Pantai Tanjung Lesung adalah pantai yang berada di sekitar Anyer. Sering disebut-sebut sebagai surga yang tersembunyi. Meski pun akses menuju lokasi cukup jauh, tetapi keindahan alamnya sungguh luar biasa. Apalagi hamparan pasir yang berwarna putih berpadu dengan kilau air laut yang bening dan berwarna hijau kebiru-biruan. Merupakan tempat yang pas untuk bersantai dan bermain di wahana yang memang disediakan di sana.
Tempat tersebut memang sangat indah, tak salah sepasang calon pengantin yang menjadi klien Hasna, memilih tempat tersebut untuk sesi pemotretan prewed mereka. Biasanya tempat itu sangat ramai dikunjungi setiap akhir pekan, oleh karena itu mereka bersepakat bertemu di hari senin.Hasna masih sibuk mengambil foto dari kliennya. Sesekali mengarahkan agar hasil yang didapat menarik. Refan juga tak kalah heboh. Pria itu juga ikut memperagakan gaya agar foto terlihat estetik. Sesekali di sela-sela jeda pemotretan, Hasna melirik pria yang bernama, Kenan. Pria itu duduk sambil bersedekap dengan wajah datar. Matanya tak lepas mengawasi aktifitas mereka di pinggir pantai.Saat mengetahui pria itu adalah Kakak kliennya, Hasna segera meminta maaf, dia pikir Kenan pengemudi ojek online, siapa suruh pakai jaket sama helm seperti itu. Jadi wajar jika dia langsung nangkring di atas motor, berasa telat soalnya. Akan tetapi, yang bikin Hasna malu sekali adalah, saat pria itu seolah-olah tak mengenalnya. Padahal dia sudah mau meminta maaf, tetapi Kenan malah berkata, "Kamu siapa?"Hasna seketika ingin membenamkan Refan ke sungai A****n. Kenapa harus Refan lagi? Tentu saja, kalau pria itu mengatakan klien mereka anteng-anteng saja, tentu Hasna tak akan mengalami kejadian dramatis yang mengalahkan sinetron ikan terbang. Tentu dia juga sabar menunggui ban sepeda motornya diganti.Hasna menobatkan Refan sumber masalahnya hari ini. Fiks! No debat!"Oke, bagus sekali!" Refan bertepuk tangan gembira. Bukan karena dia melihat hasil foto, melainkan senang pekerjaannya hari ini telah selesai."Mbak, kita bisa lihat hasilnya enggak?" tanya calon pengantin wanita yang baru Hasna tahu namanya, Salwa."Boleh, saya transfer ke laptop dulu, ya."Salwa dan calon suaminya mengikuti Hasna ke payung besar yang dikembangkan Refan. Di sana laptop diletakkan di atas meja dan empat buah kursi plastik yang salah satunya diduduki, Mr. Frezer. Maksudnya, Kenan.Entah mengapa nama itu yang terlintas di benak Hasna. Wanita itu heran saja, bisa saja, kan, Kenan mengatakan kalau dia bukan pengemudi ojek, ini malah iya-iya saja disuruh mengantar ke Anyer."Permisi," ucap Hasna, dia duduk di sebelah Kenan. Alih-alih menjawab, tersenyum saja tidak.Hasna mencoba tak peduli. Dia masih masih mengutak-atik laptopnya, memperlihatkan hasil foto tadi."Wah, bagus-bagus!" Salwa bersemangat melihat foto preweddingnya. Mata gadis itu berbinar seraya melirik calon suaminya."Iya, nanti aku edit tipis-tipis biar keliatan lebih bagus." Hasna menimpali, dia ikut senang jika kliennya puas dengan hasil kerjanya."Yang itu hapus saja." Tiba-tiba Kenan menyelutuk.Salwa memberenggut. "Kenapa, sih, Kak? Itu, kan, keren."Kenan malah menatap ke arah calon adik iparnya. "Kamu rela kalau dada calon istrimu diumbar ke mana-mana? Lihat, bagian dadanya terlalu turun. Malah kesannya murahan."Hasna menahan napas mendengar komentar si Mr. Frezer yang sangat pedas melebihi bon cabe level lima puluh. Dia bisa melihat wajah Salwa dan calon suaminya