Pagi di bawah pohon rindang dan dingin tiga bersaudari dan Raka sudah membuka lapaknya serta sudah siap membakar ikan hasil tangkapan mereka di sebelah lapak Raka ada seorang penjual ikan juga. Dan di depannya ada penjual jeruk.
Suasana pasar sangat ramai pagi ini karena para pekerja baru dapat upah hasil pekerjaan mereka.
Ikan-bakar ikan bakar satu sen per ekor..suara itu terus menggema di hiruk pikuk suasana pasar.
Tidak lama kemudian mereka para pengunjung berkerumun. Ada yang bilang” Bagaimana bisa ikan menjadi enak setelah hanya di panggang dan dilumuri kecap serta rempah begitu saja.”
Pengunjung yang lainya.” Nona aku mau mencicipi nya terlebih dahulu bolehkah.”
“Boleh tuan silahkan dicicipi jika tidak enak tuan tidak perlu membelinya.” Baik kesepakatan yang bagus.
“Wah ini enak sekali aku beli sepuluh saja.” Ini sepuluh sen nya besok aku akan kemari lagi.
Langsung para pengunjung membeli satu demi satu hasil panggangan ikan Raka.
“Kamu memang cocok diposisi itu Aini.” Ujar Raka terimakasih kanda.
Tinggal berapa setok ikan kita ujar Aina.
Tinggal tujuh ekor kak.” Wah kita banyak mendapatkan ikan hari ini. Kita sudah mendapat 43 sen dan 20 sen bonus dari pengunjung. Total kita mendapatkan 63 sen hari ini.
Wah kalau begitu kitab isa kaya dalam satu bulan ini Kanda.
Heemmm benar bahkan kita harus bisa menghasilkan lebih banyak ikan. Dan menghasilkan lebih banyak uang lagi.’’ Ujar Raka
“Benar kanda kita harus menghasilkan banyak uang karena rumah kita harus diperbaiki untuk menghadapi musim dingin.” Tukas Andini
****
Kalau begitu kita akan berbelanja hari ini. Kita beli tepung dan beberapa bumbu serta perlengkapan untuk menangkap ikan agar lebih cepat mendapatkan ikan dengan banyak.
Dipasar mereka semakin membicarakan pedagang baru. Yang langsung mendapatkan keuntungan begitu banyak bahkan pedagang di pasar untuk mendapatkan begitu banyak uang harus memerlukan satu bulan penuh berdagang.
“Pemuda itu memiliki keterampilan diatas rata-rata ujar pedagang jeruk.” Coba kalian rasakan ini. Ikan ini jadi hidangan mewah dan nikmat di tangan pemuda itu.
“Iya benar ikan ini sangat lezat.” Dari mana asal pemuda itu?”
“Aku dengar sih dari desa Petir.”
Hahahahaaha mereka terbahak desa petir. Mereka berasal dari desa para pengemis. Sungguh miris dan mengenaskan ternyata di desa petir ada orang yang memiliki bakat.” Ujar kerumunan pedagang di pasar.
Iya benar sekali, mereka sangat mahir dalam menarik minat pelanggan dan hanya sekejap saja dagangan mereka ludes. Sungguh Teknik Ajaib
“salah satu dari mereka berujar aku mendengar dari tetua desa Anggur bahwa nanti di negeri ini akan lahir seorang yang pandai disegala bidang dan pemuda itu juga sangat cerdas.” Mungkinkah pemuda ini yang di maksud.
Ahhhh jangan bercanda bung. Bukanya pemuda yang dimaksud adalah Aryo Wiroguno pemuda yang berbagakat dan memiliki kepintaran diatas pemuda-pemuda di kota kecamatan ini.”
Aiihhh benar juga. Anak pak lurah itu juga sangat berbakat tapi dia terlalu sombong. Ujar kerumunan mereka sambil mengemasi dagangan mereka.
Di pasar bagian utara Raka dan ketiga istrinya segera membeli beberpa kebutuhan untuk mereka berjualan besok. Minyak, tepung, telur, margarin, keju dan beras sudah mereka dapatkan.
“wah belanja hari ini sangat banyak sekali.” Bagaimana kita membawanya ke desa.
