Share

Bab 8

Author: Bhay Hamid
last update Huling Na-update: 2025-03-13 19:04:58

Aina kemudian meyakinkan Raka untuk terus membantu warga disini. Pada pagi hari nya setelah kehebohan yang membagongkan itu. Didepan rumah reot Raka sudah banyak orang menanti.

Raka yang sudah bangun sangat pagi sekali dengan seketika terkejut dan menanyai mereka dengan cepat. “Apa gerangan kisanak ke rumahku.” Ujar Raka

“Tuan Raka kami mau mencari pekerjaan di desa ini kami tidak memiliki pekerjaan selain hanya sebagai pengemis yang selalu di maki-maki dan bahkan di tindas oleh kepala desa.”

“Kanda warga disini hampir rata-rata tidak ada pekerjaan.” Lirih Aini

“Kalau begitu banyak hal yang harus kita selsaikan, bisik Raka kepada Aini.” Iya kanda benar.

“Kisanak beri aku waktu lima hari.” Lima hari baik Tuan Raka kami akan menunggu beberapa orang kemudian bergegas pergi.

“Kanda bagaimana mau memberikan pekerjaan kepada mereka.” Sedangkan kita baru berjualan beberapa hari ini.

“Tenang aku akan memikirkannya nanti.”

Sekarang kita fokus memancing ikan di bantu Roni dan Riko dan juga paman beserta bibi nanti membantu dipasar.

Kalian bertiga mengurusinya dalam proses penjualan. Dengan begitu aku akan mencari kios besar untuk membuka rumah makan.

“Rumah makan. Bagaimana ini bisa Kanda.” Itu memerlukan biaya banyak dan perlu pekerja yang ramai juga.” Lirih Andini semakin merenung

“Tenang aku akan mencari rumah makan yang mau bekerja sama dengan kita.”

Kuperhatikan dipasar itu banyak rumah makan namun tidak ada satu pun dari rumah makan itu membuat hidangan dari ikan gurami ini.” Padahal ikan ini sangat lezat.

“Kanda di pasar Petir tidak ada yang paham membuat hidangan seperti ini.” Hanya mereka Taunya di rebus didalam bambu. Itu pun biasanya untuk umpan bebek dan ayam.

Raka mencerna ucapan istrinya dan menangkap sebuah ladang bisnis baru. Ya bebek panggang itu akan menjadi sebuah usaha yang sangat menggiurkan.

****

Dua hari berlalu Raka masih melobi semua rumah makan yang ada dipasar namun hanya satu yang bersedia itu pun rumah makan tua sekar kedaton.

“Kisanak apakah aku bisa bekerja sama dengan rumah makan ini.”

“Tuan rumah makan ini sudah tua dan tidak banyak pengunjungnya.” Lagipula pengunjung disini mayoritas orang-orang lanjut usia.

Tuan mau menjalankan bisnis apa di rumah makan tua ini. Apakah sudah memiliki usaha sendiri sehingga mau mengembangkan rumah makan.” Cecar Sarto pemilik rumah makan tua.

“Emmm Perkenalkan saya Raka dari desa Petir.”

“Kalau begitu panggil saja saya kakek sarto.”

“Iya kek bagaimana perkembangan usaha kakek hingga hampir tutup begini.”

Ceritanya Panjang nak..semua ini ulah lurah di desa ini yang selalu meminta pajak lebih kepada rumah makan yang tidak mendukungnya.”

Baik kek begini kalau kakek mau saya buka usaha disini dengan modal ikan dan bebek nanti untuk harga saya yang akan menentukan.”

Oh bagus itu sepertinya ini kedengaran asing ikan dan unggas bisa di jadikan makanan manusia.” Kakek Sarto sangat bijaksana dalam hal ini.

Begini saja nak Raka kakek modali kamu dan istrimu, kamu sudah menikah kan.” Iya kek sudah.

Bagus!”

Kakek modali kalian berbisnis dengan seratus ribu perak untuk membiayai usaha mu dan pekerja mu nanti.” Dan untuk kerjasamanya cukup kakek 30 persen kamu 70 persen.

Kakek itu terlalu menguntungkan saya.”

Oh tidak nak raka lagipun kakek sudah tinggal sendiri anak dan istri kakek sudah pergi ke surga.