memerah."Itu, kan, lagi model, Kak!" Salwa mencoba memprotes.Alih-alih menjawab, pria itu malah berdiri, sambil menyampirkan jaket ojek yang tadi dikenakan."Kakak!" Salwa memanggil dengan nada manja saat Kenan mulai berjalan menjauh."Hapus foto yang pake baju kurang bahan itu atau kalian batal menikah!" Kenan menjawab tak kalah tegas.Mendadak pantai yang memang sepi, bertambah sepi setelah Kenan mengultimatum. Refan yang baru saja selesai mengemasi peralatan, malah cengo melihat Salwa menghentakkan kaki dengan wajah kesal, sementara sang calon suami hanya bisa mengusap bahunya sambil menenangkan."Ada apa?" Refan bertanya dengan berbisik kepada Hasna.Wanita itu hanya meletakkan telunjuknya ke bibir, sebagai isyarat agar Refan diam. Kalau dilihat-lihat, Kenan benar. Dress model kemben berwarna putih tulang yang dikenakan Salwa memang indah, sayangnya di bagian dada terlalu memperlihatkan belahannya. Nyaris separuh dada Salwa tersembul keluar. Walau semahal dan se-ngetrend apa pun, Hasna tak akan pernah mengenakan baju itu."Mbak, foto yang itu enggak usah dicetak, ya. Kirim ke WA aku aja. Biar jadi koleksi pribadi aja." Salwa akhirnya mengalah setelah berdiskusi dengan calon suaminya. Dari yang sepintas Hasna dengar, calon suami gadis itu cukup bijaksana menyikapi perbedaan kedua adik-kakak itu. Membuat senyum tipis terulas di bibir Hasna. Seandainya dia punya seorang kakak yang se-protektif itu, tentu tak akan menyandang status janda secepat ini."Iya, nanti aku kirim ke kamu. Tapi, kuedit dulu, biar keliatan perfect," jawab Hasna setelah sekilas sempat menghalu mempunyai saudara.Salwa mengangguk. "Makasih, Mbak. Kapan kira-kira aku bisa ambil fotonya?""Semingguanlah, nanti aku kabarin.""Iya, sekalian aku mau undang Mbak sama Mas ke nikahan aku. Biar nanti bisa ketularan nikah kayak kita." Salwa senyum-senyum."Maksudnya?" Dahi Hasna berkerut."Mbak sama Mas itu cocok, pasangan serasi."Refan mesam-mesem mendengar celutukkan Salwa, sementara Hasna mendeklarasikan, hari ini paling sial baginya. Dia dan Refan, pasangan serasi? Tetiba air kelapa muda yang baru saja disedotnya berasa, Alfa, Sierra, Echo, Mike.*Hasna baru saja keluar dari mobil Refan, saat melihat mobil kedua orang tuanya sudah terparkir pekarangan rumahnya. Wanita itu mengucapkan terima kasih dan mengusir pria itu segera pergi. Padahal, tadinya Refan berharap di suruh mampir untuk makan. Bayangkan saja, sejak pagi sampai siang, dia hanya dikasih mie goreng seafood, itu pun bekal yang dibawa Hasna dari rumah. Kadang Refan bingung, wanita itu pelit apa irit? Tapi, kalau dirasa-rasa, bekal yang dikasih Hasna, enak juga."Sana buruan pulang, nanti dikira pacar aku lagi," suruh Hasna seraya melirik ke dalam rumah."Lah, emang kenapa? Bagus dong.""Bagus di kamu, musibah di aku!" jawab Hasna ketus."Dih, segitunya. Awas lho, ntar jatuh cinta sama aku." Refan cengengesan melihat ekspresi Hasna mengembangkan hidung, lebar banget, mirip stiker di WA yang jadi favoritnya."Trus Juleha tersayang mau kamu apain? Bisa-bisa aku diserbu Babenya yang kumisnya subur itu." Seketika wajah Ayah Juleha--pacar Refan--terbayang di mata Hasna. Kumis tebal mirip Pak Raden, apalagi gaya centilnya kalau Hasna mengantarkan Juleha ke tempat kerja. Memang Refan dan Juleha bekerja di studio fotonya, cinlok istilah anak jaman now.Bukannya pergi, Refan malah terkekeh mendengar ocehan Hasna. Pria itu juga membayangkan tingkah si wanita yang selalu sembunyi kalau Ayah Juleha datang ke studio. Bukan apa-apa, calon bapak mertuanya itu agresif banget. Malah mau jadiin Hasna Ibunya Juleha. Ya, kali Hasna mau, yang ada dia milih harakiri."Udah, udah, sana. Malah ngakak. Jangan lupa besok pagi-pagi ke studio. Jangan biasain bosnya yang datang duluan." Hasna melangkah lebar seraya mengingatkan Refan.Si pria mengangkat jempol lalu melajukan mobilnya meninggalkan rumah Hasna.