LOGINAina kemudian meyakinkan Raka untuk terus membantu warga disini. Pada pagi hari nya setelah kehebohan yang membagongkan itu. Didepan rumah reot Raka sudah banyak orang menanti.
Raka yang sudah bangun sangat pagi sekali dengan seketika terkejut dan menanyai mereka dengan cepat. “Apa gerangan kisanak ke rumahku.” Ujar Raka “Tuan Raka kami mau mencari pekerjaan di desa ini kami tidak memiliki pekerjaan selain hanya sebagai pengemis yang selalu di maki-maki dan bahkan di tindas oleh kepala desa.” “Kanda warga disini hampir rata-rata tidak ada pekerjaan.” Lirih Aini “Kalau begitu banyak hal yang harus kita selsaikan, bisik Raka kepada Aini.” Iya kanda benar. “Kisanak beri aku waktu lima hari.” Lima hari baik Tuan Raka kami akan menunggu beberapa orang kemudian bergegas pergi. “Kanda bagaimana mau memberikan pekerjaan kepada mereka.” Sedangkan kita baru berjualan beberapa hari ini. “Tenang aku akan memikirkannya nanti.” Sekarang kita fokus memancing ikan di bantu Roni dan Riko dan juga paman beserta bibi nanti membantu dipasar. Kalian bertiga mengurusinya dalam proses penjualan. Dengan begitu aku akan mencari kios besar untuk membuka rumah makan. “Rumah makan. Bagaimana ini bisa Kanda.” Itu memerlukan biaya banyak dan perlu pekerja yang ramai juga.” Lirih Andini semakin merenung “Tenang aku akan mencari rumah makan yang mau bekerja sama dengan kita.” Kuperhatikan dipasar itu banyak rumah makan namun tidak ada satu pun dari rumah makan itu membuat hidangan dari ikan gurami ini.” Padahal ikan ini sangat lezat. “Kanda di pasar Petir tidak ada yang paham membuat hidangan seperti ini.” Hanya mereka Taunya di rebus didalam bambu. Itu pun biasanya untuk umpan bebek dan ayam. Raka mencerna ucapan istrinya dan menangkap sebuah ladang bisnis baru. Ya bebek panggang itu akan menjadi sebuah usaha yang sangat menggiurkan. **** Dua hari berlalu Raka masih melobi semua rumah makan yang ada dipasar namun hanya satu yang bersedia itu pun rumah makan tua sekar kedaton. “Kisanak apakah aku bisa bekerja sama dengan rumah makan ini.” “Tuan rumah makan ini sudah tua dan tidak banyak pengunjungnya.” Lagipula pengunjung disini mayoritas orang-orang lanjut usia. Tuan mau menjalankan bisnis apa di rumah makan tua ini. Apakah sudah memiliki usaha sendiri sehingga mau mengembangkan rumah makan.” Cecar Sarto pemilik rumah makan tua. “Emmm Perkenalkan saya Raka dari desa Petir.” “Kalau begitu panggil saja saya kakek sarto.” “Iya kek bagaimana perkembangan usaha kakek hingga hampir tutup begini.” Ceritanya Panjang nak..semua ini ulah lurah di desa ini yang selalu meminta pajak lebih kepada rumah makan yang tidak mendukungnya.” Baik kek begini kalau kakek mau saya buka usaha disini dengan modal ikan dan bebek nanti untuk harga saya yang akan menentukan.” Oh bagus itu sepertinya ini kedengaran asing ikan dan unggas bisa di jadikan makanan manusia.” Kakek Sarto sangat bijaksana dalam hal ini. Begini saja nak Raka kakek modali kamu dan istrimu, kamu sudah menikah kan.” Iya kek sudah. Bagus!” Kakek modali kalian berbisnis dengan seratus ribu perak untuk membiayai usaha mu dan pekerja mu nanti.” Dan untuk kerjasamanya cukup kakek 30 persen kamu 70 persen. Kakek itu terlalu menguntungkan saya.” Oh tidak nak raka lagipun kakek sudah tinggal sendiri anak dan istri kakek sudah pergi ke surga. Kakek dengan wajah sedih dan wajah yang penuh kerutan meratapi peristiwa kelam di kabupaten