Kakek dengan wajah sedih dan wajah yang penuh kerutan meratapi peristiwa kelam di kabupaten langka. Bahwa anak dan istrinya tewas karena masalah uang dengan pegawai pajak.

Baik kek aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menghidupkan Kembali usaha ini. Rumah makan Sekar Kedaton akan Kembali Berjaya.

Kemudian Raka bergegas pulang sambil membawa sekantong uang perak untuk memberikan upah pertama kepada belasan pengemis di desa petir yang tidak memiliki pekerjaan.

Ketika sampai digerbang desa Raka bertemu dengan Roni.

‘Roni kemarilah ujar Raka.”

“Ada apa kak Raka?

“Kumpulkan orang kemarin dan aku akan mempekerjakan mereka.”

Baik kak segera.”

Didalam desa mulai banyak gossip yang bertebaran dan mulai memandang silemah berhalusinasi untuk memberikan pekerjaan kepada para pengemis.

“Lihat lah Raka si payah itu, semenjak ia sadar dari mati surinya mulai memiliki sikap yang aneh.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 212

    Embun belum benar-benar menguap dari rerumputan ketika palu besar masih terdengar bertalu-talu di perbatasan Desa Kali Bening dan Desa Anggur. Bangunan raksasa dari batu kapur dan kayu ulin itu berdiri setengah jadi, tapi bentuknya sudah cukup membuat siapapun terdiam. Bukan lagi sekadar balai desa—melainkan sebuah istana tanpa mahkota.Balai Desa Giri Amerta, kini disebut Balai Kota, telah diperluas dengan sayap-sayap bangunan tambahan. Pilar-pilar tinggi menopang atap bersusun tiga, dan di tengah halaman berdiri kolam air mancur dari batu hitam, memantulkan cahaya pagi.Di dalamnya, orang-orang lalu-lalang. Juru tulis membentangkan gulungan naskah, prajurit patroli bersiaga di pintu gerbang, dan para utusan dari kedua desa menunggu giliran menghadap.Lukma (juru tulis): “Tuan Raka, laporan dari Pasar Hulu dan Pasar Selatan sudah masuk. Tapi surat dari Desa Anggur belum ditandatangani Cakra.”Raka (membaca cepat): “Tunggu di meja rapat. Jangan kirim utusan lagi sebelum waktunya. Cakr

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 211

    Mentari pagi menyusup malu-malu di balik kabut tipis yang menggantung di atas Desa Kali Bening. Angin dari arah laut membawa harum garam dan rempah yang menempel di layar-layar kapal yang bersandar di Pelabuhan Teluk Penyu. Hari itu, hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.Di tengah alun-alun baru yang kini berdiri gagah, sebuah bangunan besar dari batu kali dan kayu jati menjulang Balai Kota Giri Amerta. Penduduk mulai berkumpul. Anak-anak berlarian di sekitar taman, para perempuan membawa anyaman dan bunga, sementara para lelaki tampak mengenakan pakaian terbaik mereka.Raka berdiri di hadapan podium kayu berukir, diapit oleh para tetua, pengrajin, pedagang, dan panglima-panglima muda. Jubah hitam bersulam benang emasnya berkibar ringan, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan yang tak tersembunyikan.Ia mengangkat tangan, memanggil hening.Raka: “Wahai rakyat Giri Amerta… dari Kali Bening kita berangkat, dan kini, kita berdiri sebagai satu kota yang hidup! Hari ini, Balai Kota Gi

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 210

    Kabut pagi mengambang ringan di atas sawah luas Desa Kali Bening. Gemericik air irigasi yang ditata rapi menyatu dengan dentingan palu para pandai besi dan celoteh para petani yang menata hasil panen. Jalan-jalan tanah kini berubah menjadi jalur batu lempeng yang dilalui pedati dan kereta kayu penuh muatan dari arah pelabuhan Teluk Penyu.Di tengah pasar baru yang selalu ramai sejak matahari muncul, para saudagar dari berbagai penjuru berdatangan. Mereka tak hanya membawa barang, tapi juga membawa kabar Kali Bening dan Desa Anggur kini menjadi pusat ekonomi baru di wilayah timur Kerajaan Surya Manggala.Bahkan pusat desa kini sudah menjadi kota baru giri amerta, karena pesatnya Pembangunan dan perdagangan yang ramai dan ketertiban yang tercipta membuat wilayah kali bening kini menjadi sebuah kota kecil yang maju dan berkembang.Pertumbuhan yang MelonjakDi bale uCakra pasar, dua tokoh penting tengah berdiskusi serius Kades Cakra dari Desa Anggur, dan Goro, penasihat kepercayaan Raka.