*"Baru pulang?"Langkah Hasna yang amat sangat pelan, mendadak terhenti. Persis para pemain 'squid game' yang dimantrai oleh boneka raksasa. Bergerak sedikit saja, kena, 'dor'. Padahal dia sudah mengamati situasi ruang tamu dengan seksama, juga sudah menimbang kapan harus menyelinap tanpa ketahuan, sayangnya saat memutuskan melangkah, malah ketahuan."Ibu apa kabar?" Hasna seketika mode anak baik. Dia menghampiri sang ibu yang sedang memegang suntil yang baru saja digunakan menggoreng ikan asin. Kenapa Hasna tahu? Wanginya sudah membuat perutnya, kukuruyuk."Masih baik, apalagi kalau lihat kamu bawa calon suamimu ke sini."Hasna yang dalam posisi cipika-cipiki sang ibu, langsung memasang wajah memelas. "Ibu ini, yang diomongin calon suami terus, bosen ah.""Ya, gimana enggak, umur kamu itu udah tiga puluh tahun, harusnya udah punya anak dua," sahut Indah--Ibu Hasna, seraya berjalan kembali ke dapur."Sabar aja, Bu, kan, belom kepala empat." Hasna mengekori Indah ke dapur. Hasan--Ayah Hasna--tersenyum mendengar jawaban ngasal putrinya, tetapi surut ketika sang istri memelototkan mata kepadanya."Ayah ini, bukannya ikut nasehatin, malah senyam-senyum.""Tandanya Ayah sepaham sama Hasna, Bu." Hasna salim ke ayahnya, lalu duduk di sebelah pria yang rambutnya sudah mulai memutih itu."Kamu itu dibilangin, kok, banyak ngenyelnya. Mau nunggu apa lagi? Nunggu Ayah sama Ibu enggak ada, baru nikah?" Indah meletakkan ikan asin balado hijau ke atas meja."Emm, mulai ...." Hasna mode cemberut. "Ibu, kok, ngomongnya gitu." Tangan gadis itu mencomot tempe mendoan yang ada di atas meja."Makan yang sopan!" Indah menepuk tangan Hasna yang meraih mendoan dengan tangan kiri. "Sayang, Ibu itu udah kangen ngemong cucu.""Ya. Udah, nanti Hasna kasih cucu.""Beneran?" Mata Indah seketika berbinar."Iya, si Mpus anaknya udah beranak. Nah, bisa, tuh, Ibu ambil cucu." Hasna menunjuk dengan dagu si Mpus yang sedang makan whiskasnya dengan khusyuk."Kamu ini!" Lagi, Indah memukul bahu Hasna, Hasan malah tertawa melihat interaksi keduanya. Memang, Hasna sejahil itu kepada sang Ibu. Namun, dia melakukan itu untuk menghindari pembicaraan serius tentang pernikahanSebagai seorang Ayah dia paham. Meski pun Hasna terlihat baik-baik saja, tetapi hati putrinya itu pasti masih basah oleh luka. Perceraian yang menguras emosi juga waktu membuat putrinya tak lagi memikirkan masalah pernikahan. Hasan masih ingat ucapan Hasna dulu, saat memergoki Azka berselingkuh di sebuah hotel."Padahal Hasna udah ngasih semua, Yah, tapi mengapa Azka kek gini? Salah Hasna apa?" Putrinya itu terlihat sangat kusut. Meski tampak kuat saat melaporkan Azka ke kantor polisi, juga ke atasan tempat pria itu bekerja. Bersikap seolah-olah perceraian bukan masalah baginya, tetapi saat di kamar, wanita itu selalu menangis."Nikah itu bukan cuma cinta, Nak. Perlu komitmen saling menghormati dan menghargai karna cinta bisa luntur, tapi komitmen harus dipegang sampai mati." Hasan mengelus rambut putrinya yang kusut masai."Hasna