“Oh tenang kita sewa kereta kuda untuk membawa barang-barang ini.” Ujar Raka kepada istri-istrinya
Setelah mereka selesai berbelanja. Mereka pulang menuju desa dengan kepala tegak karena mereka dalam satu hari ini sudah menjadi perbincangan diseluruh pasar dan menjadi gossip di desa karena berhasil menjual ikan panggang dengan begitu cepat.
Sesampainya di desa warga banyak yang iri dengan pencapaian Raka yang tadinya tidak memiliki penghasilan menjadi memiliki penghasilan. Sebelum Raka dan tiga bersaudari menurunkan barang belanjaan mereka.
“Kak Raka baiar aku saja yang menurunkannya.” Ujar Roni dan Riko
“Oh iya ujar Aina sambil menatap Raka yang kebingungan. Aina berbisik ( Kanda mereka ini anaknya paman Zeno.
“Baiklah kebetulan sekali kalian kemari nanti ada hal yang ingin aku kerjakan.” Ucap Raka
“Raka…Raka tolong lah aku ini. Istriku akan melahirkan ucap Alvaro
Siapa lagi ini. Ini keponakan paman Vano yang sudah meninggal beberpa tahun lalu dan mereka merupakan kerabat Raka dari pihak ibunya.
Satu hari ini Raka banyak dikejutkan oleh orang-orang baru yang segera membantunya dalam segala hal sehingga membuatnya menjadi canggung. Namun hal itu tidak begitu asing karena ada tiga bersaudari yang menjelaskan kepada Raka hingga raka Kembali mengingat mereka semua.
Desa Anggur telah resmi bergabung dengan Kali Bening.Kabar itu meledak seperti petir siang bolong di ruang pertemuan istana Surya Manggala. Para pejabat saling pandang. Sebagian mengernyit, sebagian lain mengepalkan tangan.Raja Mahesa Warman duduk diam, wajahnya tegang namun tak menunjukkan emosi. Di sekelilingnya, suara sumbang mulai bermunculan.“Raka terlalu jauh melangkah, Baginda,” ujar Adipati Wira, pejabat tua dari Kadipaten Kemusuk. “Kini ia menguasai pantai utara dan selatan. Jika tak segera dibatasi, ia bisa... berdiri di atas kepala kita semua.”Raja menggeleng pelan.“Ia bekerja, sementara kalian sibuk membatasi. Kali Bening dan Anggur hanya menambal celah yang kalian tinggalkan.”Patih Maheswara menimpali, hati-hati, “Namun api iri mulai menyala, Duli. Jika desa lain ikut-ikutan, maka istana bisa kehilangan kendali.”“Tidak mengapa mahapatih, jika semua desa berlaku demikian maka, kemajuan kerajaan surya manggala semakin terkenal di mata para saudagar dan Kerajaan tetan
Teluk Penyu dipenuhi suara peluit dan teriakan mandor. Suasana jalanan yang sudah keras dilapisi dengan semen batu kapur membuat suasana semakin asri di tambah dupa kayu malam yang menyegarkan.Di atas gerobak, batu bata merah, kayu jati, dan genting merah tersusun rapi. Aroma tanah basah dan getah kayu berpadu dengan garam laut dan peluh para pekerja. Namun semua itu hilang karena harum dari dupa kayu malam yang selalu menyala di seluruh wilayah desa kali bening dan desa anggur.Di kejauhan, menara suar pertama telah berdiri kokoh di atas tebing karang. Api di puncaknya belum dinyalakan, namun bentuknya saja sudah cukup menjadi penanda Kali Bening kini bukan lagi desa biasa.Di bawah menara, Raka berdiri bersama Kepala Tukang Andra dan Kepala penjaga Vano.“Benteng akan kita bangun memanjang ke arah timur, mengikuti garis pantai,” ujar Raka sambil menunjuk pada denah di atas papan kayu besar.Andra mengangguk mantap. “Genteng merah sudah datang dua gerobak pagi tadi, dan logam untuk
