda bijak yang dulu di gembleng oleh raka hingga menjadi pemuda yang cerdas dan siap menularkan semangat dan kecerdasannya kepada para pemuda di sekolah giri amerta.“Tuan benar-benar menjadikan tempat ini pusat ilmu,” ujar Guru Tama sambil memandang bangunan itu. “Dulu, hanya angan di malam hari yang menyulut keberanian tuan yang sering anda sampaikan di sela membimbing kami.”Raka tersenyum, lalu menepuk bahu sang guru muda muridnya ini. “Sekarang bukan hanya angan, Tama. Ini titipan masa depan.
Angin pagi dari barat membawa kabar besar ke Desa Kali Bening.“Enam utusan dari Negeri Amer dan Negeri Pesit sudah memasuki wilayah perbatasan timur laut, Tuan Raka,” lapor Dargo di beranda balai desa. “Mereka membawa bendera perdamaian, lengkap dengan seserahan diplomatik.”Raka menutup gulungan bambu yang tadi ia baca. “Akhirnya mereka datang juga.”Andini, yang sedari tadi menata bunga kenanga di vas tanah liat, menoleh dengan tenang. “Kanda sudah menebak ini akan terjadi, bukan?”Raka tersenyum tipis. “Giri Amerta bersinar terlalu terang untuk diabaikan. Negeri yang jauh pun mulai melirik.”‘Benar tuan di Pelabuhan teluk penyu kini sudah banyak pedagang dari negeri tersebut.” Dan pasar kita di teluk penyu juga sudah ramai.”Raka mengangguk puas akan perkembangan desa kali bening dan giri amerta, karena hanya dalam waktu lima tahun des aini berkembang menjadi kota kecil.Balai Desa Kali Bening hari itu disulap jadi ruang diplomasi. Tikar rotan terbaik digelar, meja kayu damar yang