salah, enggak nurut sama Ayah dulu. Harusnya Hasna dengerin kata-kata Ayah kalau Azka bukan pria baik." Hasna menangis tersedu-sedu."Sudahlah, Tuhan sayang sama kamu, hingga membuka kedok Azka sekarang. Coba kalau udah punya anak, kasian cucu Ayah.""Iya, lain kali Hasna enggak bakal nikah kalau enggak ijin Ayah. Kalau perlu Hasna enggak nikah.""Eh, Hasna! Mau ke mana? Ibu belum selesai ngomong." Seruan Indah menyadarkan Hasan kembali. Dia melihat Hasna sudah melenggang naik ke lantai dua."Mandi dulu, Buk. Bau asem."Indah hanya geleng-geleng kepala melihat sikap putrinya. Menatap suaminya dengan sorot menuduh, "Ini gegara Ayah. Coba dulu waktu Ibu hamil enggak hobi nonton smack down segala, pasti kelakuan Hasna enggak kayak laki gitu."Hasan milih diam dari pada berdebat sehari semalam, tetapi ngebatin, 'kaan, diungkit lagi ....'Hasna membekap mulut agar isaknya tak terdengar keluar. Hati wanita itu lelah terus berharap agar manik matanya melihat dua garis merah. Namun, hampir dua tahun pernikahan dan menghabiskan banyak tespack, lagi-lagi dia harus menelan kecewa. Dia selalu berdebar saat jadwal menstruasi datang. Berharap siklus bulanan itu berhenti dan memberikan kabar baik. Namun, sepertinya Hasna harus memupus harapan memiliki anak."Sayang, buka pintunya." Suara Kenan terdengar dari balik pintu kamar mandi. Panggilan sang suami tak membuat Hasna bergeming. Dia masih sibuk mengemasi rasa kecewa yang kembali berhamburan ke dadanya. Dia menatap pantulan wajah yang terlihat kacau di dalam cermin. Pikiran-pikiran buruk bertandang ke tempurung kepalanya. Bagaimana jika dia tak bisa memiliki anak? Bagaimana jika Kenan menggantikan posisinya dengan wanita lain? Lalu, jawaban apa yang akan diberikan kepada sang ibu yang sangat berharap menimang cucu?Bila pertanyaan-pertanyaan itu mendesak kepalanya, Hasna kemb
Harusnya Hasna menahan diri lebih lama tinggal di rumah, tetapi tiga hari menghabiskan waktu melepas kerinduan, berbincang pengalamannya selama dua tahun dengan ayah serta ibunya, dia tak tahan untuk tidak menemui Refan. Dia penasaran, bagaimana temannya itu mengelola studio foto yang dia titipkan. Apakah berkembang? atau malah berantakan?Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, Hasna meraih kunci dan mengemudikan mobil menuju studio foto. Di sepanjang perjalanan hatinya menghangat melihat tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Kenan. Sosok pria itu selalu mengikuti ke mana saja dia pergi, seakan tak bosan menghadirkan ke dalam ruang imaji. Sekuat apa pun Hasna mencoba mengusir, bayang-bayang pria tersebut selalu datang. Namun, sosok Kenan yang dia lihat beberapa hari yang lalu, menghantarkan perih ke dadanya. Apakah pria itu telah melupakannya? Mengapa Refan tak mengatakan apa pun? Hal ini juga yang membuatnya ingin segera bertemu.Dering telepon membuyarkan ingatan Hasn
Rumah berlantai dua di hadapan Kenan masih sama. Hamparan rumput jepang, bunga-bunga hias, dan riuh kicau burung perkutut milik Ayah Hasna. Pria itu tak melihat perubahan apa pun meski putri sang empunya rumah melanglang buana entah ke mana. Hanya saja saat bertamu, ada kekosongan di mata renta Hasan, setiap kali nama putrinya disebut."Hasna paling tidak suka suara burung perkutut," celutuk Hasan. Saat ini keduanya duduk di teras, seraya menikmati mentari yang mulai lingsir ke barat.Kenan tersenyum tipis. Dia ingat omelan Hasna saat hendak membawa salah satu burung perkutut milik Hasan. Wanita itu bilang, suara perkutut itu tidak merdu, membuat telinganya pekak. Dia pikir alasan yang dikatakan si wanita sangat mengada-ngada, tetapi Kenan tak berani memprotes. Bila satu pertanyaan mengandung protes saja keluar dari bibirnya, Hasna dengan senang hati membawakan bantal dan selimut ke sofa. Tak lupa mengatakan bahwa dia ingin tidur sendirian."Dia pasti mengatakan kalau suara perkutut i