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 209

    Senja menggantung malas di langit Giri Amerta. Di balik jendela lebar yang terbuka, angin lembut membawa aroma kayu bakar dan wangi bunga kenanga dari taman. Raka duduk di bale kayu, dikelilingi tiga perempuan yang telah menjadi belahan jiwanya: Aina, Aini, dan Andini. Mereka baru saja selesai bersantap malam bersama, namun suasana terasa berbeda malam itu—lebih dalam, lebih hangat, dan penuh rasa ingin tahu.Aina menatap Raka lekat-lekat. "Kanda selalu terlihat begitu tangguh, tenang... Tapi kadang aku bertanya-tanya, seperti apa hidupmu sebelum semua ini?"Raka terdiam sesaat. Tangannya menggenggam cangkir tanah liat yang masih hangat. Ia memandang jauh ke luar jendela, seolah menyibak kabut waktu."Aku tak pernah benar-benar menceritakan masa laluku, bukan?" katanya pelan. "Mungkin sudah waktunya."Rahasia yang TerungkapRaka memulai kisahnya. Suaranya datar, namun matanya menyiratkan emosi yang tak bisa disembunyikan."Dulu, aku bukan siapa-siapa. Kuat dan cerdas, ya… mungkin. Tap

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 208

    Desa Kali Bening tampak jernih. Kabut tipis masih menggantung di lembah, sementara burung-burung kecil beterbangan di antara pepohonan yang hijau subur. Di pelataran lapang dekat sungai, beberapa tukang batu tampak sibuk menggambar garis-garis di tanah dengan kapur putih.Raka berdiri di tengah-tengah mereka, mengenakan jubah abu-abu yang bersih. Tangannya memegang selembar kulit pohon tempat sketsa bangunan tergambar dengan rinci.Di hadapan para pekerja dan pengrajin yang telah dikumpulkan, Raka mengangkat suara:“Balai desa ini bukan sekadar tempat duduk para tetua. Kita sedang membangun sebuah pusat kekuatan baru. Ini—” katanya sambil mengangkat sketsa, “—akan berdiri dengan pilar-pilar besar, tinggi, kokoh. Tiap pilar melambangkan tekad rakyat Giri Amerta: kerja keras, keadilan, ilmu, dan persatuan.”Para pekerja saling pandang, kagum dan bersemangat. Seorang pengrajin tua, Pak Rendi, mendekat pelan.“Kades Raka, mohon ampun, pilar sebesar ini... siapa yang akan mengangkat batu-b

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 207

    Sinar matahari pagi menyinari halaman depan Balai Desa Kali Bening, yang kini tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa warga terlihat membentangkan kain, membentuk tenda-tenda kecil untuk jualan, sementara anak-anak berlarian membawa tongkat kayu dan bendera buatan sendiri.Di salah satu sudut, Rama, putra sulung Raka yang kini menginjak usia enam tahun, sedang melatih adik-adiknya. Wini, yang cerdas dan lincah, sedang membuat garis lingkar di tanah dengan ranting, sementara si bungsu Tama asyik mencorat-coret potongan papan dengan arang.Rama: “Tama, itu bukan untuk digambar. Itu buat penunjuk arah... sudah kubilang tadi.”Tama (cemberut): “Tapi aku mau bikin naga…”Wini (tersenyum nakal): “Biar saja, Mas Rama. Siapa tahu naganya bisa menunjuk arah juga.”Raka memperhatikan mereka dari teras balai, senyum kecil terselip di wajahnya yang mulai terlihat tua. Di sampingnya berdiri Genta dan Goro. Mereka baru saja menyelesaikan pertemuan pagi.Raka: “Anak-anak itu... cepat benar tumbuh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status