Di kejauhan, burung camar berputar-putar di langit, seolah menyambut para pelaut dan pedagang yang mulai berdatangan.Kini, Pelabuhan Teluk Penyu berdiri megah—dermaga dari batu pualam dan kayu jati yang ditambat kuat dengan rantai besi. Bendera Kali Bening berkibar di atas menara mercu suar. Panji dengan lambang singa kini bukan hanya simbol desa, tapi tanda pengaruh yang menjalar di jalur laut selatan.Di bibir pelabuhan, Raka berdiri bersama Nakhoda Rosi dan Kapten Darma, memandangi satu per satu kapal dagang yang mulai bersandar. Suara roda peti kemas berderak di antara para kuli yang sibuk bongkar muat.“Tiga kapal dari Luar Aruna, dua dari Pelabuhan Rembang, dan satu dari kerajaan Lamusi,” lapor Darma dengan tenang, tangannya memegang daftar manifest.Raka mengangguk pelan, suaranya lirih namun penuh kepastian.“Blokade dari Kadipaten Kemusuk hanya mempercepat keputusan yang sebenarnya sudah harus kita ambil sejak lama.”Nakhoda Rosi menimpali dengan senyum puas.“Dulu mereka pi
Mentari pagi menyinari Desa Kali Bening yang kini nyaris tak dikenali lagi dari bentuknya yang dulu. Di kejauhan, tembok pertahanan berlapis tiga berdiri angkuh, melingkupi seluruh desa seperti perisai raksasa. Setiap lapisan dibangun dengan batu andesit yang diperkuat bata merah, serta dijaga oleh pasukan bersenjata lengkap.Di puncak-puncak menara penjaga, laras tiga meriam sedang mengintai cakrawala, seperti mata naga yang tak pernah tidur.“Kanda Raka... sejujurnya, kau tak lagi membangun sebuah desa,” ujar Aina sambil menyapu pandangan dari menara utama ke arah horizon. “Yang kau dirikan ini… benteng.”Raka menatap peta di hadapannya, lalu tersenyum tipis. Suaranya tenang namun penuh makna.“Jika damai ingin dipertahankan, maka tembok perdamaian harus lebih kokoh dari niat siapa pun untuk menyerang. Yang kubangun ini, bukan benteng untuk menyerang... tapi pelindung bagi ribuan jiwa.”“Dan jangan kuatir, semua ini akan baik-baik saja aku membangun ini untuk melindungi Kerajaan dar
Di puncak menara pengawas barat, para penjaga berdiri gagah dengan seragam kelabu, menatap cakrawala dengan sorot mata tajam. Hari ini, bukan hanya mata yang berjaga—tetapi juga laras besi panjang dengan moncong menghadap perbatasan.Meriam.Untuk pertama kalinya, sejak berdirinya Kali Bening, Raka memerintahkan pemasangan meriam di tiap menara penjagaan.“Apakah kau sungguh yakin, Kanda?” tanya Andini, yang tengah mengandung tua, sambil memandang ke arah menara dari serambi rumah. “Meriam itu bukan mainan. Itu bukan lagi isyarat damai…”Raka menarik napas panjang, berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang punggungnya.“Yang tidak ingin perang, harus siap untuk perang. Aku tak ingin rakyat Kali Bening jadi korban dari ambisi gila orang seperti Anom. Kita tak menyerang, tapi kita tak akan tinggal diam jika diinjak.”“Bukannya des akita tidak memiliki musuh dan pesaing kanda.” Timpal Aini“Iya tidak memiliki musuh namun banyak bandit berkedok pejabat yang ingin mengambil kekayaan ya
Parit itu kini tak lagi sekadar batas. Lebarnya sepuluh langkah orang dewasa, dalamnya melebihi tinggi dada. Parit yang dulu dibangun dengan penuh kecurigaan oleh Kades Anom, kini berubah jadi batas nyata antara dua cara hidup.Dari kejauhan, Desa Kali Bening terlihat seperti pulau mandiri, dikelilingi kemajuan, ketertiban, dan kesejahteraan. Anak-anak tertawa di taman desa, para pekerja sibuk di penggilingan padi dan gandum, pabrik-pabrik mengepul dengan riang dan para ibu menjemur hasil kerajinan dari industri kecil mereka.Sementara itu, di sisi lain parit, Desa Petir terlihat kaku dan kering. Mereka akhirnya membangun jembatan kayu sederhana sebagai satu-satunya jalan penghubung ke Kali Bening.“Aneh, mereka yang membuat parit... kini mereka pula yang bangun jembatan,” gumam Vano sambil berdiri di menara pengawas benteng pembatas desa, memandang jembatan itu dari kejauhan.Raka yang berdiri di sampingnya hanya tersenyum tipis.“Yang membatasi, akan terbatasi. Yang menutup, akan te