langka. Bahwa anak dan istrinya tewas karena masalah uang dengan pegawai pajak. Baik kek aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menghidupkan Kembali usaha ini. Rumah makan Sekar Kedaton akan Kembali Berjaya. Kemudian Raka bergegas pulang sambil membawa sekantong uang perak untuk memberikan upah pertama kepada belasan pengemis di desa petir yang tidak memiliki pekerjaan. Ketika sampai digerbang desa Raka bertemu dengan Roni. ‘Roni kemarilah ujar Raka.” “Ada apa kak Raka? “Kumpulkan orang kemarin dan aku akan mempekerjakan mereka.” Baik kak segera.” Didalam desa mulai banyak gossip yang bertebaran dan mulai memandang silemah berhalusinasi untuk memberikan pekerjaan kepada para pengemis. “Lihat lah Raka si payah itu, semenjak ia sadar dari mati surinya mulai memiliki sikap yang aneh.”Di tengah kekacauan pelarian, Cakra melihat sosok yang paling ia benci: Patih Aryo, yang sedang menunggang kuda tercepatnya, berusaha kabur. Aryo tidak hanya memimpin penyerangan, ia juga merupakan sumber intrik dan ancaman yang tak berkesudahan bagi Giri Amerta.Cakra, yang jiwanya membara oleh kesetiaan dan kemarahan, segera menaiki kudanya, mengabaikan usianya dan kelelahan pertempuran.Cakra: (Berteriak melengking, suaranya pecah namun penuh amarah) "Bajingan Aryo, Jangan Lari! Kau yang memulai kekacauan ini, kau harus bertanggung jawab! Hadapi aku, pengecut!"Aryo menoleh ke belakang, melihat Cakra yang mengejarnya sendirian. Ia tahu Cakra adalah pahlawan tua Giri Amerta, dan membunuhnya akan menjadi kemenangan simbolis di tengah kekalahan memalukan. Aryo mendorong kudanya lebih cepat, menolak berduel, karena ia tahu tujuannya adalah melarikan diri hidup-hidup.Aryo (Dalam hati): "Aku tidak punya waktu untuk berduel dengan veteran tua ini! Aku harus lolos! Kekalahan ini... ini me
Rentetan meriam dari pasukan Surya Manggala dan Negeri Angin mengawali pertempuran. Bola-bola besi menghantam lapisan terluar Benteng Petir dengan suara yang memekakkan telinga.Patih Aryo (Berteriak penuh kemenangan dari kemahnya): "Serang terus! Tembak hingga tembok itu runtuh! Hancurkan pertahanan mereka!"Lapisan dinding pertama, yang sengaja dibuat lebih tipis sebagai umpan dan penyerap kejut, segera ambruk. Debu beterbangan, dan sorak-sorai kemenangan terdengar dari kubu Aryo.Panglima Wirantaka: (Melirik Raka, wajahnya sedikit pucat) "Lapisan pertama runtuh, Paduka! Musuh mengira kita lemah!"Raka: (Sangat tenang, mengawasi dengan teropong) "Biarkan mereka bergembira sesaat, Wirantaka. Lapisan pertama telah menjalankan tugasnya. Itu hanya kulit luar. Inti kita masih utuh. Beri sinyal kepada operator meriam. Sekarang giliran kita menunjukkan kepada mereka apa arti peperangan yang sesungguhnya!"Di balik lapisan kedua benteng yang kokoh, para prajurit Giri Amerta bersiap. Meskipu
Benteng Petir kini bukan hanya diisi oleh prajurit Giri Amerta, tetapi juga oleh kontingen sekutu yang datang dari kejauhan. Pasukan Negeri Pasir, yang terkenal dengan ketahanan dan keahlian bertarung di medan kering, telah tiba untuk membantu.Di lapangan benteng, Raka berbicara kepada pasukan gabungan tersebut.Raka: "Dengarkan aku, para pejuang Giri Amerta dan saudara-saudara kami dari Negeri Pasir! Musuh kita, Patih Aryo, mengira kita lemah karena duka yang baru melanda. Dia mengira dengan membawa bala bantuan, dia bisa menghancurkan kita!"Kepala Suku Pasir, Malik: (Berdiri di samping Raka) "Dia salah, Rajasa! Rakyat Negeri Pasir menghargai sekutu sejati. Kami mendengar kabar kemakmuran Giri Amerta dan keadilan Rajasa. Kami datang bukan karena paksaan, melainkan karena kami percaya pada kebenaran perjuangan kalian! Kami akan berdiri di samping kalian, di antara Kemusuk dan Petir, hingga tetes darah terakhir!"Seruan persatuan menggema. Rakyat desa sekitar juga ikut membantu, memb