Kenan membuka jendela kamar untuk melihat bulan sabit yang tergantung di langit malam. Angin sedikit berisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Mungkin sedang membicarakan pria yang terlihat hidup, tetapi mati. Seseorang pecundang yang kini hidup dari sisa kenangan yang dikais dari masa lalu.Pandangan Kenan jatuh pada bunga-bunga hias di samping rumahnya. Bunga lili beraneka warna memenuhi rak-rak besi yang dicat merah menyala. Dia ingat, dulu Hasna merengek padanya agar dibuatkan rak-rak tersebut. Kesukaan pada bunga lili, sama persis seperti almarhumah sang mama. Hampir setiap sore, wanita itu berada di sana. Memberikan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya. Sering Kenan meledek, mengapa Hasna bicara pada bunga yang jelas tak bisa mendengar atau merespon ucapannya. Wanita itu menjawab, bunga-bunga itu seperti anak baginya. Bila dirawat dengan segenap kasih sayang, dia akan tumbuh subuh. Mereka memang tak bisa mendengar, melihat, tetapi bisa merasakan kasih s
Kenan menatap pintu bercat putih di hadapan dengan sorot entah ... seperti pintu, hati Hasna juga tertutup untuknya. Kata-kata wanita yang pernah mengisi hatinya itu, teramat tajam menikam jantung. Meski tak berkata kasar, tetapi mampu menebas semua harapan yang dia bangun sejak beberapa hari yang lalu. Setelah mengantar jenazah almarhum Naya ke kampung halaman dan memakamkannya di sana, Kenan kembali ke Jakarta dengan seribu doa yang selalu dia langitkan. Semoga Hasna mau memperbaiki dan mengarungi kembali samudera rumah tangga bersamanya. Dia yakin, tak mudah cinta pupus dari hati wanita tersebut. Apalagi mereka nyaris memiliki seorang anak. Oleh karena itu, dengan keyakinan penuh dia mendatangi Hasna. Meminta maaf dan berharap sang wanita mau kembali padanya. Namun, dia lupa sesuatu. Hati yang tersakiti tidak mudah melupakan siapa penggores luka begitu saja.Raut datar dan dingin Hasna masih terbayang di pelupuk mata saat tadi keduanya berbicara di teras rumah. Tatapan sang wanita
Kata ikhlas mungkin sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit diaplikasikan. Bisa saja bibir mengatakan ratusan kali. Namun, bagaimana dengan hati yang telanjur tersakiti? Tidak mudah luka yang bersarang di dada sembuh begitu saja. Bagi sebagian orang butuh waktu yang sangat lama, tapi bagi sebagian lagi mungkin bisa sangat cepat, tergantung sedalam apa perih terhunjam ke kalbu dan sebesar apa benak mengingat rasa kecewa.Seperti Hasna, dia mungkin memaafkan almarhumah Naya. Dia mencoba mengerti alasan yang melatarbelakangi gadis tersebut berbuat keji padanya. Harapan terlalu besar, tetapi sama sekali tak sesuai kenyataan, membuat gadis itu depresi. Membiarkan pikiran-pikiran buruk menguasai dirinya, hingga terjebak dalam ilusi yang diciptakan sendiri. Pola salah asuhan juga memicu kepribadian yang tak menerima penolakan dari siapa pun. Doktrin sejak kecil bahwa dia adalah seorang ratu, putri kesayangan almarhum Mak Rusli, bisa memiliki apa saja, boleh meminta apa pun, membuat Naya