Angin musim semi berdesir lembut di dataran tinggi, membawa aroma bung halus dan aroma tanah lembab. Di ujung timur Desa Kali Bening, para petani dan pekerja pembangunan sempat menghentikan kerja mereka. Mereka memandang ke arah perbatasan.Tampak jelas di sana: parit besar selebar sepuluh meter, membentang dari utara ke selatan. Di baliknya, tembok tinggi dari batu kapur kasar mulai menjulang, seolah hendak memisahkan dua dunia.Seorang pemuda Kali Bening menunjuk ke arah itu.“Kanda… itu parit apa?” tanyanya pada rekannya.“Itu kerjaan Anom. Kades Petir. Katanya supaya warga desanya tidak minggat ke mari,” sahut yang lain sambil mengangkat cangkul.“sungguh malang nasip ki parman, ia dulu sudah pernah aku ajak kemari dan menggarap lahan desa kali bening, namun ia menolak dan bersikukuh jika kades wiroguno bisa mensejahterakan mereka, namun apa daya setelah wiroguno di pecat, dan kini di Ganti anom desa petir sepertinya semakin suram.” Ujar Ki Prana“Iya benar Ki Prana, sukur aku dul
Kabar tentang ramalan pagoda terus mengalir deras, bagai air bah yang membasahi tanah-tanah kekuasaan Kerajaan Surya Manggala. Bagi sebagian orang, nama Raka menjadi harapan baru. Namun bagi sebagian lainnya, terutama para bangsawan tua yang telah lama bercokol dalam kekuasaan, itu adalah ancaman nyata.Di pendapa keluarga Wironegoro, sebuah keluarga bangsawan tua dari garis keturunan utama Kemusuk, suasana tidak tenang. Anom Wironegoro, paman dari pihak ibu Raka, duduk gelisah di kursi jati berukir. Ia menatap secarik kain lontar yang dibawa seorang pelayan muda dari kota:“Putra Kali Bening dipercaya sebagai bintang terang dari timur. Rakyat menyebutnya pemimpin masa depan.”Anom mengepalkan tangan.“Raka… keponakanku sendiri. Dahulu hanya bocah kampung yang menumpang tidur di rumah neneknya. Sekarang hendak menjadi cahaya yang menutupi keluarga Wironegoro?”Seorang tamu, pejabat dari Kadipaten Kemusuk yang dikenal dengan nama Darpana, menunduk sopan namun terlihat gusar.“Maafkan h
Di sebuah lereng sunyi di wilayah timur Surya Manggala, berdiri sebuah pagoda tua yang nyaris dilupakan. Konon, tempat itu dulunya adalah pusat pengamatan langit dan perenungan para pertapa istana. Bangunannya sederhana, bertingkat tiga, dan di puncaknya berdiri lonceng perunggu yang hanya dibunyikan jika langit memberi pertanda besar.Suatu malam, langit di atas Surya Manggala bersih tak berawan. Rasi bintang bermunculan dengan gemilang, dan dari pagoda itu terdengar lonceng berdentang, mengejutkan para penjaga dan penduduk sekitar.“Tiga kali… Apa itu berarti—” gumam seorang biksu muda yang berjaga.“Itu pertanda langit. Ramalan lama kembali hidup,” jawab pertapa tua dari balik jubah lusuhnya.Keesokan paginya, potongan ramalan kuno tersebar dari mulut ke mulut:“Akan muncul bintang terang dari tanah Surya Manggala, tak tertandingi cahayanya. Ia tak lahir dari darah biru, namun akan memimpin seperti cahaya fajar mengusir kabut pagi.”Ramalan itu menyebar cepat, dan banyak warga, ter