Meskipun para penasihat memohon Raka untuk tetap berada di ibu kota demi keselamatan dan moral, Sang Rajasa menolak. Ia tahu, di saat duka dan ancaman ganda, kehadirannya di garis depan adalah simbol tak tergantikan.Di hadapan ribuan prajurit dan sukarelawan rakyat yang siap berangkat, Raka berpidato dengan suara lantang.Raka: "Warga Giri Amerta, kita baru saja kehilangan Ratu Andini, dan kini musuh mengira duka kita adalah kelemahan kita! Mereka datang dari Kemusuk, dipimpin oleh Patih Aryo yang tamak, ingin merampas kemakmuran yang telah kita bangun!"Raka: "Mereka berpikir, kami para pemimpin akan bersembunyi di balik tembok istana! Mereka salah besar! Benteng Petir adalah benteng pertama kita, dan aku, Raka, Rajasa kalian, akan berdiri di sana! Aku tidak akan menyuruh kalian bertempur; aku akan bertempur bersama kalian!"Sorakan prajurit dan rakyat memecahkan keheningan pagi. Raka, dengan baju besi khasnya, memimpin barisan terdepan, didampingi oleh Panglima Wirantaka. Rakyat ya
Meskipun Raka menolak pengkultusan, wafatnya Andini tetap membawa duka yang mendalam bagi seluruh rakyat Giri Amerta. Mereka melihat Raka, Sang Rajasa, yang biasanya kokoh, kini menanggung beban yang tak terlihat.Di sudut pasar, dua ibu rumah tangga berbincang lirih sambil membawa keranjang belanja.Ibu Sari: "Kasihan sekali Paduka Rajasa. Baru saja membangun negeri dengan susah payah, kini harus kehilangan Ratu Andini. Dia adalah wanita yang sangat santun, selalu tersenyum saat melewati pasar. Rasanya, duka beliau adalah duka kita semua."Ibu Murni: "Benar, Sari. Dan aku dengar, Paduka Rajasa kini jarang terlihat di Balairung. Katanya, beliau menghabiskan waktu di samping Pangeran Tama. Dia adalah ayah sekaligus pemimpin yang tengah dilanda kesedihan. Semoga Sang Hyang Widhi memberi beliau ketabahan."Ibu Sari: "Kita harus mendoakan pemimpin kita. Di saat beliau sedang rapuh, kita sebagai rakyat harus menunjukkan dukungan. Sebab, takdir Giri Amerta kini bergantung penuh pada ketanggu
Angin malam berbisik pilu di balik tirai sutra kamar permaisuri. Di sana, Andini, istri ketiga Raka, berjuang melawan penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya sejak ia masih gadis belia. Meskipun dirawat oleh tabib terbaik Giri Amerta, takdir berkata lain.Tabib Candra: (Berlutut di hadapan Raka, suaranya tercekat) "Hamba mohon ampun, Paduka Rajasa. Kami telah berusaha sekuat tenaga. Namun, penyakit ini... ia seperti benang sutra yang mengikat jantung sejak lahir. Tubuh mulia Ratu Andini telah terlalu lelah berjuang. Ia... telah pergi menuju keabadian."Suara tangisan tertahan dari para dayang dan pengawal memenuhi ruangan. Andini, yang dikenal sebagai sosok paling lembut dan penuh tawa di Istana, kini terbaring damai, senyum tipis seolah masih terukir di bibirnya. Sebuah lilin di samping ranjang tampak bergetar, seolah turut merasakan getaran duka yang mendalam.**Raka, Sang Rajasa yang tak pernah gentar menghadapi seribu meriam perang, kini berdiri kaku, seolah jiwanya tercabu







